Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

KEPAILITAN DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAH Muhammad Jumaidi Pamalingan; Abdul Syatar; Nasrullah bin Sapa
Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Vol 6 No 4 (2025): Juli
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Iflas merupakan kondisi seseorang yang tidak memiliki harta atau yang disebut dengan istilah pailit. Pailit adalah keadaan seseorang debitor apabila ia telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki campur tangan majelis hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para kreditornya. Pengelolaan utang-piutang dalam ekonomi syariah menekankan prinsip keadilan, menghindari riba, dan menjaga keutuhan moral. Utang-piutang diizinkan, namun harus berdasarkan akad yang sah, jujur, dan dengan niat baik untuk melunasinya. Prinsip utama adalah menghindari unsur riba (bunga) dan memastikan adanya perjanjian tertulis untuk menghindari sengketa di kemudian hari. Dalam Undang-undang Kepailitan terdapat dua kemungkinan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak yang tidak puas terhadap putusan pernyataan pailit, yaitu upaya kasasi atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Ada beberapa upaya harmonisasi antara hukum positif dengan hukum ekonomi syariah, khususnya dalam masalah kepailitian yaitu tidak adanya dualisme dalam pengadilan, peningkatan peran MUI dan OJK syariah, peningkatan regulasi dan peningkatan kompetensi SDM hukum. Kata Kunci: Kepailitan, Ekonomi Syariah, Hukum.   Abstract Iflas is a condition of a person who has no assets or what is called bankruptcy. Bankruptcy is a condition of a Debtor when he has stopped paying his debts. A condition that requires the intervention of the Panel of Judges to guarantee the common interests of his creditors. Management of debts in Islamic economics emphasizes the principles of justice, avoiding usury, and maintaining moral integrity. Debts are permitted, but must be based on a valid, honest contract and with good intentions to pay it off. The main principle is to avoid the element of usury (interest) and ensure that there is a written agreement to avoid disputes in the future. In the Bankruptcy Law, there are two possible legal remedies that can be taken by parties who are dissatisfied with the bankruptcy declaration decision, namely cassation or judicial review to the Supreme Court. There are several efforts to harmonize positive law with sharia economic law, especially in bankruptcy matters, namely the absence of dualism in the courts, increasing the role of the MUI and OJK Sharia, increasing regulation and increasing the competence of legal human resources. Keywords:Bankruptcy, Sharia Economics, Law.
Penegakan Wilayah Al-Mazalim pada Era Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan Turki Ustmani Muhammad Jumaidi Pamalingan; Ashar; Abdul Halim Talli; Asni
Al-Qawānīn: Jurnal Ilmu Hukum, Syariah, dan Pengkajian Islam Vol. 2 No. 1 (2025): Kajian Interdisipliner Hukum dan Pemikiran Islam
Publisher : Pusat Studi Hukum Islam (PSHI) YPI Shafal 'Ulum Al-Aziziyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70193/alqawanin.v2i1.04

Abstract

Penegakan wilayah al-Mazalim pada masa Dinasti Umayyah merupakan salah satu bentuk upaya untuk memastikan keadilan di tengah pemerintahan yang luas dan terkadang penuh dengan ketidakadilan, terutama yang dilakukan oleh pejabat tinggi atau bahkan anggota keluarga khalifah sendiri. Al-Mazalim pada dasarnya adalah sistem pengadilan untuk menangani keluhan terhadap ketidakadilan atau penindasan Dalam konteks ini, al-Mazalim berfungsi sebagai saluran bagi rakyat untuk mengadukan ketidakadilan yang mereka alami.Al-Mazalim di masa Abbasiyah tetap merujuk pada pengadilan yang menangani kasus-kasus ketidakadilan atau penindasan yang tidak bisa diselesaikan oleh pengadilan biasa. Ini termasuk keluhan terhadap pejabat pemerintah, penguasa lokal, bahkan anggota keluarga khalifah yang menyalahgunakan kekuasaan. Sifatnya yang lebih fleksibel dibandingkan dengan pengadilan syariah memungkinkan al-Mazalim menangani berbagai kasus yang melibatkan penindasan.Secara garis besar, al-Mazalim pada masa Turki Utsmani adalah sistem peradilan yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang melibatkan ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, atau korupsi, terutama yang dilakukan oleh pejabat tinggi atau pejabat pemerintah.
DINAMIKA GLOBALISASI DAN TRANSIONALISASI HUKUM ISLAM DI NEGARA NOMOKRASI INDONESIA Muhammad Jumaidi Pamalingan; Kurniati, Kurniati; Musyfikah Ilyas
Journal of Innovation Research and Knowledge Vol. 5 No. 7 (2025): Desember 2025
Publisher : Bajang Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study discusses how global currents influence the formation, implementation, and adaptation of Islamic law in Indonesia . The purpose of this study is to analyze how the processes of globalization and transnationalization influence the development and adaptation of Islamic law in Indonesia as a state based on the principle of nomocracy, as well as to identify the challenges faced in integrating Islamic law into the national legal system. The research method used is library research, which involves searching for and collecting data from libraries, such as history books, using a sociological approach to Islamic law. The results of this study demonstrate that globalization is a unique phenomenon in human civilization. Globalization in Islamic law is not only related to external influences but also concerns how Islamic law responds to the challenges and changes of the modern world. Transnationalization creates new space for Islamic law to grow within a country. The dynamics of globalization and the transnationalization of Islamic law demonstrate how Islamic law develops and adapts in an increasingly globally connected world. Several challenges to integrating Islamic law into the legal system arise, including political challenges, legal pluralism, and international resistance to sharia.