Kasus pelantikan seorang tersangka korupsi sebagai kepala desa di Bengkulu menimbulkan polemik hukum dalam sistem pidana khusus di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana status hukum tersangka tindak pidana korupsi (X) memengaruhi implikasi hukum terhadap jabatan publik (Y), serta mengapa terdapat celah hukum yang memungkinkan pelantikan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif-empiris, dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, dan teori hukum pidana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Desa tidak memiliki ketentuan eksplisit yang melarang tersangka korupsi untuk tetap dilantik sebagai kepala desa. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang mengatur larangan bagi calon kepala daerah yang berstatus tersangka dalam kasus pidana berat. Celah hukum ini diperparah dengan penerapan asas praduga tak bersalah, yang sering digunakan sebagai pembenaran untuk tetap melantik tersangka. Dalam konteks pidana khusus, prinsip ini seharusnya diimbangi dengan asas kepentingan umum dan pencegahan korupsi dalam pemerintahan. Oleh karena itu, diperlukan revisi terhadap Undang-Undang Desa agar lebih sinkron dengan hukum pidana khusus dalam mencegah pejabat publik dengan status tersangka korupsi untuk menjabat.
Copyrights © 2025