cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY
ISSN : 14106175     EISSN : 25278843     DOI : -
Core Subject : Science,
Bulletin of the Marine Geology is a scientific journal of Marine geoscience that is published periodically, twice a year (June and December). The publication identification could be recognized on the ISSN 1410-6175 (print) and e-ISSN: 2527-8843 (on-line) twice a year (June & December) and it has been accredited by Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indonesian Institute of Sciences) by Decree Number: 818/E/2015. As an open access journal, thus all content are freely available without any charge to the user. Users are allowed to download, and distribute the full texts of the articles without permission from the publisher.
Arjuna Subject : -
Articles 175 Documents
SEDIMENTATION AND DEPOSITIONAL ENVIRONMENT BASED ON SEISMIC AND DRILLING CORE ANALYSES IN CIMANUK DELTA INDRAMAYU, WEST JAVA I Nyoman Astawa
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 24, No 2 (2009)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2795.817 KB) | DOI: 10.32693/bomg.24.2.2009.18

Abstract

Core drilling had been carried out in three locations such as in Brondong Village (BH-01), Pasekan Village (BH-02), and Karangsong Village (BH-03). Those three cores are similar in lithology consist of clay. They are correlated based on fragment content, such as fine sand lenses, mollusk shells, rock and carbonate materials which discovered from different depths. Single side band of shallow seismic reflection recorded paleochannels in E sequence at the north and the west of investigated area. It’s predicted the north paleo channels were part of Lawas River or Tegar River, while the west paleo channels were part of Rambatan Lama River. Microfauna content of all those three cores indicated that from the depth of 0.00 meter down to 25,00 meters are Holocene/Recent, from 25,00 meters to the bottom are Pleistocene which were deposited in the bay to middle neritic environment. Key words: Core drilling, seismic interpretation, Cimanuk Delta Pemboran inti dilakukan di 3 (tiga) lokasi yaitu di Desa Brondong (BH-01), Desa Pasekan (BH- 02), dan Desa Karangsong (BH-03). Ke tiga inti bor itu mempunyai kesamaan litologi yaitu lempung. Korelasi dilakukan berdasarkan kandungan fragmen seperti lensa-lensa pasir halus, cangkang moluska, material batuan dan material karbonat yang terdapat pada kedalaman yang berbeda. Seismik pantul dangkal saluran tunggal merekam adanya alur purba pada runtunan E di bagian utara dan barat daerah penelitian. Diduga alur purba di bagian utara merupakan bagian dari tubuh Kali Lawas atau Kali Tegar, sedangkan di bagian barat sebagai bagian dari tubuh Kali Rambatan Lama. Kandungan mikrofaunanya menunjukkan ketiga bor inti mulai kedalaman 0,00 meter sampai 25,00 meter berumur Holosen/Resen, sedangkan dari 25,00 meter sampai batas bawah pemboran berumur Plistosen yang diendapkan pada lingkungan teluk hingga Neritik Tengah. Kata kunci: Bor inti, penafsiran seismik, Delta Cimanuk.
THE DEVELOPMENT OF PORONG ESTUARY Undang Hernawan
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 23, No 1 (2008)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1691.856 KB) | DOI: 10.32693/bomg.23.1.2008.9

Abstract

Coastal zone is an area of interaction between the land and the sea. Coastal dynamic is influenced by many factors, such as sedimentation and current. Development of an area in the coastal zone such as estuary is also influenced by suck factors. Development of porong estuary is analyzed by interpretation of Image data, i.e. Landsat TM data that acquired in July, 29th 1975, August, 17th 1994, August, 17th 2000, May, 19th 2002 and Quickbird imagery that acquired in April, 25th 2008. Field survey has been done on April 2008. Based on data interpretation, there are accretion and abrasion in this area. The accretion in the southern part of Porong estuary between 1975 – 2008 is about 33.15 km or about 3.15 km/year equivalent to 1,492.29 Ha. The abrasion area in the northern part of Porong estuary in 33 years since 1975 till 2008 is around 0.5 km or aproximately 15.15 m/year equivalent to 222.45 Ha of wide or 6.802 Ha/year. Development of Porong delta, especially in the southern part of Porong estuary, is caused by change of pattern and main stream of Porong River from the noth to the south. This river delivered large volume of sediments and precipated at this area without or minor influence from the sea. Porong delta is a fluvial delta. Coastal characteristic is mangrove, muddy sediment and locally is sand sediment. Land use in this area is fish pond and mangrove. Key words: Porong estuary, Satellite imagery Pantai/pesisir merupakan wilayah antara daratan dan lautan yang masih dipengaruhi oleh keduanya. Dinamika pantai akan dipengaruhi oleh faktor-faktor dari daratan seperti sedimentasi dan faktor dari lautan seperti arus. Demikian halnya perkembangan suatu daerah di pesisir, seperti daerah muara, dipengaruhi oleh daratan dan lautan. Perkembangan muara Porong dianalisis berdasarkan interpretasi citra satelit, yaitu Landsat hasil perekaman 29 Juli 1975, 17 Agustus 1994, 17 Agustus 2004, 19 Mei 2002 dan citra Quickbird perekaman 25 April 2008. Survey lapangan dilaksanakan pada bulan April 2008. Berdasarkan interpretasi citra, ditemukan daerah akresi dan abrasi pada daerah penelitian. Daerah akresi ditemukan di bagian selatan daerah penelitian yaitu sekitar 33.15 km selama 1975–2008 atau sekitar 3.15 km/tahun dengan luasan sekitar 1,492.29 Ha. Daerah abrasi umumnya terdapat di muara Kali Porong sebelah utara, yaitu sejauh 0.5 km selama 33 tahun atau kira-kira 15.15 m/tahun dengan luasan 222.45 Ha atau sekitar 6.802 Ha/tahun. Perkembangan muara dan delta Porong, terutama di muara sebelah selatan, diperkirakan karena adanya perubahan arah utama Sungai Porong, yang berubah dari arah utara kea rah selatan. Aliran sungai ini membawa banyak sedimen dan diendapkan pada daerah ini, karena tiada atau kurangnya pengaruh dari laut. Delta Porong termasuk kawasan delta fluvial. Karakteristik daerah pantai umumnya berlumpur dengan setempat berupa pasir. Penggunaan lahan pada daerah ini umumnya berupa tambak dan mangrove. Kata Kunci : Delta Porong, citra Satelit
OSTRACODA FROM SUBSURFACE SEDIMENTS OF KARIMATA STRAIT AS INDICATOR OF ENVIRONMENTAL CHANGES Kresna Tri Dewi; Riza Rahardiawan
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 29, No 1 (2014)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1768.258 KB) | DOI: 10.32693/bomg.29.1.2014.60

Abstract

Karimata Strait is a part of Sunda Shelf connected South China Sea with Malacca Strait, Indian Ocean and Java Sea. This shelf was a large Sunda Land that has been detected by many evidences as records of various paleo-environments. The purpose of this study is to recognize the characteristic community of ostracoda related to the environmental history of this shelf. Three selected cores sediments represented east (A), middle (B) and west (C) parts of Karimata Strait were used for Ostracoda based on standard method on micropaleontology. Additional method was applied of SEM-EDX analysis to abnormal specimens. The result shows that there are 43 species of ostracoda belonging to 34 genera identified in the study area. The highest number of ostracoda is found in Core B, in the middle part of the strait, and the lowest value belongs to the Core A that close to the land of Kalimantan. Several genera of Ostracoda were documented in all cores: Actinocythereis, Cytherella, Cytherelloidea, Keijia, Keijella, Hemicytheridea, Hemikrithe, Neocytheretta, Neomonoceratina, Loxoconcha, Pistocythereis, Stigmatocythere and Xestoleberis. Vertically, ostracoda are mostly found in the upper part of the cores and decrease or disappear in the lower part of Cores A and C where dominated by black organic materials. It may relate to a wide swampy area before the last sea level rise as part of the history of the SundaShelf about 15,000 years ago. Some major elements (C, CaO, Al2O4, FeO, SiO2, MgOdan SO3 covered or filled abnormal specimens that can provide additional information about environmental changes in the study area, such as Carbon may relate to charcoal from land of Kalimatan and Sumatera Keywords: Ostracoda, subsurface sediment, EDX, environmental changes, Karimata Strait Selat Karimata merupakan bagian dari Paparan Sunda menghubungkan Laut China Selatan dengan Selat Malaka, Samudera Hindia, dan Laut Jawa. Paparan ini merupakan sebuah Dataran Sunda yang luas yang terdeteksi dari bukti-bukti sebagai rekaman berbagai lingkungan purba.Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui karakteristik komunitas ostracoda berkaitan dengan sejarah lingkungan paparan ini. Terpilih tiga sedimen pemercontoh inti mewakili bagian timur (A), tengah (B) dan barat (C) Selat Karimata digunakan untuk studi Ostracoda berdasarkan metoda standar pada mikropaleontologi. Metoda tambahan adalah aplikasi SEM-EDX terhadap spesimen abnormal. Hasil menunjukkan bahwa di daerah penelitian teridentifikasi 43 spesies ostracoda termasuk dalam 34 genera. Jumlah ostracoda tertinggi ditemukan di Core B dari bagian tengah selat dan terendah di Core A yang berdekatan dengan daratan Kalimantan. Beberapa genera ostracoda ditemukan di semua sampel: Actinocythereis, Cytherella, Cytherelloidea, Keijia, Keijella, Hemicytheridea, Hemikrithe, Neocytheretta, Neomonoceratina, Loxoconcha, Pistocythereis, Stigmatocythere dan Xestoleberis. Secara vertikal, ostracoda umumnya ditemukan di bagian atas dari core dan menurun atau menghilang di bagian bawah Core A dan C yang di dominasi oleh material organik berwarna hitam. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan daerah rawa yang luas dan sebelum muka laut naik terakhir pada sejarah Paparan Sunda sekitar 15.000 tahun yang lalu. Beberapa zat kimia (C, CaO, Al2O3, FeO, SiO2, MgO dan SO3) menutupi atau mengisi spesimen abnormal dapat memberi informasi tambahan tentang perubahan lingkungan di daerah penelitian, seperti karbon mungkin berkaitan dengan arang dari daratan Kalimantan dan Sumatera. Kata kunci: Ostracoda, sedimen bawah dasar laut, EDX, perubahan lingkungan, Selat Karimat
ENVIRONMENTAL CONTROL OF NANNOPLANKTON AND FORAMINIFERA ASSEMBLAGES IN MADURA WATERS Vijaya Isnaniawardhani
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 24, No 1 (2009)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (482.769 KB) | DOI: 10.32693/bomg.24.1.2009.10

Abstract

Nannoplankton is widely used for determining age of sediments following the other microorganism foraminifera since the late 1960s; and it was started being used for marine geography study in the year of 1984. This topic interests to be done in Indonesia as one of the tropic region. The research covered a study about environment using nannoplankton and it is compared with the same study using foraminifera. Methods of the study include: (1) collecting secondary data and samples; (2) collecting field data record; (3) laboratory analyses upon sediment samples to determine the content of nannoplankton and foraminifera (micropaleontology analyses), the texture and composition of minerals (by means of grain size, petrology megascopic and microscopic analyses) (4) intergrating all of the analyses result. Madura waters can be divided into four zones, among all : (I) inner shelf (water depth less than 30 m) in Madura Strait, (II) inner shelf in open marine north of Madura, (III) outer shelf (water depth 30 to 80 m) in Madura Strait, and (IV) outer shelf in open marine north of Madura. Inner shelf in the Madura Strait (Zone I) is characterized by less than 1% sediment of nannoplankton (are made up of Gephyrocapsa oceanica); rare assemblages of benthic foraminifera only (Ammonia spp., arenaceous carbonate test taxa such as : Ammobaculites spp., Textularia agglutinans, Haplophragmoides spp., and milliolidae). Inner shelf open marine north of Madura (Zone II) yielded few nannoplankton assemblages, dominated by Gephyrocapsa oceanica with low number of Emiliania huxleyi, Helicosphaera carteri, H. pavimentum, H. walichii and Pontosphaera spp; common foraminifera assemblages consist of rare planktic Globigerinoides ruber, G. trilobus sacculiferus, G. conglobatus with one or two dominant benthic (Elphidium spp, Ammonia spp., Pseudorotalia spp., Asterorotalia spp.). Outer shelf of Madura Strait (Zone III) assigned by common nannoplankton assemblages, dominated by Gephyrocapsa oceanica and Emiliania huxleyi with few to common Helicosphaera carteri, H. pavimentum, H. wallichii, Pontosphaera spp., Calcidiscus leptoporus, Umbellosphaera irregularis and Umbilicosphaera spp.; common benthic foraminifera assemblages Elphidium spp, Ammonia spp., Cibicides spp., Pseudorotalia spp., and Asterorotalia spp. with rare planktic Globigerinoides ruber, G. trilobus sacculiferus, and G. conglobatus. In the outer shelf open marine north of Madura (Zone IV), it is recorded abundant of nannoplankton Gephyrocapsa oceanica, Emiliania huxleyi, Helicosphaera carteri, H. pavimentum, H. wallichii, Pontosphaera spp., Discoaster spp., Calcidiscus leptoporus, Umbellosphaera irregularis, Umbilicosphaera spp.; the presence of moderate divers and abundance of planktic foraminifera Globigerina calida, Pulleniatina obliquiloculata, Orbulina universa, Hastigerina aequilateralis with common abundance benthic Bolivina spp., Bulimina spp., Cibicides spp., Pseudorotalia spp., Asterorotalia spp., Lenticulina spp., Cassidulina spp., Siphonina spp., the presence of Uvigerina spp. are noted. The most significant physical environment parameter of each zone controlling appearance of marker species and abundancy of microorganism assemblages are bathymetry, salinity, temperature, pH and sediment due to fluvial supply. Keywords : nannoplankton, foraminifera, environment, marker species, Madura Waters Nannoplankton telah digunakan secara luas untuk penentuan umur sedimen di samping mikroorganisme lain, foraminifera, sejak tahun 1960-an; dan mulai digunakan untuk studi geografi laut pada tahun 1984. Kajian ini menarik untuk dilakukan di Indonesia yang termasuk daerah tropis. Studi ini mempelajari perubahan lingkungan berdasarkan analisis nannoplankton, dibandingkan dengan foraminifera yang umum dipakai untuk kegunaan sejenis. Metode penelitian mencakup : (1) pengumpulan data sekunder dan sampel; (2) pengambilan data lapangan; (3) pekerjaan laboratorium meliputi analisis mikropaleontologi dan petrologi ; serta (4) integrasi seluruh hasil analisis. Perairan Madura dapat dibedakan menjadi empat zona, yaitu: (I) Paparan dalam (kedalaman muka air laut kurang dari 30 m) di Selat Madura; (II) Paparan dalam pada laut terbuka di Perairan Utara Madura; (III) Paparan luar (kedalaman muka air laut 30 hingga 80 m) di Selat Madura; dan (IV) Paparan luar pada laut terbuka di Perairan Utara Madura. Paparan dalam di Selat Madura (Zona I) dicirikan oleh kumpulan nannoplankton kurang dari 1% total sedimen (Gephyrocapsa oceanica); foraminifera bentik jarang (Ammonia spp., cangkang gamping pasiran seperti Ammobaculites spp., Textularia agglutinans, Haplophragmoides spp., dan miliolida). Paparan dalam di laut terbuka (Zona II) dicirikan oleh nannoplankton kurang melimpah yang didominasi oleh Gephyrocapsa oceanica dengan beberapa Emiliania huxleyi, Helicosphaera carteri, H. pavimentum, H. walichii, Pontosphaera spp; foraminifera cukup melimpah dengan plankton Globigerinoides ruber, G. trilobus sacculiferus, G. conglobatus dalam jumlah jarang serta satu atau dua jenis bentik yang dominan (Elphidium spp, Ammonia spp., Pseudorotalia spp., Asterorotalia spp.). Paparan luar di Selat Madura (Zona III) dicirikan oleh nannoplankton dalam jumlah yang umum, didominasi oleh Gephyrocapsa oceanica dan Emiliania huxleyi dengan beberapa Helicosphaera carteri, H. pavimentum, H. wallichii, Pontosphaera spp., Calcidiscus leptoporus, Umbellosphaera irregularis, Umbilicosphaera spp.; foraminifera bentik jumlahnya umum seperti Elphidium spp, Ammonia spp., Cibicides spp., Pseudorotalia spp., dan Asterorotalia spp. dengan foraminifera planktik seperti Globigerinoides ruber, G. trilobus sacculiferus, dan G. conglobatus dalam jumlah jarang. Di paparan luar laut terbuka (Zona IV) teridentifikasi nannoplankton yang melimpah seperti Gephyrocapsa oceanica, Emiliania huxleyi, Helicosphaera carteri, H. pavimentum, H. wallichii, Pontosphaera spp., Discoaster spp., Calcidiscus leptoporus, Umbellosphaera irregularis, Umbilicosphaera spp.; dan beragam jenis foraminifera planktik seperti Globigerina calida, Pulleniatina obliquiloculata, Orbulina universa dan Hastigerina aequilateralis serta foraminifera bentik seperti Bolivina spp., Bulimina spp., Cibicides spp., Pseudorotalia spp., Asterorotalia spp., Lenticulina spp., Cassidulina spp., Siphonina spp. dan Uvigerina spp. dalam jumlah yang umum. Parameter lingkungan fisik yang paling berpengaruh dalam mengontrol kehadiran spesies penunjuk (indikator) dan kelimpahan kumpulan mikroorganisma adalah: batimetri, salinitas, temperatur, pH dan sedimen. Katakunci : nannoplankton, foraminifera, lingkungan, spesies penunjuk, Perairan Madura
COASTAL DYNAMICS OF SINGKAWANG, WEST KALIMANTAN Yudi Darlan; Udaya Kamiludin
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 27, No 2 (2012)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2389.187 KB) | DOI: 10.32693/bomg.27.2.2012.47

Abstract

Morphologically, Singkawang and adjacent area consist of zones beaches, undulating hills, and steep hills. Granitic rocks and alluvium as a based rock of Singkawang coasts. Generally, Singkawang coasts was developed for coastal farms, fishery pond, and beach resorts, where most of these area have been eroded. Geological and physical oceanography condition are the aspects that build the characteristics of Singkawang coast. Human activities also play an important role in managing the equilibrium and dynamics of this coastal region. This research is to determine the dynamics and coastline changes of Singkawang coasts based on the characteristics of the coastal element and sediment. The high erosion was occurred at Semalagi–Cape Bajau. The Cape Bajau - Cape Banjar is relatively stable due to headlands of this coast is characterized by igneous rocks which resistant to the erosion. The Cape Banjar – South Coasts is very intensive erosion coast. Modern shorelines of the Singkawang coast might be as a shallow marine environment which were occurred thousands years ago (pre-Recent). The high of sedimentation process is generated by global sea level change, where was occurred at that time, and might be changed the area become part of the mainland coast of Singkawang. Keywords: coastal dynamics, erosion, sedimentation, Singkawang, West Kalimantan Secara morfologi, Singkawang terdiri atas daerah patai, perbukitan bergelombang, dan perbukitan curam. Batuan granit dan alluvium mengalasi kawasan pesisir Singkawang. Pesisir Singkawang sebagian besar berupa daerah pertanian, tambak ikan, dan tempat wisata yang umumnya merupakan kawasan pantai erosi. Geologi dan oseanografi fisika merupakan aspek yang membentuk karakteristik pantai Singkawang. Aktifitas manusia juga memainkan peranan penting di dalam mengelola kesetimbangan dan dinamika pesisir daerah ini. Penelitian ini untuk mengetahui dinamika dan perubahan garispantai Singkawang berdasarkan karakteristik dan sedimen pantai. Pantai Semalagi – Tanjung Bajau merupakan kawasan pantai erosi kuat. Tanjung Bajau – Tanjung Banjar merupakan kawasan pantai nisbi stabil ujung-ujung TanjungTanjungnya dicirikan oleh batuan beku yang tahan terhadap erosi. Tanjung Banjar – Pantai Selatan merupakan kawasan pantai erosi sangat kuat. Garispantai Singkawang pada saat ribuan tahun sebelum sekarang (pra-Recent) diperkirakan berupa kawasan lingkungan laut dangkal. Karena proses sedimentasi cukup kuat yang ditimbulkan oleh perubahan muka laut global pada saat itu mengubah kawasan tersebut menjadi daratan pantai Singkawang. Kata kunci: Dinamika pantai, erosi, sedimentasi, Singkawang, Kalimantan Barat.
BIOGENIC GAS IN DELTAIC DEPOSITION ENVIRONMENT IN KAPUAS RIVER, WEST KALIMANTAN AND ITS UTILIZATIONS FOR LOCAL COMMUNITY Hananto Kurnio; Yudi Darlan
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 24, No 2 (2009)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2440.686 KB) | DOI: 10.32693/bomg.24.2.2009.15

Abstract

Biogenic gas within a deltaic deposition environment in the Kapuas rivermouth of West Kalimantan occurred in fine to very fine quartz sand reservoir of shallow boreholes of having the depth of 1-12 m below ground surface. This reservoir is covered by peaty layers of semi-impermeable property. During high tide, gas bubbling took place in the water column above the ground of these semi-impermeable layers. Utilizations of biogenic gas had been done succesfully. These works were carried out through drilling, piping, gas storage and installations for gas stove and gas electricity generator of 500 watt capacity at chief village house as an example before widely used to the local community. Keywords: Biogenic Gas; Deltaic Deposition Environment; Kapuas River; west Kalimantan, Utilization. Gas biogenik dalam suatu lingkungan pengendapan delta di muara Sungai Kapuas Kalimantan Barat terdapat dalam reservoar pasir kuarsa berukuran halus hingga sangat halus pada kedalaman bor dangkal 1-12 m di bawah permukaan tanah. Reservoar ini ditutupi oleh lapisan gambut semiimpermeabel. Selama pasang naik, gelembung gas teramati dalam kolom air di atas permukaan lapisan semi-impermeabel ini. Pemanfaatan gas biogenik telah dilaksanakan dengan sukses. Pemanfaatan ini dilakukan melalui pemboran, pipanisasi, penampungan gas dan instalasi untuk kompor gas dan generator listrik berbahan bakar gas kapasitas 500 watt di rumah Kepala Desa sebagai contoh sebelum dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat setempat. Kata kunci: Gas Biogenik, Lingkungan Pengendapan Delta, Sungai Kapuas, Kalimantan Barat, Pemanfaatan
HEAVY MINERAL DISTRIBUTION PATTERNS AND CHARACTERISTICS OF SEA FLOOR SURFICIAL SEDIMENT AT EAST BALI WATERS, BALI PROVINCE I Wayan Lugra
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 26, No 2 (2011)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.573 KB) | DOI: 10.32693/bomg.26.2.2011.38

Abstract

Analyses result of the heavy minerals that was took from beach sediments and sea floor surficial sediments was founded ten heavy minerals namely hematite, magnetite, limonite and rutile from oxide and hydroxide group, pyroxene, amphibol and zircon from silicate group, biotit from mica group, barite from sulfide group and dolomite from carbonate group. From 10 minerals identified, only magnetit distributes in the whole area, with the highest percentage of 34,15% in the sea and 35,14 % on beaches. Other heavy minerals distribute locally with the percentage of less than 0,01 %. Grain size analyses result of sea floor surficial sediment had identified six units sediment such as sand, sand with few gravel, sandy gravel, gravely sand, gravel and reef. Distribution area of the six units sediment as follows sand and sandy gravel are occupied 25 % respectively of the study area, reef 20%, sand 15 %, gravel 10 % and gravely sand occupied 5%. The best sediment for making art goods is sand sizes which is rich of heavy minerals such as magnetite, hematitre, limonite, zircon, pyroxene and amphibol. If will be exploited of the sand sediment on beach or sea floor surficial sediment, should be considering of the environment sustainable. Keyword: grain size analyses, heavy mineral, seafloor surficial sediment, besach sediment, Karang Asem Hasil analisis mineral berat dari sedimen pantai dan permukaan dasar laut dijumpai sepuluh jenis mineral berat yaitu magnetit, hematit, limonit, rutil dari kelompok oksida & hidroksida, piroksen, ampibol, sirkon dari kelompok silikat, biotit dari kelompok mika, barit dari kelompok sulfida dan dolomit dari kelompok karbonat. Dari sepuluh jenis mineral berat yang teridentifikasi hanya magnetit yang sebarannya merata di seluruh daerah penyelidikan baik di laut maupun di pantai dengan persentase tertinggi 34,15 % di laut dan 35,14% di pantai, sedangkan sembilan mineral lainnya sebarannya tidak merata atau setempat-setempat dengan persentase umumnya di bawah 0,01 %. Hasil analisis besar butir sedimen permukaan dasar laut dapat di bedakan menjadi 6 satuan yaitu pasir, pasir sedikit krikilan, pasir krikilan, krikil pasiran, krikil dan terumbu karang. Luas sebaran ke enam jenis sedimen tersebut terhadap luas daerah penelitian adalah pasir sedikit krikilan menempati 25%, pasir krikilan 25%, terumbu karang 20%, pasir 15%, krikil 10% dan menempati pasir krikilan 5%. Jenis sedimen yang baik untuk pembuatan benda seni adalah sedimen berukuran pasir dengan kandungan mineral berat yang tinggi seperti magnetit, hematit, limonit, sirkon, piroksen, dan ampibol. Bila akan dilakukan eksploitasi terhadap sedimen jenis pasir baik di laut maupun di pantai, harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Kata kunci: analisis besar butir, mineral berat, sedimen permukaan dasar laut, sedimen pantai, Karang Asem
THE SEAFLOOR MORPHOLOGHY OF SUNDA STRAIT FOR LAYING THE UNDERWATER CABLES Yogi Noviadi
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 25, No 2 (2010)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (500.327 KB) | DOI: 10.32693/bomg.25.2.2010.29

Abstract

The coastal and offshore areas around the Sunda Strait will be developed to be a submarine cable corridor connecting between Java and Sumatra Islands. There are some requirements that should be considered before laying the underwater cables. One of these considerations is to understand the seafloor morphology of the Sunda Strait. The study was conducted based on six of track lines with 1 km line spacing and 4 Cross lines. The water depth obtained then was corrected to the depth of water from the Lowest Water Level (LWL). The seabed condition in the near shore area of Sumatra side is very flat and is influenced by 2 km offshore tide activity. The coast line is characterized by mangrove and fine fraction of sediments (mud and clay). At the Java side, the coastal morphology is characterized by the very steep slope and most of the area is occupied by the industrial activities. Keywords: seafloor morphology, under water cables, Sunda Strait Area pantai dan perairan Selat Sunda akan dikembangkan sebagai bagian dalam penempatan kabel bawah laut yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Rencana penempatan kabel bawah laut ini membutuhkan beberapa persyaratan teknis yang harus dipertimbangkan. Salah satu pertimbangan untuk peletakan kabel bawah laut adalah memahami morfologi dasar laut selat Sunda. Penelitian dilakukan berdasarkan 6 lintasan pemeruman dengan jarak antar lintasan 1 km, dan 4 lintasan memotong lintasan utama. Kedalaman laut yang diperoleh kemudian dikoreksi dengan muka laut terendah. Kondisi permukaan dasar laut di sisi pantai Sumatra sangat datar serta sejauh 2 km ke arah laut lepas masih dipengaruhi oleh aktifitas pasang surut. Garis pantainya dicirikan oleh tanaman bakau dan fraksi sedimen halus (lumpur dan lempung). Pada sisi Jawa, morfologi pantai dicirikan oleh kemiringan lereng yang curam dan kebanyakan area ditempati oleh aktivitas industri. Kata kunci: morfologi dasar laut, kabel bawah laut, Selat Sunda
Vertical Distribution of Heavy Metals in Coastal Sediment: A Record of the Changing Input in the Estuarine of the Semarang Flood Canal Fitri Budiyanto
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 33, No 1 (2018)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2413.183 KB) | DOI: 10.32693/bomg.33.1.2018.408

Abstract

Sediment plays an important role in archiving contaminant like heavy metals and couldrecord metal contamination in sediment due to land-based input such as flood canals of Semarang. Thisstudy was to understand the changing record of heavy metals’ contamination in coastal sediment and toassess the sediment quality. Two core sediments, from two different sites, were collected up to 80 cm in depthand, subsequently, sectioned within a 5 cm interval. A digestion system followed by AAS measurement, wasused to determine the metal concentrations, Enrichment Factor (EF) was applied to assess sediment quality.The sediment fraction and metals concentration revealed the changing of input and deposition process alongsediment cores in East Flood Canal (EFC) and West Flood Canal (WFC). There was an alteration ofsediment composition in which the proportion of sediment composition moved to finer size in EFC and apulse of coarser-finer-coarser size of sediment composition was observed in WFC. In general, higherconcentrations of Fe, Cd, Cu, Ni and Zn were observed differently with Pb concentration. Ni along bothsediment cores was unenriched (EF<1), whereas Cd, Cu, Pb, and Zn were classified minor to moderateenrichment. Thus, the source and deposition processes of these Fe, Cd, Cu, Ni and Zn were differentcompared with those of Pb.Keyword: flood canal, Semarang, heavy metal, Enrichment FactorSedimen memiliki peran sebagai tempat penyimpanan bahan pencemar seperti logam berat dan studiatas pencemaran logam berat dalam sedimen di banjir kanal kota Semarang belum banyak dilakukan. Sehinggatujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejarah pencemaran dengan melihat distribusi vertikal kemudianmenilai status logam berat dalam sedimen di muara banjir kanal barat dan banjir kanal timur kota Semarang. Untukmenjawab tujuan penelitian, telah dilakukan pengambilan 2 sampel sedimen inti hingga kedalaman 80 cm kemudiansedimen tersebut diambil tiap interval 5 cm. Metode peleburan yang diikuti pengukuran dengan AAS dilakukanuntuk mengukur konsentrasi logam dan Enrichment Factor (EF) dihitung untuk menilai kualitas sedimen. Fraksisedimen dan konsentrasi logam berat menunjukkan perubahan masukan dan proses deposisi di sepanjang sedimen intiyang dianalsis dari Banjir Kanal Timur (BKT) dan Banjir Kanal Barat (BKB). Tampak adanya perubahankomposisi sedimen dimana sedimen di EFC cenderung menjadi lebih halus sementara tampak adanya fluktuasikomposisi sedimen di WFC dari kasar-halus-kasar. Masing-masing logam menunjukkan pola yang berbedawalaupun konsentrasi Fe, Cd, Cu , Ni dan Zn tinggi tampak di periode energi yang lebih tinggi dan konsentrasi Pbtinggi teramati sema periode energi rendah. Ni di kedua sedimen inti masih berada pada konsentrasi alami(EF<1),tetapi Cd, Cu, Pb dan Zn telah mengalami pengayaan minor hingga moderat. Informasi tersebut dapatmenunjukkan sumber dan proses deposisi Fe, Cd, Cu, Ni dan Zn berbeda dengan Pb.Kata kunci: Banjir kanal, Semarang, logam berat, Enrichment Factor.
Oblique Intraplate Convergence of the Seram Trough, Indonesia Adi Patria; Robert Hall
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 33, No 1 (2018)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5729.068 KB) | DOI: 10.32693/bomg.33.1.2018.553

Abstract

The Banda Arc which curves around through 180o is one of interesting features in Eastern Indonesia, a complex area resulting from convergence of Indo–Australia, Eurasia, and Pacific plates with a number of microplates involved. Its complexity has led to debates on how the U–shaped geometry was attained. This study investigates seafloor morphology and seismicity around the Seram Trough which may help to give an insight into the tectonic setting of the area. We further discuss each model proposed for the Seram Trough by previous authors. Generally, there are two views on how many slabs are subducting beneath the Banda Arc, either double slabs or single slab. The Seram Trough, which is often linked to the Timor–Tanimbar Trough enclosing the Banda Arc, was interpreted in different ways, with many models by many authors, as a subduction trench, an intraplate foredeep and a zone of strike–slip faulting. We argue that the most plausible explanation is a single slab model to explain the nature of the Banda Arc. The most plausible model for the Seram Trough is a foredeep model which is associated with exhumation processes on Seram and the deep feature was caused by a subsidence, led by loading by the fold–thrust belt. The Seram Trough is significantly different to common subduction systems. It has shallower bathymetry, is less than 3000 m in depth and is an almost aseismic zone. Keywords: Banda Arc, Buru Basin, convergence, fold–thrust belt, Seram Trough.Busur Banda yang melengkung 180o merupakan fitur menarik di Indonesia bagian timur, suatu area kompleks hasil konvergensi lempeng Indo–Australia, Eurasia dan Pasifik dengan beberapa lempeng mikro terlibat. Kompleksitasnya mengarah pada perdebatan bagaimana geometri ‘U’ terbentuk. Studi ini menginvestigasi morfologi dasar laut dan kegempaan disekitar Palung Seram yang dapat membantu memberikan wawasan tentang tatanan tektonik area tersebut. Kami juga mendiskusikan setiap model yang diajukan untuk Palung Seram oleh beberapa penulis sebelumnya. Umumnya, terdapat dua penjelasan tentang berapa jumlah lempeng yang menunjam dibawah Busur Sunda, antara dua lempeng atau satu lempeng. Palung Seram yang sering dihubungkan dengan Palung Timor-Tanimbar menyelubungi Busur Banda telah diinterpretasikan dengan beberapa model oleh beberapa penulis sebagai palung subduksi, foredeep dalam satu lempeng dan zona sesar mendatar. Kami mengajukan bahwa penjelasan yang memungkinkan adalah model satu lempeng dalam penjelasan keadaan Busur Banda. Model yang dapat diterima untuk Palung Seram adalah foredeep di depan sabuk sesar anjak dan lipatan yang berasosiasi dengan exhumation processes di Pulau Seram dan fitur yang dalam diakibatkan oleh subsidence akibat pembeban jalur sesar anjak dan lipatan. Palung Seram memiliki batimetri yang lebih dangkal, kurang dari 3000m dan merupakan zona aseismik.Kata kunci: Busur Banda, Cekungan Buru, konvergensi, jalur sesar anjak dan lipatan, Palung Seram.

Page 10 of 18 | Total Record : 175