Claim Missing Document
Check
Articles

Found 38 Documents
Search

Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia Satory, Agus
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (615.431 KB)

Abstract

Ketika konsumen tertarik dengan promosi yang ditawarkan pelaku usaha jasa keuangan, sesungguhnya ia tidak menyadari persoalan yang akan dihadapi berikutnya. Persoalan akan timbul ketika konsumen menghadapi formula perjanjian baku yang di dalamnya banyak terdapat klausula baku yang mengharuskan konsumen setuju. Pada praktiknya, saat ini tidak ada jasa keuangan yang tidak menggunakan format perjanjian dan klausula baku dalam bertransaksi dengan para konsumen. Bentuk perjanjian semacam ini jelas memposisikan konsumen sebagai pihak yang tidak punya daya tawar, sehingga, apapun isi dari perjanjian baku tersebut mau tidak mau harus disetujui, meskipun pada dasarnya konsumen mengetahui bahwa isi perjanjian memberatkan dirinya. Dalam wacana perlindungan konsumen, hal ini dikenal sebagai prinsip take it or leave it. Penggunaan perjanjian baku dengan sendirinya membuka peluang bagi penyedia jasa keuangan untuk memasukkan semua klausula yang menguntungkan dirinya. Biasanya konsumen yang berhubungan dengan jasa keuangan akan menjumpai berbagai kewajibannya sudah tertuang dalam perjanjian tanpa dapat dinegosiasikan. Kewajiban tersebut diantaranya mengenai biaya yang harus ditanggungnya, suku bunga, pemberian kuasa sepihak, serta semua kewajiban yang akan timbul di kemudian hari. Praktis sangat sedikit hak konsumen dituangkan dalam perjanjian baku ini. Standard Contract and Consumer Protection on Business Transaction of Financial Sector: Indonesias Practice and Implementation AbstractConsumers are usually unaware of issue might arrise when they were interested on the financial services entity offer. The issue might arrise when consumer given a standard contract formulas that loaded with standard clauses, which been prepared for the consumers to be approved. These days, there is noneof financial services entity that do not use a standard contract format which contained standard clauses in their contract with customers. The form of standard contract is obviously set the consumer to lose their bargain power. It makes the consumers does not have any choice beside consent even it they know that the contract is harmful for them.  In the discourse of consumer protection, this mechanism is known as the principle of “take it or leave it”.The use of a standard contract by itself open an opportunity for financial service providers to include all the clauses that benefit him. Usually consumer-related financial services will find a variety of obligations stated in the contract can be negotiated without. Example of costs that must be borne, interest rates, giving unilateral power, and all the obligations that will arise in the future. Practically very little consumer rights set forth in this standard contract.Keywords: standard contract, consumer protection, financial services, financial services businesses, bargaining position.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v2n2.a4
ACT OF INFORMATION AND ELECTRONIC TRANSACTIONS IN SOCIOLOGY PERSPECTIVE Satory, Agus
DERECHTSSTAAT Vol 3, No 2 (2017): Jurnal HUKUM DERECHTSSTAAT
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30997/jhd.v3i2.956

Abstract

The development of information and communication technology has also caused world relations to become borderless and cause significant social, economic and cultural change to take place so quickly. Such rapid advances in information technology have contributed greatly to the development of the world of information and electronic transactions. However, it can not be denied that such great progress on one side brings benefits to humanity, but on the other hand it can also bring harm to humanity. The provisions of Law Number 11 Year 2008 in conjunction with Law Number 19 Year 2016 on Information and Electronic Transactions in the perspective of sociology is due to the will to meet the legal needs of the community, including laws that reflect the cultural values of a nation (latency) . Where many events show that people demand different ways of interception and threats of defamation that are considered too heavy so that sanctions to the treatment of offenders is considered more severe than the actions done.
Interpretasi Hukum Perkara Penipuan Online Modus Investasi Kajian Undang-Undang No.42/2009 dan Undang-Undang No25/2007 Alba Liliana Sanchez; Mustaqim Mustaqim; Agus Satory
Borneo Law Review Vol 4, No 2 (2020): Volume 4 No 2 Desember 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v4i2.1714

Abstract

ABSTRACTThe rise of online fraud practices with investment mode in DKI Jakarta is influenced by 2 (two) factors, namely the community's ignorance about investment through the online platform. Other factors are not yet optimal for law enforcement to take preventative measures by informing the public about the dangers of online investment.The purpose of this research is to better understand the legal interpretation of online fraud cases with investment mode. Another goal is for the public to be more careful with online investment offers that promise multiple benefits.The research approach is the legal sociology approach. Observations indicate that law enforcement by the National Police against suspected online investment fraud has not been carried out optimally because investigators only use the articles of the Criminal Code and the ITE Law. But not using Law Number 42/2009, and Law Number 25/2007, investigators must also immediately break the chain of online fraud practices.Keywords : Legal Interpretation, Online Fraud, Investment Mode.ABSTRAKMaraknya praktek penipuan online dengan modus investasi di DKI Jakarta dipengaruhi 2 (dua) faktor yaitu faktor ketidaktahuan masyarakat perihal investasi melalui platform online. Faktor lainnya belum optimalnya penegak hukum untuk melakukan langkah pencegahan dengan mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai bahayanya investasi online.Tujuan penelitian ingin lebih memahami penafsiran hukum perkara penipuan online dengan modus investasi. Tujuan lainnya agar masyarakat lebih berhati-hati dengan penawaran investasi online yang menjanjikan keuntungan berlipat ganda.Pendekatan penelitian yaitu pendekatan Sosiologi hukum. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penegakan hukum oleh Polri terhadap tersangka penipuan investasi online, belum berlangsung optimal karena penyidik hanya menggunakan pasal-pasal KUHP dan Undang-Undang ITE. Namun tidak menggunakan Undang-Undang Nomor 42/2009, dan Undang-Undang Nomor 25/2007, penyidik juga harus segera memutus mata rantai praktek penipuan online tersebut.Kata kunci: Interpetasi Hukum, Penipuan Online, Modus Investasi.
Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia Agus Satory
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (615.431 KB)

Abstract

Ketika konsumen tertarik dengan promosi yang ditawarkan pelaku usaha jasa keuangan, sesungguhnya ia tidak menyadari persoalan yang akan dihadapi berikutnya. Persoalan akan timbul ketika konsumen menghadapi formula perjanjian baku yang di dalamnya banyak terdapat klausula baku yang mengharuskan konsumen setuju. Pada praktiknya, saat ini tidak ada jasa keuangan yang tidak menggunakan format perjanjian dan klausula baku dalam bertransaksi dengan para konsumen. Bentuk perjanjian semacam ini jelas memposisikan konsumen sebagai pihak yang tidak punya daya tawar, sehingga, apapun isi dari perjanjian baku tersebut mau tidak mau harus disetujui, meskipun pada dasarnya konsumen mengetahui bahwa isi perjanjian memberatkan dirinya. Dalam wacana perlindungan konsumen, hal ini dikenal sebagai prinsip take it or leave it. Penggunaan perjanjian baku dengan sendirinya membuka peluang bagi penyedia jasa keuangan untuk memasukkan semua klausula yang menguntungkan dirinya. Biasanya konsumen yang berhubungan dengan jasa keuangan akan menjumpai berbagai kewajibannya sudah tertuang dalam perjanjian tanpa dapat dinegosiasikan. Kewajiban tersebut diantaranya mengenai biaya yang harus ditanggungnya, suku bunga, pemberian kuasa sepihak, serta semua kewajiban yang akan timbul di kemudian hari. Praktis sangat sedikit hak konsumen dituangkan dalam perjanjian baku ini. Standard Contract and Consumer Protection on Business Transaction of Financial Sector: Indonesia's Practice and Implementation AbstractConsumers are usually unaware of issue might arrise when they were interested on the financial services entity offer. The issue might arrise when consumer given a standard contract formulas that loaded with standard clauses, which been prepared for the consumers to be approved. These days, there is noneof financial services entity that do not use a standard contract format which contained standard clauses in their contract with customers. The form of standard contract is obviously set the consumer to lose their bargain power. It makes the consumers does not have any choice beside consent even it they know that the contract is harmful for them.  In the discourse of consumer protection, this mechanism is known as the principle of “take it or leave it”.The use of a standard contract by itself open an opportunity for financial service providers to include all the clauses that benefit him. Usually consumer-related financial services will find a variety of obligations stated in the contract can be negotiated without. Example of costs that must be borne, interest rates, giving unilateral power, and all the obligations that will arise in the future. Practically very little consumer rights set forth in this standard contract.Keywords: standard contract, consumer protection, financial services, financial services businesses, bargaining position.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v2n2.a4
Keunggulan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah “Amanah Ummah” Dalam Penerapan Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Andi Muhammad Asrun; Abdu Rahmat Rosyadi; Agus Satory; Yennie K. Milono; Ridwan Malik
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 4, No 1 (2020): MIZAN
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v4i1.594

Abstract

AbstractIslamic People's Financing Bank (BPRS) is a bank that conducts business activities based on sharia principles which in its activities do not provide services in payment traffic. The development trend of BPRS since the enactment of Islamic banking law continues to increase. All BPRS activities are obliged to apply sharia principles which are stated by the National Sharia Board of the Indonesian Ulema Council (DSN-MUI). After the Financial Services Authority (OJK) was formed there is now a change in regulation that the enactment of the DSN-MUI fatwa must be included in the Financial Services Authority Regulation (P-OJK). Sharia banking problems that arise at this time generally occur in Sharia Commercial Banks (BUS), Sharia Business Units (UUS), as well as in Islamic People's Financing Banks (BPRS) in terms of applying sharia principles that are not consistent there is still not yet under the fatwa DSN-MUI which has become OJK regulations. Research on the BPRS Amanah Ummah was conducted on capital assets. This research was conducted with a juridical-normative approach that places the laws and regulations as the object of research originating from primary, secondary, and tertiary laws. Primary data were obtained through direct interviews with BPRS Amanah Ummah. While secondary data obtained from legislation, books, journals, and other documents. The results of the study concluded that the BPRS Amanah Ummah financing products have consistently applied the principles of Islamic banking based on the DSN-MUI Fatwa.Keywords: Excellence, Implementation, SRB, DSN Fatwa, OJK AbstrakBank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Tren perkembangan BPRS sejak diberlakukan undang-undang perbankan syariah terus meningkat. Seluruh kegiatan BPRS wajib menerapkan prinsip-prinsip syariah yang difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Setelah dibentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini telah terjadi perubahan regulasi bahwa pemberlakuan fatwa DSN-MUI harus masuk ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (P-OJK). Permasalahan perbankan syariah yang timbul saat ini secara umum terjadi pada Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), maupun pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dalam hal penerapan prinsip-prinsip syariah yang belum konsisten, bahkan masih ada yang belum sesuai dengan fatwa DSN-MUI yang sudah menjadi peraturan OJK. Penelitian terhadap BPRS Amanah Ummah ini dilakukan pada aset permodalan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis-normatif yang menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai objek penelitian yang bersumber dari hukum primer, sekunder, dan tersier. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan pihak BPRS Amanah Ummah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan dokumen lainnya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dari produk-produk pembiayaan BPRS Amanah Ummah telah menerapkan prinsip-prinsip perbankan syariah berdasarkan Fatwa DSN-MUI secara konsisten.Kata Kunci: Keunggulan, Penerapan, BPRS, Fatwa DSN, OJK
ACT OF INFORMATION AND ELECTRONIC TRANSACTIONS IN SOCIOLOGY PERSPECTIVE Agus Satory
JURNAL HUKUM DE'RECHTSSTAAT Vol. 3 No. 2 (2017): Jurnal HUKUM DE'RECHTSSTAAT
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (826.521 KB) | DOI: 10.30997/jhd.v3i2.956

Abstract

The development of information and communication technology has also caused world relations to become borderless and cause significant social, economic and cultural change to take place so quickly. Such rapid advances in information technology have contributed greatly to the development of the world of information and electronic transactions. However, it can not be denied that such great progress on one side brings benefits to humanity, but on the other hand it can also bring harm to humanity. The provisions of Law Number 11 Year 2008 in conjunction with Law Number 19 Year 2016 on Information and Electronic Transactions in the perspective of sociology is due to the will to meet the legal needs of the community, including laws that reflect the cultural values of a nation (latency) . Where many events show that people demand different ways of interception and threats of defamation that are considered too heavy so that sanctions to the treatment of offenders is considered more severe than the actions done.
PROBLEMATIKA KEDUDUKAN DAN PENGUJIAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SECARA MATERIIL SEBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Agus Satory; Hotma Sibuea
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 1 (2020): Volume 6, Nomor 1 Januari-juni 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (412.112 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i1.1831

Abstract

ABSTRAKPeraturan Mahkamah Agung (Perma) adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Dalam hubungan dengan Perma, masalah hukum yang hendak diteliti adalah sebagai berikut. Pertama, di mana tempat kedudukan Perma dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan Indonesia? Kedua, lembaga negara apa yang berwenang menguji Perma? Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian yuridis normatif yang meneliti bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Ada 2 (dua) kesimpulan yang dikemukakan yakni sebagai berikut. Pertama, kedudukan Perma sebagai peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan sederajat dengan Peraturan Pemerintah (PP). Kedua, lembaga negara yang berwenang menguji Perma secara materil sebagai peraturan perundang-undangan adalah suatu mahkamah yang masih perlu dibentuk. Saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut. Pertama, Pasal 24A UUD 1945 dan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1985 perlu diubah. Kedua, Mahkamah Penguji Peraturan Perundang-undangan yang otonom dan permanen perlu dibentuk.  Kata Kunci: Hierarkhi, Peraturan Mahkamah Agung, peraturan perundang-undangan AbstractPerma is a kind of legal rules according to Act number 12, 2011 article 8. To Perma, a legal problem that will be searched in this research is as follow. Firstly, where does the Perma legal standing as a legal rule in perspective of the hierarchy principle? Secondly, what state organ which has the authority to examine Perma as a legal rule? The research method is applied in this research is normative legal research. There are 2 (two) research conclusions that can be proposed. Firstly, Perma's legal standing as a legal norm is below Act. Secondly, the state organ which has an authority to examine Perma as legal rules is an autonomous and permanent body. According to the conclusion above, there are two (2) recommendations that can be suggested. Firstly, UUD 1945 articles 24A and Act Number 14, 1984 articles 31 (1) must be amended. Secondly, an autonomous body which has authority to examine Perma as legal rules must be composed.   Keywords: Hierarchy, Supreme Court Regulations, statutory regulations
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA RUMAH TANGGA PEREMPUAN KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DI INDONESIA Alfies Sihombing; Yeni Nuraeni; Agus Satory
PALAR (Pakuan Law review) Vol 8, No 3 (2022): Volume 8, Nomor 3 Juli-September 2022
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (559.474 KB) | DOI: 10.33751/palar.v8i3.5972

Abstract

ABSTRAKTujuan Penelitian ini ialah untuk memberikan penjelasan bahwa kekerasan terhadap pekerja rumah tangga merupakan suatu kejahatan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu, pertama, bagaimanakah kebijakan formulasi perlindungan hukum terhadap pekerja rumah tangga perempuan korban tindak pidana kekerasan di Indonesia, dan kedua bagaimanakah kebijakan implementasi perlindungan hukum terhadap pekerja rumah tangga perempuan korban tindak pidana di Indonesia. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa dalam kebijakan formulasi perlindungan hukum terhadap pekerja rumah tangga perempuan korban tindak pidana kekerasan sudah ada ketentuan hukumnya namun bersifat terbatas, seperti misalnya KUHP yang apabila terjadi suatu tindak pidana maka pelaku diancam dengan ketentuan yang diatur dalam KUHP. Namun apabila melihat dari ketentuan UU Ketenagakerjaan tidak ada satu pasalpun yang memberikan perlindungan terhadap  pembantu rumah tangga, meskipun Indonesia telah memiliki juga Permenaker, namun ketentuan tersebut tidak dapat dijadikan payung hukumnya sehingga pengawasan dan penindakan sebagaimana apa yang dicita-citakan yakni tercapainya keadilan .dalam tataran implementasinya bahwa meskipun telah ada perda namun ketentuan tersebut tidak berlaku secara nasional. Dengan adanya regulasi yang jelas maka akan mampu menekan angka tindak pidana kekerasan yang dialami oleh PRT. Maka perlu dilakukannya reformasi hukum melalui pembaharuan hukum di bidang perlindungan hukum terhadap pekerja rumah tangga perempuan di Indonesia. Kata Kunci: Perlindungan hukum, pekerja rumah tangga, kekerasan ABSTRACTThe purpose of this study is to provide an explanation that violence against domestic workers is a crime. Based on the foregoing, the objectives of this research are, first, how is the formulation policy of legal protection for female domestic workers victims of criminal acts of violence in Indonesia, and secondly how is the policy for implementing legal protection for female domestic workers victims of criminal acts in Indonesia? . The approach method used in this research is sociological juridical. Based on the results of the study, it shows that in the formulation policy of legal protection for female domestic workers victims of violent crimes, there are legal provisions but they are limited, such as the Criminal Code which if a crime occurs, the perpetrator is threatened with the provisions stipulated in the Criminal Code. However, if you look at the provisions of the Manpower Law, there is not a single article that provides protection for domestic helpers, even though Indonesia already has a Permenaker, but this provision cannot be used as a legal umbrella so that supervision and action are as intended, namely the achievement of justice at the level of the implementation is that although there is a regional regulation, the provision does not apply nationally. With clear regulations, it will be able to reduce the number of violent crimes experienced by domestic workers. So it is necessary to carry out legal reform through legal reform in the field of legal protection for female domestic workers in Indonesia. Keywords: Legal protection, domestic workers, violence 
Efektivitas Regulasi Bencana Non Alam COVID-19 terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020 Agus Satory; Ujang Ma’mun; Ridwan Arifin; Vivi Vivi
Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK) Vol. 5 No. 1 (2023): Jurnal Pendidikan dan Konseling
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jpdk.v5i1.11055

Abstract

Salah satu penyebab dari meledaknya pandemi Covid-19 ini yaitu penundaan tahapan Pilkada Serentak Tahun 2020 selama 3 bulan. Awalnya Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020 akan dilaksanakan pada 23 September 2020, diundur menjadi tanggal 9 Desember 2020 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota, menjadi Undang-Undang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa Efektivitas Regulasi Bencana Non Alam Covid-19 terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020”. Hasil penelitian menunjukan bahwa Regulasi pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020 di Masa Pandemi Covid-19 sudah memaksimalkan pencegahan cluster baru penyebaran Covid-19 dengan menyisipkan Protokol kesehatan dalam setiap aturan dari mulai Undang-undang sampai dengan Peraturan-peraturan yang diatur oleh Penyelenggara Pemilu dalam pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020 ini. Pada dasarnya Regulasi telah mengatur secara gamblang dan spesifik sampai dengan ranah teknis. Hanya saja kesadaran masyarakat terutama para peserta pemilu yang masih ada yang tidak memperhatikan protokol kesehatan yang telah diberlakukan berdasarkan regulasi yang berlaku, dan juga ketegasan dari para pelaksana tugas penanggulangan penyebaran covid-19 yang dianggap masih belum maksimal, dan terkadang dari pelaksana tersebut sendiri yang melanggar regulasi yang berlaku.
HAK SUBSTANTIF MASYARAKAT ATAS UDARA BERSIH DAN BEBAS POLUSI ASAP AKIBAT KEBAKARAN HUTAN Susy Fatena Rostiyanti; Vany Lucas; Fanny Rafaldini; Agus Satory
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 2 (2023): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v7i2.340

Abstract

ABSTRAKKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat kebakaran hutan di Sumatera seluas 235 ribu hektar rata-rata pertahunnya selama periode 2014-2019. Penyebab utama kebakaran adalah tindakan manusia baik sengaja maupun tidak yang memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat akibat terpajan polusi asap. Gangguan kesehatan tersebut menimbulkan risiko bagi sekitar 19 juta masyarakat provinsi Sumatera Selatan, Riau dan Jambi dengan kebakaran hutan terbesar. Masyarakat memiliki hak substantif atas lingkungan hidup yang sehat yang dijamin dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai hak konstitusional. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menetapkan hal yang sama dalam kaitannya dengan kualitas lingkungan. Permasalahan kebakaran hutan yang telah melanggar hak substantif masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat diangkat dalam penelitian ini agar diperoleh kebijakan yang tepat dan berasaskan keadilan lingkungan Metode penelitian yuridis normatif deskriptif digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perundang-undangan telah menetapkan hak substantif masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Namun, perkara yang timbul terkait kebakaran hutan sering kali tidak menyinggung persoalan yang paling mendasar yaitu hak substantif atas kualitas hidup masyarakat. Penelitian ini menawarkan sebuah kerangka kebijakan yang diadopsi dari prinsip keadilan lingkungan. Elemen kerangka kebijakan yang ditawarkan mencakup: kesamaan hak untuk dilindungi; perlunya adopsi model pencegahan dan pentingnya pengalihan beban pembuktian kepada pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan. Ketiga elemen ini menjadi kunci tanggung jawab negara dalam menjaga keadilan bagi setiap masyarakat.Kata kunci: hak substantif; kebakaran hutan; dampak kesehatan; kerangka kebijakan.ABSTRACTThe Ministry of Environment and Forestry recorded forest fires in Sumatra covering an average area of 235 thousand hectares per year during the 2014-2019 period. Human behavior, whether intended or not, is the primary cause of fires, and exposure to haze pollution has a detrimental effect on public health. The provinces of South Sumatra, Riau, and Jambi, which have the worst forest fires, are home to about 19 million people who are at risk for this health issue. As a substantive right, Article 9 Paragraph (3) of Law Number 39 of 1999 Concerning Human Rights guarantees the community's right to a good and healthy environment. Law Number 41 of 1999 about Forestry and Law Number 32 of 2009 concerned Environmental Protection and Management both make the same environmental quality provisions. The problem of forest fires that have violated the community's substantive rights to a healthy environment is raised in this study in order to obtain appropriate policies based on environmental justice. The problem is addressed using a descriptive normative juridical research methodology. The study's findings demonstrate that the law has deemed the community's substantive right to a healthy environment as the component of human rights. However, cases related to forest fires often do not address the most basic issue of the substantive right to the quality of life of the community. This study proposes a framework for policy based on environmental justice concepts. The policy framework proposed includes elements such as the necessity to defend equal rights, the adoption of a preventative strategy, and the significance of transferring the burden of proof to those responsible to forest fires. The state's obligation to uphold justice in community rests on these elements.Keywords: substantive rights; forest fires; health impact; policy framework.