Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Kepastian Hukum Pengikatan Jaminan Kredit Atas Objek Tanah Yang Belum Beralih Kepemilikan Kepada Debitor Dalam Praktik Perbankan di Indonesia Echa Cristi; Hamzah; Sepriyadi Adhan S
Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial, Hukum & Politik Vol 3 No 5 (2025): 2025
Publisher : Yayasan pendidikan dzurriyatul Quran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61104/alz.v3i5.2493

Abstract

Penelitian ini mengkaji kepastian hukum pengikatan jaminan kredit atas objek tanah yang belum beralih kepemilikan secara sah kepada debitor dalam praktik perbankan di Indonesia. Permasalahan muncul ketika bank menerima tanah sebagai agunan sementara sertipikat kepemilikan masih tercatat atas nama pihak ketiga dan sedang dalam proses balik nama di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Praktik tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena Hak Tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 hanya dapat dibebankan pada tanah yang secara sah dimiliki oleh debitor. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yuridis dan pendekatan deskriptif, penelitian ini menganalisis peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, serta yurisprudensi yang berkaitan dengan hukum pertanahan, hukum jaminan kebendaan, dan prinsip kehati-hatian perbankan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengikatan jaminan atas tanah yang belum beralih kepemilikannya melanggar asas kepastian hukum (legal certainty principle), asas spesialitas (specialiteit), dan asas publisitas (publisiteit), sehingga hak tanggungan yang lahir menjadi tidak sempurna dan mengakibatkan kreditor kehilangan hak preferensi. Akibatnya, kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren tanpa hak didahulukan dalam hal wanprestasi atau kepailitan debitor. Praktik tersebut juga bertentangan dengan prinsip kehati-hatian perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perbankan, yang berimplikasi pada timbulnya risiko hukum dan keuangan bagi bank. Untuk memitigasi risiko tersebut, bank umumnya menggunakan instrumen sementara seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan mekanisme escrow account, meskipun keduanya tidak dapat menggantikan keabsahan formil Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
Implikasi Hukum Akibat Ketidakhadiran Salah Satu Pihak Dalam Proses Mediasi di Pengadilan Terhadap Prinsip Itikad Baik dan Efektivitas Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Echa Cristi; Hamzah; Rohaini
Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial, Hukum & Politik Vol 3 No 6 (2025): 2025
Publisher : Yayasan pendidikan dzurriyatul Quran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61104/alz.v3i6.2719

Abstract

Tulisan ini mengkaji konsekuensi hukum akibat ketidakhadiran salah satu pihak dalam proses mediasi di pengadilan terhadap prinsip itikad baik dan efektivitas penyelesaian sengketa. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 menetapkan bahwa mediasi wajib ditempuh dalam setiap perkara perdata, dengan kehadiran para pihak sebagai prasyarat pokok. Penelitian yuridis normative ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan studi putusan untuk menganalisis norma hukum, asas itikad baik, dan praktik mediasi di pengadilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika salah satu pihak tidak hadir tanpa alasan sah setelah dipanggil secara patut, mediasi dinyatakan tidak dapat dilaksanakan. Dalam situasi tersebut, hakim dapat menilai pihak yang absen tidak beritikad baik, sehingga gugatan dapat dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk) atau bahkan dijatuhi putusan verstek terhadap pihak tergugat yang absen. Sebaliknya, jika ketidakhadiran disertai alasan sah (misalnya sakit atau tugas dinas yang dibuktikan secara resmi), umumnya hakim mengizinkan mediasi dijadwal ulang agar penyelesaian damai tetap dapat ditempuh. Ketiadaan satu pihak secara signifikan melemahkan efektivitas mediasi. Mediasi efektif memerlukan dialog dan negosiasi antar semua pihak, tanpa kehadiran salah satu pihak, proses damai praktis terhenti dan sengketa beralih kembali ke litigasi penuh. Dampak ini tidak hanya menambah beban peradilan, tetapi juga melanggar asas kesetaraan kedudukan pihak dan prinsip itikad baik, karena pihak yang hadir kehilangan kesempatan menyelesaikan sengketa secara damai. Penelitian ini merekomendasikan kebijakan yang lebih tegas, seperti pedoman Mahkamah Agung tentang kriteria alasan sah ketidakhadiran, sistem pemanggilan elektronik yang terdokumentasi, serta sanksi proporsional yang memperhatikan asas keadilan. Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat memperkuat komitmen para pihak untuk hadir dalam mediasi dan menjaga esensi itikad baik dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.