Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

EVALUASI JUMLAH AREA DAN SEBARAN SEMBURAN LUMPUR DI WILAYAH BENCANA LUMPUR PORONG SIDOARJO DENGAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL Hariyanto, Teguh; Handayani , Hepi Hapsari
GEOID Vol. 7 No. 1 (2011)
Publisher : Departemen Teknik Geomatika ITS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/geoid.v7i1.1322

Abstract

Pada tanggal 29 Mei 2006, di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, muncul semburan lumpur yang lokasinya berada sekitar 150 m dari lokasi eksplorasi sumur Banjarpanji #1. Semburan lumpur panas di lokasi sudah berlangsung 65 bulan, tetapi proses penutupan lubang semburan lumpur panas belum juga berhasil. Semburan lumpur ini tiap harinya semakin besar. Perhitungan volume lumpur yang keluar setiap harinya merupakan parameter penting dalam menentukan skenario jika lumpur tidak dapat dihentikan seterusnya. Dari data yang diambil pada tanggal yang berbeda dengan citra resolusi tinggi maka diharapkan dapat memonitoring sebaran lumpur serta prediksi yang tepat jumlah lumpur yang keluar setiap harinya dengan tepat dan pedugaan untuk waktu selanjutnya. Tahap pengolahan citra meliput proses koreksi geometrik, interpretasi citra, dan klasifikasi citra. Citra yang digunakan adalah citra multispektral Ikonos dan GeoEye dengan resolusi sekitar 2,4 m. Citra tersebut diambil multitemporal yaitu pada bulan Juni, Agustus, dan Oktober 2011. Proses koreksi geometrik menggunakan titik kontrol tanah hasil pengukuran GPS geodetik. Hasil dari koreksi geometrik yaitu RMSe rata-rata sebesar 0,078 piksel. Klasifikasi yang digunakan adalah supervised menggunakan metode mahalanobis dan maximum likelihood. Dari kedua metode tersebut tidak terdapat perbedaan signifikan pada luas area tiap-tiap kelas. Dari hasil klasifikasi ketiga citra tersebut, dapat disimpulkan bahwa luas area lumpur tidak mengalami penurunan yang berarti dan sebaran lumpur mengarah ke Barat dan Utara.
ANALISIS PEMANFAATAN CITRA SATELIT ALOS-PRISM SEBAGAI DASAR PEMBUATAN PETA PENDAFTARAN TANAH (Studi Kasus : Desa Babalan, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati) Utomo, Pandu Sandy; Supadiningsih, Chatarina Nurjati; Handayani , Hepi Hapsari
GEOID Vol. 7 No. 1 (2011)
Publisher : Departemen Teknik Geomatika ITS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/geoid.v7i1.1334

Abstract

Peraturan Menteri Negeri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 (PMNA/KBPN 3/1997) pasal 142 ayat 1 menyebutkan peta pendaftaran tanah dibuat dengan memetakan hasil pengukuran bidang tanah pada peta dasar pendaftaran tanah. Sedangkan pada peraturan yang sama pasal 12 ayat 1 menyebutkan bahwa pengukuran dan pemetaan untuk pembuatan peta dasar pendaftaran diselenggarakan dengan metode terestrial, fotogrametrik, atau metode lainnya. Kemajuan dalam bidang penginderaan jauh dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif pemetaan, khususnya dalam pembuatan peta pendaftaran tanah. Salah satunya adalah citra satelit ALOS-PRISM dengan resolusi 2,5 meter. Penelitian ini menggunakan dua data utama yaitu citra satelit ALOS-PRISM tanggal 16 Juli 2008 wilayah Kabupaten Pati Jawa Tengah dan Peta Dasar Pendaftaran Tanah skala 1 : 1.000 dengan nomor lembar 49.2.02.078.09.8. Wilayah studi adalah Desa Babalan, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dimana kondisi pada daerah tersebut relatif datar. Koreksi geometrik menggunakan 9 titik kontrol tanah berupa titik orde 3 BPN di Kecamatan Gabus dan sekitarnya. Pengukuran lapangan (menggunakan pita ukur) dilakukan untuk mengetahui ketelitian planimetris citra. Dari data tersebut dihitung selisih perbedaan luasan bidang sawah di citra dan peta pendaftaran tanah, dengan ketentuan toleransi perbedaan luas oleh BPN sebesar KL £ (0,5ÖL) m2. Analisis terhadap jarak dan luasan bidang sawah pada peta pendaftaran tanah dan citra, dilakukan untuk mendapatkan tingkat kelayakan penggunaan citra satelit ALOS-PRISM di dalam pembuatan peta pendaftaran tanah. Dari hasil koreksi geometric didapatkan nilai RMSe sebesar 0,507 meter. Berdasarkan uji-t sampel berpasangan, terdapat perbedaan jarak dan luas yang signifikan. Citra satelit ALOS-PRISM tidak memenuhi kelayakan untuk kegiatan updating Peta Pendaftaran Tanah skala 1 : 1.000, namun memenuhi untuk skala 1 : 10.000 dengan pengkajian lebih lanjut terhadap skala tersebut.
LEAST SQUARE MATCHING 1 TO COMBINE THE TWO IMAGES OF NCU AREA Handayani , Hepi Hapsari
GEOID Vol. 7 No. 2 (2012)
Publisher : Departemen Teknik Geomatika ITS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/geoid.v7i2.1346

Abstract

Least square matching technique is included in area-based digital matching method. Conceptually, least square matching is closely related to the correlation method, with the added advantage of being able to obtain the match location to a fraction of a pixel. Least square matching (LS1)1 has merit to minimize the sum of squares for grayscale differences, so the result will be more accurate. The images covering the National Central University (Taiwan) area are aerial images taken from digital camera with sensor ultracam-D. Interior orientation parameter consist of focal length in 101.400000mm, principal point offset (0.000000e+000, 0.000000e+000)mm, and principal point symmetry (-2.110000e-001, 0.000000e+000)mm. The experimental result shows that the best accuracy of x direction is reached when the rotation angle is 9 degree, then those of y direction is reached when the rotation angle is 3 degree. The accuracy of both directions are getting worse when the scale of image is less than 0.8. The success rate 100% is reached in all of window size except 51 and 101. Then, the best accuracy of x direction is showed in 3x3 window size, those of y direction is employed when the work used the window size 11x11. Based on the experimental result, it can be concluded that using different rotation and scale can get the different result that it will be worse or better. Thus, to get the better result in matching image and better accuracy, the work should use the orthorectified image as base image to do rotation scheme and use small window size to minimize the number iteration, but it will be not significant with RMSe.
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK EVALUASI KEPADATAN LALU LINTAS JALAN ARTERI PRIMER DAN ARTERI SEKUNDER DI KOTA SURABAYA Rubiyanti , Arhiyah; Handayani , Hepi Hapsari
GEOID Vol. 7 No. 2 (2012)
Publisher : Departemen Teknik Geomatika ITS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/geoid.v7i2.1351

Abstract

Aktifitas kehidupan kota Surabaya yang semakin meningkat, ketidakseimbangan antara pertumbuhan kendaraan dengan penyediaan jasa, menimbulkan kepadataan lalu lintas yang puncaknya terjadi pada jam sibuk. Jam sibuk adalah jam dalam satu periode sibuk pagi hari dan sore hari waktu setempat. Kepadatan lalu lintas tersebut sering dijumpai pada jalan arteri primer dan arteri sekunder kota. Pada kondisi tersebut, kecepatan perjalanan rendah sehingga tingkat pelayanan kualitas jalan perjalanan menjadi buruk. Mengingat keterbatasan dana untuk pembangunan sarana/prasarana jalan dan kendala fisik geologis lahan di jalan arteri, maka untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu alternatif teknologi, yaitu sistem informasi berbasiskan komputer. Sistem informasi berbasiskan komputer ini berupa Sistem Informasi Geografis (SIG) yang menyajikan gambaran mengenai kepadatan lalu lintas dengan memperhatikan Derajat Kejenuhan (DS). Dalam penelitian ini, data spasial yang digunakan adalah peta RBI Kota Surabaya tahun 1999 skala 1:25.000 dan data non spasial yang meliputi data tabular kapasitas jalan serta volume kendaraan pada jalan arteri primer dan sekunder Kota Surabaya. Jam sibuk yang digunakan mulai pukul 06.00-09.00 pada pagi hari dan 16.00-19.00 pada sore hari karena pada buku panduan Survey Kinerja Lalu Lintas Kota Surabaya 2010 yang didapat dari Dinas Perhubungan Pemerintah Kota Surabaya menunjukkan bahwa jam tersebut memiliki volume lalu lintas tertinggi diantara jam 05.00-21.00 BBWI. DS dihitung dari hasil bagi antara volume total kendaraan tiap jam (Q) dengan kapasitas jalan (C). Dari hasil nilai DS akan dikelompokkan menjadi tiga tingkat kepadatan, yang pertama nilai DS 0-0,5 adalah tidak padat, nilai DS 0,51-1 adalah padat, dan nilai DS>1 adalah sangat padat. SIG digunakan untuk memvisualisasikan hasil dari jalur alternatif yang mungkin bisa dilewati oleh kendaraan pada jam sibuk tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa derajat kejenuhan tertinggi terjadi pada jam 07.00-08.00 BBWI di jalan Wonokromo dengan derajat kejenuhan 1,775 sedangkan derajat kejenuhan terendah terjadi pada jam 06.00-07.00 BBWI di jalan Tanjung Perak dengan derajat kejenuhan 0,154. Dari aplikasi Sistem Informasi Geografis dengan waktu yang telah ditentukan sesuai jam sibuk ini didapatkan jalur normal dimana tidak menghiraukan hambatan kepadatan lalu lintas, jalur terhambat dikarenakan derajat kejenuhan pada jalan tersebut tinggi , dan jalur alternatif dimana pada jalur ini akan ditunjukkan jalur bebas hambatan untuk menghindari kemacetan lalu lintas pada saat derajat kejenuhan jalur tersebut tinggi.
ALGORITMA ESTIMASI KANDUNGAN KLOROFIL TANAMAN PADI DENGAN DATA AIRBORNE HYPERSPECTRAL Sukmono , Abdi; Handayani , Hepi Hapsari; Wibow, Agus
GEOID Vol. 8 No. 1 (2012)
Publisher : Departemen Teknik Geomatika ITS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/geoid.v8i1.1364

Abstract

Klorofil merupakan pigmen yang paling penting dalam proses fotosintesis. Tanaman sehat yang mampu tumbuh maksimum umumnya  memiliki jumlah klorofil yang lebih besar daripada tanaman yang tidak sehat. Dalam Estimasi kandungan klorofil tanaman padi dengan airborne hyperspectral dibutuhkan algoritma khusus untuk mendaaptkan akurasi yang baik. Objek dari penelitian ini mengembangkan reflektan in situ menjadi model algoritma   estimasi kandungan klorofil tanaman padi untuk airborne hyperspectral.  Dalam penelitian ini beberapa indeks vegetasi seperti normalized difference vegetation index (NDVI), modified simple ratio (MSR)  , modified/transformed chlorophyll absorption ratio index (MCARI, TCARI) dan bentuk integrasi (MCARI/OSAVI and TCARI/OSAVI) digunakan untuk membentuk model estimasi dengan metode regresi linear. Selain itu juga digunakan  Blue/Green/Yellow/Red Edge Absorption Clhorophyll Index. Dari proses regresi di dapatkan tiga ground model yang mempunyai korelasi kuat (R2>=0.5) terhadap klorofil tanaman padi. Ketiga model tersebut yaitu MSR (705,750) dengan R2 sebesar 0.51, TCARI/OSAVI (705, 750) dengan R2 sebesar 0.52 dan REACL 2 dengan R2 sebesar 0.57. Dari ketiga tersebut dipilih groun model terbaik REACL 2 untuk di upscalling ke model algoritma airborne hyperspectral.  Pembentukan algoritma dengan data airborne hyperspectral sensor Hymap dan REACL 2 menghasilkan model algoritma ( Klorofil (SPAD unit) = 3.031((B22-B18)/(B18-B13)) + 31.596) dengan R2 sebesar 0.78
ANALISA KESEHATAN TANAMAN PADI BERDASARKAN NILAI NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX (NDVI) MENGGUNAKAN CITRA ASTER (STUDI KASUS : KABUPATEN INDRAMAYU - JAWA BARAT) Rahaldi , Prasetyo; Handayani , Hepi Hapsari; Wibowo, Agus
GEOID Vol. 8 No. 2 (2013)
Publisher : Departemen Teknik Geomatika ITS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/geoid.v8i2.1370

Abstract

Padi merupakan salah satu tanaman budidaya yang terpenting karena merupakan makanan pokok bagi 90% penduduk Indonesia. Oleh sebab itu dibutuhkan analisa yang cepat dan akurat mengenai kesehatan tanaman padi. Dalam Penelitian ini NDVI atau Normalized Difference Vegetation Index merupakan metode yang digunakan dalam membandingkan tingkat kehijauan vegetasi yang berasal dari citra ASTER. Dari nilai NDVI tersebut dapat diketahui klasifikasi kesehatan tanaman padi. Dalam penelitian ini klasifikasi kesehatan tanaman padi dibagi menjadi 4 kelas. Kesehatan sangat baik terdapat pada rentang nilai NDVI 0.721-0.92, untuk kesehatan baik rentang nilai NDVI antara 0.421-0.72, dan nilai NDVI kesehatan normal terdapat pada rentang 0.221-0.42, sedangkan kesehatan buruk nilai NDVI 0.11-0.22. Selain itu juga menggunakan data Field Spectrometer sebanyak 14 titik sebagai data lapangan yang digunakan untuk proses validasi. Validasi ini mempunyai koefisien korelasi (R) sebesar 0.829. Sehingga dapat dikatakan antara nilai hasil prediksi dan hasil pengukuran lapangan berkolerasi sebesar 82,9 %. Dengan data citra ASTER juga dihasilkan pustaka spektral dan peta kesehatan tanaman padi, dalam pustaka spektral semakin sehat tanaman nilai Digital Number pada band 2 semakin kecil. Sedangkan band 3 banyak dipantulkan atau tidak digunakan sehingga nilai Digital Number pada tanaman padi yang semakin sehat, nilainya semakin tinggi. Sedangkan dalam peta kesehatan tanaman padi klasifikasi kesehatan buruk luas areanya 3.949.560 Ha. Pada klasifikasi kesehatan normal luas areanya 14.877.315 Ha. Sedangkan pada klasifikasi kesehatan baik luas areanya 9.846.833 Ha dan pada klasifikasi kesehatan sangat baik luas areanya 8.922.892.
PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT) Sari, Ana Rizka; Handayani , Hepi Hapsari; Agustan, Agustan
GEOID Vol. 10 No. 1 (2014)
Publisher : Departemen Teknik Geomatika ITS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/geoid.v10i1.1431

Abstract

InSAR merupakan alat yang kuat untuk pengukuran deformasi di permukaan tanah dengan ketelitian sub-sentimeter. InSAR menggabungkan dua buah citra SAR untuk menghasilkan citra interferogram. Citra interferogram inilah yang digunakan untuk melakukan pemantauan pergerakan tanah. Mentawai adalah salah satu wilayah di Indonesia yang terletak di cincin api dunia. Berdasarkan struktur tektonik, gempa Mentawai yang terjadi pada tanggal 25 Oktober 2010 terjadi sebagai akibat dari lempeng Indo-Australia bergerak ke arah utara-timur laut dengan lempeng Sunda dengan kecepatan 57-69 mm / tahun. Penelitian deformasi di daerah rawan gempa menggunakan sepasang ALOS PALSAR pada tanggal 29 September 2010 dan 14 November 2010. Sebagai model elevasi eksternal digunakan DEM SRTM3 90 m. Metode yang digunakan adalah two-pass differential interferometry synthetic aperture radar (DInSAR). Hasil pengolahan metode DInSAR menunjukkan pergeseran antara -20 cm sampai 20 cm. Berdasarkan hasil pengolahan SAR untuk mengetahui akurasi deformasi dilakukan validasi dengan data GPS kontinyu SuGAr (SuGAr Network). SuGAr Network adalah jaringan stasiun GPS di sepanjang batas lempeng Sumatera. SuGAr Network yang digunakan untuk validasi data SAR adalah stasiun MKMK, BSAT, PRKB dan BSAT. Pergeseran di setiap stasiun GPS menuju zona subduksi trench Sumatera dengan nilai pergeseran yang relatif besar, yaitu 7,268 cm, 4,352 cm dan 5,576 cm di stasiun pengamatan GPS BSAT, PRKB dan SLBU. Hasil metode DInSAR dengan data GPS kontinyu SuGAr memiliki residu rata-rata 0,947 cm. Berdasarkan hasil pengolahan data GPS, dapat disimpulkan terjadi penurunan tanah di setiap stasiun GPS dengan arah pergerakan ke barat daya.
STUDI FOTOGRAMETRI JARAK DEKAT DALAM PEMODELAN 3D DAN ANALISIS VOLUME OBJEK Mulia , Defry; Handayani , Hepi Hapsari
GEOID Vol. 10 No. 1 (2014)
Publisher : Departemen Teknik Geomatika ITS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/geoid.v10i1.1432

Abstract

Fotogrametri adalah sebuah proses untuk memperoleh informasi metris mengenai sebuah objek melalui pengukuran yang dibuat pada hasil foto baik dari udara maupun dari permukaan tanah. Interpretasi foto didefinisikan sebagai ekstraksi dari informasi kualitatif mengenai foto udara dari sebuah objek oleh analisis visual manusia dan evaluasi fotografi (Edward dan James 2004). Dalam disiplin ilmu fotogrametri dipelajari berbagai metode untuk mengklasifikasikan dan menginterpretasi foto udara dengan berbagai metode. Pengolahan data dilakukan dengan pengambilan gambar objek menggunakan kamera non metric, pengukuran menggunakan Electronic Total Station (ETS) dan roll meter yang kemudian dilakukan kalibrasi kamera menggunakan Sotware Photomodeler Scanner untuk mendapatkan parameter internal kamera. Kemudian melakukukan penandaan titik pada foto sampai akhirnya pembentukan objek 3 dimensi dan volume objek. Selanjutnya melakukan perbandingan dengan hasil pengolahan data thacymetri. Hasil penetilian ini menunjukkan bahwa data foto pada fotogrametri jarak dekat belum bisa dijadikan acuan dalam proses pembentukan 3 dimensi maupun perhitungan volumenya. Perkiraan volume pada objek lemari menggunakan metode fotogrametri jarak dekat adalah 0,903 m3 dan dengan menggunakan rol meter adalah 0,192 m3. Sementata itu, volume objek gundukan berumput menggunakan metode thacymetri adalah 162,164987 m3 dan luas adalah 30 m2.
ORTOREKTIFIKASI FOTO FORMAT KECIL UNTUK PERHITUNGAN DEFORMASI JEMBATAN (Studi Kasus : Jembatan Suramadu, Surabaya - Madura) Handayani , Hepi Hapsari; Qoyimah, Shofiyatul
GEOID Vol. 11 No. 1 (2015)
Publisher : Departemen Teknik Geomatika ITS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/geoid.v11i1.1479

Abstract

Jembatan Suramadu merupakan jembatan terpanjang di Indonesia yang melintasi Selat Madura untuk menghubungkan Pulau Jawa (di Kota Surabaya) dan Pulau Madura (di Bangkalan), Indonesia. Pengamatan deformasi dilakukan untuk memberikan informasi geometrik dari benda terdeformasi. Fotogrametri jarak dekat digunakan untuk pengamatan deformasi karena kelebihannya dalam hal efisiensi biaya serta ukuran dan jangkauan objek yang diamati. Proses kalibrasi kamera dan ortorektifikasi (pembuatan foto tegak) dilakukan untuk mereduksi pergeseran film akibat ketidakstabilan parameter orientas pada kamera dijital non metrik format kecil. Hasil dari proses ortorektifikasi berupa mosaik ortofoto dengan sistem koordinat 2 dimensi dan DEM. Pengamatan deformasi menggunakan proses ortorektifikasi sisi Gresik jembatan Suramadu pada tanggal 19 Maret 2015 dan 7 Mei 2015 menunjukkan bahwa di bentang 1 (antara Abutment Surabaya dan pilar 1, deformasi pada sumbu XY berkisar antara 1 – 16 mm dan pada sumbu Z berkisar antara 0 – 35 mm. Dan di bentang 100 (antara pilar 99 dan 100), deformasi pada sumbu XY berkisar antara 11 – 55 mm dan pada sumbu Z berkisar antara 6 – 37 mm. Uji validasi koordinat mosaik ortofoto terhadap koordinat pengukuran terestris menunjukkan bahwa koordinat mosaik ortofoto di arah Surabaya tidak memiliki nilai yang signifikan sedangkan di arah Madura memiliki nilai yang signifikan terhadap koordinat hasil pengukuran terestris. Terdapat beberapa saran untuk penelitian berikutnya. Pertama, melakukan pengamatan lebih dari 2 kala. Kedua, menggunakan GCP yang memiliki tanda silang. Ketiga, melakukan proses kalibrasi bundle adjustment self calibration dengan menggunakan titik kontrol pada jembatan dan keempat adalah melakukan percobaan lebih dari 1 kali dalam proses ortorektifikasi.
Pemanfaatan Data LiDAR dan Foto Udara untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi (Studi Kasus: Wilayah Surabaya Barat) Firdaus , Zenda Mergita; Handayani , Hepi Hapsari; Hidayat , Husnul
GEOID Vol. 16 No. 1 (2020)
Publisher : Departemen Teknik Geomatika ITS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/geoid.v16i1.1671

Abstract

Kebutuhan informasi geospasial tiga dimensi (3D) untuk wilayah kota sangatlah penting mengingat kota sebagai pusat kegiatan dengan jumlah bangunan dan infrastruktur yang banyak dan memiliki karakteristik data geospasial yang multi obyek, multi struktur dan bermacam jenis (heterogenitas). Informasi visualisasi data geospasial 3D dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan terkait dengan keberlangsungan perencanaan, pembangunan dan operasional infrastruktur di wilayah kota. Dalam membuat 3D city model tentu diperlukan data-data yang mendukung seperti data ketinggian, footprint bangunan, titik vegetasi, dan jaringan jalan. Data tersebut dapat diperoleh dari LiDAR (Light Detection and Ranging) dan foto udara. LiDAR digunakan untuk informasi ketinggian dan foto udara digunakan untuk memodelkan atap. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk membuat kota tiga dimensi adalah metode semi-automatis. Metode ini memodelkan seluruh kota menggunakan sistem yang dapat menumbuhkan jaringan. Jaringan dapat diatur dalam beberapa menit dengan proses otomatisasi tetapi jika pengguna ingin diubah, dapat dilakukan secara manual. Hasil yang didapatkan adalah didapatkan lima tipe atap pada lokasi penelitian, yaitu pelana (gable), limas (hip), datar (flat), kubah (dome), dan mansard. Tipe atap yang dominan adalah tipe datar, pelana, dan limas. Sedangkan tipe kubah dan mansard hanya sebagai pelengkap. Jika ditinjau dari tingkat kesulitannya, gedung tinggi jenis apartemen adalah tipe bangunan yang sulit untuk dimodelkan. Kemudian perumahan dan yang paling mudah dimodelkan adalah permukiman. Tingkat kesulitan diukur berdasarkan kompleksitas atap masing-masing bangunan. Kesalahan yang terjadi dalam pemodelan berasal dari kurang atau lebihnya segmentasi atap. Hal ini bisa diatasi dengan mengulang segmentasi atap menggunakan foto udara. Ketelitian geometri keliling yang dihasilkan sebesar 0,92 m dari toleransi sebesar 2 m. Ketelitian luas yang dihasilkan sebesar 0,34% kesalahan luas dari toleransi 2%. Sedangkan ketelitian level of detail (LOD) level 2 sebesar 86,07% dari toleransi 85%. Hal ini menunjukkan bahwa model yang dihasilkan dapat diterima.The need for three-dimensional geospatial information (3D) for urban areas is very important considering the city as a center of activity with a large number of buildings and infrastructure and has the characteristics of multi-object geospatial data, multi-structure and various types (heterogeneity). 3D geospatial data visualization information can be used as a basis for decision making related to the sustainability of planning, construction, and operational infrastructure in urban areas. To establish a 3D city model, supporting data such as elevation, building footprint, vegetation point, and road network are needed. The data can be obtained from LiDAR (Light Detection and Ranging) and aerial photography. LiDAR is used for height information and aerial photography is used to model the roof. One method that can be applied to create three-dimensional cities is the semi-automatic method. This method models the entire city using a system to grow the network. The network can be set up in minutes with the automation process but if the user wants to modify, it can be done manually. The results obtain five types of roofs at the study site, namely the gable, hip, flat, dome, and mansard. The dominant roof types are flat, gable, and hip types. While the type of dome and mansard is only as a supplement. Regarding the level of difficulty, a high-rise apartment is a type of building that is difficult to model. The next difficulty of roof modelling is housing then settlement. The difficulty level is determined based on the complexity of the roof of each building. Errors occuring in modeling come from less or more roof segmentation. This can be overcome by repeating the segmentation of the roof using aerial photographs. The accuracy of the geometry accuracy of circumference is 0.92 m from 2 m. The error of area geometry is about 0.34%, with error tolerance of 2%. While the accuracy of the level of detail (LOD) 2 is 86.07%, with a tolerance of 85%. This reveals that the model provided by this study can be accepted.