Pembangunan sektor pariwisata di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, sebagai salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) super prioritas, membawa dampak yang tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial dan kultural. Alih-alih menjadi jalan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, proses pembangunan ini justru memunculkan berbagai persoalan sosial, seperti konflik agraria, penggusuran paksa, kriminalisasi warga, serta terjadinya eksklusi sosial dan ekonomi. Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam distribusi manfaat dan risiko pembangunan yang lebih berpihak pada kepentingan negara dan modal besar dibandingkan pada hak-hak masyarakat lokal. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis dinamika tersebut dengan menggunakan pendekatan kriminologi kritis dan struktural. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkap bentuk-bentuk kejahatan struktural yang seringkali tersembunyi dalam kebijakan pembangunan dan tidak terjangkau oleh instrumen hukum formal. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo mencerminkan proses marginalisasi sistematis terhadap masyarakat lokal melalui berbagai mekanisme kekuasaan dan regulasi yang tidak adil. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan alternatif berbasis keadilan restoratif dan pembangunan partisipatif yang menempatkan komunitas lokal sebagai subjek utama dalam pengelolaan pariwisata. Dengan demikian, pembangunan pariwisata dapat diarahkan menjadi lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat