MUDRA Jurnal Seni Budaya
AIMS The journal presents as a medium to share knowledge and understanding art, culture, and design in the area of regional, national, and international levels. In accordance with the meaning of the word “Mudra”, which is a spiritual gesture and energy indicator, it is hoped that the journal will be able to vibrate the breath of art knowledge to its audience, both academics, and professionals. The journal accommodates articles from research, creation, and study of art, culture, and design without limiting authors from a variety of disciplinary/interdisciplinary approaches such as art criticism, art anthropology, history, aesthetics, sociology, art education, and other contextual approaches. SCOPE MUDRA, as the Journal of art and culture, is dedicated as a scientific dialectic vehicle that accommodates quality original articles covering the development of knowledge about art, ideas, concepts, phenomena originating from the results of scientific research, creation, presentation of fine arts, performing arts and new media from researchers, artists, academics, and students covering areas of study: Performing Arts: dance, puppetry, ethnomusicology, music, theater,performing arts education, performing arts management Fine Arts: fine arts, sculpture, craft art, fine arts education,fine arts management, including new media arts Design: interior design, graphic communication design, fashion design,product design, accessories and/or jewelry design Recording Media : photography, film, television, documentary, video art, animation,game Culture : linguistic, architecture, verbal tradition, as well as other communal tradition The object of research is explored in a variety of topics that are unique, relevant, and contextual with environmental and sustainability aspects, local wisdom, humanity and safety factors. In addition to that, the topic of research needs to be original, creative, innovative, excellence, and competitive.
Articles
16 Documents
Search results for
, issue
"Vol 34 No 2 (2019): Mei"
:
16 Documents
clear
Rasayatra: Eksplorasi Estetika Hindu ‘Nawarasa’ dalam Desain Interior Museum 3D Interactive Trick Art
I Kadek Dwi Noorwatha;
I Putu Udiyana Wasista
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 2 (2019): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v34i2.514
Penelitian bertujuan untuk mengeksplorasi estetika Hindu Nawarasa sebagai bagian dari karakter lokal Bali ke dalam desain interior kekinian di Bali. Estetika Hindu Nawarasa sebagai salah satu bagian dari taksu kesenian Bali, berhubungan juga dengan sembilan jenis situasi emosi (bhava) yang menimbulkan pengalaman estetis seseorang ketika berinteraksi dengan objek seni. Nawarasa terdiri dari Shringara (cinta), Hasya (lucu), Karuna (belas kasihan), Raudra (marah), Vira (semangat), Bhayanaka (takut), Bibhatsa (jijik/muak), Adbhuta (takjub) dan Shanta (damai). Kesembilan ‘rasa’ tersebut akan diinterpretasikan ke dalam ruang arsitektural dengan analogi dramaturgikal, direkontekstualisasikan dari teks asli Nawarasa, sebagai kitab seni teater klasik India. Objek kasus yang dipilih adalah Museum 3D Interactive Trick Art yang akan dieksplorasi interior ruang utamanya menjadi 9 yang merupakan penafsiran secara visual dari estetika Hindu Nawarasa.
Surrealisme dalam Arsitektur: Penerapan Inkuiri Metafisik pada Karya Arsitektur Kontemporer Yoka Sara
Dea Aulia Widyaevan
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 2 (2019): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v34i2.624
Pengejawantahan konsep intangible pada Arsitektur di Indonesia, masih sangat minim. Padahal, jika menilik arsitektur vernakular, semua konsepnya berbasis filsafati yang menaungi aspek bukan fisikal. Karya arsitek Bali, Yoka Sara, berusaha mengedepankan filosofi ruang berbasis pengetahuan lokal. Pada setiap proses kreatifnya, Yoka Sara berpijak pada indigineous knowledge yang fokus pada faktor yang sifatnya subconsious. Ia terpacu untuk memunculkan perbendaharaan pra-imaji (tidak disadari), imaji abstrak dan imaji konkret (disadari) yang secara holistik dirangkum dalam perolehan imaji-memori yang jelas dapat memberi kemampuan untuk dapat menghayati secara detail maupun keseluruhan melalui pengembangan indra dan perasaan yang selama ini terabaikan. Yoka Sara, melalui pendekatan berarsitekturnya, mencoba mengintegrasi pengetahuan yang dinamis dengan memandang dunia tidak sebagai kotak yang ada (beings) melainkan sebuah proses bergerak dan menjadi dinamis. Ia menawarkan multiplisitas sebagai cara berpikir tentang realitas yang merupakan esensi dan substrata yang tidak statis, melainkan bersifat dinamis dan tumbuh sebagai rangkaian peristiwa dan proses. Pendekatan ini, mejembatani pengetahuan lokalnya dengan praktek arsitektur kontemporenya. Melalui karyanya, Yoka Sara berusaha memaknai arsitektur sebagai daya ungkap ekspresi dari hasrat yang terpendam menuju akar diri/self.
Nilai Estetika Kacaping Sebagai Konsep Dasar Pendidikan Karakter Pada Pendidikan Formal Masyarakat Bugis di Kabupaten Sidrap
Andi Ihsan
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 2 (2019): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v34i2.627
Kacaping merupakan salah-satu produk budaya masyarakat bugis khususnya di kabupaten Sidrap, Sulawesi-Selatan. Secara estetika, kacaping memiliki nilai-nilai baik ekstrinsik maupun intrinsik, yang tentunya dapat menjadi nilai-nilai lokal sebagai peletak dasar pendidikan karakter bagi generasi penerus. Di dalam pendidikan formal dikenal domain yang terintegrasi ke dalam satu kesatuan pembelajaran yang menjadi sasaran atau tujuan dari pendidikan tersebut yakni kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek-aspek tersebut idealnya bersumber dari nilai-nilai lokal kedaerahan sehingga pendidikan karakter yang diharapkan benar-benar dapat terwujud sesuai sasaran yang diinginkan. Nilai-nilai kedaerahan sebagai dasar pembentukan karakter generasi terdapat dalam kacaping. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana nilai ekstrinsik kacaping sebagai konsep dasar kurikulum pendidikan formal berbasis pendidikan karakter pada masyarakat bugis di kabupaten sidrap, (2) bagaimana konsep pendidikan formal melalui nilai estetika kacaping pada masyarakat bugis di kabupaten Sidrap. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif melalui pendekatan etnomusikologi didukung dengan ilmu-ilmu lannya yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kacaping bugis di kabupaten Sidrap memiliki estetika yakni nilai-nilai baik nilai ekstrinsik maupun nilai intrinsik yang melekat pada kacaping, maupun pada penyajian kacaping tersebut di masyarakat. Dengan mengangkat nilai-nilai estetika kacaping ke dalam proses pendidikan formal berbasis pendidikan karakter maka tujuan pendidikan karakter yang diharapkan benar-benar dapat terwujud.
Nilai Pendidikan Karakter pada Wangsalan Sindhenan Karya Nyi Bei Mardusari
Mambaul Khasanah;
Suyanto Suyanto;
Sudiyanto Sudiyanto
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 2 (2019): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v34i2.666
Wangsalan sindhenan merupakan salah satu bentuk karya sastra Jawa yang memiliki kandungan nilai- nilai luhur. Terdapat teka- teki dalam teks wangsalan yang membutuhkan sebuah metode untuk mengungkapkannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan menjelaskan teka teki dan nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam wangsalan sindhenan serat Kidung Kandhasanyata Nyi Bei Mardusari. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode pendekatan semiotik. Sumber data penelitian ini adalah teks wangsalan sindhenan dalam serat Kidung Kandhasanyata karya Nyi Bei Mardusari. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan dan pencatatan terhadap data yang diperoleh dari data pustaka dan wawancara. Analisis data menggunakan teknik pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik dengan tahapan: (1) menterjemahkan teks wangsalan, (2) mengungkapkan teka- teki dan makna wangsalan, dan (3) menginterpretasi makna wangsalan secara filosofis. Hasil penelitian ini berupa nilai- nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam wangsalan sindhenan karya Nyi Bei Madusari. Nilai- nilai pendidikan tersebut diantaranya nilai keimanan dan ketaqwaan, kesabaran, kemuliaan dan pengendalian diri. Nilai- nilai tersebut dapat digunakan sebagai media untuk menanamkan pendidikan karakter yaitu dengan memahami dan menginterpretasi makna yang terkandung di dalam wangsalan sehingga mampu menggerakkan rasa dan naluri pembaca untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Lambang Dewate Nawasange Sebagai Wujud Pengaruh Peradaban Majapahit Di Bali
I Nyoman Lodra
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 2 (2019): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v34i2.698
Lambang “Dewate Nawesange†sebagai gambaran visual 9 dewa manifestasi Ide Sang Hyang Widhi yang mengusai sembilan penjuru mataangin merupakan bagian dari nilai ajaran Agama Hindu. Oleh umat Hindu di Bali lambang tersebut termasuk di sakralkan dan digunakan sebagai sarana/prasarana upacara serta wujudnya dibuat dalam bentuk relief, gambar (kober, umbul-umbul), “sate gelar sangeâ€. Kajian visual lambang Dewate Nawesange tersebut ada kesamaan serta kuat dugaan telah terjadi akulturasi dengan lambang Surya Majapahit Trowulan Jawa Timur. Para ahli menyebut gambar lambang Surya Majapahit yang tersimpan di Musium Trowulan tersebut sebagai lambang dari kerajaan Majapahit. Fokus pembahasan: bagaimana bisa terjadi kemiripan atau kesamaan bentuk visual antara lambang Surya Majapahit dengan lambang “Dewate Nawesangeâ€?. Tujuan: mendiskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadi kemiripan atau kesamaan bentuk visual antara lambang Surya Majapahit dengan lambang Dewate Nawesange. Metode penelitian: deskriptif kualitatif menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadi kesamaan dari dua lambang tersebut, dengan kajian teori semiotik, teori etnografi, ikonografi, dan teori pertukaran sosial. Sumber data: dokumen lambang Surya Majapahit yang ada di Musium Trowulan dan lambang “dewate nawesange†yang berkembang di Bali. Hasil kajian dan analisis lambang Surya Majapahit dan lambang Dewate Nawesange ditemukan telah terjadi akulturasi ajaran “sekte-sekte†di Bali dengan lambang Surya Majapahit. Temuan: lambang â€dewate nawesange†sebagai bentuk akulturasi dari nilai ajaran “sekte-sekte†di Bali terjadi pada saat kekuasaan kerajaan Majapahit.
Pacitanian Art-Edu (Jalan Alternatif Menuju Hakekat Tujuan Pendidikan Seni di Indonesia)
Deasylina da Ary
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 2 (2019): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v34i2.699
Pelaksanaan pendidikan seni di lapangan saat ini sudah bergeser dari hakekat tujuan pendidikan sesungguhnya. Pendidikan seni tari di lapangan saat ini memakai metode reproduksi atau imitasi, dimana tidak ada ruang untuk mengembangkan kreativitas, imajinasi, serta ruang untuk memahami diri sendiri dan lingkungannya.Perlu adanya sebuah model pendidikan seni yang berorientasi terhadap lingkungan. Sebuah model pendidikan yang menitikberatkan pada perkembangan kreativitas dan imajinasi anak, serta berorientasi pada lingkungan melalui wahana seni. Potensi sungai, gua, dan pantai di Kabupaten Pacitan yang menyimpan jejak kehidupan manusia purba di dalamnya, sangat menginspirasi untuk dijadikan sebagai laboratorium sample pencarian model pendidikan ini. Maka ditemukanlah Pacitanian Art-Edu yang dapat menjawab persoalan pelaksanaan pendidikan seni saat ini. Pacitanian Art-Edu merupakan sebuah model pendidikan yang menempatkan fenomena lingkungan alam Pacitan yang menyimpan jejak kehidupan prasejarah di dalamnya, sebagai orientasi utama. Seni dijadikan sebagai wahana, dengan materi latihan ketubuhan di lingkungan alam Pacitan. Pacitanian Art-Edu merupakan hasil dari sebuah proses penciptaan karya seni Pacitanian (Model Pendidikan Berorientasi Lingkungan) yang telah dipergelarkan pada tanggal 27 Januari 2017 yang lalu. Proses kreatif yang telah dirintis sejak tahun 2010 dan lebih mengerucut pada tahun 2014. Proses yang dilalui adalah penghayatan kehidupan prasejarah melalui citra visual (film, museum dan situs), pengayaan informasi (buku, browsing, dan penggalian informasi dari ahli), latihan kepekaan tubuh di lingkungan, pencarian permainan inovasi, dan workshop-workshop.
Keterpinggiran Kelompok Kesenian Cak Bedulu Dalam Seni Pertunjukan Pariwisata Bali
Ni Made Ruastiti
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 2 (2019): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v34i2.700
Artikel ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang bertujuan untuk dapat mengetahui dan memahami keterpinggiran Tari Cak Bedulu dalam seni pertunjukan pariwisata Bali. Penelitian ini dilakukan karena dilatari adanya ketimpangan antara asumsi dan kenyataan yang terjadi di lapangan. Semestinya sebagai pelopor seni pertunjukan pariwisata Bali, kelompok kesenian ini paling sering ditampilkan dalam aktivitas kepariwisataan. Namun kenyataannya hal ini berbeda. Walaupun Cak Bedulu merupakan pelopor kesenian Cak untuk pariwisata Bali, kelompok kesenian ini justru mengalami keterpinggiran. Pertanyaannya: (1). Mengapakah kelompok kesenian ini mengalami keterpinggiran?; (2). bagaimanakah bentuk pertunjukannya?; dan (3). apakah implikasinya bagi masyarakat dan seni pertunjukan Bali?. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah pertunjukan Cak Bedulu, para pihak terkait, dan masyarakat di Desa Bedulu, Bali. Data yang dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, FGD, dan studi pustakaan dianalisis dengan teori estetika, teori seni pertunjukan pariwisata, dan teori relasi kuasa pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1). Kelompok kesenian Cak Bedulu mengalami keterpinggiran karena cara penyajiannya kini sudah tidak sesuai lagi dengan ideologi pasar, ideologi seni pertunjukan pariwisata, dan ideologi budaya masyarakat di Desa Bedulu; (2). Kesenian Cak Bedulu disajikan dalam bentuk sendratari dengan lakon Ramayana. Hal itu dapat dilihat dari cara penyajian, struktur pertunjukan, dan tata rias busana pertunjukannya; (3) Keterpinggiran Cak Bedulu secara tidak langsung berimplikasi pada hilangnya media berkesenian, hilangnya masukan finansial dari kegiatan berkesenian, dan hilangnya identitas budaya lokal.
Aplikasi Ngayah Dalam Karya Seni Mari Menari
Kadek Kadek Shanti Gitaswari Prabhawita
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 2 (2019): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v34i2.701
Masyarakat Bali percaya jika setiap tindakan yang dilandasi ketulus-ikhlasan (ngayah) akan mendatangkan hal positif, baik bagi individu maupun kehidupan sosial bermasyarakat. Ngayah bukan sebuah kegiatan wajib, mengikat individu seperti yang selama ini berkembang di masyarakat Bali. Ngayah merupakan wujud kesadaran tertinggi manusia sebagai ciptaan Tuhan yang diberkati. Bukan hanya kesadaran dan keikhlasan memberi, tapi kesadaran untuk menerima segalanya dengan ikhlas. Karya ini menginterpretasikan ngayah dengan produk teknologi sebagai medianya. Hal ini merupakan upaya kreatif dalam merespon lingkungan dengan mengajak masyarakat untuk terlibat langsung dalam karya. Metode pembelajaran tari Bali dalam bentuk produk audio visual diberikan secara berkala kepada masyarakat melalui media sosial instagram dengan harapan masyarakat dapat mengaplikasikannya dimasing-masing tempat. Garapan ini menggabungkan vlog, happening art dan flashmob dalam sebuah pertunjukan. Karya ini dipentaskan di ruang terbuka dengan latar belakang gedung pertokoan Jalan Gatot Subroto, Kemlayan, Solo. Beberapa teori seperti koreografi lingkungan dan konsep hidup dalam ajaran agama Hindu Bali digunakan untuk melandasi dan memperkuat konsep garapan. Pada proses garap diawali dari observasi, mengajar tari dibeberapa tempat, hingga membetuk kelompok yang mewadahi keinginan untuk menampilkan karyanya. Karya ini merupakan wujud dari pengembangan kreativitas seorang pelaku seni dengan memanfaatkan media sosial, mencoba cara baru untuk mengemas sebuah karya tari. Hal ini adalah wujud konkrit dan dampak positif dari perkembangan media sosial terhadap sektor seni.
Antara Teks dan Praktik: Ritual Iomante pada Cerita Rakyat Ainu Jepang
Ida Ayu Laksmita Sari
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 2 (2019): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v34i2.702
Masyarakat Ainu, penduduk asli Jepang yang selama ratusan tahun sempat termaginalkan, kaya akan budaya yang terus dilestarikan antara lain melalui aktivitas ritual dan cerita rakyat. Salah satu ritual penting yang muncul berulang dalam cerita rakyat Ainu adalah iomante (iyomante), ritual pengembalian arwah beruang ke alam dewa. Makalah ini menganalisis hubungan antara praktik ritual dengan teks cerita tentang iomante. Analisis difokuskan pada bagaimana ritual iomante dilukiskan dalam cerita rakyat, mengapa iomante muncul berulang dalam cerita-cerita rakyat Ainu, dan apa hubungan antara cerita rakyat iomante dengan praktik ritual iomante yang digelar masyarakat Ainu dewasa ini. Objek dari penelitian ini diambil dari cerita rakyat yang terkumpul dalam buku antologi cerita rakyat Ainu Ainu Mukashi Banashi: Hitotsubu no Satciporo dengan editor Kayano Shigeru (1993). Data dikaji dengan teori sosiologi sastra dan teori semiotika. Teori sosiologi sastra menganalisis cerita sebagai refleksi kehidupan sosial budaya masyarakat, sedangkan teori semiotika digunakan untuk mengkaji simbol-simbol dalam cerita rakyat secara denotatif, konotatif dan mitos atau ideologi. Makalah ini menyimpulkan bahwa pelukisan ritual iomante dalam cerita rakyat Ainu menjadi wadah bagi masyarakat untuk ideologisasi tradisi budaya, sementara praktik ritual iomante dewasa ini mengalami penambahan fungsi dari sebatas fungsi spiritual dengan fungsi festival, khususnya ketika ritual dipromosikan sebagai daya tarik pariwisata etnik yang dikembangkan masyarakat Ainu.
Kajian Ikonografi Pada Seni Lukis T-Shirt Tema Rangda Karya I Nyoman Ngurah Ardika Yasa
I Wayan Swandi;
Arya Pageh Wibawa;
I Gusti Ngurah Agung Mahaputra
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 2 (2019): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v34i2.703
Bali telah dikenal memiliki banyak bentuk seni. Salah satunya adalah seni lukis. Seni Lukis di Bali telah dikenal cukup lama. Seiring perjalanan waktu, terjadi perubahan dengan kedatangan bangsa Barat yang mempengaruhi gaya lukis Bali. Selanjutnya, media juga memberikan pengaruh yang sangat besar dalam seni lukis di Bali, salah satunya adalah t-shirt. Salah satu seniman lukis t-shirt yang cukup dikenal oleh anak muda Bali yaitu I Nyoman Ngurah Ardika Yasa. Pada karyanya yang bertema “Rangdaâ€, salah satu dari banyak karya yang telah dibuat cukup menarik untuk dilakukan penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ikonografi Erwin Panofsky. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna karya seni lukis t-shirt seniman I Nyoman Ngurah Ardika yang bertemakan rangda.Tahap pra-ikonografi, ilustrasi yang digambarkan merupakan sebuah komunikasi bahwa rangda merupakan sosok yang akan membawa kematian bagi manusia. Pada tahapan analisis ikonografi digunakan teori Roland Barthes untuk mengungkap lambang yang ada pada karya tersebut. Mitos yang hadir sebagai petanda dalam karya selanjutnya dihubungkan dengan tema dan konsep yang tersirat. “Rangda†telah menjadi mitos yang ada pada masyarakat Bali. Analisis interpretasi ikonologis, Ilustrasi rangda karya I Nyoman Ngurah Ardika Yasa diciptakan tidak dengan mengedepankan nilai keindahan secara konvensional, namun berdasarkan imajinasi atas rasa dan pengalaman estetis yang diterima pada masa yang lalu. Pada karyanya wujud rangda digambarkan dengan penggayaan bentuk melalui penyederhaan dan deformasi bentuk, sehingga karakter rangda terlihat berbeda dengan wujud rangda secara tradisi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ilustrasi rangda ini mengikuti gaya postmodern champ yaitu menolak keotentikan atau keorisinilan untuk tujuan dan kepentingannya sendiri.