Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

PENDAMPINGAN IDENTIFIKASI PUSAKA BUDAYA DESA BALI AGA BELANDINGAN KINTAMANI BANGLI Ni G.A. Diah Ambarwati Kardinal; I Gusti Ayu Ketut Artatik; I Putu Sarjana
JURNAL SEWAKA BHAKTI Vol 3 No 2 (2019): Sewaka Bhakti
Publisher : UNHI Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (780.257 KB) | DOI: 10.32795/jsb.v3i1.519

Abstract

Belandingan is the village of Bali Aga mountain type located in Kintamani District, Bangli Regency, Bali. The location of Belandingan Village itself is quite secluded compared to other villages around Batur. Mount Batur was named the world geopark by UNESCO on 22 September 2013. Belandingan Village is included in 15 Batur Geopark Supporting villages. Although it has become a Supporting Village of Batur Geopark, there is not tourism planning done by the government. Research on the Village of Blandingan itself is difficult to find. The distinctive cultural richness of the Bali Aga Village has the potential for the development of a heritage Tourism Village. The character of Belandingan Village community that is friendly and open to outsiders is also a potential in promoting the tourism of the village. Existing traditions are still in verbal version. The community has not been moved to document their culture. The people themselves when invited to discuss are less aware of the cultural uniqueness they have. For this reason, assistance was provided to the community in this case the religious leaders in the village of Belandingan and Sekaa Teruna Teruni Mandala Cipta Belandingan Village to identify village heritage. It is hoped that the results of this identification will become written data and become material in promoting the field of tourism as a Bali Aga tourist village.
Pada Gelahang Marriage: A Legal Pluralism Perspective I Putu Sastra Wibawa; I Putu Gelgel; I Putu Sarjana
International Journal of Interreligious and Intercultural Studies Vol 2 No 1 (2019): Interreligious and Intercultural Studies
Publisher : UNHI PRESS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (564.642 KB) | DOI: 10.32795/ijiis.vol2.iss1.2019.312

Abstract

Presently, pada gelahang marriages are still controversial within Balinese society in terms of their implementation and the implications. A certain percentage of Balinese approve of pada gelahang marriages, while a certain percentage of people disagree for various reasons. These pros and cons are not tolerated. In fact, the phenomenon of pada gelahang marriages is often confounding to the Hindu community in Bali. Hence, solutions are required. While pada gelahang marriages can be found in many districts and regions in Bali, however, many doubts and problems still arise in their philosophical and juridical foundations. Therefore, research on pada gelahang marriages from the perspective of legal pluralism needs to be done. This research is a qualitative research with a legal sociology approach. Primary data is derived from field data from observations and from the results of interviews of related parties, while secondary data is obtained from literature books using the theory of legal pluralism as a guiding theory in the discussion of research. The results of the study indicate that the pada gelahang marriage has a philosophical foundation, juridical foundation and sociological basis for the creation of values of justice, legal certainty and the benefit of law in the framework of legal pluralism that provides a way to meet Hindu religious law, traditional village customary law and state law to set pada gelahang marriages
The Dynamics of Tri Hita Karana Implementation in The Balinese Hindu Residence in South Denpasar I Putu Sarjana; I Putu Gelgel; I Wayan Budi Utama
International Journal of Interreligious and Intercultural Studies Vol 3 No 2 (2020): Interreligious and Intercultural Studies
Publisher : UNHI PRESS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32795/ijiis.vol3.iss2.2020.1091

Abstract

This article aims to analyze the dynamicity of Tri Hita Karana implementation in South Denpasar regarding the causing factors, the dynamic forms, as well the implication on the Hindus community life. This research was conducted using qualitative methods. The data were collected through document study, observation, and in-depth interviews with 25 informants. The collected data were analyzed by the theories of hegemony, social change, socio-cultural system critical, and adaptation. The results showed: First, the factors causing the dynamicity of Tri Hita Karana in the residential area of Hindus are urban modernization, population growth, spatial planning policies and settlement development, and rationalization in building construction. Second, the dynamics of Tri Hita Karana in these residentials are: (a) In the palemahan area, land conversion has displaced the subak and Ulun Suwi temple, violation of the principles of Balinese Traditional Architecture (ATB), displacing the existence of the open space; b) The pawongan area is characterized by increasingly heterogeneous, multi-ethnic and multi-cultural citizens.; (c) In the parahyangan area where the building layout was not reconstructed, the holy place Merajan was built on the upper floor of the residence. Third, the implications of the dynamics of Tri Hita Karana in the residential area of Hindus in the South Denpasar, include: (a) The palemahan area implies the use of land space based on the principles of effective, efficient, and economical, but the concept of ulu teben and kaja-kangin as the Balinese sacred orientations is still maintained; (b) The pawongan area is characterized by the behavior of city dwellers looking for Social space and spiritual recreation; (c) The Parahyangan area is characterized by praying activities at Merajan and Padmasana on the upper floor of the residence. To enforce the Tri Hita Karana, the misuse (disorientation) of spatial planning needs to be anticipated.
ASRAMA DHARMA DALAM SANTI PARWA Ida Bagus Kade Candera Widia Adnyana; I Putu Sarjana
VIDYA WERTTA : Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia Vol 1 No 1 (2018): Vidya Wertta, Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia
Publisher : FAKULTAS ILMU AGAMA DAN KEBUDAYAAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (325.946 KB) | DOI: 10.32795/vw.v1i1.175

Abstract

Teks-teks Itihasa saat ini sedang digandrungi masyarakat, khususnya umat Hindu di Bali. Teks tersebut mengisyaratkan ajaran-ajaran luhur Hindu yang sangat relevan dengan situasi moral zaman saat ini. Ajaran Itihasa ini dikenal tersirat dalam dua epos besar yakni Ramayana dan Mahabrata. Epos Mahabrata ini dipecah menjadi delapan belas Parwa yang lantas dikenal dengan Asta Dasa Parwa. Dalam teks-teks Parwa ini sangat banyak tersirat pesan dan isyarat moral Hindu ketika menjalani hidup di dunia. Salah satunya tentu adalah Santi Parwa. Dalam Santi Parwa termuat sebuah perdebatan sengit antara putra Pandu perihal ajaran etik kehidupan Hindu yang dikenal dengan asrama dharma. Di situ juga dijelaskan bahwa Hindu juga memberi legitimasi moral bagi umatnya untuk mencari harta dalam kehidupan di dunia dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip dharma.
UPACARA NGUSABHA SATUH DI PURA DALEM BANJAR PAKEL DESA GEGELANG I Putu Sarjana
VIDYA WERTTA : Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia Vol 1 No 2 (2018): Vidya Wertta, Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia
Publisher : FAKULTAS ILMU AGAMA DAN KEBUDAYAAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (208.274 KB) | DOI: 10.32795/vw.v1i2.193

Abstract

Tulisan ini mengkaji tentang Ngusabha Satuh di Pura Pura Dalem Banjar Pakel Desa Gegelang Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem antara lain; daksina, peras, soda, banten pengambian, prayascita, byakawonan, penyeneng dan caru ayam berumbun. Materi utama dari upacara Ngusabha Satuh tersebut adalah satuh dan Emping. Upacara Ngusabha Satuh yang dilaksanakan di Pura Dalem Banjar Pakel mempunyai makna religius magis, makna kesucian dan makna pendidikan (pendidikan tattwa, pendidikan etika dan pendidikan upacara). Makna religius magis upacara Ngusabha Satuh sebagai suatu sradha/keyakinan bahwa upacara ini memiliki makna dan tujuan untuk memohon kesehatan atau keselamatan agar tidak diserang wabah penyakit (Gering) diwujudkan melalui upakara (banten). Kesucian jasmani dan rohani, sekala dan niskala yang diutamakan dalam upacara ini merupakan makna kesucian yang terkandung dalam upacara Ngusabha Satuh ini. Sebagai rasa angayu bagia kehadapan Ida Sang Hyang Widhi beserta Ista Dewatanya. Sebagai Sradha Bhakti atas anugrah yang dilimpahkan kepada manusia.
PERANAN PURA DALAM MENINGKATKAN PENDIDIKAN MORAL DAN KETRAMPILAN I Putu Sarjana
VIDYA WERTTA : Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Vidya Wertta, Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia
Publisher : FAKULTAS ILMU AGAMA DAN KEBUDAYAAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (728.385 KB) | DOI: 10.32795/vw.v2i1.320

Abstract

Pura merupakan salah satu tempat yang bisa dijadikan ajang pendidikan moral. Hal ini disebabkan karena pada kegiatan keagamaan di Pura, orang dituntut taat pada ajaran kebaikan sesuai dengan ajaran Agama Hindu yang disebut dengan Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudha artinya tiga perbuatan yang baik, yaitu pikiran, perkataan dan perbuatan. Untuk mewujudkan bentuk pembinaan moral maka dalam prakteknya perlaksanaan pembinaan moral dihayati dalam Bentuk-bentuk rasa bhakti yang terjadi di Pura adalah : (1) rasa bakti dalam bentuk pengorbanan, (2) rasa bhakti dalam wujud menggambarkan Tuhan (simbolisme) , dan (3) rasa bakti dalam bentuk menghasilkan karya seni dalam wujud simbol-simbol tuhan (pratima).
PENGLUKATAN PANCORAN SOLAS PURA TAMAN MUMBUL DI DESA SANGEH KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG I Putu Sarjana; Ni Nyoman Raka Astrini; I Gusti Ayu Juniari
VIDYA WERTTA : Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia Vol 4 No 2 (2021): Vidya Wertta: Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia
Publisher : FAKULTAS ILMU AGAMA DAN KEBUDAYAAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Artikel ini membahas perihal keberadaan Pancoran Solas di Pura Taman Mumbul dari kacamata teologis, terapis dan sosiologis. Pengumpulan data lapangan melalui observasi, wawancara dan studi dokumen. Analisanya dilakukan secara deskriptif. Berdasarkan analisa data lapangan didapatkan hasil yakni secara teologis penglukatan Pancoran Solas Taman Mumbul di Sangeh ini memiliki sebelas buah pancuran yang mana setiap pancuran sebagai simbol dari kekuatan Tuhan, yaitu simbol dari kekuatan Dewata Nawasanga yang menjaga sembilan penjuru mata angin. Secara terapis, penglukatan Pancoran Solas diyakini dapat meningkatkan vibrasi spiritual dan menetralisir kekuatan-kekuatan negatif di dalam tubuh manusia. Tempat wisata religi ini dikelola oleh Desa Adat Sangeh.
JANA KERTIH: MEMBANGUN MANUSIA HINDU YANG BERKARAKTER MULIA I Putu Sarjana; I Gusti Agung Paramita
Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Vol. 23 No. 1 (2023): Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
Publisher : Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32795/ds.v23i1.4087

Abstract

Artikel ini berupaya mengangkat topik Jana Kertih yang merupakan salah satu bagian dari ajaran Sad Kertih. Pembahasan perihal Jana Kertih difokuskan pada aspek filosofis atau tattwa dan susila yang berhubungan dengan kemuliaan manusia. Jana Kertih diartikan sebagai perilaku mulia dalam upaya membangun kualitas sumber daya manusia menuju manusia berkualitas suputra sadhu gunawan. Perilaku yang mulia ini akan terwujud apabila manusia mengetahui hakikat dan tujuan hidup sebagai manusia sesuai ajaran agama Hindu, dan memahami nilai-nilai etis, estetis dan religius yang tertuang dalam teks-teks sastra. Perilaku mulia ini dibangun melalui pendekatan secara sakala (empiris) dan niskala (non empiris). Secara sakala perilaku mulia dibangun dengan cara internalisasi ajaran-ajaran Tattwa (Ketuhanan) dan Tata Susila (moralitas) melalui pelaksanaan pendidikan (asrama), sementara secara niskala (rohani) perilaku mulia dibangun melalui pelaksanaan upacara yadnya khususnya manusa yadnya.