cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY
ISSN : 14106175     EISSN : 25278843     DOI : -
Core Subject : Science,
Bulletin of the Marine Geology is a scientific journal of Marine geoscience that is published periodically, twice a year (June and December). The publication identification could be recognized on the ISSN 1410-6175 (print) and e-ISSN: 2527-8843 (on-line) twice a year (June & December) and it has been accredited by Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indonesian Institute of Sciences) by Decree Number: 818/E/2015. As an open access journal, thus all content are freely available without any charge to the user. Users are allowed to download, and distribute the full texts of the articles without permission from the publisher.
Arjuna Subject : -
Articles 173 Documents
FAULT PATTERN AND ACTIVE DEFORMATION OF OUTER ARC RIDGE OF NORTHWEST OF SIMEULUE ISLAND, ACEH, INDONESIA Haryadi Permana; K. Hirata
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 26, No 1 (2011)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1412.318 KB) | DOI: 10.32693/bomg.26.1.2011.33

Abstract

New bathymetric map of northwest Simeuleu Island area (3° 01’N-4°57’N and 93°16’E-94°08’E) has evidently illustrated fine morphological image of Outer Arc ridge and Aceh Fore Arc. The structural lineament pattern, inferred from the bathymetric map, could define in general elongated major NW-SE thrust fault complex, thrust fold, or bedding trace and N-S, NNE-SSW, WNW-ESE or ENE-WSW and E-W structural lineament trend. High intensity deformation processes related to high degree obliquity subducted plate was represented by rough and sigmoidal morphological shape, landward and steep to very steep dip angle of bedding plan. Rough morphology, V to U shape valley, dissected ridge and circular shape of landslide trace are common morphology features of active deformation zone. In the near future, high resolution marine seismic will be planned across this area to capture and confirm the subsurface structure configuration and fault movement. Keyword: bathymetric map, Outer Arc ridge, thrust fault, thrust fold, bedding trace, sigmoidal morphological, V to U shape valley,and landslide. Peta batimetri baru di sebelah barat laut Pulau Simelue (3° 01’LU - 4°57’LU and 93°16’BT-94°08’BT), memperlihatkan citra morfologi yang halus pada punggungan busur luar dan busur depan Aceh. Pola kelurusan struktur mengacu pada peta batimetri, dibagi dalam komplek sesar naik yang berarah umum baratlaut - tenggara, lipatan, atau jejak perlapisan dengan kecendrungan arah struktur utara-selatan, utara timur laut – selatan barat daya, barat - barat daya, timur tenggara atau timur laut - barat daya dan timur - barat. Proses deformasi intensitas tinggi berkaitan dengan derajat kemiringan penunjaman yang tinggi, diwakili oleh bentuk morfologi sigmoid dan kasar, ke arah darat dicirikan oleh kemiringan bidang lapisan terjal hingga sangat terjal. Bentuk morfologi kasar seperti bentuk lembah V hingga U, punggungan yang terpotong dan bentuk melingkar dari jejak longsoran merupakan gambaran morfologi umum dari zona deformasi aktif. Dalam waktu dekat, seismik laut resolusi tinggi akan direncanakan memotong daerah ini untuk menggambarkan dan mengkonfirmasi konfigurasi struktur bawah permukaan dan pergerakan sesar. Kata kunci : peta batimetri, punggungan busur luar, sesar naik, lipatan, jejak bidang perlapisan, morfologi sigmoid, bentuk lembah V hingga U,dan longsoran.
LAND-SEA INTERACTIONS IN COASTAL WATERS OFF NE KALIMANTAN: EVIDENCE FROM MICROFAUNAL COMMUNITIES Kresna Tri Dewi; Noor C.D. Aryanto; Yogi Noviadi
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 22, No 1 (2007)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2687.123 KB) | DOI: 10.32693/bomg.22.1.2007.1

Abstract

Microfauna (ostracoda and foraminifera) as component of sediments has been used to detect the dynamics of sea floor condition in NE Kalimantan, particularly off Nunukan and Sebatik Islands. In general, the microfaunal components tend to increase (both number of species and specimens) from near shore to the open sea. The microfauna occur rarely at locations surrounding the islands due to high content of plant remains from the land. The marine origin of microfaunas occurs very abundantly in the inner part of the study area between Tinabasan and Nunukan Islands. This finding is interested due to their occurrence as unusual forms: brownish shells, broken and articulated ostracod carapaces. Additional interested findings are: the incidence of abraded test of Elphidium, the occurrence of dominant species of both ostracoda and foraminifera at some stations; various morphological forms of foraminiferal genus, Asterorotalia that reaches about 1% and distributed in the open sea. The various unusual forms may relate to the dynamics of local environmental changes such as postdepositional accumulation in the sediment, biological activities, and drift currents from open sea to landward. Keywords: Ostracoda, Foraminifera, North East Kalimantan, land-sea interaction Mikrofauna (ostracoda dan foraminifera), sebagai komponen sedimen dapat digunakan untuk mendeteksi dinamika kondisi dasar laut di Kalimantan Timur, tepatnya di sekitar Pulau Nunukan dan Sebatik. Secara umum, komponen mikrofauna cenderung bertambah (baik dalam jumlah spesies maupun spesimen) dari perairan sekitar pantai ke arah laut lepas. Mikrofauna yang ditemukan sangat jarang di lokasi sekitar pulau-pulau disebabkan oleh keterdapatan sisa-sisa tanaman dari daratan. Mikrofauna asal lautan ditemukan sangat melimpah di bagian dalam daerah penelitian antara Pulau Tinabasan dan Nunukan. Temuan ini sangat menarik karena adanya bentukan abnormal: cangkang berwarna kecoklatan, rusak dan cangkang ostracoda berbentuk tangkupan. Temuan tambahan yang juga menarik adalah: keterdapatan cangkang Elphidum yang rusak, keterdapatan beberapa spesies ostracoda dan foraminifera secara dominan di titik lokasi tertentu, dan kenampakan morfologi yang bervariasi dari genus foraminifera, Asterorotalia, yang mencapai 1% dan tersebar di laut lepas. Berbagai bentukan abnormal tersebut kemungkinan berkaitan dengan dinamika kondisi lingkungan setempat seperti akumulasi setelah pengendapan dalam sedimen, aktivitas biologis dan alur arus dari laut terbuka kearah daratan. Kata kunci: ostracoda, foraminifera, Kalimantan Timur, interaksi daratan-lautan
HEAVY METAL CONTENTS IN MARINE SEDIMENTS AND SEAWATER AT TOTOK BAY AREA, NORTH SULAWESI Delyuzar Ilahude
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 25, No 1 (2010)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (453.414 KB) | DOI: 10.32693/bomg.25.1.2010.24

Abstract

The study area is located in north-eastern part of Tomini Bay, approximately 80 km south of Manado city, North Sulawesi. This area is closed to submarine tailing disposal system in Buyat Bay. Five marine sediment samples and four water samples from seawater and dig wells have been used for heavy metals (Hg, As, CN) analyses by using Atomic Absorption Spectrometry (AAS). This study is a part of research conducted by Marine Geological Institute of Indonesia on morphological changes of seabed in the Totok Bay. The result shows that concentration of mercury (Hg) in water samples taken from Ratatotok estuary is higher than standards stipulated Government Regulation (Peraturan Pemerintah/PP) No. 82/2001. Meanwhile, concentration of arsenic (As) is almost reaching its standard threshold, and conversely cyanide (CN) concentration is low. This value of mercury (Hg) concentration taken from Ratatotok estuary is much higher than water samples from of Buyat Bay estuary. Significant concentration of mercury (Hg) analysed from those particular sampling sites indicated high mercury contamination. Therefore, further examination on ground water of dig wells is necessary, especially for mercury analysis (Hg). Furthermore, comparing the formerly obtained data of mercury concentration in the sediment, this particular study concludes that the sediments in the Totok Bay had contaminated by mercury from gold-processing of illegal mining. Keywords: pollution, heavy metal, marine sediment, seawater, Totok Bay Daerah penelitian terletak di bagian timur laut Teluk Tomini, sekitar 80 km selatan kota Manado, Sulawesi Utara. Lokasi ini berdekatan dengan tempat pembuangan limbah tambang bawah laut di Teluk Buyat. Lima contoh sedimen laut, lima buah contoh air dari laut dan sumur telah digunakan untuk analisa logam berat (Hg, As, dan CN) menggunakan metode Atomic Absorption Spectrometry AAS. Studi ini merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan oleh Marine Geological Institute of Indonesia tentang perubahan morfologi dasar laut di Teluk Totok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan merkuri dalam contoh air yang diambil dari sekitar muara sungai Ratatotok lebih tinggi dari standar Peraturan Pemerintah/PP No. 82/2001. Sementara itu, konsentrasi arsen (As) hampir mencapai ambang batas standar dan konsentrasi sianida (CN) jauh lebih rendah dari standar ambang batas. Nilai kandungan merkuri di estuari Ratatotok lebih tinggi dibandingkan dengan contoh air yang terukur dari muara sungai di Teluk Buyat. Kandungan merkuri yang tinggi ini menunjukkan adanya indikasi pencemaran logam berat, dan oleh karena itu air di sumur-sumur penduduk perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, khususnya untuk analisa merkuri. Selain itu, berdasarkan perbandingan kandungan merkuri dalam sedimen pada penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Teluk Totok telah mengalami kontaminasi merkuri dari penambangan emas ilegal. Kata kunci: polusi, logam berat, sedimen laut, air laut, Teluk Totok
Calcareous Nannoplankton (marine algae) Analysis in Subsurface Sediments of Andaman Sea Marfasran Hendrizan; Rainer Arief Troa; Eko Triarso; Rina Zuraida; Shengfa Liu
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 31, No 2 (2016)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1509.875 KB) | DOI: 10.32693/bomg.31.2.2016.313

Abstract

Andaman Sea in the Indo-Pacific Warm Pool (IPWP) is influenced by Indo-Australia monsoon winds. Marine sediment cores in this area, BS36 (06°55’50.8”N; 96°07’28.51”E; ; Water depth 1147.1 meters) were acquired by Geomarin III research vessel andanalysed its morphology for nannoplankton occurences. Results from qualitative identification on marine sediment core in Andaman Sea obtained 11 genus of nannoplankton marine algae in this area. Dominated genus discovered in this site is Gephyrocapsa, Emiliania, and Helicosphaera. Although this research is qualitative and preliminary study phase; however, this reference of modern nannoplankton taxonomy and features using Scanning Electron Microscope (SEM) would enhance marine algae biodiversity along Andaman Sea of Indonesian watersKeywords: Nannoplankton, morphology, sediment core, taxonomy, Andaman Sea Kawasan Laut Andaman terletak di wilayah kolam panas Indo-Pasifik sangat dipengaruhi oleh angin musim Indo-Australia. Conto inti sedimen laut di wilayah BS 36 (06°55’50.8” Utara; 96°7’28.51” Timur; kedalaman laut 1147,1 meter) diambil menggunakan wahana kapal riset Geomarin III dan dianalisis morfologi nanoplankton yang ditemukan di wilayah ini. Hasil dari pemerian kualitatif dari conto sedimen inti di Laut Andaman menghasilkan 11 genus nanoplankton sebagai alga laut yang dapat ditemukan pada lokasi ini. Genus yang sangat menonjol di satu lokasi titik pengambilan conto sedimen inti yaitu Gephyrocapsa, Emiliania, dan Helicosphaera. Meskipun kajian ini masih bersifat kualitatif dan tahap studi awal; namun acuan tentang taksonomi nanoplankton modern dan kenampakan dari Scanning Electron Microscope (SEM) akan memperkaya biodivesitas alga laut di sepanjang Laut Andaman dari perairan Indonesia.Kata Kunci: Nanoplankton, morfologi, conto sedimen inti, taxonomi, Laut Andaman
THE RELATIONSHIP OF SEAFLOOR SURFACIAL SEDIMENT WITH SEABOTTOM MORPHOLOGY OF LEMKUTAN ISLAND WATER, WEST KALIMANTAN Hananto Kurnio; Noor C.D. Aryanto
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 28, No 2 (2013)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1286.057 KB) | DOI: 10.32693/bomg.28.2.2013.56

Abstract

Sea floor sediment surrounding Lemukutan Island, West Kalimantan is distributed on rather steep sea bottom morphology. The steep bottom seems a continuation of rugged morphology of the island, especially at the northeast and southeast parts. This paper discusses the relation between sediment grain sizes and the steepness of sea bottom morphology. Grain size analyses of sediment shows various sediment types such as slightly gravelly muddy sand, gravel mostly composed of coral and lithic, and gravelly sand. Results show that steepness of sea bottom slope control deposited sediment types, coarse fraction sediments tend to settle on the area of high slope angle as at the northeastern and southeastern of the island. On the other hand, high energy marine environment, such as at the sea in front of north headland of Lemukutan Island, tends to accumulate coarse sediments. High percentages of organism shells in marine sediments obviously are deposited at those two domains. Keywords: sea bottom morphology, sediment, Lemukutan Island, West Kalimantan. Sedimen dasar laut sekitar Pulau Lemukutan, Kalimantan Barat tersebar pada morfologi yang agak curam. Permukaan dasar laut yang curam tampaknya merupakan kelanjutan morfologi kasar pulau tersebut, terutama pada bagian timur laut dan tenggara. Makalah ini membahas hubungan antara besar butir sedimen dan kecuraman morfologi dasar laut. Analisis besar butir sedimen memperlihatkan jenis sedimen yang bervariasi, seperti pasir lumpuran sedikit krikilan, kerikil umumnya terdiri koral dan fragmen batuan, dan pasir krikilan. Hasil kajian menunjukkan bahwa kecuraman lereng dasar laut mengontrol tipe sedimen yang diendapkan, sedimen fraksi kasar cenderung mengendap pada daerah dengan sudut lereng tinggi seperti di bagian timur laut dan tenggara Pulau Lemukutan. Di samping itu, lingkungan laut enerji tinggi, seperti di bagian utara pulau, cenderung mengakumulasikan sedimen kasar. Prosentase tinggi dari cangkang organisma dalam sedimen laut tampak nyata diendapkan pada kedua lingkungan tersebut. Kata kunci: morfologi dasar laut, sedimen, Pulau Lemukutan, Kalimantan Barat.
Structural complexity in the boundary of forearc basin – accretionary wedge in the northwesternmost Sunda active margin Maruf M. Mukti
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 33, No 1 (2018)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3704.943 KB) | DOI: 10.32693/bomg.33.1.2018.536

Abstract

The area from Andaman to northern Sumatran margin is a region where major faults collided that complicates the structural configuration. The origin of structures in the boundary between the accretionary wedge and forearc basin in the northwesternmost segment of the Sunda margin has been a subject of debates. This article reviews several published works on the Andaman – north Sumatran margin to characterize the boundary between forearc basin and accretionary wedge. Complex strain partitioning in this margin is characterized by sliver faults that crossing boundaries between the backarc basin, volcanic arc, forearc basin, and accretionary wedge. The fault zone can be divided into two segments: The West Andaman Fault (WAF) in the north and Simeulue Fault (SiF) in the southern part. A restraining step-over formed in between WAF and SiF. The SiF may extent onshore Simeulue to a strike-slip fault onshore. Strain-partitioning in such an oblique convergent margin appears to have formed a new deformation zone rather than reactivated the major rheological boundary in between the accretionary wedge and forearc basin. The eastern margin of the Andaman-north Sumatra accretionary wedge appears to have form as landward-vergent backthrusts of Diligent Fault (DF) and Nicobar Aceh Fault (NAF) rather than strike-slip faults. This characteristic appears to have formed in the similar way with the compressional structures dominated the eastern margin accretionary wedge of the central and south Sumatra forearc. Keywords: Andaman, North Sumatra, forearc, structure, accretionary wedge, strain partitioningDaerah Andaman - Sumatera bagian utara adalah wilayah di mana patahan-patahan besar saling bertemu dan membuat konfigurasi struktur menjadi rumit. Asal-usul struktur di batas antara prisma akresi dan cekungan busur muka di bagian paling baratlaut dari tepian Sunda telah menjadi topik perdebatan. Artikel ini mengulas beberapa studi yang telah diterbitkan sebelumnya mengenai tepian Andaman - Sumatra bagian utara untuk mengkarakterisasikan batas antara cekungan muka dan prisma akresi. Pemisahan regangan yang kompleks di tepian ini dicirikan oleh sliver fault yang melintasi batas antara cekungan busur belakang, busur vulkanik, cekungan busur muka, dan prisma akresi. Zona sesar tersebut dapat dibagi menjadi dua segmen, yaitu Sesar Andaman Barat (WAF) di utara dan Simeulue Fault (SiF) di bagian selatan. Sebuah restraining step-over terbentuk di antara WAF dan SiF. SiF kemungkinan menerus sampai ke Pulau Simeulue dan menyatu dengan sesar geser. Pemisahan regangan di tepian konvergen yang miring seperti itu tampaknya telah membentuk zona deformasi baru daripada mengaktifkan kembali batas reologi utama di antara prisma akresi dan cekungan busur muka. Batas bagian timur dari prisma akresi di Andaman – Sumatera bagian utara memiliki bentuk sebagai backthrusts berarah darat yaitu Sesar Diligent (DF) dan Sesar Nicobar Aceh (NAF) dan bukan merupakan sesar geser. Karakteristik ini tampaknya terbentuk dengan proses yang mirip dengan struktur-struktur kompresional yang mendominasi bagian timur prisma akresi di daerah Sumatra bagian tengah dan selatan.Kata kunci: Andaman, Sumatera bagian, busur muka, struktur, prisma akresi, pemisahan regangan 
THE CHARACTERISTIC OF COASTAL SUBSURFACE QUARTENARY SEDIMENT BASED ON GROUND PROBING RADAR (GPR) INTERPRETATION AND CORE DRILLING RESULT OF ANYER COAST, BANTEN PROVINCE Kris Budiono
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 28, No 2 (2013)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3820.203 KB) | DOI: 10.32693/bomg.28.2.2013.58

Abstract

The study of characteristic of subsurfase Quatenary sediment of Anyer coast have been done by using the data of Ground Probing Radar (GPR) image, Surfacial Geological map around the coast and the result of core drilling. The GPR equipment which was used are GSSI SIR 20 system and GSSI Sub Echo 40 MHz antennas. The GPR data image have been processed by using Radan GSSI software, Window NTIM version. The processing including Stacking, Spatial Filter, Migration and Decompolution. The interpretation of GPR image was done by using the principle of GPR stratigraphy through recoqnize to the internal and external reflector such as reflector configuration, continoutas, reflection, amplitude, etc, Furthermore the interpretation result of GPR image are correlated with the surfacial geological map and core drilling result that have been done by previous researscher. Besed on that correlation result, the characteristic of subsurface Quatenary deposits of study area can be divided into 5 unit mainly unit A, B, C, D and E. Unit A is the uppermost layer which is charactized by clay layer and coral reff fragments. Below the unit A they are unit B, C, and D wich were characterized by intercalation between sand and clay, sand deposit or sandstone, loose to dense. This condition is shown by the SPT (Standard Penetration Test) which have range between 10 to 50 blows per 15 Cm. Based on the characteristic of GPR image and sediment deposits of core drilling, these sediment deposits are interpreted as coastal and shallow water sediment deposits. Unit E is the lowermost layer which is interpreted as volcanic deposit. Keywords: subsurface quatenary sediment, ground propbing radar, core drilling, Anyer coast. Penelitian karakteristik sedimen bawah permukaan Kuarter di kawasan pantai Anyer telah dilakukan dengan mempergunakan data citra “ Ground Probing Radar”, geologi permukaan di sekitar kawasan pantai dan data hasil pemboran inti. Peralatan GPR yang dipergunakan adalah sistim SIR 20 GSSI dan antenna MLF 3200 GSSI.Data citra GPR telah diproses dengan mempergunakan perangkat lunak RADAN GSSI versi window NTIM. Pemrosesan terdiri dari “Stacking”, “Spatial Filter”, “Migration” dan “Decompolution”. Penafsiran Citra GPR dilakukan dengan mempergunakan prinsip Stratigrafi GPR melalui pengamatan terhadap internal dan eksternal reflector seperti konfigurasi reflector, kontinuitas, refleksi, amplitude dan lain-lain. Selanjutnya hasil penefsiran citra GPR ini dikorelasikan dengan peta geologi permukaan dan hasil pemboran inti yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Berdasarkan hasil korelasi tersebut karakteristik endapan Kuarter bawah permukaan daerah penelitian dapat dibagi menjadi 5 unit yaitu Unit A, B, C, D dan E. Unit A merupakan unit paling atas yang dicirikan lapisan lempung dan kerakal kerikil hasil rombakan koral. Unit B, C dan D berada di bawah ubit A yang merupakan endapan selang seling pasir dan lempung serta endapan pasir atau batu pasir bersifat urai sampai padat. Kondisi ini ditunjukan oleh hasil pengujian SPT(“Standard Penetration Test”) yang berkisar antara 10 sampai lebih dari 50 tumbukan per 15 Cm.Berdasarkan karakteristik fasies citra GPR dan endapan sedimen dari hasil pemboran inti, endapan sedimen tersebut ditafsirkan sebagai endapan pantai dan endapan laut dangkal Unit E merupakan lapisan paling bawah yang ditafsirkan sebagai endapan gunung api. Kata kunci: Sedimen Kuarter bawah permukaan,”Ground Probing Radar”, pemboran inti, pantai Anyer
THE EXISTENCE OF COASTAL FOREST, ITS IMPLICATION FOR TSUNAMI HAZARD PROTECTION, A CASE STUDY: IN CILACAP-CENTRAL JAVA, INDONESIA Yudhicara Yudhicara
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 30, No 1 (2015)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2361.373 KB) | DOI: 10.32693/bomg.30.1.2015.72

Abstract

The southern coast of Java which is facing to the Indian Ocean has many of natural hazard potential come from the sea. Since 2006 tsunami impacted the southern coast of Java, and caused severely damage especially along the coast of Cilacap (1-7,7 m run up height). People commit to do greening the beach by planting suitable plants such as a Casuarina equisetifolia, Terminalia catappa, and Cocos nucifera. This paper discusses the existence of coastal forests in Cilacap coastal area, their potential ability as a coastal protection from the tsunami wave which cover the density, diameter, height, age, and other parameters that affects the coastal defence against tsunami waves. Some experiences of tsunamis that have occurred, indicating that the above parameters linked to the ability of vegetation to act as a natural barrier against tsunamis. In the case of sandy beaches, such as in Cilacap, Pandanus odorarissimus has more effectiveness than other trees due to its hanging roots that can withstand the tsunami height less than 5 m, able to withstand debris and can withstand the scouring effects of tsunami waves, while Casuarina equisetifolia along Cilacap beaches more dominant than other trees, so it is recommended to increase the diversity of plants as well as increase the density and tree placement setting. By field measurement in order to get parameter applied to some graphs, Cilacap coastal forest does not enough capability for tsunami barrier reflected to the tsunami height experience in this region. Ages could be the important parameter in order to have bigger diameter trunk, higher trees height, and high resistance capacity againts tsunami hazard potential. Compare to Kupang, East Nusa Tenggara, Cilacap coastal forest still young and need some more years to make trees ready act as tsunami reduction. Keywords: Cilacap coastal forest, Kupang, tsunami, vegetation parameters. Pantai Selatan Jawa yang berhadapan dengan Samudera Hindia, memiliki banyak potensi mengalami bahaya yang datang dari lautan. Selama tahun 2006, Tsunami telah menimpa sebagian pantai selatan Jawa dan menyebabkan banyak kerusakan parah terutama di sepanjang Pantai Cilacap (tinggi gelombang 1-7,7 m). Masyarakat melakukan penghijauan pantai dengan menanam sejumlah pohon yang sesuai dengan kondisi pantai, seperti pohon cemara pantai (Casuarina equisetifolia), ketapang (Terminalia cattapa) dan kelapa (Cocos nucifera). Tulisan ini membahas penyebaran hutan pantai di wilayah pantai Cilacap, kemampuan dan potensi hutan tersebut sebagai pelindung alami pantai dari bahaya gelombang tsunami, yang terdiri dari kerapatannya, diameter, tingginya, umur, dan parameter lainnya yang mempengaruhi daya tahan pantai terhadap gelombang tsunami. Beberapa pengalaman mengenai kejadian yang telah terjadi, memperlihatkan bahwa parameter tersebut di atas mempengaruhi kemampuan tanaman sebagai penahan alamiah terhadap tsunami. Untuk kondisi pantai berpasir seperti Cilacap, tanaman pandan pantai lebih efektif dibandingkan dengan tanaman lainnya, dikarenakan akarnya yang dapat menahan tinggi gelombang kurang dari 5 m, selain itu akar tersebut dapat menahan material dan erosi vertikal gelombang tsunami, sementara di sepanjang pantai Cilacap, tanaman cemara pantai (Casuarina equisetifolia) lebih dominan dibandingkan tanaman lainnya. Kondisi ini dapat direkomendasikan untuk tetap dipertahankan bahkan ditambah jumlahnya. Di lapangan dilakukan pengukuran parameter tanaman pantai dan hasilnya diplot dalam bentuk grafik dan diaplikasikan dalam grafik yang dibuat berdasarkan hasil penelitian terhadap tsunami di beberapa tempat di dunia terutama di Jepang. Berdasarkan tinggi gelombang maksimum yang pernah terjadi di daerah ini (7,7 m), terlihat bahwa hutan pantai Cilacap belum cukup mampu bertindak sebagai penahan gelombang tsunami. Umur merupakan parameter penting agar pohon memiliki diameter yang besar, pohon yang cukup tinggi dan daya tahan terhadap potensi bahaya tsunami. Dibandingkan dengan hutan pantai di Kupang, Nusa Tenggara Timur, hutan pantai di Cilacap relatif masih muda dan membutuhkan beberapa tahun lagi untuk dapat memperkecil resiko yang ditimbulkan oleh bahaya tsunami. Kata kunci: Hutan pantai Cilacap, Kupang, tsunami dan parameter vegetasi.
RECONSTRUCTION OF SEAWATER d18O SIGNAL FROM CORAL d18O: A RECORD FROM BALI CORAL, INDONESIA Sri Yudawati Cahyarini
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 25, No 1 (2010)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (417.826 KB) | DOI: 10.32693/bomg.25.1.2010.22

Abstract

Sea surface salinity (SSS) and precipitation are important climate (paleoclimate) parameters. To obtain long time series data of SSS/precipitation one use coral proxy. In this study, seawater d18O is extracted from d18O content in Bali coral using centering method. The result shows more convincing that d18Obali is influenced by both seawater d18O and sea surface temperature (SST). In the interannual/decadal scale the variation d18Obali clearly shows the variation of seawater d18O, it is supposed that highly variation of precipitation contribute to the seawater d18O variation which mirrored by coral d18Obali. Keywords: coral d18O, seawater d18O, precipitation, sea surface salinity, sea surface temperature Salinitas permukaan laut (SSS) dan curah hujan merupakan parameter penting untuk studi iklim maupun paleoiklim (iklim masa lampau). Untuk mendapatkan data dalam urut-urutan waktu (timeseries) yang panjang dari SSS dan curah hujan diperlukan data proksi geokimia dalam koral. Dalam studi ini kandungan d18O dalam air laut dapat di rekonstruksi dari kandungan d18O dalam koral dengan menggunakan metode centering. Hasilnya menunjukkan bahwa d18O dalam koral dipengaruhi oleh kandungan d18O dalam air laut dan SST. Dalam resolusi tahunan dan puluhan tahunan variasi d18Obali dalam koral menunjukkan dengan jelas variasi d18O dalam air laut, hal ini diduga bahwa dalam resolusi tahunan dan puluhan tahunan variasi curah hujan sangat tinggi yang berkontribusi pada tingginya variasi d18Obali dalam air laut sehingga dapat terekam oleh koral. Kata kunci: d18O koral, d18O air laut, curah hujan, salinitas permukaan laut, suhu permukaan laut.
STUDY OF THE SEDIMENTATION TREND IN THE PROSPECTIVE AREA OF PORT OF MARINE CENTER, CIREBON BASED ON REMOTE SENSING DATA Undang Hernawan
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 24, No 1 (2009)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2514.618 KB) | DOI: 10.32693/bomg.24.1.2009.13

Abstract

A coastal zone is the interface between the land and water that influenced by both of them. Coastal dynamic is influenced by many factors from land and sea, such as sedimentation and current. In order to support marine facility, Marine Geological Institute of Indonesia (MGI) plan to build a port. The prospective area is behind MGI office at Cirebon. This study use multi temporal remote sensing data in order to observe trend of coastline change around MGI. Based on the interpretation of the data, there are sedimentation around the MGI water and abrasion due to the presence of Kejawanan’s jetty and Kalijaga River. The result also shows that the current in this region is moving from southeast to northwest. The presence of the Kejawanan’s jetty stymies the movement of sediment. The sediment which is normally moving to the north of the jetty is then trapped on the south side of the structure, so that the sediment precipitates in this region and makes it as the active region of sedimentation and accretion. The presence mangrove conduces to support sedimentation speed and accretion at this region, because of his function as the catchment area. Abrasion occurs in the eastern part of MGI office at the Kalijaga river mouth within the bay. The Kalijaga River mouth is predicted to be the primary source of sedimentation in this area. The coastline change caused by sedimentation will be continuing as long as it is supplied by the sediment. The direction of the sedimentation is parallel to the jetty and it forms ellipsoid, with the sedimentation/accretion region is behind MGI office. The abrasion area is found in Kalijaga River mouth and a small area beside Kalijaga River. In order to build a port, we have to consider this sedimentation process. One of the alternatives to build the port is to make a quay pile model which gives way the current to pass through the other side of the port. Another alternative is to build the port as a pond model but it needs accuracy in building the mouth of jetty to minimize the sedimentation process. Keyword : sedimentation, Cirebon, remote sensing Pantai/pesisir merupakan wilayah antara daratan dan lautan yang masih dipengaruhi oleh keduanya. Dinamika pantai dipengaruhi oleh faktor-faktor dari daratan dan lautan seperti sedimentasi dan arus. Untuk menunjang “marine facility center” Puslitbang Geologi Kelautan (P3GL) bermaksud untuk membangun pelabuhan. Daerah yang prospektif adalah di belakang kantor P3GL, Cirebon. Studi ini menggunakan data citra satelit multi temporal, yang berguna untuk melihat arah perkembangan dan perubahan garis pantai di belakang kantor P3GL dan sekitarnya. Berdasarkan interpretasi data citra, di daerah studi ditemukan adanya daerah akresi/sedimentasi dan daerah abrasi yang disebabkan oleh adanya dermaga Kejawanan dan adanya sungai Kalijaga. Hasil studi juga menunjukkan arah arus umumnya bergerak dari tenggara menuju barat laut. Keberadaan jetty Kejawanan menyebabkan aliran arus dan sedimen terhenti. Sedimen yang seharusnya bergerak ke arah utama menjadi terhalang dan terjebak di bagian selatan jetty, sehingga mengendap di daerah ini. Keadaan ini menyebabkan daerah ini menjadi daerah sedimentasi yang aktif (akresi). Keberadaan mangrove pada daerah ini juga menambah kecepatan sedimentasi di daerah ini, karena berfungsi sebagai daerah tangkapan sedimen. Abrasi terjadi di sebelah timur P3GL, tepatnya pada daerah lengkungan teluk dan di mulut sungai Kalijaga. Daerah mulut sungai Kalijaga diprediksi sebagai sumber sedimen pada daerah ini. Perubahan garis pantai yang disebabkan oleh sedimentasi akan terus berlangsung di daerah ini, selama adanya pasokan sedimen. Sedimentasi ini akan berlangsung sampai arahnya sejajar dengan jetty Kejawanan dan akan membentuk ellipsoid, dengan daerah sedimentasi berada di sekitar jetty dan belakang P3GL sementara daerah abrasi berada di sungai Kalijaga dan daerah sebelahnya. Karena itu, pembangunan pelabuhan P3GL sebaiknya memperhatikan kondisi ini. Salah satu alternatifnya adalah dengan membuat pelabuhan model tiang pancang yang memungkinkan arus dan sedimen untuk bergerak ke sisi sebelahnya. Alternatif lain adalah dalam bentuk kolam pelabuhan, tetapi harus tepat memperhatikan mulut pelabuhan untuk meminimalkan sedimentasi yang terjadi.

Page 9 of 18 | Total Record : 173