cover
Contact Name
Saldy Yusuf
Contact Email
saldy_yusuf@yahoo.com
Phone
-
Journal Mail Official
saldy_yusuf@yahoo.com
Editorial Address
-
Location
Kota makassar,
Sulawesi selatan
INDONESIA
Jurnal Luka Indonesia
Published by ETN Centre Indonesia
ISSN : 24422665     EISSN : 26143046     DOI : -
Core Subject : Health,
JURNAL LUKA INDONESIA Jurnal Luka Indonesia merupakan Jurnal ilmiah nasional pertama di Indonesia yang spesifik mendesiminasikan hasil penelitian di bidang manajemen luka yang diterbitkan tiga edisi dalam satu tahun (Februari, Juni dan Oktober). Oleh karena itu, Jurnal Luka Indonesia akan menjadi media publikasi yang paling relevan dalam pengembangan bidang keperawatan luka di Indonesia.
Arjuna Subject : -
Articles 124 Documents
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA MASERASI STOMA PADA PASIEN YANG TERPASANG KOLOSTOMI DI RSUP DR WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR Maryunis, Maryunis; Hastuti, Hastuti
in process
Publisher : ETN Centre Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background: Colorectal cancer is highly prevalent cancer. Colostomy may affect the changing role of self-esteem, body image, and sexual and social relationships. Post-colostomy problem is the maceration of the skin surrounding the stoma. Aim: This study aimed to determine the factors associated with the occurrence of maceration of the stoma in patients who underwenta colostomy in Dr Wahidin Sudirohusodo Hospital of Makassar. Methods: This study used observational analysisby cross-sectional study. The sampling technique was a purposive sampling with 32 ​​respondents. Data analysis was done using the Chi Square test with a confidence level of 95%. All data were analyzed by SPSS software,version 21.0 (SPSS, Inc. Chicago, IL). Results: There are relationships between stoma site (p = 0.000), frequency of stoma care (p = 0.018), and nutritional status (p=0.030) with the maceration of the stoma. There was no association betwen age and maceration of the stoma (p = 0.212). Conclusion: This study shows that the factors that affect the skin maceration around the stoma can be modified (frequency of stoma care and nutritional status), while the location factor can be minimized through the stoma sitting. Thus, the nurses have an important role in the prevention of maceration both at pre and post operative Keywords: stoma site, frequency of stoma care, nutritional status, maceration of stoma.
RELATIONSHIP BETWEEN MACERATION AND WOUND HEALING ON DIABETIC FOOT ULCERS IN INDONESIA: A PROSPECTIVE STUDY Haryanto, Haryanto; Arisandi, Defa; Suriadi, Suriadi; Ogai, Kazuhiro; Sanada, Hiromi; Okuwa, Mayumi; Sugama, Junko
in process
Publisher : ETN Centre Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background: Maceration results in enhancement of the wound area and infection. This condition is caused by a breakdown of the skin resulting in an open wound so that the wound area is enhanced and contaminated by microorganisms. Consequently, wound healing is delayed and quality of life is negatively affected. The prevention of maceration is important, and exudate management offers a way to prevent maceration. Exudate management can reduce the healing time, exudate, and frequency of dressing changes, and improve patient quality of life. Aims: The aim of this study was to clarify the relationship between maceration and wound healing. Methods: A prospective longitudinal design was used in this study. The wound condition determined the type of dressings used and the dressing change frequency. A total of 62 participants with diabetic foot ulcers (70 wounds) were divided two groups: non-macerated (n = 52) and macerated wounds (n = 18). Each group was evaluated weekly using the Bates–Jensen Wound Assessment Tool with follow-ups until week 4. Results: The Mann–Whitney U test showed that the changes in the wound area in week 1 were faster in the non-macerated group than the macerated group (P = 0.02). The Pearson correlation analysis showed a moderate correlation between maceration and wound healing from enrolment until week 4 (P = 0.002). After week 4, the Kaplan–Meier analysis showed that the non-macerated wounds healed significantly faster than the macerated wounds (log-rank test = 19.378, P = 0.000). The Cox regression analysis confirmed that maceration was significant and independent predictor of wound healing in this study (adjusted hazard ratio, 0.324; 95% CI, 0.131–0.799; P = 0.014). Conclusion: The results of this study demonstrated that there is a relationship between maceration and wound healing. Changes in the wound area can help predict the healing of wounds with maceration in clinical settings. Keywords: Wound maceration; wound healing, diabetic foot ulcers.
ENTEROSTOMAL THERAPY NURSE (ETN): MENUJU PERUBAHAN Yusuf, Saldy
in process
Publisher : ETN Centre Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sejarah Enterostomal Therapy Nurse (ETN) atau perawat luka, stoma dan kontinensia di dunia telah dimulai tahun 1958, namun di Indonesia starting point dimulai Tahun 2007 melalui program Indonesian Enterostomal Therapy Nurse Nursing Education Program (IndoETNEP) di WOCARE, Bogor atas lisensi World Council of Enterostomal Therapy Nursing (WCET) (Irma PA, 2010) (Carol Stott, 2010). Dukungan WCET juga diberikan dalam bentuk alokasi beasiswa NNGF bagi perawat Indonesia (Saldy Yusuf, 2011). Kebijakan ini berdampak positif dalam meningkatkan jumlah perawat ETN di Indonesia. Peningkatan jumlah perawat ETN di Indonesia mendapatkan lingkungan yang kondusif seiring dengan pengesahan Undang-Undang No 38 tahun 2014 tentang Keperawatan. Salah satu wujudnya adalah perawat Indonesia bisa melaksanakan praktik keperawatan mandiri termasuk perawat ETN. Riset kami menunjukkan pelayanan perawat ETN menurunkan durasi perawatan, frekuensi perawatan, dan meningkatkan laju penyembuhan luka (Saldy Yusuf, et al 2013). Sayangnya pertumbuhan praktik mandiri ini belum dibarengi implementasi standar. Oleh karena itu, tahun 2015 dirintis national consensus document tentang standar praktek perawatan luka, yang menghasilkan lima poin rekomendasi; standar dokumentasi, standar fasilitas, satandar perawatan luka, standar pelayanan dan standar peningkatan profesionalisme (Saldy Yusuf, 2016). Peningkatan profesionalisme yang dimaksud meliputi; Sertifikasi, kompetensi, legalitas, etika, komunikasi dan kredensialing (Saldy Yusuf, 2016). Hal ini bisa menjadi titik awal bagi perawat ETN untuk “berubah” dan bertransformasi. Transformasi bisa diawali dalam pemikiran dengan menciptakan visi dan mewujudkan ke dalam misi sehingga menjadi “passion” dalam hidup sehingga tidak hanya menjadi ETN sebagai atribut pelengkap status.
BASIS BUKTI PENYEMBUHAN LUKA: IMPLEMENTASI DALAM PRAKTIK KLINIK Suriadi, Suriadi
in process
Publisher : ETN Centre Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tim luka di Pontianak telah memfokuskan pada pengembangan pada pelayanan manajemen luka dan penelitian. Fokus pada kegiatan tersebut adalah pada manajemen luka diabetik. Salah satu yang paling umum adalah ulkus kaki dan infeksi, yang sering mengakibatkan amputasi tungkai bawah, dan yang memiliki prevalensi 4-10% di antara orang dengan diabetes. Tim kami melakukan penelitian menggunakan beberapa teknologi baru dalam manajemen luka seperti vibrator, veno plus dan lainnya. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa terapi getaran mempercepat penyembuhan ulkus kaki diabetik dalam hal tingkat penyembuhan, skor penyembuhan, luka area penutupan, dan ditinggikan tingkat NO (nitric oxide). Terapi vibration, sebagai tambahan untuk perawatan luka standar, secara signifikan meningkatkan penyembuhan luka kaki diabetis. Penutupan area luka yang diukur dengan persentase penurunan relatif di daerah luka menunjukkan kelompok intervensi lebih cepat persentase penutupan 3.79% /hari (95% confidence interval antara 1.79% /hari sampai dengan 12.50% /hari) dibandingkan dengan kelompok kontrol 3.03% / hari (95% confidence interval antara -0.01% /hari sampai 7.69% /hari) perbedaan yang signifikan ditandai dengan p = 0.032. hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi getaran luka dapat meningkatkan penyembuhan luka pasien diabetes, dapat diamati melalui penurunan waktu rawat inap yang secara signifikan berbeda dibandingkan dengan kelompok kontrol. Tim kami telah menciptakan sebuah alat penilaian baru untuk mengevaluasi kemajuan penyembuhan luka. Alat penilaian dikenal sebagai MUNGS. Alat MUNGS (maserasi, merusak / tunneling, nekrotik, granulasi dan tanda-tanda atau gejala) dikembangkan berdasarkan pengamatan klinis penulis dari penderita luka diabetes di Indonesia. Alat ini telah dilakukan uji reabilitas dan hasilnya menunjukkan bahwa reliabilitas antar penilai dari alat MUNGS lebih tinggi dibandingkan dengan (instrumen foto luka atau PAWT(photograph assessment wound tool) antara kedua kelompok penilai (perawat perawatan luka dan mahasiswa) dengan koefisien Cohen kappa adalah 0.80. Dalam studi validitas, MUNGS, total 75 pasien dimasukkan dalam analisis. Sebuah cut off point pada skor 4 alat MUNGS memiliki sensitivitas 84.91, spesifisitas 81.82, nilai prediksi positif 91.8, dan nilai prediksi negatif 69.2. Area di bawah kurva adalah 0.886 (95% CI, 0.792-0.948), dan rasio kemungkinan adalah 4.6. MUNGS adalah suatu alat pengakajian luka yang reliable dan valid dapat digunakan di tatanan klinik untuk pengkajian luka pada pada pasien diabetes.
GAMBARAN NEUROPATI PERIFER DI SEMARANG: STUDI CROSS-SECTIONAL Rosyida, Khana; Dyan Kusumaningrum, Niken Safitri
in process
Publisher : ETN Centre Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Neuropati perifer merupakan salah satu komplikasi mikrovaskuler dari Diabetes Mellitus (DM) yang terjadi pada bagian perifer dan menimbulkan kerusakan fungsi saraf. Kerusakan fungsi saraf tersebut dapat mengenai saraf sensorik, motorik, dan otonom. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran neuropati perifer di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Semarang. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampling yang digunakan yaitu total population sampling. Pengambilan data dilakukan dengan lembar pemeriksaan neuropati perifer yang merupakan modifikasi dari Michigan Neuropathy Screening Instrument (MNSI) dan Michigan Diabetic Neuropathy Score (MDNS) terdiri atas 38 item. Analisis data yang digunakan yaitu analisis univariat. Hasil: Sebanyak 113 responden berpartisipasi dalam penelitian ini. Mayoritas responden berusia dewasa tengah (73.5%), sebagian besar perempuan (61.9%), telah menderita DM >5 tahun (50.4%), dan memiliki kadar GDS ≥200 mg/dL (52.2%). Sebagian kecil responden memiliki riwayat amputasi dan riwayat Diabetic Foot Ulcer (DFU) (3.5% dan 5.3%). Mayoritas kerusakan fungsi saraf adalah kerusakan otonom baik kaki kanan maupun kaki kiri (89.9%;85%). Lebih banyak responden yang memiliki neuropati ringan (55.8%) daripada neuropati sedang ataupun berat (28.3%;9.7%). Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami neuropati perifer. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan dini untuk mencegah neuropati yang lebih berat Kata kunci: Diabetes Melitus, Neuropati Perifer
IDENTIFIKASI RISIK O DIABETIC FOOT ULCER (DFU) P ADA P ASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS Kusumaningrum, Niken Safitri Dyan; Asriningati, Rizky
in process
Publisher : ETN Centre Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background-Diabetic foot ulcer (DFU) is one of the complications often experienced by patients. It is frequently result in gangrene and lower limb amputation. Identification of risk factors are needed in order to determine appropriate treatment. Aims-The study aims was to identify diabetic foot-ulcer (DFU) risk of patient with diabetes mellitus. Methods-This was a cross-sectional-descriptive study in one public health in Semarang. Neurosensory examination, vascularization, risk factors DFU, and the active foot disease were recorded. The instrumen used was modified from New Zealand Society for Study of Diabetes (NSSD), Diabetes Foot Screening and Risk Stratification T ool. IpTT (Ipswich T ouch T est) was performed to assess peripheral neurosensory . Assessment of vascularization was completed by palpation of pedal pulses. Then, DFU risk factors were evaluated from previous amputation, ulceration, foot deformity , and present of calluses directly interviewed. Results-A total of 112 respondents had been participated in this study . Most of the respondents, 85.7%, were classified at high risk of DFU. There were 7.1% classified at moderate risk and 4.5% were low risk. Also 2.7% categorized at active foot. Conclusions-It is concluded that the majority of respondents at high risk for DFU. Therefore, foot assessment is needed in order to screen and detect ulceration risk. Keywords: di abet i c foot ul cer ( DFU) , foot assessment , r i sk factor , neurosensory and vascularization examination
ALTERNATIF MOISTURE BALANCE DRESSING DALAM PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DI RSUP DR.SARDJITO YOGYAKARTA Purwaningsih, Lucia Anik
in process
Publisher : ETN Centre Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Luka bakar merupakan trauma yang berdampak paling berat terhadap fisik maupun psikologis. Hal ini disebabkan karena perawatannya masih sulit, dan penyembuhan lukanya membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang mahal. Dengan masih terbatasnya jenis modern dressing untuk perawatan luka yang tersedia, maka RSUP Dr. Sardjito mengembangkan alternatif perawatan luka berbasis moisture balance dressing untuk mempercepat penyembuhan luka sejak pertengahan tahun 2007. Alternatif moisture balance dressing merupakan perawatan luka bakar tertutup dimana pemberian topikal terapi sesuai dengan tiga warna dasar luka, red, yellow, dan black. Sebelum tahun 2007, perawatan luka bakar masih menggunakan metode konvensional dimana pemberian topikal terapi tidak berdasarkan warna dasar luka. Tujuan: Membandingkan lama rawat inap pasien luka bakar yang dirawat dengan metode konvensional dengan metode moisture balance dressing Metode: Cross Sectional Study Hasil: Dari 305 pasien (2007-2014) dengan kedalaman luka derajat II -III dan luas antara 14-70% BSA, perawatan luka dengan alternatif moisture balance dressing diperlukan lama rawat inap rata-rata 14-28 hari untuk penyembuhan luka dan diizinkan pulang. Sedangkan tahun 2003-2006 dari 67 pasien dengan kedalaman luka derajat II-III dan luas antara 12-70% BSA perawatan luka secara konvensional diperlukan lama rawat inap rata-rata 31- 40 hari untuk penyembuhan luka dan diizinkan pulang. Kesimpulan : Perawatan luka bakar dalam suasana lembab mempercepat terjadinya epitelisasi sehingga mempercepat proses penyembuhan luka dan lama rawat inap (Length of stay) menjadi lebih pendek sehingga mengurangi biaya bagi pasien (cost effective) Kata Kunci: alternatif moisture balance, penyembuhan luka
FACE AND CONSTRUCT VALIDITY OF THE CARDIFF WOUND IMPACT INSTRUMENT ON THE PATIENTS WITH DIABETIC FOOT ULCERS Yuliaty, Rina
in process
Publisher : ETN Centre Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background: Diabetic foot ulcer is one of the diabetes mellitus complications that impact on the patients life. Cardiff Wound Impact (CWI) is one of instruments that can measure the impact of chronic wounds. The purpose of this study was to evaluate and validate the Cardiff Wound Impact in diabetic foot ulcers in Indonesia population. Methods: This research used cross-sectional method and used 51 samples of diabetic foot ulcers patients in Sulianti Saroso hospital, Wocare Clinic and Husada hospital. The respondents filled the Cardiff Wound Impact Questionnaire. In the face validity there was no significant problems in terms of language and meaning of a sentence. Construct validity was performed by using factor analysis. Results: The data showed that the value of Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy (KMO) and Bartlet Test of each component of CWI were in the range of 0.741 to 0.834. The results of this study also showed a strong correlation between the scale of quality of life and satisfaction of quality of life (p = 0005; r = 0.764). Conclusion: This study has shown that the CWI is a valid and reliable tool to assess the impact of the diabetic foot ulcer in Indonesia because it has been tested through the face and construct validity. Researcher suggested that this research need to be done again with the same proportion between outpatients and inpatients wards. Keywords: Cardiff Wound Impact, construct validity, diabetes mellitus, diabetic foot ulcer
INKONTINENSIA DI INDONESIA: MENGGALI FENOMENA GUNUNG ES Suyasa, I Gede Putu Darma
in process
Publisher : ETN Centre Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Berbagai penelitian telah dilakukan di berbagai belahan dunia untuk mengidentifikasi angka kejadian inkontinensia. The International Continence Society (ICS) melaporkan angka kejadian inkontinensia urin sebesar 5% - 69% dan 1.5% - 50% untuk inkontinensia fekal. Besarnya rentang angka kejadian yang dilaporkan tergantung dari definisi operasional dan partisipan dari masing-masing penelitian (Milsom et al., 2013). Di Indonesia khsususnya pada populasi lansia, angka kejadian inkontinensia urin adalah 4.3%, dan 2.7% - 22.4% untuk inkontinensia fekal (Suyasa et al., 2015). Terdapat argumentasi bahwa angka kejadian sebenarnya dari inkontinensia tersebut sulit diperkirakan, dan angka-angka yang dilaporkan merupakan ujung dari fenomena gunung es. Ada beberapa asumsi yang mendasari argumen tersebut. Pertama, inkontinensia merupakan masalah yang tabu dan sensitif untuk didiskusikan oleh masyarakat, sehingga masyarakat yang mengalami memilih diam dan tidak menceritakan masalah tesebut kepada siapa pun termasuk kepada petugas kesehatan (Norton, 2004). Kedua, rendahnya pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam mengenal masalah inkontinensia sehingga berakibat pada lambatnya penanganan (Taylor et al., 2013). Ketiga, pengetahuan tenaga kesehatan tentang inkontinensia masih terbatas sehingga kemampuan untuk mengenali masalah klien juga terbatas (Köhler, 2013). Keempat, praktik atau pelayanan kesehatan yang berfokus pada inkontinensia masih terbatas, khususnya di daerah pedesaan. Berdasarkan masalah tersebut di atas, solusi yang ditawarkan adalah: 1) Meningkatkan pengetahuan masyarakat dan tenaga kesehatan tentang identifikasi masalah inkontinensia dan cara perawatan yang benar (Suyasa, 2013); 2) Tenaga kesehatan lebih aktif melakukan deteksi (screening) khususnya pada populasi dengan faktor risiko tinggi seperti pada lansia dan wanita post partum (Suyasa, 2015); dan 3) Peningkatan praktik/pelayanan inkontinensia kepada masyarakat sehingga dapat mencari pertolongan segera untuk menangani masalahnya.
PERAWATAN LUKA DIABETES PADA DAERAH SUB SCAPULARIS DI UNIT PERAWATAN HOME CARE Sukmawati, Sukmawati; Laitung, Baharia; Yusuf, Saldy
in process
Publisher : ETN Centre Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background As one of top ten Diabetes Mellitus (DM) country, prevalence of diabetic foot ulcers (DFU) in Indonesia is high. However there is increasing number of diabetic ulcer non foot (DUNF) in clinical setting. Thus, the aim of this study is to describe the wound care process, healing process, and cost analysis of DUNF. Method A case report study based on retrospective data including; demography data, history of DM and history of DFU recorded by minimum data sheet (MDS). Ulcer pictures were taken by digital camera healing process evaluated by using Barbara Bates Jensen (BBJ) score. Results Patient 44 years, female, have been diagnosed as diabetic since 2013. DUNF located at sub scapularis sinistra with duration of treatment was 95 days and frequency of dressing changes was 15 times. Initial BBJ score was 27 and decreased to be 13 at the end of treatment (healing rate by BBJ score: 0.14/day). Cost of dressing (range Rp. 25.000 – Rp. 160.000) with mean cost Rp. 100.437. Proportion of cost was 53.3 % for dressing. Correlation between severity of ulcer and cost (R2 = 0.570 p = 0.024). Conclusion The occurrence and recurrence of diabetic ulcer can be any part of body including sub scapular region. Current study confirmed that wound care process takes three months until epitealization with mean cost relative expensive.

Page 2 of 13 | Total Record : 124