cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education,
Arjuna Subject : -
Articles 566 Documents
KONDISI CURAH HUJAN DAN CURAH HUJAN EKSTREM SAAT MJO KUAT DAN LEMAH: DISTRIBUSI SPASIAL DAN MUSIMAN DI INDONESIA Anis Purwaningsih; Teguh Harjana; Eddy Hermawan; Dita Fatria Andarini
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 21 No. 2 (2020): December 2020
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v21i2.4153

Abstract

Propagasi MJO memicu peningkatan aktifitas konveksi yang menyebabkan kenaikan probabilitas hujan. Intensitas hujan dan frekuensi hujan ekstrem saat MJO pada bulan DJF dan JJA di Indonesia dianalisis. Komposit data curah hujan harian tahun 2008-2018 (CHIRPS) dilakukan berdasar kategori tanggal kejadian MJO (kuat dan lemah) pada tiap fase (3,4,5) menggunakan data indeks Realtime Multivariate MJO. Hujan ekstrem dikategorikan berdasarkan intensitas curah hujan diatas presentil 95%. Hasil menunjukkan MJO kuat Fase 3, 4 dan 5 lebih sering terjadi saat DJF (frekuensi kejadian 50% lebih banyak dibanding saat MJO lemah). Saat JJA, frekuensi kejadian MJO kuat dan lemah tidak berbeda signifikan. Saat DJF, di Indonesia bagian barat terjadi peningkatan intensitas hujan saat MJO kuat Fase 3 dan 4. Di Indonesia bagian timur, peningkatan curah hujan mencapai hampir 100% di beberapa bagian Papua saat MJO kuat Fase 5 DJF. Di sebagian besar Sulawesi saat MJO kuat Fase 4 bulan JJA peningkatan curah hujan mencapai dua kali lipat. Wilayah dengan curah hujan lebih tinggi saat MJO lemah, diantaranya kawasan barat Indonesia (Sumatera dan Jawa) saat MJO Fase 3 di bulan JJA. Hujan ekstrem terjadi baik saat MJO kuat maupun MJO lemah. Frekuensi kejadian hujan ekstrem lebih tinggi saat MJO kuat di Sumatera bagian utara, Jawa bagian timur, Kalimantan bagian selatan, dan beberapa bagian di Pulau Papua saat Fase 3 di bulan DJF, dan pada wilayah Sulawesi dan Maluku saat Fase 4 di bulan JJA. Frekuensi curah hujan ekstrem lebih tinggi saat MJO lemah seperti pada wilayah Papua pada Fase 3 dan 4 bulan JJA.
POLA SPASIAL DAN TEMPORAL JENIS AWAN DI SELATAN INDONESIA BERDASARKAN KANAL IR1 HIMAWARI-8 PADA PERIODE MUSIM HUJAN Robi Muharsyah; Novi Fitrianti
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 21 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v21i1.4158

Abstract

Banyak kajian yang telah membahas perkiraan jenis awan atau intensitas curah hujan menggunakan citra satelit cuaca HIMAWARI-8, namun umumnya dalam skala wilayah yang kecil (pada satu kota) dan rentang waktu yang singkat (pengamatan beberapa jam). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola spasial dan temporal jenis awan yang diduga dari kanal IR1 HIMAWARI-8, pada cakupan wilayah yang lebih luas, yaitu di bagian selatan Indonesia (80E-150E;15S-1N), serta pada periode pengamatan lebih lama (musim hujan 2017/2018). Metode Convective Stratiform Technique (CST) dipilih untuk menduga jenis awan Stratiform dan Cumuliform. Hasilnya secara temporal, awan Stratiform lebih dominan muncul pada sore hingga malam hari. Kemudian secara spasial, bagian barat di selatan Indonesia selalu diliputi awan Stratiform dari pagi hingga malam hari. Berdasarkan jumlah awan Cumuliform, puncak musim hujan terjadi pada 21–31 Januari 2018. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa juga jumlah pixel awan Cumuliform berkorelasi kuat (r>0,75) terhadap jumlah pixel citra Global Satellite Mapping of Precipitation Near Real Time (GSMaP) dengan intensitas curah hujan >0,1 mm/jam. Terakhir, penelitian ini memberikan suatu pendekatan baru untuk mengukur akurasi antara jenis awan yang diduga dari kanal IR1 HIMAWARI-8 dengan terjadinya curah hujan di suatu wilayah yang dapat dipakai untuk mengevaluasi fenomena pada skala meso seperti Mesoscale Convective Complex (MCC).
MODEL ESTIMASI DATA INTENSITAS RADIASI MATAHARI UNTUK WILAYAH BANTEN Munawar Munawar; Adi Mulsandi; Anistia Malinda Hidayat
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 21 No. 2 (2020): December 2020
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v21i2.4171

Abstract

Data intensitas radiasi matahari (Rs, MJ/m2/day) memiliki peran yang sangat penting dalam pemodelan cuaca dan iklim guna mengkuantifikasi panas yang dipertukarkan antara permukaan dan atmosfer. Namun, keterbatasan jumlah titik pengamatan intensitas radiasi matahari menjadikan pemodelan sebagai alternatif solusi yang relatif mudah dan murah untuk pengambilan data intensitas radiasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa model dalam mengestimasi nilai intensitas radiasi matahari di wilayah penelitian menggunakan dua pendekatan model yang berbeda, yaitu model empiris oleh Keiser, Arkansas (AR) dan model deterministik. Tiga variabel utama cuaca yang digunakan sebagai input data model adalah curah hujan (mm), suhu maksimum (°C), dan suhu minimum (°C). Kedua model tersebut dipilih karena dapat diterapkan dengan hanya melibatkan variabel utama atmosfer yang tersedia dalam waktu yang panjang di lokasi penelitian. Hasil prediksi yang dilakukan dengan model kemudian dibandingkan dengan data reanalisis National Centers for Environmental Prediction (NCEP) pada titik koordinat wilayah Stasiun Klimatologi Pondok Betung. Hasilnya menunjukkan performa model empirik lebih baik dalam menggambarkan variasi temporal dan prediksi variabel intensitas matahari dibandingkan model deterministik. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai korelasi yang cukup baik, yakni mencapai 0,72 (korelasi kuat) dan nilai Root Mean Square Error (RMSE) 2,0. Atas dasar hasil pemodelan yang cukup representatif di lokasi penelitian, analisis secara spasial kemudian diterapkan untuk skala wilayah yang lebih luas, yaitu Provinsi Banten. Berdasarkan tinjauan secara spasial di wilayah kajian, model empirik memiliki performa yang bervariasi di wilayah Provinsi Banten. Hasil prediksi intensitas radiasi matahari di wilayah bagian barat memiliki performa yang lebih baik dibandingkan wilayah bagian timur.  
KAJIAN BANJIR BANDANG MASAMBA JULI 2020, TINJAUAN METEOROLOGIS Muhamad Djazim Syaifullah
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 21 No. 2 (2020): December 2020
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v21i2.4226

Abstract

Banjir bandang dan tanah longsor telah melanda kawasan Masamba, Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan, pada Senin 13 Juli 2010. Sedikitnya puluhan warga meninggal dunia dan ratusan orang luka serta belasan ribu orang mengungsi dan kehilangan harta benda. Data satelit menunjukkan adanya titik-titik longsor yang cukup banyak di wilayah hulu Sungai Sabbang, Sungai Radda, dan Sungai Masamba. Pemerintah menyebutkan bahwa bencana banjir bandang dan tanah longsor di Masamba adalah akibat curah hujan yang tinggi yang dipicu oleh adanya pertumbuhan awan Cumulonimbus (Cb). Analisis lebih detail menunjukkan bahwa beberapa hari sebelumnya daerah Sulawesi Selatan bagian tengah (termasuk juga wilayah Masamba dan sekitarnya) hampir selalu tertutupi oleh tutupan awan jenis Cumulus Congestus. Namun demikian dari analisis TRMM, wilayah Masamba bukan merupakan pusat curah hujan tertinggi. Curah hujan tertinggi berada di wilayah pantai timur Sulawesi Tengah. Adanya kejadiah hujan selama beberapa hari dan struktur tanah yang tidak mendukung memungkinkan permukaan tanah menjadi cepat jenuh, sehingga diduga menyebabkan terjadinya tanah longsor.
KETERKAITAN PERIODISITAS CURAH HUJAN DI DAERAH PESISIR DAN PEGUNUNGAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN VARIABILITAS CUACA SKALA GLOBAL DAN REGIONAL Adikusuma Bimaprawira; Hasti Amrih Rejeki
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 22 No. 2 (2021): December 2021
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v22i2.4422

Abstract

Intisari Jawa Timur merupakan wilayah yang memiliki variasi curah hujan yang dipengaruhi oleh fenomena cuaca global dan regional seperti Dipole Mode, El Nino Southern Oscillation (ENSO), Intertropical Convergence Zone, Madden Julian Oscillation, dan monsun. Topografi yang beragam juga menjadi faktor yang memengaruhi curah hujan di daerah Jawa Timur. Berbagai indeks digunakan untuk melihat aktivitas-aktivitas fenomena cuaca tersebut, seperti DMI untuk aktivitas Dipole Mode, NINO 3.4 untuk aktivitas ENSO, Indeks RMM untuk aktivitas MJO, WNPMI dan, AUSMI untuk aktivitas monsun. Pada penelitian ini digunakan analisis spektral dengan menggunakan metode Fast Fourier Transform untuk melihat periodisitas indeks masing-masing terhadap periodisitas curah hujan dari data 11 pos hujan yang terbagi menjadi 6 pos hujan daerah pesisir dan 5 pos hujan daerah pegunungan. Hasil dari penyeragaman periodisitas fenomena cuaca dengan curah hujan antara lain Dipole Mode (periodisitas 18 bulan), ENSO (periodisitas 18 dan 40 bulan), dan MJO (periodisitas 2 dan 3 bulan). Fenomena yang memengaruhi curah hujan di daerah pesisir maupun pegunungan secara dominan adalah fenomena monsun dengan diikuti ITCZ. Fenomena lain yang memengaruhi di daerah pesisir antara lain dominan MJO, serta fenomena ENSO dan Dipole Mode yang memengaruhi daerah Lamongan, Bunder, dan P3GI dengan kecenderungan lebih kuat pada fenomena Dipole Mode. Sementara itu, fenomena yang memengaruhi hujan di daerah pegunungan secara dominan adalah ENSO. Adapun fenomena lain yang memengaruhi hujan di daerah pegunungan antara lain fenomena MJO di daerah Tosari, serta daerah Kebon Teh Wonosari yang memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh fenomena Dipole Mode meskipun pengaruhnya tidak signifikan.   Abstract East Java is a region whose variations in rainfall are influenced by global and regional weather phenomena such as Dipole Mode, El Niño Southern Oscillation (ENSO), Intertropical Convergence Zone, Madden Julian Oscillation, and monsoons. Diverse topography is also a factor affecting rainfall in the area of East Java. Various indices are used to observe the activities of the weather phenomenon, such as DMI for Dipole Mode activities, NINO 3.4 for ENSO activities, RMM Index for MJO activities, as well as WNPMI and AUSMI for monsoon activities. In this study, spectral analysis was used by utilizing the Fast Fourier Transform method to see the periodicity of each index against the periodicity of rainfall from the 11 rainwater data points, which were divided into 6 coastal data points and 5 mountainous data points. Uniformity of weather phenomena with rainfall result among others Dipole Mode (18 months periodicity), ENSO (18 and 40-month periodicity), and MJO (2 and 3-month periodicity). Phenomena that affect rainfall in coastal and mountainous areas predominantly are monsoon, followed by ITCZ. Other phenomena affecting the coastal area include MJO dominant, and the ENSO and Dipole Mode phenomena that affect the Lamongan, Bunder, and P3GI regions with a stronger tendency to the Dipole Mode phenomenon. Another phenomenon that influences rain in the mountainous area is dominantly ENSO, while other phenomena include MJO phenomena in the Tosari area and Kebon Teh Wonosari region which has a tendency to be influenced by the Dipole Mode phenomenon despite the insignificant effect.
EFFECT OF AEROSOL RADIATION INTERACTION (ARI) FROM INCREASING LAND AND FOREST FIRES ON CLOUD FORMATION IN OGAN KOMERING ILIR (SOUTH SUMATRA) Rini Mariana Sibarani; Rahmat Hidayat; Muh. Taufik; Edvin Aldrian
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 23 No. 1 (2022): June 2022
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Intisari Peningkatan aerosol dapat berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan awan yang dikenal sebagai efek Aerosol Radiation Interaction (ARI). Hal ini berhubungan dengan sifat penyerapan dan penghamburan radiasi matahari dan menyebabkan terjadinya pengurangan radiasi matahari ke permukaan sebagai sumber energi pada proses pembentukan awan secara konvektif. Efek ARI ini dapat dilihat dari parameter Aerosol Radiative Forcing (ARF). ARF bernilai negatif berarti terjadi pengurangan radiasi, sedangkan bernilai positif berarti terjadi peningkatan radiasi. Meningkatnya kebakaran hutan dan lahan di Kab. Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan) dari Agustus hingga November 2019 menyebabkan peningkatan konsentrasi aerosol, yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai Aerosol Optical Thickness (AOT) berkisar dari 1 menjadi 2. Hal ini ditandai dengan peningkatan AOT Komponen kimia Karbon Organik (OC) berkisar antara 0,3 – 1,2 dan Karbon Hitam (BC) berkisar antara 0,1 – 0,35.  Tulisan ini akan membahas efek ARI dengan menggunakan data reanalysis dari Modern-Era Retrospective analysis for Research and Applications II (MERRA-2) dan ERA5 untuk kasus kebakaran hutan di Kab Ogan Komering. Hasil analisis dari data tersebut menunjukkan adanya efek ARI yang ditunjukkan dari nilai negatif pada ARF radiasi gelombang pendek di permukaan (SFC) dan di puncak atmosfer (TOA), nilai positif pada ARF radiasi gelombang panjang di SFC dan nilai negative ARF radiasi gelombang panjang di TOA. Efek ARI terhadap pembentukan awan juga dibuktikan dengan adanya pengurangan tutupan awan rendah (lcc) serta meningkatnya nilai Convective Inhibition (CIN). Abstract  The aerosols increase can directly affect cloud formation, known as the Aerosol Radiation Interaction (ARI) effect, related to the nature of absorption and scattering of solar radiation and causes a reduction in solar radiation to the surface as an energy source in the process of convective cloud formation. This ARI effect can be seen from the Aerosol Radiative Forcing (ARF) parameter. A negative ARF value means a reduction in radiation, while a positive value represents an increase in radiation. The increased land and forest fires in the Kab. Ogan Komering Ilir (South Sumatra) from August to November 2019 led to an increase in aerosol concentrations, which was indicated by an increase in Aerosol Optical Thickness (AOT) values ??ranging from 1 to 2. It is characterized by an increase in AOT Organic Carbon (OC) chemical components ranging from 0.3 – 1.2 and Black Carbon (BC) ranging from 0.1 – 0.35. This paper will discuss the effect of ARI using reanalysis data from Modern-Era Retrospective analysis for Research and Applications II (MERRA-2) and ERA5 for the case of forest fires in the Ogan Komering District. The results of the study show that there is an ARI effect, characterized by a negative value on the ARF of shortwave radiation at the surface (SFC) and the top of the atmosphere (TOA), a positive value on the ARF of longwave radiation at the SFC, and a negative value of ARF of longwave radiation in the TOA. The effect of ARI on cloud formation is also evidenced by a reduction in low cloud cover (lcc) and an increase in the value of Convective Inhibition (CIN).
IDENTIFIKASI HAIL BERDASARKAN ANALISIS FAKTOR CUACA DAN PEMANFAATAN TEKNIK RGB SERTA SWA PADA CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (STUDI KASUS: KEJADIAN HUJAN ES DI KABUPATEN MALANG PADA 2 MARET 2021) Marinda Nur Auliya; Aditya Mulya
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 23 No. 1 (2022): June 2022
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Intisari Fenomena hujan es di Malang terjadi di Kecamatan Sumbermanjing Wetan (8,1 LS dan 112,4 BT) pada 2 Maret 2021. Penelitian dilakukan dengan menganalisis faktor cuaca global, regional, lokal, dan menganalisis karakteristik awan dari data citra satelit menggunakan metode RGB dan SWA saat terjadi hujan es. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ENSO, anomali suhu permukaan laut, dan MJO tidak berpengaruh terhadap kejadian hujan es. Peta streamline menunjukkan adanya geser angin dan siklon tropis di sekitar Malang. Berdasarkan analisis cuaca permukaan menunjukkan adanya penurunan suhu, yaitu sebesar 4.4°C pada pukul 07.00 UTC hingga 08.00 UTC dan 3.6°C pada pukul 08.00 UTC hingga 09.00 UTC serta kenaikan kelembapan yang signifikan, sebesar 10% pada pukul 07.00 UTC hingga 09.00 UTC. Berdasarkan suhu puncak awan, dapat dianalisis bahwa tahap pertumbuhan terjadi pada pukul 06.00 UTC hingga 07.00 UTC. Tahap matang terjadi dari 07.00 UTC hingga 09.00 UTC. Tahap disipasi terjadi dari pukul 09.00 UTC hingga 10.00 UTC. Suhu puncak awan terendah terjadi pada pukul 07.40 UTC dan 8.40 UTC, yaitu -68,2°C. Berdasarkan metode RGB dan SWA menunjukkan bahwa pada pukul 06.40 UTC tidak banyak awan konvektif di lokasi kejadian, pada pukul 07.40 UTC dan 08.40 UTC terdapat banyak awan konvektif, yaitu cumulonimbus di lokasi kejadian, serta pada pukul 09.40 tutupan awan sudah banyak berkurang di lokasi kejadian. Kedua metode tersebut dapat menggambarkan adanya awan konvektif pada saat kejadian hujan es, namun metode SWA dapat lebih spesifik menunjukkan adanya awan konvektif jenis cumulonimbus.  Abstract The hail phenomenon in Malang occurred in Sumbermanjing Wetan District (8.1° South Latitude and 112.4° East Longitude) on March 2, 2021. The study was conducted by analyzing global, regional, local weather factors, and analyzing cloud characteristics from satellite image data using the method RGB and SWA during hail. The results showed that ENSO, sea surface temperature anomalies, and MJO had no effect on the incidence of hail. The streamline map shows wind shear and tropical cyclones around Malang. Based on the analysis of the surface weather, it shows a decrease in temperature, which is 4.4°C at 07.00 UTC to 08.00 UTC and 3.6°C at 08.00 UTC to 09.00 UTC as well as a significant increase in humidity, by 10% at 07.00 UTC to 09.00 UTC. Based on the cloud top temperature, it can be analyzed that the growth stage occurs from 06.00 UTC to 07.00 UTC. The ripe stage occurs from 07.00 UTC to 09.00 UTC. The dissipation stage occurs from 09.00 UTC to 10.00 UTC. The lowest cloud top temperatures occurred at 07.40 UTC and 8.40 UTC, which was -68.2°C. Based on the RGB and SWA methods, it shows that at 06.40 UTC there were not many convective clouds at the incident location, at 07.40 UTC and 08.40 UTC there were many convective clouds, namely cumulonimbus at the scene, and at 09.40 the cloud cover had decreased a lot at the incident location. Both methods can describe the presence of convective clouds during hail events, but the SWA method can be more specific in showing the presence of cumulonimbus convective clouds.
PENGARUH ASIMILASI DATA SATELIT HIMAWARI-8 PADA PEMODELAN CUACA WRF-ARW UNTUK PREDIKSI SIKLON TROPIS Bimo Satria Nugroho
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 23 No. 1 (2022): June 2022
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Peningkatan akurasi model WRF-ARW untuk prediksi siklon tropis yang berpotensi terjadi di sekitar wilayah Indonesia dan memengaruhi kondisi cuacanya menjadi suatu kajian yang penting dilakukan. Salah satu cara perbaikan prediksi yaitu dengan menerapkan asimilasi data menggunakan data radians satelit Himawari-8. Data radians satelit himawari-8 dengan resolusi spasial dan temporal yang tinggi memiliki banyak keuntungan untuk wilayah Indonesia sehingga dapat dimanfaatkan untuk perbaikan kondisi awal model. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi pengaruh asimilasi data satelit Himawari-8 menggunakan teknik 3DVAR pada prediksi siklon tropis. Data satelit yang digunakan untuk asimilasi data yaitu data kanal water vapor dan kanal infra merah lainnya. Prosedur uji parameterisasi fisis pada skema konveksi dan mikrofisis diterapkan sebelum proses asimilasi data. Asimilasi data diterapkan pada prediksi siklon tropis Yvette (2016) dan Veronica (2019). Parameterisasi fisis dengan skema konveksi Kain-Fritsch dan skema mikrofisis WSM3 merupakan skema yang paling baik dalam menghasilkan prediksi siklon tropis. Asimilasi data dari setiap skema yang diujikan memberikan pengaruh dalam proses intensifikasi siklon tropis menjadi lebih kuat dan lebih cepat. Asimilasi data satelit Himawari-8 menggunakan data dari kanal water vapor menghasilkan prediksi siklon tropis yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan semua kanal infra merah. Asimilasi data satelit Himawari-8 menunjukkan adanya perbaikan prediksi yang ditunjukkan dengan pengurangan absolute error mencapai 49,1% pada lintasan siklon tropis, 38,6% pada tekanan udara minimum, 35,4% pada kecepatan angin maksimum dan 10,6% pada parameter curah hujan.   Improving the accuracy of WRF-ARW models for prediction of tropical cyclones potentially occur around Indonesia and affect its weather is an important study to be carried out. One of method to improve predictions is applying data assimilation using Himawari-8 radiance satellite data. Radiance data from Himawari-8 satellite with high spatial and temporal resolution has many advantages for Indonesia so that it can be utilized to improve the initial conditions of the model. The purpose of this study is to identify the effect of the Himawari-8 satellite data assimilation using 3DVAR techniques on tropical cyclone predictions. Satellite data used for data assimilation are radiance data from water vapor channels and other infrared channels. Procedure of physical parameterization test on convection and microphysics scheme are applied before the data assimilation process. Data assimilation is applied on prediction of tropical cyclone Yvette (2016) and Veronica (2019). Physical parameterization with Kain-Fritsch convection scheme and WSM3 microphysics scheme are the best schemes in producing tropical cyclone predictions. Data assimilation from each of the schemes tested has an impact on the intensification process of tropical cyclones becoming stronger and faster. Assimilation of Himawari-8 satellite data using data from water vapor channel produces better tropical cyclones predictions compared to using all infrared channels. The assimilation of Himawari-8 satellite data showed an improvement in predictions as indicated by a reduction in absolute error reaching 49.1% on tropical cyclone track, 38.6% on minimum central pressure, 35.4% on maximum wind speed and 10.6% on rainfall parameters.
PARADIGMA BARU PEMANFAATAN TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA DALAM UPAYA PENANGANAN BENCANA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI INDONESIA Budi Harsoyo; Ibnu Athoillah
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 23 No. 1 (2022): June 2022
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) telah secara rutin dimanfaatkan dalam upaya penanganan bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi hampir setiap tahun di wilayah Pulau Sumatera dan Kalimantan. El Nino tahun 2015 yang mengakibatkan bencana karhutla cukup parah telah memberikan pelajaran dan menjadi titik tolak bagi perubahan paradigma pemanfaatan TMC dalam skema penanganan bencana karhutla di Indonesia. Jika sebelumnya TMC dilakukan untuk tujuan pemadaman karhutla pada saat kejadian bencananya sudah sedemikian masif, maka setelah periode tahun 2015 TMC dilakukan lebih awal untuk tujuan pencegahan bencana karhutla dengan sasaran untuk pembasahan lahan gambut agar tidak mudah terbakar. Dengan pelaksanaan yang lebih awal di masa transisi musim hujan, hasil hujan yang diperoleh dari pelaksanaan TMC dapat lebih optimal dan mampu memperpendek periode kekeringan di lahan gambut yang rentan terbakar. Selama periode tahun 2016-2020, secara signifikan telah terjadi penurunan intensitas kejadian bencana karhutla dilihat dari berkurangnya jumlah titik panas, luas lahan terbakar dan emisi karbon di sejumlah provinsi rawan bencana karhutla di Indonesia.   Weather Modification Technology (WMT) has been routinely used to mitigate forest and land fires disaster that occurs almost every year in Sumatra and Kalimantan. The 2015 El Nino, which resulted in a severe forest and land fire disaster, has provided lessons and has become the starting point for a paradigm shift in the use of WMT in the forest and fire disaster management scheme in Indonesia. Previously, WMT was carried out for the purpose of extinguishing forest and land fires when the disaster was so massive. After 2015, WMT is put into operation in the earlier period, precisely during the rainy season transition period, for the purpose of wetting peatlands and, thus, preventing forest and land fires. The implementation of WMT can be more optimal and is able to shorten the drought period in peatlands that are prone to fire. During the 2016-2020 period, there has been a significant decrease in both the occurrence and the scale of intensity of forest and land fires. This study clearly indicates the decrease in the number of hotspots, the area of burned land, and the carbon emissions in several provinces that are prone to forest and land fires in Indonesia.
THE SEASONAL TREND OF UPPER-AIR AND VERTICAL TEMPERATURE PROFILE BASED ON RADIOSONDE OVER INDONESIA Eka Fibriantika; Rahmat Hidayat; Bambang Dwi Dasanto; Yunus Subagyo Swarinoto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 23 No. 2 (2022): December 2022
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55981/jstmc.v23i2.5393

Abstract

Radiosonde data is one of the data that can be used for upper-air climatological analysis. Pressure, air temperature (T), dew point temperature (Td), wind, and humidity (RH) are the types of data provided by radiosondes. Unfortunately, the utilization of radiosonde data in Indonesia has not been optimal, resulting in a lack of understanding of seasonal air parameter patterns and the vertical structure of the trend of changes in upper-air temperature in Indonesia. This study aims to analyze the seasonal upper-air parameters and analyze the vertical structure of the trend of changes in upper-air temperature in Indonesia. This study uses radiosonde data from 10 radiosonde observation stations in Indonesia. The analysis of seasonal air parameters was carried out by finding the average seasonal value, while the analysis of air temperature trends was carried out using the Mann-Kendall method. The results indicate that the dew point temperature is distinctly different seasonally than the seasonal air temperature. The seasonal dew point temperature difference ranges from 0.5 to 13 oC, while the seasonal air temperature difference ranges from -0.6 to 1.1 oC. The smaller T-Td value, the greater RH value. The trends in upper-air temperature show that most of the study area shows a trend of heating of the upper-air temperature in the troposphere (1000-250 mb), which is between  0.00005 to0.00058 oC/13 years, 0.00012 to 0.00031 oC/9 years, and 0.00009 to 0.00042 oC/10 years and cooling in the lower stratosphere(100 mb) is -0.00011 to -0.00067 oC/13 years.

Filter by Year

2000 2022


Filter By Issues
All Issue Vol. 23 No. 2 (2022): December 2022 Vol. 23 No. 1 (2022): June 2022 Vol. 22 No. 2 (2021): December 2021 Vol. 22 No. 1 (2021): June 2021 Vol. 21 No. 2 (2020): December 2020 Vol. 21 No. 1 (2020): June 2020 Vol 20, No 2 (2019): December 2019 Vol. 20 No. 2 (2019): December 2019 Vol. 20 No. 1 (2019): June 2019 Vol 20, No 1 (2019): June 2019 Vol 19, No 2 (2018): December 2018 Vol. 19 No. 2 (2018): December 2018 Vol 19, No 1 (2018): June 2018 Vol. 19 No. 1 (2018): June 2018 Vol 19, No 1 (2018): June 2018 Vol 19, No 2 (2018) Vol. 18 No. 2 (2017): December 2017 Vol 18, No 2 (2017): December 2017 Vol 18, No 2 (2017): December 2017 Vol 18, No 1 (2017): June 2017 Vol. 18 No. 1 (2017): June 2017 Vol 18, No 1 (2017): June 2017 Vol 17, No 2 (2016): December 2016 Vol. 17 No. 2 (2016): December 2016 Vol 17, No 2 (2016): December 2016 Vol. 17 No. 1 (2016): June 2016 Vol 17, No 1 (2016): June 2016 Vol 17, No 1 (2016): June 2016 Vol 16, No 2 (2015): December 2015 Vol 16, No 2 (2015): December 2015 Vol. 16 No. 2 (2015): December 2015 Vol 16, No 1 (2015): June 2015 Vol 16, No 1 (2015): June 2015 Vol. 16 No. 1 (2015): June 2015 Vol 15, No 2 (2014): December 2014 Vol 15, No 2 (2014): December 2014 Vol. 15 No. 2 (2014): December 2014 Vol. 15 No. 1 (2014): June 2014 Vol 15, No 1 (2014): June 2014 Vol 15, No 1 (2014): June 2014 Vol. 14 No. 2 (2013): December 2013 Vol 14, No 2 (2013): December 2013 Vol 14, No 2 (2013): December 2013 Vol 14, No 1 (2013): June 2013 Vol. 14 No. 1 (2013): June 2013 Vol 14, No 1 (2013): June 2013 Vol. 13 No. 2 (2012): December 2012 Vol 13, No 2 (2012): December 2012 Vol 13, No 2 (2012): December 2012 Vol 13, No 1 (2012): June 2012 Vol. 13 No. 1 (2012): June 2012 Vol 13, No 1 (2012): June 2012 Vol 12, No 2 (2011): December 2011 Vol 12, No 2 (2011): December 2011 Vol. 12 No. 2 (2011): December 2011 Vol 12, No 1 (2011): June 2011 Vol. 12 No. 1 (2011): June 2011 Vol 12, No 1 (2011): June 2011 Vol 11, No 2 (2010): December 2010 Vol. 11 No. 2 (2010): December 2010 Vol 11, No 2 (2010): December 2010 Vol 11, No 1 (2010): June 2010 Vol 11, No 1 (2010): June 2010 Vol. 11 No. 1 (2010): June 2010 Vol. 3 No. 2 (2002): December 2002 Vol 3, No 2 (2002): December 2002 Vol 3, No 2 (2002): December 2002 Vol 3, No 1 (2002): June 2002 Vol 3, No 1 (2002): June 2002 Vol. 3 No. 1 (2002): June 2002 Vol. 2 No. 1 (2001): June 2001 Vol 2, No 1 (2001): June 2001 Vol 2, No 1 (2001): June 2001 Vol 1, No 2 (2000): December 2000 Vol 1, No 2 (2000): December 2000 Vol. 1 No. 2 (2000): December 2000 Vol 1, No 1 (2000): June 2000 Vol 1, No 1 (2000): June 2000 Vol. 1 No. 1 (2000): June 2000 More Issue