This study examines the legal implications of price disparities between cash and credit purchases and evaluates the extent of consumer protection within Indonesia’s regulatory framework. Using a normative juridical method with a statute and conceptual approach, this research analyzes laws, doctrinal sources, and secondary literature related to consumer protection and credit agreements. The findings show that price differences between cash and credit transactions are not explicitly prohibited by Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection; however, the absence of clear norms on price transparency enables business actors to impose subjective and unequal price margins. Consumers often receive insufficient information regarding interest components, administrative fees, and risks embedded in credit schemes, while standard-form contracts further weaken their bargaining position. The study reveals a gap between normative protection and factual practices, in which institutional limitations of BPSK and the absence of preventive oversight by OJK contribute to legal uncertainty. The novelty of this research lies in proposing regulatory reform through explicit transparency obligations, expansion of OJK’s preventive supervisory role, and strengthening BPSK’s authority to impose administrative sanctions. These reforms are essential to ensure fairness, transparency, and legal certainty in credit-based sales transactions. Penelitian ini menganalisis implikasi yuridis terhadap perbedaan harga antara pembelian tunai dan kredit serta mengevaluasi tingkat perlindungan konsumen dalam kerangka regulasi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual melalui telaah peraturan, doktrin, serta literatur yang relevan mengenai perlindungan konsumen dan perjanjian kredit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan harga tunai dan kredit tidak secara tegas dilarang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; namun, ketiadaan norma eksplisit mengenai kewajiban transparansi harga membuka ruang bagi pelaku usaha untuk menerapkan selisih harga secara subjektif dan tidak merata. Konsumen umumnya tidak menerima informasi yang memadai mengenai bunga, biaya tambahan, maupun risiko kredit, sementara penggunaan kontrak baku semakin melemahkan posisi tawar mereka. Penelitian ini mengungkap adanya kesenjangan antara perlindungan normatif dan praktik faktual, diperparah oleh keterbatasan kewenangan BPSK dan belum optimalnya fungsi pengawasan preventif oleh OJK. Kebaruan penelitian ini terletak pada tawaran pembaharuan regulasi melalui kewajiban transparansi harga yang lebih tegas, perluasan fungsi pengawasan preventif OJK, serta penguatan kewenangan BPSK untuk menjatuhkan sanksi administratif. Reformasi ini penting untuk mewujudkan keadilan, transparansi, dan kepastian hukum dalam transaksi jual beli barang secara kredit.