Perlindungan hukum bagi dokter dalam praktik medis diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang berfokus pada pengaturan berbagai aspek dalam dunia medis, termasuk hak dan kewajiban dokter, serta hubungan dokter dengan pasien. Fokus utama penelitian ini adalah untuk menyoroti berbagai tantangan dan dilema yang dihadapi oleh para dokter dalam menjalankan profesinya, terutama dalam menghadapi masalah diskriminasi, potensi proses hukum, dan interaksi yang kompleks antara dokter dan pasien. Salah satu aspek yang sangat krusial adalah terhadap Pasal 189 Undang-Undang Kesehatan, yang mengatur pentingnya komunikasi yang efektif antara rumah sakit dan pasien. Pasal ini menekankan bahwa dokter dan institusi kesehatan memiliki kewajiban untuk membangun komunikasi yang transparan, jelas, dan berorientasi pada kepentingan pasien. Dalam konteks ini, komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan pasien menjadi faktor kunci untuk mengurangi potensi kesalahpahaman yang dapat menimbulkan masalah hukum. Ketidakjelasan dalam komunikasi sering kali menjadi salah satu penyebab terjadinya perselisihan antara dokter dan pasien, yang pada akhirnya dapat mengarah pada tuntutan hukum. Selain itu, model layanan kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang ini juga mengedepankan tanggung jawab bersama antara penyedia layanan kesehatan (dokter dan rumah sakit) dan pasien. Pasal 310 menggarisbawahi bahwa pasien juga memiliki kewajiban untuk aktif berpartisipasi dalam proses pengobatan mereka, yaitu dengan memberikan informasi yang diperlukan dan mengikuti instruksi medis dengan baik. Tanggung jawab bersama ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan layanan kesehatan yang lebih optimal, di mana dokter dan pasien saling mendukung satu sama lain dalam mencapai hasil pengobatan yang terbaik. Peningkatan kualitas komunikasi antara dokter dan pasien sangat penting untuk membangun kepercayaan yang lebih baik, menghindari kesalahpahaman, dan mencegah potensi masalah hukum yang mungkin timbul di kemudian hari.