cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education,
Arjuna Subject : -
Articles 566 Documents
PERANAN CROSS EQUATORIAL NORTHERLY SURGE TERHADAP DINAMIKA ATMOSFER DI WILAYAH INDONESIA BAGIAN BARAT Tyas Tri Pujiastuti; Nurjaman Nurjaman
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 20 No. 1 (2019): June 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v20i1.3488

Abstract

IntisariPada saat monsun dingin Asia berlangsung pada Oktober hingga Maret, sebagian wilayah Indonesia mengalami peningkatan curah hujan yang signifikan dibandingkan saat periode April hingga September. Selain dari pengaruh monsun, cuaca di wilayah Indonesia juga dipengaruhi oleh sirkulasi skala global dan regional yang terjadi secara simultan. Hal ini dapat memengaruhi dinamika atmosfer di sebagian wilayah Indonesia. Pada penelitian ini, dikaji aktivitas cross equatorial northerly surge yang terjadi pada skala regional serta dampaknya terhadap dinamika atmosfer di wilayah Indonesia bagian barat khususnya Laut China Selatan bagian selatan hingga Laut Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cross equatorial northerly surge pada tahun 2013 terjadi paling kuat pada saat bersamaan dengan cold surge, dan memengaruhi pola divergensi, transpor kelembapan, dan omega, terutama di wilayah utama pada penelitian ini yaitu perairan Laut China Selatan hingga Laut Jawa, yang berpotensi mendukung terjadinya cuaca buruk di wilayah Bangka Belitung dan Jawa bagian barat.   AbstractDuring the Asia winter monsoon from October to March, parts of the Indonesian region experienced significant rainfall increases compared to the period from April to September. Apart from monsoon influence, the weather in the Indonesian region was also influenced by global and regional scale circulations, which occurred simultaneously. This can affect atmospheric dynamics in parts of the Indonesian region. In this study, the activities of cross-equatorial northerly surge that occurred on a regional scale and its impact on atmospheric dynamics conditions in western Indonesia, especially the southern South China Sea to the Java Sea, are examined. The results showed that the cross-equatorial northerly surge in 2013 occurred most strongly at the same time as cold surge, and influenced divergence, moisture transport, and omega patterns, particularly in the main research areas including South China Sea to the Java Sea, which have the potential to excite severe weather in Bangka Belitung and Western part of Java. 
PERFORMA KONVERGENSI ANGIN PERMUKAAN DIURNAL MODEL REANALISIS ERA5 DI BENUA MARITIM INDONESIA Achmad Fahruddin Rais; Soenardi Soenardi; Zubaidi Fanani; Pebri Surgiansyah
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 20 No. 2 (2019): December 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v20i2.3795

Abstract

IntisariPada penelitian ini, penulis mengkaji uji performa kualitatif konvergensi angin permukaan model reanalisis ERA5 di BMI yang dibandingkan dengan hasil penelitian menggunakan limited area model (LAM) oleh Qian, Im dan Eltahir serta Alfahmi et al. Konvergensi angin permukaan dan anomali angin permukaan dihitung dengan menggunakan finite difference.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa model reanalisis ERA5 mampu mensimulasikan konvergensi anomali angin permukaan dengan baik terhadap model regional climate model (RegCM) maupun The MIT regional climate model (MRCM) resolusi 27 km di Pulau Jawa dan sekitarnya serta BMI bagian barat dengan nilai konvergensi yang lebih tinggi. Sedangkan terhadap model weather research forecast (WRF) 9 km di BMI bagian timur, model reanalisis ERA5 juga dapat mensimulasikan konvergensi angin permukaan, tetapi dengan nilai yang lebih rendah. Selain itu, model reanalisis ERA5 mensimulasikan konvergensi angin permukaan lebih cepat 2 jam di BMI bagian barat dan timur dibandingkan MRCM27 dan WRF. AbstractIn this study, we discuss the qualitative performance testing of ERA5 surface wind convergence over the Indonesia maritime continent (BMI) compared with research based on limited area model (LAM) by Qian, Im, and Eltahir and also Alfahmi et al. Wind surface convergence and wind surface anomalies convergence is calculated using finite-difference. The results show that the ERA5 reanalysis model can simulate convergence of surface wind anomalies compared with both regional climate model (RegCM) and 27 km MIT regional climate model (MRCM) over Java and also western BMI with higher convergence values. While ERA5 reanalysis model can also simulate convergence of surface winds, but with lower values compared to 9 km weather research forecast (WRF) model over eastern BMI. Besides, the ERA5 reanalysis model simulates convergence of surface winds, which is 2 hours faster over western and eastern BMI compared to MRCM27 and WRF.
PERBAIKAN ESTIMASI CURAH HUJAN BERBASIS DATA SATELIT DENGAN MEMPERHITUNGKAN FAKTOR PERTUMBUHAN AWAN Adi Mulsandi; Mamenun Mamenun; Lutfi Fitriano; Rahmat Hidayat
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 20 No. 2 (2019): December 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v20i2.3810

Abstract

Intisari Permasalahan utama dalam mengestimasi curah hujan menggunakan data satelit adalah kegagalan membedakan antara awan cumuliform dengan awan stratiform dimana dapat menyebabkan nilai estimasi hujan under/overestimate. Dalam penelitian ini teknik estimasi curah hujan berbasis satelit yang digunakan adalah modifikasi Convective Stratiform Technique (CSTm). CSTm memiliki kelemahan ketika harus menghitung sistem awan konveksi dengan inti konveksi yang sangat luas karena akan memiliki nilai slope parameter kecil, sehingga menghasilkan estimasi curah hujan yang underestimate. Dengan melibatkan perhitungan faktor pertumbuhan awan di algoritma CSTm permasalahan tersebut dapat diatasi. Penelitian ini menerapkan algoritma CSTm dan faktor pertumbuhan awan (CSTm+Growth Factor) untuk mengestimasi kejadian hujan lebat yang menyebabkan banjir di Jakarta pada tanggal 24 Januari 2016 yang digunakan juga sebagai studi kasus di proyek pengembangan model NWP di BMKG. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlibatan faktor pertumbuhan awan sangat efektif memperbaiki kelemahan teknik CSTm, diperlihatkan dengan peningkatan nilai korelasi dari 0.6 menjadi 0.8 untuk wilayah Kemayoran dan -0.1 menjadi 0.83 untuk wilayah Cengkareng. Secara umum gabungan teknik CSTm dan faktor pertumbuhan awan dapat memperbaiki estimasi nilai intensitas dan fase hujan. Abstract  The main problem in estimating rainfall using satellite data is a failure to distinguish between cumuliform and stratiform clouds, which can cause under/overestimate of rains. In this research, the Modified Convective Stratiform Technique (CSTm) has been used to estimate rainfall based on satellite data. The weakness of the CSTm technique is defined when calculating the convective cloud system within a widely convective point. Cloud convective will have a low value of parameter slope and produce an underestimate of rainfall. This issue can be resolved by calculating the cloud growth factor on CSTm. CSTm algorithm and cloud growth factor (CSTm+Growth Factor) has been applied to this research to estimate heavy rainfall for floods event in Jakarta area on January 24th, 2016. The result showed that the cloud growth factor is very effective in improving the weakness of rainfall estimation using the CSTm technique. Correlation between estimation and observation rainfall has increased from 0,6 to 0,8 on Kemayoran and from -0,1 to 0,83 on Cengkareng. The coupled method of CSTm and cloud growth factor significantly improve in estimating phase and intensity of rainfall.
PEMANFAATAN SKEMA DAYTIME MICROPHYSICS RGB HIMAWARI 8 UNTUK MENDETEKSI AWAN CUMULUS POTENSIAL DALAM KEGIATAN TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA Bony Septian Pandjaitan; Asri Rachmawati; Rahmat Hidayat; Samba Wirahma; Adinda Dara Vahada
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 20 No. 2 (2019): December 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v20i2.3873

Abstract

IntisariAwan cumulus potensial, dalam kegiatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) merupakan awan target semai untuk menghasilkan hujan. Selama ini, penentuan kemunculan awan cumulus potensial biasanya didasarkan pada pengamatan radar cuaca dan pengamatan kanal tunggal satelit maupun beberapa kombinasi kanal satelit yang terpisah-pisah. Keberadaan Satelit Geostasioner Himawari 8 dengan frekuensi observasi tiap 10 menit dan memiliki banyak kanal panjang gelombang menawarkan potensi baru untuk mengamati dinamika awan. Pada artikel ini, penulis mencoba menggunakan skema daytime microphysics RGB Himawari 8 untuk mendeteksi kemunculan dan perkembangan awan cumulus potensial pada wilayah TMC di Kalimantan Barat pada bulan Agustus 2018. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa terdapat karakter awan cumulus potensial seperti yang ditunjukkan oleh hasil klasifikasi dari skema daytime microphysics RGB Himawari 8 pada rute semai pesawat TMC. Selain itu, selama 4 hari kegiatan TMC, terlihat bahwa skema daytime microphysics RGB Himawari 8 dapat mendeteksi awal kemunculan awan cumulus potensial dengan selang waktu 1 hingga 2 jam lebih awal sebelum pesawat TMC terlihat sampai ke lokasi awan cumulus potensial tersebut. Sehingga, skema daytime microphysics RGB Himawari 8 bisa dicoba sebagai panduan informasi pelengkap data radar cuaca bagi pesawat TMC untuk menentukan lokasi awan cumulus potensial.  AbstractPotential cumulus clouds, in Weather Modification Technology (TMC) activities are seedling cloud targets to produce rain. During this time, the determination of the appearance of a potential cumulus cloud is usually based on weather radar observations and observations of single satellite channels as well as several separate satellite channel combinations. The existence of the Himawari 8 Geostationary Satellite with an observation frequency every 10 minutes and has many wavelength channels offers new potential for observing cloud dynamics. In this paper, the author tried to use the Himawari 8 RGB daytime microphysics scheme to detect the emergence and development of potential cumulus clouds in the TMC region in West Kalimantan in August 2018. Based on the research results, it appears that there are potential cumulus cloud character traits, as shown by the classification results of the scheme daytime microphysics RGB Himawari 8 on the TMC aircraft seedling route. In addition, during the five days of TMC activities, it was seen that the Himawari 8 RGB microphysics daytime scheme could detect the beginning of the appearance of potential cumulus clouds at intervals of 1 to 2 hours before the TMC aircraft was seen up to the location of the potential cumulus clouds. Thus, the Himawari 8 microphysics RGB daytime scheme can be tried as a supplementary information guide on weather radar data for TMC aircraft to determine the location of potential cumulus clouds.
DETEKSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT HIMAWARI-8 DI KALIMANTAN TENGAH Alpon Sepriando; Hartono Hartono; Retnadi Heru Jatmiko
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 20 No. 2 (2019): December 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v20i2.3884

Abstract

IntisariKebakaran hutan dan lahan terjadi hampir setiap tahun di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan saat musim kemarau. Deteksi kebakaran hutan dan lahan dengan citra satelit menggunakan indikator yang disebut titik panas. Titik panas yang digunakan saat ini di Indonesia diperoleh dari pengolahan data citra satelit berorbit polar (MODIS dan VIIRS) dengan resolusi temporal yang rendah, yaitu hanya 6 kali dalam sehari. Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan data citra satelit Himawari-8 untuk deteksi kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan titik panas dengan resolusi temporal 10 menit, dimana hasilnya di validasi dengan citra polar dan data kebakaran lapangan. Lokasi penelitian berada di Provinsi Kalimantan Tengah dan waktu penelitian adalah bulan September 2019. Data yang digunakan untuk pengolahan adalah 5 saluran Advanced Himawari Imager, peta batas administrasi dan tutupan lahan. Pemrosesan data citra satelit mencakup pemilihan piksel penutup lahan dan batas administrasi, penentuan waktu pengamatan, eliminasi piksel awan, Algoritma Pemantau Kebakaran Aktif, dan validasi hasil. Data citra Himawari-8 dapat diolah menjadi titik panas dengan temporal 10 menit. Validasi terhadap citra polar memiliki tingkat akurasi 66,2%-75,4%, comission error 28,2-46,9% dan omission error 24,6-33,8%. Tingginya comision error terhadap citra VIIRS dikarenakan citra VIIRS memiliki resolusi spasial yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan citra Himawari-8.  AbstractForest and land fires occur almost every year in Indonesia, especially in Sumatra and Kalimantan during the dry season. Detection of forest and land fires with satellite imagery uses an indicator called a hotspot. The hotspots used today in Indonesia are obtained from the processing of polar orbital satellite image data (MODIS and VIIRS) with a low temporal resolution, which is only six times a day. The purpose of this study is to utilize Himawari-8 satellite imagery data for the detection of forest and land fires that produce hotspots with a temporal resolution of 10 minutes, where the results are validated with polar imagery and field fire data. The research location is in Central Kalimantan Province, and the time of the study is September 2019. Data used for processing are 5 Advanced Himawari Imager channels, administrative boundary maps, and land cover. Processing of satellite imagery data includes the selection of cover pixels and administrative boundaries, determination of observation time, elimination of cloud pixels, Active Fire Monitoring Algorithm, and validation of results. Himawari-8 image data can be processed into hotspots with a temporal 10 minutes. Validation of polar images has an accuracy rate of 66.2% -75.4%, commission error 28.2-46.9% and omission error 24.6-33.8%. The high commission error on the VIIRS image is because the VIIRS image has a much higher spatial resolution compared to the Himawari-8 image. 
AEROSOL OPTICAL DEPTH (AOD) OVER FOUR INDONESIAN CITIES FROM THE AERONET MEASUREMENT: AN OVERVIEW Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 20 No. 2 (2019): December 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v20i2.3894

Abstract

Abstract A large amount of aerosol, commonly known as Particulate Matter (PM), is emitted to the atmosphere from land-use conversion, urbanization, and the use of fossil fuels from a variety of sectors. Aerosol affect climate, environment, to human health. Each location might have different aerosols types due to various sources, sinks, and local characteristics. Aerosol Robotic Network (AERONET) has been established to investigate and monitor aerosol world-wide included in Indonesia. This work aims to study aerosol optical properties retrieved from AERONET in four locations namely Bandung, Jambi, Pontianak, and Palangkaraya. Seasonal and daily variability in AOD and Angstrom exponent (α), also aerosol classification, is analyzed. The result shows that aerosol characteristics such as AOD and α in Bandung are different from Jambi, Palangkaraya, and Pontianak due to different aerosol sources. AOD clearly increases during the burning period (dry period) in Jambi, Palangkaraya, and Pontianak. The highest AOD monthly maximum recorded in Palangkaraya as of 4.51 during September. On the other hand, AOD in Bandung does not show significant variation during dry and rainy season. Mixed aerosols (coarse and fine mode) are present in all locations. However, the dominance of fine mode is depicted from high percent frequency of occurrence in Jambi, Palangkaraya, Pontianak, and Bandung, which are 33.4%, 31.38%, 25.14% (α range bin 1.6-1.8) and 37.16% (α range bin 1.4-1.6) respectively. There was a period of α>1 with 1<AOD<6 in Jambi, Palangkaraya, and Pontianak suggesting smoke fire from peatland, while AOD close to 1 with α>1 as the character of urban aerosol is prominent in Bandung.   IntisariSejumlah besar aerosol, atau yang dikenal dengan partikulat, diemisikan ke atmosfer dari aktivitas konversi penggunaan lahan, urbanisasi, dan pembakaran bahan bakar fosil dari berbagai sektor. Aerosol memengaruhi iklim, lingkungan, hingga kesehatan manusia. Setiap lokasi memiliki jenis aerosol berbeda karena perbedaan sumber polusi dan cara penyerapannya, serta karakteristik lokal daerah tersebut. Aerosol Robotic Network (AERONET) dibentuk untuk menginvestigasi dan memantau aerosol di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari sifat optik aerosol yang diperoleh dari AERONET di empat lokasi yaitu Bandung, Jambi, Pontianak, dan Palangkaraya. Variabilitas musiman dan harian parameter AOD dan Angstrom eksponen (α) serta klasifikasi aerosol juga dianalisis. Hasil dari studi menunjukkan karakteristik aerosol seperti AOD dan α di Bandung berbeda dari Jambi, Palangkaraya, dan Pontianak karena perbedaan sumber aerosol. AOD meningkat selama periode kebakaran lahan (musim kemarau) di Jambi, Palangkaraya, dan Pontianak. Maksimum bulanan AOD tertinggi tercatat di Palangkaraya sebesar 4.51 pada September. Di sisi lain, AOD di Bandung tidak menunjukkan variasi yang besar pada musim kemarau dan hujan. Aerosol campuran (partikel kasar dan halus) terdapat di semua lokasi. Namun, dominasi aerosol berukuran halus digambarkan oleh tingginya frekuensi kejadian di Jambi, Palangkaraya, Pontianak, dan Bandung masing-masing 33,4%, 31,38%, 25,14% (α range bin 1,6-1,8) dan 37,16% (α range bin 1,4-1.6). Terdapat periode dimana α> 1 dengan 1 <AOD <6 di Jambi, Palangkaraya, dan Pontianak menunjukkan sumber aerosol berasal dari kebakaran asap dari lahan gambut, sementara AOD mendekati 1 dengan α> 1 sebagai karakter dari aerosol perkotaan menonjol di Bandung.
APLIKASI RADAR CUACA UNTUK IDENTIFIKASI FLUKTUASI KONDISI CUACA EKSTRIM (STUDI KASUS: BANJIR DI KOTA MEDAN TANGGAL 5 OKTOBER 2018) Budi Prasetyo; Nikita Pusparini; Irwandi Irwandi; Welly Fitria
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 20 No. 1 (2019): June 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v20i1.3901

Abstract

Intisari Data Radar cuaca Enterprise Electronics Corporation (EEC) selama 24 jam pada tanggal 5 Oktober 2018 mulai pukul 07.00 WIB hingga 07.00 WIB tanggal 6 Oktober 2018 digunakan pada penelitian ini. Data ini diperoleh dari Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah I dalam format volumetric (.vol) dan memiliki selang waktu per 10 menit. Metode yang digunakan yaitu analisis deskriptif hasil produk turunan Radar yang diolah menggunakan perangkat lunak yang berasal dari produsen radar yaitu Enterprise Doppler Graphic Environment (EDGE) berupa Coloumn Maximum (CMAX), momen intensitas horizontal, momen rata-rata curah hujan, dan Vertical Integrated Reflectivity (VIR), serta grafik curah hujan (RHG). Penelitian ini memperlihatkan bahwa fluktuasi kondisi cuaca yang terjadi pada tanggal 5 Oktober 2018 sangat tinggi. Secara umum, curah hujan intensitas tinggi yang terjadi di Kota Medan pada tanggal 5 Oktober 2018 umumnya terbagi menjadi tiga periode, yaitu hujan pada siang hingga sore (pukul 14.00 – 15.50 WIB), hujan pada petang (pukul 18.20 – 19.40 WIB), dan hujan pada malam hari (21.10 – 23.40 WIB). Fluktuasi tertinggi terjadi pada periode pertama dengan kenaikan curah hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Medan Helvetia dengan kenaikan curah hujan sebanyak 32 mm dalam 10 menit yang terjadi pada pukul 14.50 WIB, pada periode kedua terjadi di Kecamatan Medan Kota dengan kenaikan 24 mm pada pukul 18.20 WIB, dan periode ketiga terjadi di Kecamatan Medan Johor dengan kenaikan 17 mm pada pukul 21.20 WIB. Abstract Enterprise Electronics Corporation (EEC) Data Radar for 24 hours on October 5th, 2018, starting at 7:00 LT until 07.00 LT on October 6th, 2018, were used in this research. These data were obtained from the Center for Meteorology, Climatology and Geophysics in Region I in the form of volumetric (.vol) and has an interval of 10 minutes. The method used were descriptive analysis of Radar products processed by software from Radar manufacture, namely Enterprise Doppler Graphic Environment (EDGE) software which in the form of Column Maximum (CMAX) moments of horizontal intensity and moments of average rainfall, Vertical Integrated Reflectivity (VIR), and rainfall graph (RHG). We found that there were high fluctuations in weather conditions that occurred on October 5th, 2018. In general, the high-intensity rainfall occurred in Medan city on October 5th, 2018 was generally divided into three periods, namely rain in the afternoon until evening (at 14:00 - 15:50 LT), rain at dusk (18:20 - 19:40 LT), rain at night (21.10 - 23.40 LT). The highest fluctuation occurred in the first period with the highest increase of rainfall occurred in Medan Helvetia Subdistrict with an increase of 32 mm rainfall in 10 minutes which occurred at 14.50 LT; the second period occurred in Medan Kota District with a 24 mm increase at 18.20 LT, and the third period occurred in Medan Johor District with a 17 mm increase at 21.20 LT.
KONVERGENSI ATMOSFER LAPISAN BAWAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUJAN EKSTRIM (STUDI KASUS: BANJIR CIREBON 15 FEBRUARI 2017) Erwin Mulyana
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 20 No. 1 (2019): June 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v20i1.3943

Abstract

IntisariTelah dilakukan analisis kondisi atmosfer di berbagai lapisan ketinggian untuk melihat keterkaitannya dengan kejadian hujan ekstrim di wilayah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah pada tanggal 15 Februari 2017. Area penelitian difokuskan di area 108.00-109.50 BT dan 6.50-7.50 LS yang merupakan area hujan ekstrim (AHE). Analisis sebaran dan waktu kejadian hujan menggunakan data GSMaP dengan resolusi 0.10 x 0.10 dan periode setiap satu jam, data satelit MERRA2 dengan resolusi 0.6250 x 0.50 dengan periode setiap 3 jam, data Radiosonde stasiun Cengkareng jam 07.00 dan 19.00 WIB, serta citra satelit Himawari 8. Hujan di wilayah AHE berlangsung pada jam 13.00–23.00 WIB dengan puncak hujan terjadi pada jam 18.00 WIB. Saat terjadi hujan ekstrim, terdapat perlambatan angin baratan di wilayah AHE serta adanya pertemuan angin dari utara dan dari selatan di wilayah tersebut. Area AHE merupakan area dengan konvergensi kuat pada level ketinggian 925 mb dan 850 mb, sebaliknya terjadi divergensi pada level ketinggian 700 mb dan 500 mb. Data Radiosonde menunjukkan kelembapan udara dari permukaan hingga lapisan 400 mb umumnya lebih dari 80%. Freezing level pada jam 07.00 WIB terdapat di level 571 mb (4.622 m) dan pada jam 19.00 WIB terdapat di level 585 mb (4.820 m).  AbstractHave been analyzed of the atmospheric conditions at various altitudes in its relationship with extreme rainfall over West Java-Central Java border area on February 15th, 2017. The study area is focused on the 108.00-109.50 East and 6.50-7.50 South, which is the extreme rainfall area (AHE). The data used in this study are GSMaP hourly rainfall (0.10 x 0.10), MERRA2 satellite three-hourly data (0.6250 x 0.50), Cengkareng Radiosonde data at 07.00 LT and 19.00 LT, and Himawari 8 Satellite imagery. The rainfall in the AHE area occurred at 13.00–23.00 LT, with the peak rainfall, occurred at 18.00 LT. The lower atmospheric westerly wind became slower over the AHE area, while the northerly and southerly wind converged at this area. The AHE area has a strong convergence at level 925 mb, and 850 mb, conversely divergence occurred at level 700 mb and 500 mb. The Radiosonde data shows that the air humidity is generally more than 80% from the surface to 400 mb. The freezing level at 07.00 LT found at 571 mb (4,622 m) while at 19.00 LT found at 585 mb (4,820 m).
EVALUASI HASIL PELAKSANAAN TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA (TMC) UNTUK MENGURANGI INTENSITAS CURAH HUJAN (STUDI KASUS: KEGIATAN TMC DI AREA PEMBANGUNAN PROYEK JALAN TOL BALIKPAPAN-SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2018) M. Bayu Rizky Prayoga; Rini Mariana Sibarani; Ardila Yananto; Samba Wirahma; Budi Harsoyo
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 20 No. 1 (2019): June 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v20i1.3972

Abstract

IntisariPenerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di Indonesia terus mengalami perkembangan. Tidak hanya untuk menambah curah hujan, belakangan TMC kerap dijadikan solusi yang menjanjikan untuk mengurangi curah hujan si suatu daerah. Melalui konsep Metode Kompetisi dan Metode Jumping Process, curah hujan di suatu daerah dapat dikurangi intensitasnya. Penerapan TMC untuk mengurangi curah hujan pernah diterapkan di area proyek pembangunan jalan tol-Balikpapan-Samarinda, Kalimantan Timur. Melalui evaluasi terhadap curah hujan secara spasial maupun temporal, dapat diketahui indikasi pengurangan curah hujan di wilayah tersebut. Secara spasial, aktivitas TMC mampu meredistribusi hujan di daerah upwind sehingga area pembangunan tol mendapatkan curah hujan yang lebih kecil. Menggunakan pendekatan statistik dengan membandingkan curah hujan prediksi dan curah hujan aktual, didapatkan estimasi tingkat pengurangan curah hujan selama kegiatan TMC berlangsung di kisaran nilai 40%. AbstractThe application of Weather Modification Technology (WMT) in Indonesia continues to develop. Not only to increase rainfall, but WMT is often used as a promising solution to reduce rainfall in an area. Through the concept of the Competition Method and the Jumping Process Method, the intensity of rainfall in an area can be reduced. The application of WMT to reduce rainfall has been applied in the project area of the Balikpapan-Samarinda toll road construction, East Kalimantan. Through the evaluation of rainfall spatially and temporally, it can be seen as an indication of a reduction in rainfall in the region. Spatially, WMT activity can redistribute rainfall in the upwind area so that the toll road construction area gets smaller rainfall. Using a statistical approach by comparing predicted rainfall and actual rainfall, an estimated level of rainfall reduction during the TMC activity takes place in the range of 40%.
ANALISIS SPASIAL INDEK STABILITAS UDARA DI INDONESIA Eka Fibriantika; Dian Mayangwulan
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 21 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v21i1.4005

Abstract

Indeks stabilitas udara merupakan salah satu parameter yang dapat dihasilkan dari pengolahan data radiosonde. Pemetaan kondisi indeks stabilitas udara di Indonesia belum dilakukan. Diduga terdapat hubungan antara indeks stabilitas udara dengan curah hujan. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data Radiosonde 22 stasiun pengamatan dan data TRMM wilayah Indonesia Tahun 2019. Kajian ini bertujuan menganalisis indeks stabilitas udara di Indonesia secara spasial dan melihat hubungan antara antara indeks stabilitas udara dengan curah hujan. Berdasrkan kajian yang telah dilakukan, bulan Januari merupakan bulan dengan nilai KI, SI, LI, dan TT paling kuat diikuti dengan sebaran curah hujan bulanan yang tinggi. Sedangkan bulan September merupakan bulan paling stabil dengan nilai KI, SI, LI, dan TT paling lemah diikuti dengan kondisi kering di Indonesia. Pergerakan pelemahan indeks stabilitas udara dimulai dari wilayah NTT, NTB, Bali hingga terus melebar ke arah utara dimulai pada bulan Juni, dan perlahan menguat pada bulan Oktober.

Filter by Year

2000 2022


Filter By Issues
All Issue Vol. 23 No. 2 (2022): December 2022 Vol. 23 No. 1 (2022): June 2022 Vol. 22 No. 2 (2021): December 2021 Vol. 22 No. 1 (2021): June 2021 Vol. 21 No. 2 (2020): December 2020 Vol. 21 No. 1 (2020): June 2020 Vol. 20 No. 2 (2019): December 2019 Vol 20, No 2 (2019): December 2019 Vol. 20 No. 1 (2019): June 2019 Vol 20, No 1 (2019): June 2019 Vol 19, No 2 (2018): December 2018 Vol. 19 No. 2 (2018): December 2018 Vol. 19 No. 1 (2018): June 2018 Vol 19, No 1 (2018): June 2018 Vol 19, No 1 (2018): June 2018 Vol 19, No 2 (2018) Vol. 18 No. 2 (2017): December 2017 Vol 18, No 2 (2017): December 2017 Vol 18, No 2 (2017): December 2017 Vol 18, No 1 (2017): June 2017 Vol 18, No 1 (2017): June 2017 Vol. 18 No. 1 (2017): June 2017 Vol. 17 No. 2 (2016): December 2016 Vol 17, No 2 (2016): December 2016 Vol 17, No 2 (2016): December 2016 Vol 17, No 1 (2016): June 2016 Vol. 17 No. 1 (2016): June 2016 Vol 17, No 1 (2016): June 2016 Vol 16, No 2 (2015): December 2015 Vol. 16 No. 2 (2015): December 2015 Vol 16, No 2 (2015): December 2015 Vol. 16 No. 1 (2015): June 2015 Vol 16, No 1 (2015): June 2015 Vol 16, No 1 (2015): June 2015 Vol 15, No 2 (2014): December 2014 Vol. 15 No. 2 (2014): December 2014 Vol 15, No 2 (2014): December 2014 Vol 15, No 1 (2014): June 2014 Vol. 15 No. 1 (2014): June 2014 Vol 15, No 1 (2014): June 2014 Vol 14, No 2 (2013): December 2013 Vol. 14 No. 2 (2013): December 2013 Vol 14, No 2 (2013): December 2013 Vol 14, No 1 (2013): June 2013 Vol. 14 No. 1 (2013): June 2013 Vol 14, No 1 (2013): June 2013 Vol. 13 No. 2 (2012): December 2012 Vol 13, No 2 (2012): December 2012 Vol 13, No 2 (2012): December 2012 Vol 13, No 1 (2012): June 2012 Vol 13, No 1 (2012): June 2012 Vol. 13 No. 1 (2012): June 2012 Vol. 12 No. 2 (2011): December 2011 Vol 12, No 2 (2011): December 2011 Vol 12, No 2 (2011): December 2011 Vol 12, No 1 (2011): June 2011 Vol 12, No 1 (2011): June 2011 Vol. 12 No. 1 (2011): June 2011 Vol 11, No 2 (2010): December 2010 Vol 11, No 2 (2010): December 2010 Vol. 11 No. 2 (2010): December 2010 Vol 11, No 1 (2010): June 2010 Vol 11, No 1 (2010): June 2010 Vol. 11 No. 1 (2010): June 2010 Vol 3, No 2 (2002): December 2002 Vol. 3 No. 2 (2002): December 2002 Vol 3, No 2 (2002): December 2002 Vol. 3 No. 1 (2002): June 2002 Vol 3, No 1 (2002): June 2002 Vol 3, No 1 (2002): June 2002 Vol. 2 No. 1 (2001): June 2001 Vol 2, No 1 (2001): June 2001 Vol 2, No 1 (2001): June 2001 Vol 1, No 2 (2000): December 2000 Vol 1, No 2 (2000): December 2000 Vol. 1 No. 2 (2000): December 2000 Vol. 1 No. 1 (2000): June 2000 Vol 1, No 1 (2000): June 2000 Vol 1, No 1 (2000): June 2000 More Issue