Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

NILAI INDEKS GLIKEMIK DAN ZAT GIZI MAKRO FORMULA FLAKES JEWAWUT, KACANG MERAH DAN LABU KUNING: Glycemic Index Value and Macronutrients of Jekabu Flakes Formula Chaerunnimah; Rihadatul Aisy, Nabilah; Asikin, HIjrah; Mustamin
Media Gizi Pangan Vol 32 No 1 (2025): Juni 2025
Publisher : Media Gizi Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32382/mgp.v32i1.1196

Abstract

Pola makan di era gobalisasi bergeser ke makanan cepat saji yang mengandung indeks glikemik, lemak dan energi yang tinggi yang meningkatkan risiko penyakit seperti diabetes. Flakes merupakan produk pangan yang banyak dikonsumsi karena kepraktisannya, sehingga dibuat formula flakes Jekabu yang menggunakan lebih dari satu jenis tepung yaitu jewawut, kacang merah dan labu kuning karena ketiga bahan makanan tersebut memiliki indeks glikemik yang rendah. Tujuan penelian untuk mengetahui nilai indeks glikemik dan zat gizi makro flakes Jekabu. Desain penelitian adalah one shot case study dengan  menggunakan 6 sampel yang memiliki indeks masa tubuh normal dan tidak memiliki riwayat diabetes untuk pemeriksaan glukosa pada waktu 0 menit, 30 menit, 60 menit, 90 menit dan 120 menit. Data pemeriksaan glukosa darah dihitung luas area di bawah kurva dan data indeks glikemik dianalisis dengan uji One Way Anova.  Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan formula produk flakes Jekabu yang digunakan yaitu dengan perbandingan tepung jewawut, tepung kacang merah dan tepung labu kuning yaitu (70%, 15%, 15%), (68%, 20%, 12%) dan (65%, 25%, 10%). Kandungan gizi karbohidrat dibawah standar SNI dan kandungan gizi protein dan lemak mencapai standar. Kandungan zat gizi makro pada flakes Jekabu (70%, 15%, 15%) rendah dan meningkat pada flakes (68%, 20%, 12%) dan (65%, 25%, 10%). Kisaran indeks glikemik  dari ketiga formulasi flakes Jekabu berada di kisaran lebih kecil dari 55 yaitu indeks glikemik rendah.  Disarankan melakukan pengembangan formula lebih lanjut untuk memperbaiki rasa dan meningkatkan kadar karbohidrat produk flakes Jekabu hingga mencapai standar SNI dan tetap memiliki indeks glikemik rendah.
Development Of Pumpkin Seed Cookies As A Healthy Snack Alternative For Adolescent Girls To Prevent Anemia Nurzakiah, Nurzakiah; Chaerunnimah; Nursalim; Suaib, Fatmawaty; Melati Dian Baso’T; Puspa Melati Gray; Reysti Ningrati L; Febrianti Padang S
Al GIZZAI: PUBLIC HEALTH NUTRITION JOURNAL Vol 5 No 2 (2025)
Publisher : Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/algizzai.v5i2.55770

Abstract

Pendahuluan: Anemia pada remaja putri merupakan masalah kesehatan global, dan intervensi medis seperti pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) saja mungkin tidak cukup untuk menurunkan prevalensi anemia. Biji labu, yang kaya akan zat gizi, dapat digunakan sebagai dasar camilan sehat untuk membantu mencegah anemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kandungan zat gizi dan penerimaan panelis terhadap kukis biji labu berdasarkan aspek warna, aroma, tekstur, dan rasa. Penelitian eksperimental ini dilakukan di laboratorium kuliner Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar. Metodologi: Uji organoleptik pada 35 panelis yang merupakan mahasiswa. Penerimaan dinilai menggunakan skala hedonik, dan kandungan gizi dianalisis menggunakan Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Hasil: Hasil menunjukkan bahwa satu porsi (30 g) kukis biji labu memberikan 128,3% dari asupan harian zat besi yang direkomendasikan, 83% protein, dan 131,3% seng untuk remaja putri. Dalam hasil organoleptik, 45,8% panelis bersikap netral terhadap warna, 68,5% menyukai aroma, 65,7% menyukai tekstur, dan 74,3% menyukai atau sangat menyukai rasa. Nilai rata-rata daya terima kukis biji labu kuning secara keseluruhan untuk masing-masing atribut adalah: warna 3,2 ± 0,7; aroma 3,8 ± 0,7; tekstur 3,7 ± 0,9; dan rasa 4,0 ± 0,9. Kesimpulan: Penerimaan tertinggi ada pada aspek rasa. Meskipun rasa kukis biji labu menunjukkan penerimaan yang baik, peningkatan warna menggunakan pewarna makanan alami dapat meningkatkan daya tarik visual.  
Efektivitas Media Kipas Edukasi dalam Meningkatkan Pengetahuan Remaja Putri tentang Anemia sebagai Fondasi Pencegahan Stunting Sejak Dini di SMA Negeri 24 Bone Filza Fazira; Chaerunnimah; Sunarto
Galen: Jurnal Riset Ilmu Farmasi dan Kesehatan Vol. 1 No. 2 (2025): Galen: Jurnal Riset Ilmu Farmasi dan Kesehatan
Publisher : PT Pustaka Cendekia Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.71417/galen.v1i2.104

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas media kipas edukasi dalam meningkatkan pengetahuan remaja putri tentang anemia sebagai fondasi pencegahan stunting sejak dini di SMA Negeri 24 Bone. Anemia pada remaja putri merupakan masalah gizi mikro penting yang berkontribusi terhadap risiko stunting pada generasi berikutnya. Studi ini menggunakan desain kuantitatif pre-ekperimental dengan metode one group pretest-posttest pada 35 remaja putri kelas XII. Data dikumpulkan melalui kuesioner pengetahuan sebelum dan sesudah intervensi edukasi menggunakan media kipas edukasi yang memuat informasi singkat, jelas, dan visual menarik tentang anemia dan hubungan dengan pencegahan stunting. Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan signifikan pengetahuan remaja putri setelah diberikan edukasi dengan media kipas edukasi. Rata-rata skor pengetahuan meningkat dari 56,86 (kategori cukup) menjadi 96,29 (kategori baik) dengan nilai signifikansi p = 0,000. Semua responden mencapai tingkat pengetahuan baik setelah edukasi. Media ini terbukti efektif karena desainnya yang interaktif, praktis, dan mampu menarik perhatian remaja sehingga meningkatkan retensi informasi. Peningkatan pengetahuan ini diharapkan dapat menjadi fondasi bagi perilaku hidup sehat yang mendorong pencegahan anemia dan stunting sejak masa remaja, terutama sebagai bekal kesehatan reproduksi calon ibu. Penelitian ini menegaskan pentingnya intervensi edukasi kesehatan yang inovatif dan sesuai karakteristik remaja untuk memutus siklus stunting antar generasi. Keterbatasan penelitian antara lain lokasi dan sampel yang terbatas serta hanya mengukur aspek pengetahuan tanpa pengaruh jangka panjang pada perilaku. Namun, temuan ini mengindikasikan kipas edukasi sebagai media promosi kesehatan yang efisien dan layak dikembangkan serta diintegrasikan dalam program promosi kesehatan sekolah sebagai strategi pencegahan stunting sejak dini.
STATUS SELENIUM DENGAN HIPETRIROIDISM: Selenium Status With Hyperthyroidism Khatimah, Husnul; Siradjuddi, Nur Nikmah; Chaerunnimah; Amir, Aswita
Media Gizi Pangan Vol 31 No 1 (2024): Juni 2024
Publisher : Media Gizi Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32382/mgp.v31i1.629

Abstract

Hyperthyroidism incidence has increased in recent years from 40% in 2018 to 50% in 2019, based on the annual report of Balai Litbangkes Magelang. The increase of iodine intake after fortification in the population experiencing iodine deficiency increases the risk of thyroid autoimmune, which is one of the main factors in hyperthyroid incidence. Hyperthyroid is a clinical disorder caused by the excess of thyroid hormone secretion. Adequate selenium intake is necessary to protect the thyroid from excess hydrogen peroxide. Selenium contributes to converting T4 to T3. 15% of the worldwide population suffers from selenium deficiency in which it affects thyroid hormone metabolism. One of the health problems that arise due to malabsorption of thyroid hormones is hyperthyroid. The aim of this study was to analyze the relationship between intake and serum selenium levels with TSH and FT4 levels in hyperthyroid patients using an observational method with a cross-sectional design in 50 hyperthyroid patients at the Magelang Research and Development Center with the criteria of having TSH levels below 0.3 0.3 mIU/L Those who received treatment were male and female, aged 19 to 59 years, had goiter or not. Selenium intake was obtained using the 2x24 hour recall method, while serum selenium levels were obtained through laboratory examination using the NAA method and for TSH and FT4 levels using the ELISA method. Bivariate test results using the sperm test showed that there was a significant relationship between selenium intake and TSH levels (p<0.05) in hyperthyroid patients but not with FT4 levels (p=0.088) and for serum selenium levels it was statistically significant with TSH levels and FT4 (p<0.05) hyperthyroid patients. Where the average selenium intake, serum selenium, TSH and FT4 levels were around 78.36 µg, 92.92 µg/L, 0.26 µIU/ml and 2.61 ng/dL, respectively. However, based on the results of the linear regression test, neither intake nor serum selenium levels had an impact on TSH and FT4 levels. Selenium intake and serum each have an impact on TSH or FT4 levels, but when combined together they do not have an impact on TSH or FT4 levels.