cover
Contact Name
Arie Wuisang
Contact Email
palar@unpak.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
palar@unpak.ac.id
Editorial Address
Jl. Pakuan PO Box 452 Bogor 16143 Jawa Barat Indonesia
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
PALAR (Pakuan Law review)
Published by Universitas Pakuan
ISSN : 27160440     EISSN : 26141485     DOI : https://doi.org/10.33751/palar
Core Subject : Social,
Pakuan Law Review (PALAR) memuat naskah tentang isu-isu di berbagai bidang hukum yang aktual. PALAR adalah media dwi-tahunan, terbit sebanyak dua nomor dalam setahun (Januari-Juni, dan Juli-Desember) oleh Fakultas Hukum Universitas Pakuan.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020" : 10 Documents clear
EKSISTENSI KITAB HUKUM KUNO NUSANTARA (SUATU REFLEKSI DAN PROYEKSI TERHADAP HUKUM NASIONAL) Iwan Darmawan
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (157.336 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i1.1852

Abstract

Abstrak             Eksistensi kitab hukum kuno Nusantara merupakan sesuatu hal yang perlu dikaji, digali, dan dibedah dalam upaya melestarikan kekayaan dan warisan kearifan lokal Nusantara di masa lalu. Hal ini penting dikemukakan karena kitab hukum kuno Nusantara tersebar diseluruh wilayah Indonesia dan belum tergali semuanya, untuk itu upaya dari berbagai pihak untuk mengkaji, menggali, dan membedah kitab hukum Nusantara itu merupakan suatu keniscayaan dalam rangka menguatkan kembali sistem hukum Indonesia yang digali dari kearifan lokalnya sendiri. Adapun kitab hukum kuno  Nusantara  itu adalah antara lain : Undang-Undang Simbur Cahaya Kesultanan Palembang, Kitab Kutaramanawa Darmasastra Kerajaan Majapahit, Undang-Undang Minangkabau, Undang-Undang Bengkulu, Undang-Undang Aceh dan lain sebagainya. Kitab hukum kuno  Nusantara itu sudah pasti mengandung nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya, di mana nilai-nilai tersebut bisa disumbangkan bagi pengembangan undang-undang nasional. Dengan demikian perundang-undangan nasional bangsa Indonesia tidak hanya mengambil nilai-nilainya dari warisan kolonial yang selama ini masih mendominasi undang-undang yang ada di Indonesia, tetapi sudah mengambil nilai-nilainya dari warisan dan kearifan lokal bangsa Indonesia yang tersebar dalam kitab-kitab hukum kuno Nusantara tersebut. Atas dasar itu maka eksistensi kitab hukum kuno Nusantara tersebut harus diupayakan secara maksimal oleh semua pemangku kepentingan baik dari pemerintah, akademisi, penegak hukum, dan pihak-pihak lainnya yang berkompeten, dalam upaya memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan substansi dan sistem hukum Indonesia yang berbasis kearifan lokal Nusantara yang memiliki nilai-nilai yang tak ternilai harganya, yang tentunya lebih cocok dengan alam kemerdekaan Indonesia. Dengan mengambil nilai-nilai dari kitab hukum kuno Nusantara sebagai kearifan lokal Nusantara, diharapakan hukum Indonesia lebih memiliki kandungan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang lebih berpihak kepada masyarakat, sebagai bentuk nyata adanya hukum progresif yang lebih mengutamanakan kepentingan masyarakat dalam upaya mengaplikasikan secara kongkrit esensi dari negara hukum Indonesia, yang lebih adil dan lebih melindungi kepentingan masyarakat. (kata kunci : kitab hukum kuno Nusantara, kearifan lokal Indonesia, sistem hukum Indonesia)   Abstract The existence of ancient archipelago law books is something that needs to be studied, explored, and dissected in an effort to preserve the richness and heritage of the archipelago's local wisdom in the past. This is important to say because the ancient law books of the archipelago are scattered throughout the territory of Indonesia and have not yet been explored. For this reason, the efforts of various parties to study, explore, and dissect the archipelago law books are a necessity in order to strengthen the Indonesian legal system which was extracted from local wisdom. alone. The archipelago ancient law books are, among others: the Simbur Law of the Sultanate of Palembang, the Kutaramanawa Darmasastra Kingdom of the Majapahit Kingdom, the Minangkabau Law, the Bengkulu Law, the Aceh Law and so forth. The archipelago's ancient law books certainly contain invaluable values of Indonesian local wisdom, where those values can be donated for the development of national laws. Thus the national legislation of the Indonesian people not only took their values from the colonial legacy that had so far dominated the existing laws in Indonesia, but had taken their values from the inheritance and local wisdom of the Indonesian people which were scattered in the legal books. ancient archipelago. On that basis, the existence of the archipelago of ancient law must be maximally pursued by all stakeholders both from the government, academics, law enforcement, and other competent parties, in an effort to make a real contribution to the development of a substance and legal system based on wisdom. local archipelago which has priceless values, which of course are more suitable to the nature of Indonesian independence. By taking the values from the archipelago's ancient law books as the local wisdom of the archipelago, it is hoped that Indonesian law will have more justice, certainty, and benefits that are more pro-community, as a real form of progressive law that further emphasizes the interests of the community in an effort to apply concrete essence from an Indonesian law state, which is more just and more protective of the interests of the people. keywords: archipelago ancient law books, Indonesian local wisdom, Indonesian legal system
QUO VADIS HUBUNGAN PASIEN DENGAN DOKTER DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Hari Nur Arif
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (327.698 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i1.1858

Abstract

ABSTRAKPasien sebagai pihak yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan dalam hubungannya dengan pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan berkedudukan sebagi konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 tidak memberikan pelindungan secara spesifik terhadap pasien, bahkan hampir seluruh materinya tidak menyentuh atau tidak dapat diterapkan dalam memberikan perlindungan terhadap pengguna jasa pelayanan kesehatan, selain itu, perundang-undangan di bidang kesehatan sebagai peraturan khusus yang dirujuk oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen ternyata substansi mengenai perlindungan konsumen sama sekali tidak diaturnya dan bahkan menunjuk kembali kepada hukum umum yang berlaku, yakni KUHP dan KUHPerdata melalui tuntutan pidana dan/atau gugatan perdata yang masih menggunakan prinsip tanggung jawab berdasar atas kesalahan yang harus dibuktikan sehingga menempatkan konsumen pengguna jasa kesehatan dalam posisi yang lemah Kata Kunci : Pasien, jasa pelayanan kesehatan.ABSTRACT Patients as those who use health services in conjunction with health service providers are located as consumers. Consumer Protection Act No.8 of 1999 does not provide specific protection for patients almost all of the material does not touch or cannot be applied in protecting users of health services, besides, legislation in the health sector as a special regulation that referred to by the Consumer Protection Act it turns out that the substance concerning consumer protection is not regulated at all and even points back to the applicable general law, namely the Criminal Code and the Civil Code through criminal prosecution and/or civil lawsuits that still use the principle of responsibility based on mistakes that must be proven thus placing health care consumers in a weak position Keywords: Patients, health services.
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Aditya Rahmadhony
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (892.193 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i1.1910

Abstract

Penelitian ini mengangkat permasalahan dimasukkannya kembali Ketetapan MPR ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pertama, MPR setelah perubahan terhadap UUD 1945 sudah tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara, dengan demikian berpengaruh terhadap kedudukan produk hukumnya yaitu Ketetapan MPR; Kedua, upaya penyelesaian masalah apabila ada Ketetapan MPR yang dianggap bertentangan dengan UUD NRIT 1945. Metode penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian, bahwa Ketetapan MPR pada hakikatnya tidak dapat digolongkan ke dalam peraturan perundangan-undangan, karena mengandung jenis norma yang lebih tinggi dan berbeda daripada norma yang terdapat dalam Undang-Undang. Implikasi Ketetapan MPR masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan menimbulkan konsekuensi hukum terhadap tata susunan norma, kepastian hukum, maupun ruang pengujian akibat pertentangan antara sesama produk perundang-undangan lainnya. Untuk saat ini secara konstitusional belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya uji materil terhadap Ketetapan MPR. Penelitian ini mengangkat permasalahan dimasukkannya kembali Ketetapan MPR ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pertama, MPR setelah perubahan terhadap UUD 1945 sudah tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara, dengan demikian berpengaruh terhadap kedudukan produk hukumnya yaitu Ketetapan MPR; Kedua, upaya penyelesaian masalah apabila ada Ketetapan MPR yang dianggap bertentangan dengan UUD NRIT 1945. Metode penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian, bahwa Ketetapan MPR pada hakikatnya tidak dapat digolongkan ke dalam peraturan perundangan-undangan, karena mengandung jenis norma yang lebih tinggi dan berbeda daripada norma yang terdapat dalam Undang-Undang. Implikasi Ketetapan MPR masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan menimbulkan konsekuensi hukum terhadap tata susunan norma, kepastian hukum, maupun ruang pengujian akibat pertentangan antara sesama produk perundang-undangan lainnya. Untuk saat ini secara konstitusional belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya uji materil terhadap Ketetapan MPR.  Kata Kunci:Ketetapan MPR, Sistem peraturan perundang-undangan, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, Indonesia
CLEMENCIAL REVIEW OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA (Telaah Kritis Keputusan Presiden tentang Pemberian Grasi dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil di Indonesia) Dzikry Gaosul Ashfiya; Anna Erliyana
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1065.577 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i1.2132

Abstract

AbstrakSalah satu poros kekuasaan dalam konsep trias politica adalah kekuasaan eksekutif yang pada dasarnya merupakan cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi pemerintahan negara tertinggi. Salah satu kewenangan Presiden dalam menjalankan kekuasaan eksekutif adalah pemberian atau penolakan grasi yang diartikulasikan dalam bentuk Keputusan Presiden. Tulisan ini bertujuan untuk mendiskursuskan Keputusan Presiden tentang pemberian grasi dalam sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia dalam kaitannya dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan serta kemungkinan Keputusan Presiden a quo dijadikan Objek Sengketa Tata Usaha Negara. Hasil dari diskursus tulisan ini memperlihatkan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensiil seperti yang dianut oleh Negara Republik Indonesia dimana tidak terdapat perbedaan atau dikotomi antara kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, maka tidak dimungkinkan pula adanya pembedaan jenis Keputusan Presiden selaku Kepala Negara dan Keputusan Presiden selaku Kepala Pemerintahan, yang ada hanyalah Keputusan Presiden saja. Selain itu, mengingat semua unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah terpenuhi, serta tidak terdapatnya pengecualian terhadap Keputusan Presiden tentang pemberian atau penolakan grasi dalam Pasal 2 Undang-Undang a quo, maka sejatinya Keputusan Presiden tentang pemberian atau penolakan grasi dalam sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia merupakan Keputusan Tata Usaha Negara sehingga seharusnya dapat menjadi Objek Sengketa Tata Usaha Negara, mengingat mekanisme pengujian suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.Kata Kunci: Grasi, Keputusan Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Sistem Pemerintahan Presidensiil, Keputusan Tata Usaha Negara. AbstractOne of power in the concept of trias politica is executive power which is basically a branch of power that holds the highest administrative authority of the country. One of the President's authorities in exercising executive power is the granting or rejection of clemency articulated in the form of a Presidential Decree. This writing aims to examine the Presidential Decree regarding granting clemency in a presidential governmental system in Indonesia in relation to the position of the President as Head of State and Head of Government and the possibility of the Presidential Decree being the object of State Administrative Dispute. The results of this writing show that in a presidential governmental system as adopted by the State of the Republic of Indonesia where there is no difference or dichotomy between the position of the President as the Head of State and the Head of Government, it is also not possible to distinguish the types of Presidential Decrees as Head of State and Presidential Decrees as Head of Government, there is only a Presidential Decree. In addition, considering that all elements of the State Administrative Decree in Article 1 Number 3 of the Law on State Administrative Courts have been fulfilled, and there are no exceptions to the Presidential Decree on granting or rejecting clemency in Article 2 of the Act a quo, then the Presidential Decree on granting or rejecting clemency in the presidential governmental system in Indonesia is a State Administrative Decree so that it should be the object of State Administrative Dispute considering the mechanism of examining a State Administrative Decree is through the State Administrative Courts.Keywords:   Clemency, Presidential Decree, Head of State, Head of Government, Presidential Governmental System, State Administrative Decree.
PROBLEMATIKA KEDUDUKAN DAN PENGUJIAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SECARA MATERIIL SEBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Agus Satory; Hotma Sibuea
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (412.112 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i1.1831

Abstract

ABSTRAKPeraturan Mahkamah Agung (Perma) adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Dalam hubungan dengan Perma, masalah hukum yang hendak diteliti adalah sebagai berikut. Pertama, di mana tempat kedudukan Perma dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan Indonesia? Kedua, lembaga negara apa yang berwenang menguji Perma? Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian yuridis normatif yang meneliti bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Ada 2 (dua) kesimpulan yang dikemukakan yakni sebagai berikut. Pertama, kedudukan Perma sebagai peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan sederajat dengan Peraturan Pemerintah (PP). Kedua, lembaga negara yang berwenang menguji Perma secara materil sebagai peraturan perundang-undangan adalah suatu mahkamah yang masih perlu dibentuk. Saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut. Pertama, Pasal 24A UUD 1945 dan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1985 perlu diubah. Kedua, Mahkamah Penguji Peraturan Perundang-undangan yang otonom dan permanen perlu dibentuk.  Kata Kunci: Hierarkhi, Peraturan Mahkamah Agung, peraturan perundang-undangan AbstractPerma is a kind of legal rules according to Act number 12, 2011 article 8. To Perma, a legal problem that will be searched in this research is as follow. Firstly, where does the Perma legal standing as a legal rule in perspective of the hierarchy principle? Secondly, what state organ which has the authority to examine Perma as a legal rule? The research method is applied in this research is normative legal research. There are 2 (two) research conclusions that can be proposed. Firstly, Perma's legal standing as a legal norm is below Act. Secondly, the state organ which has an authority to examine Perma as legal rules is an autonomous and permanent body. According to the conclusion above, there are two (2) recommendations that can be suggested. Firstly, UUD 1945 articles 24A and Act Number 14, 1984 articles 31 (1) must be amended. Secondly, an autonomous body which has authority to examine Perma as legal rules must be composed.   Keywords: Hierarchy, Supreme Court Regulations, statutory regulations
KEPASTIAN HUKUM KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP KEPAILITAN LEMBAGA PERBANKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN Rahmadi Indra Tektona; Choirur Roziqin
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (784.995 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i1.2048

Abstract

Kepailitan merupakan jalan keluar bagi kreditor dan debitor dari permasalahan utang piutang, untuk memberikan perlindungan kepada kreditur untuk pemenuhan pelunasan utang oleh debitor. Khusus dalam hal lembaga perbankan bertindak sebagai debitor, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tetang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan ketentuan yang berbeda dengan debitor pada umumnya. Pengajuan permohoanan pailit lembaga perbankan hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Ketentuan yang demikian, didasarkan pada kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga yang mengawasi lembaga perbankan. Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan meneyebabkan pengawasan lebaga perbankan menjadi tugas Otoritas Jasa Keuangan. Tidak adanya pengaturan pengalihan wewenang untuk mengajukan permohonan pailit menyebabkan adanya ketidak pastian hukum mengenai subjek hukum pemohon pernyataan pailit terhadap lembaga perbankan sebagai debitor. Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisa kepastian hukum subjek pemohon pernyataan pailit lembaga perbankan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif
REKONSTRUKSI HUKUM TERHADAP GANTI KERUGIAN DAN PENUNDAAN PELAKSANAAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DALAM SENGKETA TATA USAHA NEGARA YANG BERDASARKAN NILAI-NILAI KEADILAN Reydonaldo Thomas Sidabutar; Anna Erliyana
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (939.899 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i1.2133

Abstract

AbstrakHukum Acara Peradilan Administrasi (murni), sehingga suatu gugatan tidak menghalangi dilaksanakannya KTUN yang digugat tesebut. Namun undang-undang memberikan peluang kepada penggugat untuk mengajukan permohonan kepada hakim, agar selama proses pemeriksaan berlangsung dapat dilakukan penundaan terhadap KTUN yang disengketakan. Penundaan tersebut merupakan kompensasi dalam beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Jadi apabila ketentuan tersebut dilaksanakan maka, jelas bahwa gugatan Penggugat (misalnya terhadap surat perintah bongkar rumah) tetap dilaksanakan maka untuk menggugat tidaklah ada artinya lagi sebab rumahnya telah dibongkar, sebelum gugatan diproses dan diputus, berdasarkan pada ketentuan Pasal 67 ayat (2) UU No. 5 Th. 1986, Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Tuntutan ganti rugi atau tuntutan tambahan (accessoir) setelah dikabulkannya tuntutan pokok yang diajukan oleh penggugat pada peradilan administrasi, ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban badan administrasi negara berdasarkan putusan pengadilan administrasi karena adanya kerugian material yang diderita penggugat berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991.KATA KUNCI : PENUNDAAN, GANTI RUGI,PERADILAN ADMINISTRASIAbstractAdministrative Judicial Procedures (pure), so that a lawsuit does not preclude the implementation of the State Administrative Decree sued. However, the law provides an opportunity for the plaintiff to submit a request to the judge, so that during the examination process can take place a delay on the disputed KTUN. The postponement is compensation in court proceedings at the State Administrative Court. So if the provisions are implemented then, it is clear that the Plaintiff's claim (for example against a house demolition order) continues to be carried out so to sue has no meaning anymore because the house has been demolished, before the lawsuit is processed and decided, based on the provisions of Article 67 paragraph (2) of Law Number 5 of 1986, the Plaintiff may submit a request that the implementation of the State Administration Decree be postponed during the examination of the State Administration dispute in progress, until there is a court decision that obtains permanent legal force. Compensation claim or additional claim (accessoir) after the principal claim filed by the plaintiff in administrative court, compensation is the payment of a sum of money to a person or a legal entity for the burden of the state administrative body based on the administrative court's decision due to a material loss suffered by the plaintiff based on Government Regulation No. 43 of 1991. KEY WORD : DELAY, INDEMNITY, ADMINISTRATIVE JUSTICE 
ANALISIS KEABSAHAN KEPEMILIKAN TANAH OLEH ORANG ASING DI INDONESIA (STUDI KASUS NOMOR : 9/PT.G/2018/PN.SKB) tuty susilawaty K; Janet Elizabeth Tenges
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (169.719 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i1.1851

Abstract

ABSTRAK Wilayah Indonesia sangat luas dan terdiri dari berbagai pulau-pulau serta wilayahnya berada dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu Indonesia sangat menarik di mata dunia di karenakan Indonesia memiliki banyak sekali kekayaan alam yang indah yang tidak banyak dimiliki oleh negara-negara lain. Sehingga banyak orang asing yang ingin sekali bertempat tinggal di Indonesia. Pengertian agraria dan hukum agraria meliputi bumi,air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Banyaknya permasalahan kepemilikan tanah yang terjadi di Indonesia menimbulkan perebutan hak atas tanah oleh kedua belah pihak serta juga dapat melibatkan pihak-pihak lain, berkaitan dengan orang asing yang ingin memiliki tanah di Indonesia. Tentang sengketa tanah antara WNA dengan WNI yang dimana aturan ini di dasari oleh Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang di tulis UUPA. Dalam penulisan hukum ini penulis akan membahas siapa saja yang dapat memiliki tanah di Indonesia dan bagaimana keabsahan kepemilikan tanah oleh orang asing di Indonesia serta permasalahan apa yang timbul apabila WNA menggunakan nama WNI sebagai pemegang Hak Milik atas tanah.               Kata Kunci : Keabsahan Hak Tanah, Kepemilikan Tanah, Sengketa Tanah Antara WNA dan WNI ABSTRACT Indonesia's territory is very broad and consists of various islands and its territory is from Sabang to Merauke. Therefore Indonesia is very attractive in the eyes of the world because Indonesia has a lot of beautiful natural wealth that is not widely owned by other countries. So that many foreigners who are eager to reside in Indonesia. The definition of agrarian and agrarian law covers the earth, water, and space as well as the natural wealth contained therein. The many problems of land ownership that occur in Indonesia lead to struggles over land rights by both parties and can also involve other parties, relating to foreigners who want to own land in Indonesia. Regarding land disputes between foreigners and Indonesian citizens, in which this regulation is based on the Basic Agrarian Law No. 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Regulations written in the Logga. In writing this law, the writer will discuss who can own land in Indonesia and how is the legal ownership of land by foreigners in Indonesia and what problems arise when foreigners use the name of Indonesian citizens as holders of ownership rights over land. Keywords: Legitimate Land Rights, Land Ownership, Land Disputes Between Foreigners and Indonesian Citizens
KAJIAN YURIDIS INDEPENDENSI PERBANKAN BUMN DAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN BANK DALAM PENYALURAN KREDIT USAHA RAKYAT Eka Rizdky Handayani
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (688.177 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i1.2094

Abstract

Studi ini bertujuan untuk mengkaji independensi Perbankan BUMN serta penerapan Prinsip Kehati-hatian Bank dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif dengan mengikuti tipologi penelitian hukum normatif, data penelitian dikumpulkan dengan cara studi pustaka dan direlevansikan dengan teori yang berkaitan serta dituliskan secara deskriptif dan dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan penyaluran KUR di Indonesia oleh bank BUMN mengalami peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Perbankan BUMN dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga perbankan, menjalankan prinsip kehati-hatian bank khususnya dalam penyaluran KUR, meskipun pada implementasinya masih ada keterlibatan pemerintah yang diindikasikan dengan banyaknya lembaga atau pihak yang terkait dengan proses dan kebijakan penyaluran KUR serta belum adanya aturan (regulasi) yang jelas terkait perbankan BUMN dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga intermediasi sekaligus sebagai Agen Pembangunan,  memberikan implikasi bahwa belum optimalnya prinsip kemandirian (independensi) pada perbankan BUMN. 
POLITIK HUKUM PENGUASAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI INDONESIA erwin syahruddin; EMILDA YOFITA
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1052.324 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i1.5641

Abstract

Hasil tambang di Indonesia dikuasai oleh negara yang dikelola dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Penelitian ini menggunakan Dari hasil penelitian dengan metode di atas, penulis memperoleh jawaban bahwa UU No 3 Tahun 2020 mengatur penyelenggaraan penguasaan pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat memiliki pola otonomi daerah yang sentalistik dimana kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dialihkan kepada pemerintah pusat. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif (normative legal reseach) Pada penelitian ini penulis fokus mengkaji tentang penguasaan pertambangan mineral dan batubara oleh pemerintah pusat terhadap hubungan pusat dan daerah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Dengan berlakunya undang-undang tersebut, Indonesia masih tetap menjalankan otonomi daerah, akan tetapi pola yang terbentuk adalah otonomi terbatas dengan dominan kearah sentralisasi. Pola sentralistik dalam hal penyelenggaraan penguasaan pertambangan mineral dan batubara oleh pemerintah pusat belum selaras dengan amanah UUD NRI 1945.

Page 1 of 1 | Total Record : 10


Filter by Year

2020 2020


Filter By Issues
All Issue Vol 11, No 3 (2025): Volume 11, Nomor 3 July-September 2025 Vol 11, No 2 (2025): Volume 11, Nomor 2 April-June 2025 Vol 11, No 1 (2025): Volume 11, Number 1 January-March 2025 Vol 10, No 4 (2024): Volume 10, Nomor 4 Oktober-Desember 2024 Vol 10, No 3 (2024): Volume 10, Nomor 3 July-September 2024 Vol 10, No 2 (2024): Volume 10, Nomor 2 April-Juni 2024 Vol 10, No 1 (2024): Volume 10, Nomor 1 Januari-Maret 2024 Vol 9, No 4 (2023): Volume 9, Nomor 4 Oktober-Desember 2023 Vol 9, No 3 (2023): Volume 9, Nomor 3 July-September 2023 Vol 9, No 2 (2023): Volume 9, Nomor 2 April-Juni 2023 Vol 9, No 1 (2023): Volume 9, Nomor 1 Januari-Maret 2023 Vol 8, No 4 (2022): Volume 8, Nomor 4 Oktober-Desember 2022 Vol 8, No 3 (2022): Volume 8, Nomor 3 Juli-September 2022 Vol 8, No 2 (2022): Volume 8, Nomor 2 April-JunI 2022 Vol 8, No 1 (2022): Volume 8, Nomor 1 Januari-Maret 2022 Vol 7, No 4 (2021): Volume 7, Nomor 4 Oktober-Desember 2021 Vol 7, No 3 (2021): Volume 7, Nomor 3 Juli-September 2021 Vol 7, No 2 (2021): Volume 7, Nomor 2 April-Juni 2021 Vol 7, No 1 (2021): Volume 7, Nomor 1 Januari-Maret 2021 Vol 6, No 2 (2020): Volume 6, Nomor 2 Juli-Desember 2020 Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020 Vol 5, No 2 (2019): Volume 5 Nomor 2, Juli-Desember 2019 Vol 5, No 1 (2019): Volume 5 Nomor 1, Januari-Juni 2019 Vol 4, No 2 (2018): Volume 4 Nomor 2 Juli - Desember 2018 Vol 4, No 1 (2018): Volume 4 Nomor 1, Januari-Juni 2018 Vol 3, No 2 (2017): Volume 3, Nomor 2, Juli-Desember 2017 Vol 3, No 1 (2017): Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni 2017 Vol 2, No 2 (2016): Volume 2 Nomor 2 Juli Desember 2016 Vol 2, No 1 (2016): Volume 2 Nomor 1 Januari - Juni 2016 Vol 1, No 2 (2015): Volume 1 Nomor 2 Juli Desember 2015 Vol 1, No 1 (2015): Volume 1 Nomor 1 Januari - Juni 2015 More Issue