cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
JURNAL HUKUM UNSRAT
ISSN : 14102358     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 35 Documents
KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN Kumendong, Wempi Jh.
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 23, No 9 (2017): JURNAL HUKUM UNSRAT
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pengertian delik aduan sebagai delik yang hanya dapat dituntut bila ada pengaduan, sejalan dengan pembaharuan hukum dalam bidang hukum pidana formal ialah dengan digantikannya H.I.R. oleh KUHAP berdasarkan undang-undang No. 8 tahun 1981, penuntutan dalam hubungan dengan delik aduan diperhadapkan dengan ketentuan dalam KUHAP yang membedakan secara tegas fungsi dan penanggung jawab dalam penyidikan dengan fungsi dan penanggung jawab dalam penuntutan, yang dahulunya menurut H.I.R merupakan satuan-kesatuan dan berada dalam tanggung jawab satu pejabat.
EKSISTENSI “AFDOENING BUITEN PROCESS” DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA Rumokoy, Nike K.
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 23, No 8 (2017): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Berdasarkan kewenangan Jika melihat dari sejarahnya, upaya alternative penyelesaian perkara pidana ini sudah jauh diberlakukan sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada masa kolonial Belanda. Proses yang dilakukan dikenal dengan Afdoening Buiten Process (Penyelesaian perkara di luar pengadilan). Adapun bentuk untuk menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan sekarang yang berlaku adalah seponeren yaitu penyampingan perkara demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung, diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana pada Undang-undang system peradilan pidana anak, pasal 82 KUHP serta didalam ketentuan RKUHP dan RKUHAP. Adapun Pasal 109 ayat (2) dan (3) KUHP dan Pasal 140 ayat (2) KUHP tidak penulis anggap sebagai suatu penyelesaian diluar pengadilan, dikarenakan sifat penghentiannya ad hoc, yang sewaktu-waktu bisa dilakukan pemeriksaan didalam sidang pengadilan. Pasal 35 huruf (c) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan “Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”.
MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEDEN DALAM PERKEMBANGAN HUKUM KONTRAK Paparang, Fatmah
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 22, No 6 (2016): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sejatinya, kebebasan berkontrak berpangkal pada kedudukan kedua belah pihak yang sama kuatnya, memiliki posisi tawar (bargaining position) yang sama, sehingga masing-masing pihak berkedudukan sebagai mitra kontrak. Kenyataannya tidaklah begitu, dalam pembuatan kontrak masing-masing pihak, terutama pihak yang berada dalam posisi ekonomis kuat berusaha untuk merebut dominasi atas pihak lainnya dan saling berhadapan sebagai lawan kontrak. Pihak yang posisinya lebih kuat dapat memaksakan keinginannya terhadap pihak lain demi keuntungannya sendiri, sehingga melahirkan isi dan syarat kontrak yang berat sebelah atau tidak adil. Padahal, keadilan dalam berkontrak lebih termanifestasikan apabila pertukaran kepentingan para pihak terdistribusi sesuai dengan hak dan kewajibannya secara proporsional. Karena itu, harus selalu diingat, bahwa penyusunan kontrak senantiasa bertolak dari sikap win-win attitude, yaitu suatu sikap yang dilandasi oleh itikad, bahwa kontrak itu sedapat mungkin akan menguntungkan secara timbal balik. Itulah sebabnya, pangkal tolak dari setiap kontrak sebenarnya adalah itiked baik, sekalipun dalam penyusunannya boleh saja melibatkan taktik dan strategi.2Dalam perkembangannya, penerapan kebebasan berkontrak mengalami pembatasan-pembatasan, terutama terhadap akibat negative yang ditimbulkan yaitu ketidakadilan dalam berkontrak.Dengan otoritas yang dimilikinya, Negara melalui peraturan perundang-undangan maupun oleh putusan pengadilan memberi pembatasan terhadap penerapan asas kebebasan berkontrak. Hukum kontrak berkembang menjadi lebih publik dengan mengubah nuansa kepentingan privat menjadi kepentingan masyarakat. Dapat dicermati menyusutnya elemen-elemen hukum privat dan sebaliknya bertambahnya elemen-elemen hukum public. Akibat nyata dari perkembangan ini adalah berkurangnya kebebasan individu.3 Namun seperti juga dikatakan oleh Friedman, kebebasan berkontrak masih dianggap aspek yang essensial dari kebebasan individu, tetapi tidak lagi mempunyai nilai absolut seperti satu abad lalu (Freedom of contract is still regarded as an essential aspect of individual freedom, but is has no longer the absolute value attributed to it a century a go).  KUHPerdata pasal 1321 menyebutkan 3 (tiga) alasan untuk pembatalan perjanjian yaitu :Kekhilafan/kesesatan (dwaling) yo pasal 1322 KUHPerdata.Paksaan (dwang), yo pasal 1323, 1324, 1325, 1326 dan 1327 KUHPerdata.Penipuan (bedrog) yo pasal 1328 KUHPerdata.
PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PERATURAN DAERAH Oleh : Michael Barama Barama, Michael
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 22, No 5 (2016): JURNAL HUKUM UNSRAT
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

-
PENERAPAN ASAS KEKHUSUSAN SISTEMATIS SEBAGAI LIMITASI ANTARA HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ADMINISTRASI Mewengkang, Marchelino Christian Nathaniel
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 23, No 10 (2017): JURNAL HUKUM UNSRAT
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kedudukan asas kekhususan sistematis (systematische specialiteit) saat ini hanya terdapat di dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bunyinya sebagai berikut: “Setiap orang yang melanggar ketentuan Undangundang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini”. Asas tersebut merupakan pengembangan dari asas lex specialis derogat legi generali yang terdapat pada Pasal 63 ayat (2) KUHP dimana diberlakukan penerapan Undang-Undang yang 'lebih khusus dari yang khusus” dalam proses penegakan hukum. Tidak adanya batasan yang jelas atas asas kekhususan sistematis telah menimbulkan grey area yang mengakibatkan perdebatan narasi antara hukum pidana korupsi dan hukum pidana administrasi karena adanya multi-interpretasi. Ketiadaan asas kekhususan sistematis di dalam produk administrative penal law di bidang perbankan mengakibatkan praktik tindak pidana di dalam perbankan diidentikan sebagai tindak pidana korupsi.Kata Kunci : Asas Kekhususan, hukum pidana dan Hukum pidana administrasi
KEDAULATAN DAN KEKUASAAN DALAM UUD 1945 DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA Rumokoy, Nike K.
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 23, No 9 (2017): JURNAL HUKUM UNSRAT
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kekuasaan dapat menentukan hukum. Sebab terdapat hubungan signifikan antara kekuasaan dan wajah hukum. Namun yang terjadi selama ini, hukum menjadi alat kekuasaan. Dari beberapa Orde pemerintahan yang pernah terjadi di Indonesia, selalu hukum dijadikan instrumen bagi penguasa. Moment yang terjadi pada tahun 1965, dan tahun 1998 belum juga merubah wajah hukum yang otoriter.Pembentukan hukum masih berorientasi pada kepentingan penguasa dari pada kepentingan rakyat yang dikenai aturan itu. Oleh sebab itu sudah saatnya pembentukan hukum, dirubah dari rakyat kepada wakil rakyat, kemudian penguasa yang menjalankan.
PRINSIP-PRINSIP EKSISTENSI GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT) DAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) DALAM ERA PASAR BEBAS Korah, Revy S. M.
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 22, No 7 (2016): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Untuk mengatur agar perdagangan internasional berjalan secara baik, lancar dan saling menguntungkan, maka masyarakat internasional telah membentuk instrumen hukum internasional dibidang perdagangan internasional. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan pembentukan The General Agreement on Tariffs and Trade pada tahun 1947 (GATT). GATT terbentuk pada tanggal 30 Oktober 1947 dan mulai berlakunya GATT pada tanggal 1 Januari 1948, pembentukan GATT dimaksudkan sebagai perjanjian subsider yang tunduk dan tergantung kepada organisasi perdagangan dunia. Pembentukan GATT ini sebagai persetujuan perdagangan pada umumnya dan penghapusan hambatan tariff, tariff secara timbal balik yang mencerminkan suatu persetujuan dagang global.Seperti yang telah disebut dimuka, GATT berlangsung sampai pada tahun 1994 saja, kemudian pada tahun 1994 digantikan oleh WTO. Lahirnya WTO tidak lepas dari upaya pembentukan International Trade Organization dan GATT. Usai Perang Dunia II masyarakat internasional menyadari untuk membahas dan mengatur masalah perdagangan serta ketenagakerjaan internasional. WTO lahir menggantikan GATT pada tanggal 1 Januari 1995 sebagai organisasi perdagangan dunia. Sekretariat GATT dijadikan sebagai sekretariat WTO, dan WTO sebagai orgaisasi internasional lebih memenuhi syarat sebagai organisasi internasional dan lebih luas dari pada GATT. WTO adalah organisasi internasional publik yang beranggotakan 153 negara (pada tahun 2008).Salah satu blok perdagangan bebas yang dibentuk adalah ASEAN Free Trade Area (yang selanjutnya disingkat AFTA). The Association of Southeast Asian Nations (yang selanjutnya disingkat ASEAN) didirikan oleh lima negara di Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura pada bulan bulan Agustus tahun 1967. Instrumen yang mendirikan ASEAN adalah Deklarasi Bangkok 1967 (The ASEAN Declaration atau Bangkok Declaration) yang ditandatangani pada tanggal 8 Agustus 1967. Pembentukan ASEAN ini antara lain ditujukan untuk mempererat kerjasama ekonomi antar negara anggota. Kerjasama ASEAN ini menghasilkan ASEAN Preferential Trading Arrangements (yang selanjutnya disingkat PTA), namun PTA ini gagal mendorong perdagangan intra- ASEAN, karena pembukaan akses pasar melalui penurunan tarif akan mengancam industri di dalam negeri, sekaligus untuk menjaga kondisi neraca perdagangan. Indonesia bersama-sama dengan negara-negara Association Of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang lainnya pada tahun 2015 akan membentuk ASEAN Economic Community (AEC)/Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).Komitmen untuk membentuk satu pasar di kawasan Asia Tenggara tersebut, tertuang di dalam satu wadah yaitu AEC, diwujudkan dengan pengadopsian AEC Blueprint/Cetakbiru MEA pada tanggal 20 November 2007 di Singapura. Komitmen atas manifestasi kawasan integrasi ekonomi ini akan bertentangan dengan komitmen-komitmen lainnya yang dideklarasikan sebelumnya terutama atas komitmen dengan World Trade Organization (WTO) yang tertuang dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
MENUJU EFEKTIVITAS UU NO. 45 TAHUN 2009 TENTANG PERIKANAN DALAM PELAKSANAANNYA Barama, Michael
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 22, No 6 (2016): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sebagai Negara kepulauan, Indonesia juga termasuk Negara maritim karena memiliki lautan yang luas. Sebagai Negara maritim bangsa kita tidak asing lagi dengan lautan dan sejak zaman dulu bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa pelaut, dengan lautan yang luas dapat dimanfaatkan lautan demi mencapai kemakmuran Negara.Kekayaan alam juga terdapat juga dilaut termasuk yang ada di dasar laut. Namun sayangnya kekayaan alam tersebut belum dapat di manfaatkan dan dikelolah secara maksimal. Seperti dikatakan oleh Susanto Zuhdi seorang guru besar fakultas ilmu budi daya, UI, bahwa Indonesia saat ini belum memakai potensi kelautan secara optimal, karena pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini masih berorientasi pada daratan dan belum memandang laut sebagai komponen utama. Oleh karena itu sampai saat ini bangsa Indonesia cenderung sebagai bangsa daratan, karena lebih mengenal daratan daripada lautan, di pulau Jawa yang terkenal pada penduduknya lebih banyak bekerja sebagai petani, buruh, pegawai negeri, pedagang, yang semuanya bekerja di darat.Demikian pula penduduk di luar pulau Jawa yang ada di pulau-pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mayoritas bekerja di darat, sehingga mereka tidak mengetahui keadaan lautan. Mereka masih belum paham bagaimana arah angin,bulan-bulan apa bisa menggunakan perahu layar untuk berlayar,kapan mulai musim ikan,dan sebagainya. Kebanyakan penduduk Indonesia yang memahami persoalan laut adalah mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil,karena mereka lebih banyak menggantungkan hidupnya dari bekerja di laut.Dengan melihat keadaan tersebut, tampak bahwa lautan merupakan ladang yang masih dapat menampung berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan laut. Semua orang dapat melakukan pekerjaan dilaut asalkan mempunyai pengetahuan, pendidikan, pengalaman dan keterampilan serta kemauan yang ada dalam dirinya. Sebagai negara maritim kita tetap terus tingkatkan pembangunan dilaut.Salah satu bidang yang berhubungan dengan laut yang di pandang muda untuk di manfaatkan yaitu di bidang perikanan ikan, kepiting, udang, kerang, ubur-ubur, termasuk bidang perikanan yang mudah diperoleh dengan alat yang sederhana. Pada umumnya hasil dibidang perikanan selain untuk kebutuhan pokok sehari-hari sangat cukup, dan selebihnya dijual kepada orang lain. Demikian pula di ingkat nasional, kelebihan pangan dibidang perikanan sudah lama di Indonesia berhasil mengekspor pangan tersebut ke negara lain.Dari segi prospeknya perikanan merupakan salah satu bidang yang mempunyai masa depan yang cukup cerah karena berpotensi menampung berbagai aspek. Bukan saja dari segi teknis dan peralatan penangkapan ikan saja yang ditingkatkan, melainkan manajemen pengelolaan perikanan yang baik dan memadai seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Juga pendidikan dan pelatihan dibidang perikanan, mengembangkan pengolahan hasil perikanan sehingga akan menambah jumlah pabrik pengolahan ikan dengan berbagai jenis produk dengan kwalitas unggulan. Disamping itu semua unit tersebut memerlukan banyak tenaga kerja sehingga paling tidak dapat mengurangi angka pengangguran Indonesia.
KONFLIK KEPULAUAN NATUNA ANTARA INDONESIA DENGAN CHINA (SUATU KAJIAN YURIDIS) Tampi, Butje
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 23, No 10 (2017): JURNAL HUKUM UNSRAT
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia merupakan salah satu Negara yang terancam dirugikan karena aksi China menggambarkan Sembilan titik wilayah baru kepulauan Natuna, Propinsi Kepulauan Riau. Jika dilihat sekilas, perairan kaya gas itu terkesan masuk wilayah kedaulatan China. Ditinjau dari aspek yuridis, penanganan pulau-pulau kecil terluar masih memerlukan perangkat perundang-undangan yang memadai dalam rangka mempertahankan dan memberdayakannya. Peninjauan berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU, PP, Kepres, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penanganan batas dan perbatasan Negara baik wilayah darat maupun batas laut kiranya menjadi hal yang mendesak.Kata Kunci : Konflik, Indonesia dan Cina
PROSPEKTIF PENGATURAN INVESTASI DI ERA OTONOMI DAERAH (SUATU TINJAUAN YURIDIS DI KOTA MANADO) Pontororing, Valent Stefanus
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 23, No 8 (2017): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendekatan penelitian yang digunakan ialah metode penelitian hukum normatif (Soekamto, 2001:32) yang bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan Provinsi Sulawesi Utara sebagai daerah otonom dalam memberikan perlindungan bagi kegiatan investasi baik dari segi asas-asas hukum, doktrin-doktrin hukum, teori-teori hukum tentang retribusi dan otonomi daerah.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan investasi di kota Manado belum berkembang secara optimal karena pengaturan investasi di kota Manado masih belum menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang pada prinsipnya memberikan kelonggaran bagi investor untuk berinvestasi. Pemerintah kota masih memakai Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1999 tentang Retribusi Ijin Gangguan dan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah dan Retribusi Penguasaan Tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh pemerintah kota Manado yang jelas-jelas banyak menghambat para investor.

Page 3 of 4 | Total Record : 35