Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

IMPLEMENTASI PRINSIP CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Marthin, Marthin; Salinding, Marthen B; Akim, Inggit
JOURNAL OF PRIVATE AND COMMERCIAL LAW Vol 1, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang- Undang Nomer 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan alternatif bentuk-bentuk kegiatan CSR bagi perusahaan perseroan terbatas (PT) yang mengelola sumber daya alam di Kabupaten Malinau dan Tanah Tidung dan untuk mengetahui apa saja kendalakendala yang dihadapi oleh perusahaan dalam implementasinya. Data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif , yaitu data skunder yang berupa teori, definisi dan substansinya dari berbagai literatur, dan peraturan perundang-undangan, serta data primer yang diperoleh dari wawancara, observasi dan studi lapangan, kemudian dianalisis dengan undang-undang, teori dan pendapat pakar yang relevan, sehingga didapat kesimpulan tentang pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan yang berkaitan dengan pengentasan masalahmasalah sosial kemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa norma kewajiban CSR bagi perseroan terkesan tidak tegas, karena tidak memuat sanksi bagi perseroan yang melanggarnya. Pelaksanaan CSR dalam pelaksanaannya selama ini mengalami kendala karena hanya didasarkan kepada kesadaran dan komitmen perusahaan. Padahal komitmen dan kesadaran setiap perusahaan tidak sama dan sangat tergantung kepada kebijakan perusahaan masing-masing
Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang Berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat B. Salinding, Marthen
Jurnal Konstitusi Vol 16, No 1 (2019)
Publisher : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (418.824 KB) | DOI: 10.31078/jk1618

Abstract

Prinsip hukum pengelolaan pertambangan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan batubara didasarkan pada prinsip manfaat, keadilan, dan keseimbangan; keberpihakan kepada kepentingan bangsa; partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Namun permasalahannya ketika pertambangan mineral dan batubara berada pada tanah ulayat masyarakat hukum adat prinsip hukum sebagaimana dimaksud belum menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat hukum adat. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa prinsip pertambangan mineral dan batubara belum menceminkan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat tidak mendapatkan manfaat yang maksimal atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara bahkan justru dampak negatif yang dialami bukan hanya generasi sekarang tetapi juga generasi yang akan datang. Selain itu ada pemikiran pentingnya prinsip pengakuan dan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan sebagai prinsip hukum yang berpihak kepada masyarakat hukum adat, karena prinsip hukum tersebut memosisikan masyarakat hukum adat sebagai subjek pembangunan bukan sebagai objek pembangunan.The legal principles of mining management in Law No. 4 of 2009 concerning Mining of minerals and coal are based on the principles of benefit, justice and balance; partiality to the interests of the nation; participatory, transparency, and accountability, sustainable and environmentally sound. But the problem is when mining minerals and coal is on the oldest indigenous people’s ground. The principles of law as referred to has not yet shown partiality to indigenous people. The approach method used in this study is normative juridical, because this research is conducted by examining library materials or secondary data relating to the legal principles of mineral and coal mining that favor to indigenous people. The conclusion of this study is that the principle of mineral and coal mining has not reflected the recognition and protection of indigenous people’s rights. Indigenous people are not getting the maximum benefit from the management of mineral and coal mining even the negative impacts experienced not only by the present generation but also future generations. Apart from it, there is the thought of the importance of the principle of recognition and principle of agreement on the basis of information without coercion as a legal principle that is in favor of indigenous people. Because these legal principles places the indigenous people as the subject of development not as an object of development.
DASAR FILOSOFI MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP B. Salinding, Marthen
Borneo Law Review Journal Volume 1, No 1 Juni 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (679.866 KB) | DOI: 10.35334/bolrev.v1i1.709

Abstract

Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Mediasi adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan. Dalam rangka menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, maka mekanismenya menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Disamping itu mediasi juga dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa lingkungan di Pengadilan yang mekanismenya di dasarkan pada PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
SOLUSI HUKUM BAGI TERWUJUDNYA KEPASTIAN HUKUM ATAS BANGUNAN YANG BERDIRI DIATAS TANAH WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN (WKP) KOTA TARAKAN B.Salinding, Marthen; Sulaiman, Sulaiman
Borneo Law Review Journal Volume 2, No 1 Juni 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (755.049 KB) | DOI: 10.35334/bolrev.v2i1.721

Abstract

Tanah Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) adalah hak menguasai Negara yang pengelolaanya diserahkan kewenangan kepada PT. Pertamina (Persero)sebagai pemegang Hak pakai.Secara defakto, diatas tanah WKP di Kota Tarakan berdiri ribuan bangunan baik milik masyarakat maupun milik pemerintah dimana sebagian besar belum memiliki bukti penguasaan secara yuridis. Permasalahan dalam penelitian ini adalah status hukum penguasaan PT. Pertamnina (Persero) atas tanah WKP di Kota Tarakan dan solusi hukum yang memberikan kepastian hukum terhadap kepemilikkan bangunan di atas tanah WKP Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa status tanah WKP adalah sebagai hak pakai sebagai konversi dari hak Erfpacht. PT. Pertamina adalah pemegang hak Pakai atas tanah WKP di Kota Tarakan. Sedangkan solusi hukum bagi pemberian kepastian hukum pemeilik bangunan di atas tanah WKP adalah dengan diberikan Hak Guna Bangunan (HGB)
MODEL PERLINDUNGAN HAK ATAS PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT HUKUM ADAT YANG BERKEADILAN DI WILAYAH PERBATASAN KALIMANTAN UTARA Salinding, Marthen B; Basri, Basri
Jurnal Borneo Humaniora Vol 2, No 2 (2019)
Publisher : LPPM Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (976.07 KB) | DOI: 10.35334/borneo_humaniora.v2i2.842

Abstract

Kesehatan merupakan hak setiap warga negara, karena itu pemerintah berkewajiban memenuhi hak tersebutdengan menyediakan sarana dan prasarana kesehatan serta sumber daya manusia. Kawasan perbatasanKalimantan Utara dihuni oleh sebagian besar kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan akses pelayanankesehatan yang masih rendah. Pemerataan sarana kesehatan ke kawasan perbatasan Provinsi Kaltara sangatdiperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Hukum Adat dan untuk mengurangi gap yangtinggi dengan negara tetangga. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif,dengan anlisis kualitatis. Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah sebagai sumber informasi kepadapemerintah agar membuat model perlindungan pelayanan kesehatan Masyarakat Hukum Adat diperbatasansebagai komunitas yang terpencil melalui regulasi baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.Sedangkan tujuan khusus adalah menyediakan bukti dasar yang dapat digunakan untuk merancangaksi/tindakan yang mengarah pada perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat di wilayah perbatasan dibidang kesehatan dan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi khusus untuk . pengembangan program danintervensi yang relevan bagi para pemangku kepenti ngan (stakeholders), termasuk Pemerintahan di tingkatnasional, provinsi dan kabupaten/kota.
LEMBAGA ADAT DAYAK TIDUNG SEBAGAI MITRA PEMERINTAH MENYELESAIKAN SENGKETA HORISONTAL DI KOTA TARAKAN Salinding, Marthen B
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 8, No 1 (2012): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (346.94 KB) | DOI: 10.32528/.v8i16.620

Abstract

Sengketa horizontal membahayakan keutuhan bangsa, karena itu menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa termasuk Lembaga Adat untuk bersama-sama dengan Pemerintah menyelesaikannya. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui peranan Lembaga Adat Dayak Tidung sebagai mitra Pemerintah Kota Tarakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di Kota Tarakan. Penelitian menggunakan metode yuridis empiris yaitu penelitian lapangan dan penelitian perpustakaan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Bahan yang diperoleh dari data primer diolah kemudian dibandingkan dengan data sekunder lalu diambil kesimpulan dan digambarkan secara deskriptif dan dianalisa secara kulitatif.Kata Kunci, Lembaga Adat,Pemerintah Kota, Sengketa
Konstitusi Desa dan Eksistensinya dalam Regulasi di Indonesia Marthen B. Salinding
Jurnal Konstitusi Vol 18, No 1 (2021)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (455.675 KB) | DOI: 10.31078/jk1812

Abstract

Herman Heller means that the constitution has 3 (three) phases: the constitution as a reality; the constitution in the abstraction process; and the constitution in codification. A constitution that has passed through the codification cycle is a mirror that it has found its existence and its position as a reality of socio-political life in society, or at least the constitution can describe the concept of Fundamental of a country’s community-thinking society. To interpret the understanding, the context of the Constituent Assembly as an abstraction of the value of dynamic living in the community (law and change of society), especially the village community in the period of reform that has undergone significant shifts because of abstraction errors on the constitution. Positioning the village as one of the sub-systems governance that has existed during the state of the archipelago (before Indonesia), the village has positioned the constitution at that time without passing the abstraction to codification. Thus the form of the constitution as the law contained therein rests on the provisions of the Godhead (natural law) far from the conception of value built on the rationality schemes and regulatory logic. Through normative juridical research methods and 3 (three) approaches: Historical approach, conceptual approach, and statue approach, the purpose of this research is to trace the significance of the village constitution as a unity of the village society’s reality by analyzing the context of historical and the things that are behind the trend of the conception of village society before the constitution passed the codification phase and the existence of the village constitution itself in regulations reflected in the law of the Republic of Indonesia number 6 the year 2014 about the village.
Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang Berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat Marthen B. Salinding
Jurnal Konstitusi Vol 16, No 1 (2019)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (418.824 KB) | DOI: 10.31078/jk1618

Abstract

Prinsip hukum pengelolaan pertambangan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan batubara didasarkan pada prinsip manfaat, keadilan, dan keseimbangan; keberpihakan kepada kepentingan bangsa; partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Namun permasalahannya ketika pertambangan mineral dan batubara berada pada tanah ulayat masyarakat hukum adat prinsip hukum sebagaimana dimaksud belum menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat hukum adat. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa prinsip pertambangan mineral dan batubara belum menceminkan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat tidak mendapatkan manfaat yang maksimal atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara bahkan justru dampak negatif yang dialami bukan hanya generasi sekarang tetapi juga generasi yang akan datang. Selain itu ada pemikiran pentingnya prinsip pengakuan dan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan sebagai prinsip hukum yang berpihak kepada masyarakat hukum adat, karena prinsip hukum tersebut memosisikan masyarakat hukum adat sebagai subjek pembangunan bukan sebagai objek pembangunan.The legal principles of mining management in Law No. 4 of 2009 concerning Mining of minerals and coal are based on the principles of benefit, justice and balance; partiality to the interests of the nation; participatory, transparency, and accountability, sustainable and environmentally sound. But the problem is when mining minerals and coal is on the oldest indigenous people’s ground. The principles of law as referred to has not yet shown partiality to indigenous people. The approach method used in this study is normative juridical, because this research is conducted by examining library materials or secondary data relating to the legal principles of mineral and coal mining that favor to indigenous people. The conclusion of this study is that the principle of mineral and coal mining has not reflected the recognition and protection of indigenous people’s rights. Indigenous people are not getting the maximum benefit from the management of mineral and coal mining even the negative impacts experienced not only by the present generation but also future generations. Apart from it, there is the thought of the importance of the principle of recognition and principle of agreement on the basis of information without coercion as a legal principle that is in favor of indigenous people. Because these legal principles places the indigenous people as the subject of development not as an object of development.
DASAR FILOSOFI MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP Marthen B. Salinding
Borneo Law Review Volume 1, No 1 Juni 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v1i1.709

Abstract

Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Mediasi adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan. Dalam rangka menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, maka mekanismenya menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Disamping itu mediasi juga dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa lingkungan di Pengadilan yang mekanismenya di dasarkan pada PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
SOLUSI HUKUM BAGI TERWUJUDNYA KEPASTIAN HUKUM ATAS BANGUNAN YANG BERDIRI DIATAS TANAH WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN (WKP) KOTA TARAKAN Marthen B.Salinding; Sulaiman Sulaiman
Borneo Law Review Volume 2, No 1 Juni 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v2i1.721

Abstract

Tanah Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) adalah hak menguasai Negara yang pengelolaanya diserahkan kewenangan kepada PT. Pertamina (Persero)sebagai pemegang Hak pakai.Secara defakto, diatas tanah WKP di Kota Tarakan berdiri ribuan bangunan baik milik masyarakat maupun milik pemerintah dimana sebagian besar belum memiliki bukti penguasaan secara yuridis. Permasalahan dalam penelitian ini adalah status hukum penguasaan PT. Pertamnina (Persero) atas tanah WKP di Kota Tarakan dan solusi hukum yang memberikan kepastian hukum terhadap kepemilikkan bangunan di atas tanah WKP Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa status tanah WKP adalah sebagai hak pakai sebagai konversi dari hak Erfpacht. PT. Pertamina adalah pemegang hak Pakai atas tanah WKP di Kota Tarakan. Sedangkan solusi hukum bagi pemberian kepastian hukum pemeilik bangunan di atas tanah WKP adalah dengan diberikan Hak Guna Bangunan (HGB)