Media Iuris
Media Iuris E-ISSN (2621-5225) is an open-access-peer-reviewed legal journal affiliated with the Faculty of Law of Airlangga University, which was published for the first time in 2018 in the online version. The purpose of this journal is as a forum for legal scholars, lawyers and practitioners to contribute their ideas to be widely disseminated for the development of legal science in Indonesia. This journal is published three times a year in February, June and October. Scope of articles ranging from legal issues in the fields of business law, constitutional law, administrative law, criminal law, international law, comparative law, and other legal fields.
Articles
221 Documents
Perlindungan Hukum bagi Konsumen terhadap Keterlambatan Penerbangan Akibat Kabut Asap Kebakaran
Vermonita Dwi Caturjayanti
Media Iuris Vol. 3 No. 2 (2020): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v3i2.20894
Jasa penerbangan telah menjadi salah satu kebutuhan primer untuk mobilisasi masyarakat. Dalam pelaksanaannya hingga saat ini masih terjadi beberapa kendala, salah satunya adalah keterlambatan penerbangan. Keterlambatan dalam penerbangan sering terjadi dikarenakan faktor cuaca dan/atau teknis operasional. Setiap terjadi keterlambatan penerbangan maka pihak maskapai penerbangan bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi kepada pihak penumpang kecuali pihak maskapai penerbangan dapat membuktikan bahwa keterlambatan penerbangan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan/atau teknis operasional. Dalam keterlambatan penerbangan yang disebabkan oleh kabut asap tidak dapat dikatakan sebagai force majeure karena dapat diprediksi oleh pihak maskapai penerbangan dan dapat dikatakan sebagai cuaca berkelanjutan. Atas dasar tersebut, maka pihak maskapai merupakan pihak yang bertanggungjawab dalam pemberian ganti rugi kepada penumpang. Hubungan antara pihak maskapai dengan penumpang juga terikat dengan perjanjian pengangkutan. Sehingga bentuk ganti rugi atas keterlambatan penerbangan harus sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sebagai bentuk tanggung jawab atas perjanjian pengangkutan yang tidak sesuai dengan kesepakatan.
Akibat Hukum Perusahaan Perkebunan yang Tidak Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Saut Parsaulian Hutagalung;
Franky Butar Butar
Media Iuris Vol. 4 No. 2 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v4i2.25162
Corporate Social Responsibility is a concept known in the business world as a form of company concern for society. Indonesia regulates CSR under the term Social and Environmental Responsibility. CSR or Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) is regulated in Article 74 of Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Company. This regulation requires every company whose activities are to manage and / or relate to natural resources. Plantation companies are companies whose business activities are to manage natural resources and have an obligation to implement TJSL. However, in implementing TJSL, there are several problems, namely the absence of regulations that clearly regulate the form of activities including TJSL and sanctions for plantation companies that do not implement TJSL which creates legal vacuum and legal uncertainty for companies, government and for the community. This research was conducted with the aim of providing legal certainty and as a guideline for all parties related to the implementation of TJSL and law enforcement. The research method used in this research is a normative juridical research type that analyzes legal issues against the prevailing norms or positive legal rules. This research was conducted using a Statute Approach and a Conceptual Approach.Keywords: Limited Liability Company; legal sanctions; Corporate Social Responsibility.Corporate Social Responsibility merupakan konsep yang dikenal dalam dunia bisnis sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap masyarakat. Indonesia mengatur CSR dengan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. TJSL diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Pengaturan ini mewajibkan setiap perusahaan yang kegiatannya mengelola dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Perusahaan perkebunan merupakan perusahaan yang kegiatan usahanya mengelola sumber daya alam memiliki kewajiban dalam melaksanakan TJSL. Namun, Perusahaan perkebunan dalam menjalankan TJSL terdapat beberapa permasalahan yaitu belum adanya peraturan yang mengatur secara jelas terkait dengan bentuk kegiatan yang termasuk TJSL dan sanksi bagi perusahaan perkebunan yang tidak melaksanakan TJSL yang menimbulkan kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum bagi perusahaan, pemerintah maupun bagi masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum serta dapat menjadi pedoman bagi seluruh pihak terkait dengan pelaksanaan TJSL dan penegakan hukumnya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian yuridis normatif yang menganalisa permasalahan hukum terhadap norma atau kaidah hukum posistif yang berlaku. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan dan Pendekatan Konseptual.Kata Kunci: Perseroan Terbatas; Sanksi Hukum; Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Aliran Kepercayaan Dalam Administrasi Kependudukan
Megamendung Danang Pransefi
Media Iuris Vol. 4 No. 1 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v4i1.24687
Indonesia adalah negara dengan pluralitas yang tinggi baik dari suku , bahasa, sampai dengan agama maupun kepercayaan yang dianut tiap-tiap warganya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar konstitusional Negara Republik Indonesia memberikan kebebasan bagi setiap warga negaranya untuk memeluk agama atau kepercayaan sesuai yang diyakini tiap-tiap mereka. Tersirat dari penjelasan pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 bahwa agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong hu cu. Hal ini seakan menjadi sebuah acuan bahwa agama yang diakui di Indonesia hanyalah enam agama tersebut, sedangkan jauh sebelum datangnya agama di Indonesia sudah ada kepercayaan-kepercayaan yang diyakini berbagai masyarakat di seluruh penjuru nusantara yang sejatinya turunan dari nenek moyang mereka. Dari dua hal tersebut dapat dilihat adanya kesenjangan akan perlakuan negara terhadap agama dan kepercayaan. Kesenjangan ini semakin tampak setelah adanya pasal Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang memberi tanda strip (-) kepada pemeluk agama atau kepercayaan selain enam agama diatas walaupun tetap dicatat dan dilayani di kantor pencatatan. Sampai pada tahun 2016 kelompok penghayat kepercayaan menggugat Undang-Undang Administrasi Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi untuk memperjuangkan kesetaraan akan pengakuan negara terhadap kepercayaannya.
Analisis Upaya Pemerintah Dalam Menangani Mudik Melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 Pada Masa Covid-19
Ainaya Nadine;
Zulfa Zahara Imtiyaz
Media Iuris Vol. 3 No. 3 (2020): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v3i3.20674
Covid-19 is a contagious disease that causes emergencies in the world including Indonesia. This situation causes all activities to be hampered, especially in terms of mobility that is needed to carry out activities. Transportation is an important tool in this regard. The government is demanding that as soon as possible take steps to prevent and control the spread of Covid-19, so a rule or regulation is needed. The spread of Covid-19 in Indonesia, which began in March 2020, continued until the Eid 1441 H took place. It has become a culture and tradition in Indonesia when Eid is to stay in touch with relatives and return to their hometown or usually called mudik. This of course requires a mode of transportation. To prevent the acceleration of the spread of the virus, the government issued a regulation on the prohibition of mudik through Permenhub No. 25/2020. The issuance of this regulation is a government preventive measure in handling Covid-19. However, this causes losses to prospective passengers who have already bought tickets for going home and those who hope to meet with their families. Regarding this, regulation must not only contain regulatory matters such as prohibitions and sanctions for those who violate them but also provide solutions to unwanted things such as compensation as a form of liability. However, whether law enforcement and the application of this regulation are effective according to government directives or not.
Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Pekerja/Buruh Perempuan Harian Lepas oleh Perusahaan Karena Alasan Cuti Haid
Ferdy Dwiyanda Putra
Media Iuris Vol. 3 No. 2 (2020): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v3i2.20890
Pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan terhadap pekerja/buruh perempuan harian lepas karena alasan cuti haid masih banyak terjadi hingga saat ini, dimana perusahaan dalam memberikan hak cuti haid kepada pekerja/buruh perempuan tersebut masih belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dikarenakan pihak perusahaan seringkali enggan memberikan hak tersebut dengan alasan takut hak tersebut disalahgunakan oleh pekerja/buruh perempuan diperusahaannya. Disisi lain, pekerja/buruh perempuan banyak yang belum mengetahui bahwa terdapat hak cuti kepada pekerja/buruh perempuan yang mengalami rasa sakit pada masa haid sehingga ketika terjadi pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan terhadap pekerja/buruh perempuan yang tidak masuk kerja karena alasan haid, pekerja/buruh perempuan tersebut hanya dapat menerimanya dengan lapang dada. Padahal, apabila merujuk ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hak cuti pada masa haid tersebut dapat diberikan kepada pekerja/buruh perempuan sepanjang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Apabila telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, namun perusahaan tetap melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut, maka pekerja/buruh perempuan dapat mengupayakan ganti kerugian kepada perusahaannya atau dapat diselesaikan dengan jalur hukum maupun non hukum.
Kedudukan Kreditor yang Tidak Terdaftar Pada Putusan Perdamaian PKPU Dalam Mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit
Adam Barnini;
Nyulistiowati Suryanti;
Artaji Artaji
Media Iuris Vol. 4 No. 2 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v4i2.26286
This article will examine the position of creditors who are not registered in the peace agreement that has been ratified in filing a bankruptcy statement and the strength of the homologation decision against creditors who are not registered in the peace agreement. The research method used is juridical normative by referring to written legal materials by reviewing secondary data in the form of primary, secondary and tertiary legal materials relating to bankruptcy and suspension of payment. The results of this study conclude that first, creditors who feel disadvantaged because they are not registered in the peace agreement cannot file a bankruptcy statement. Second, the homologation decision still has legal force against creditors who are not registered in the homologation decision.Keywords: Suspension Of Obligation For Payment Of Debt; Homologation Decision; Creditors are Not Registered in the Peace Agreement.Penelitian ini akan membahas mengenai kedudukan kreditor yang tidak terdaftar dalam perjanjian perdamaian yang telah disahkan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit dan kekuatan putusan homologasi terhadap kreditor yang tidak terdaftar dalam perjanjian perdamaian. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan merujuk pada bahan-bahan hukum tertulis dengan mengkaji data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang berkaitan dengan kepailitan dan PKPU. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pertama, terhadap kreditor yang merasa dirugikan karena tidak terdaftar dalam perjanjian perdamaian tidak dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Kedua, putusan homologasi tetap memiliki kekuatan hukum terhadap kreditor yang tidak terdaftar dalam putusan homologasi.Kata Kunci: PKPU; Putusan Homologasi; Kreditor Tidak Terdaftar; Perjanjian Perdamaian.
Kreditor Separatis vs. Upah Buruh: Suatu Kajian Dalam Hukum Kepailitan
Wulandari Rima Ramadhani
Media Iuris Vol. 4 No. 1 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v4i1.24836
Proses kepailitan tentu tidak lepas dari pembagian harta pailit yang melibatkan semua kreditor, pada pelaksanaanya terdapat kendala terkait mana yang harus didahulukan pembayarannya. Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa kedudukan Upah Buruh Terhutang sebagai Kreditor Preferen menjadi didahulukan bahkan diatas Kreditor Separatis, pajak, hak tagih Negara dan pembayaran bea lelang. Skripsi ini akan membahas pergeseran kreditor karena terdapat penegasan terkait kedudukan buruh dengan melamahnya kedudukan Kreditor Separatis dan menguatnya kedudukan Upah Buruh Terhutang, upaya yang dapat dilakukan oleh kreditor apabila tidak setuju dengan daftar pembagian harta pailit yang dibuat oleh Kurator, akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 pada perjanjian penjaminan dan bentuk pengalahan yang terjadi pada Kreditor Separatis saat berhadapan dengan Upah Buruh Terhutang. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta Putusan-Putusan yang terkait dengan pembagian harta pailit. Metode penulisan yang digunakan pada skripsi ini adalah penelitian hukum.
Back Door Listing: Kewenangan Badan Usaha dan UMKM Untuk Melakukan Initial Public Offering Tanpa Melewati Proses IPO
Yoga Partamayasa
Media Iuris Vol. 3 No. 3 (2020): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v3i3.19518
Konsep hukum pasar modal sangat erat kaitannya dengan konsep hukum perseroan terbatas. Karena dalam melakukan proses pencatatan saham di bursa efek, salah satu persyaratan utamanya bahwa usaha tersebut harus berbentuk perseroan terbatas. Namun biaya untuk membuat sebuah perseroan tidak murah. Ditambah lagi dengan biaya pencatatan saham, biaya Due Diligence yang tidak sedikit serta prosesnya yang panjang. Hal ini mengakibatkan perusahaan yang masuk ke bursa efek didominasi oleh perusahaan dengan kapitalisasi besar. Sedangkan perusahaan startup dan usaha UMKM hampir tidak mungkin untuk dapat mencatatkan sahamnya di bursa efek. Konsep Back Door Listing adalah solusi yang dapat dilakukan bagi perusahaan dengan kapitalisasi kecil dan/atau UMKM untuk mencatatkan sahamnya di bursa efek. Diharapkan dengan mekanisme Back Door Listing kegiatan pencatatan saham di bursa efek sudah tidak didominasi lagi hanya oleh perusahaan dengan kapitalisasi besar, namun juga dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan yang memiliki kapitalisasi kecil dan/atau UMKM untuk masuk ke Pasar Modal.
Akibat Hukum Hibah Wasiat yang Melebihi Legitime Portie
Yanuar Suryadini;
Alifiana Tanasya Widiyanti
Media Iuris Vol. 3 No. 2 (2020): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v3i2.18774
Sistem hukum barat yang bersumber dari Burgerlijk Weatboek mengatur mengenai hibah wasiat yang terdapat pada pasal 957 BW menjelaskan mengenai hibah wasiat adalah suatu penetapan khusus, dimana yang mewariskan kepada orang lain memberikan suatu barang seperti barang bergerak atau tidak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil seluruh atau sebagian peninggalannya. Penetapan hibah wasiat merupakan kehendak pewaris. Pada pasal 1683 BW jo pasal 1682 BW menjelaskan bahwa hibah dikatakan sah apabila berlaku bagi semua pihak jika penerima hibah telah menerima benda yang diberikan dari penghibah dengan bukti yang sah. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode yuridis normatif yaitu metode yang mengacu pada ketentuan aturan-aturan hukum yang berlaku, kaidah-kaidah hukum juga pada aturan di dalam Burgerlijk Weatboek yang berkaitan dengan hibah. Menghibahkan harta memang tidak dilarang dalam undang-undang tetapi terdapat aturan dan perhitungan dalam hibah wasiat ke pada orang yang menerima hibah agar tidak merugikan ahli waris karena di dalam Burgerlijk Weatboek terdapat hak mutlak (legitieme portie) terhadap ahli waris yang diatur dalam pasal 913 BW, jika ahli waris dirugikan maka ahli waris dapat menuntut bagiannya ke pengadilan atas dasar pasal 913 BW mengenai bagian mutlaknya (legitieme portie) hak tersebut telah dilindungi undang-undang, sekalipun ada wasiat bahwa harta pewaris seluruhnya diberikan kepada penerima hibah. akibat hukum dari penghibahan yang telah dilakukan jika merugikan ahli waris pada putusan yang berkekuatan hukum tetap akan berlaku surut terhadap obyek yang disengketakan, maka hibah wasiat yang diberikan bukan lagi milik dari penerima hibah melainkan akan menjadi keadaan seperti semula dan dianggap perjanjian tersebut tidak pernah ada.
Hilangnya Sifat Melawan Hukum Pidana Materil Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Pengembalian Seluruh Kerugian Keuangan Negara
Yanto Yunus;
Juwita Sarri;
Syahirudin Syahir
Media Iuris Vol. 4 No. 2 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v4i2.25457
Criminal conduct can be held accountable when it meets two elements of such action as unlawful action and can be reproached. The nature of resisting the law itself is devided into two opposing qualities of formal law and the nature of resisting the law of materiel. The nature of the law regarding material itself has two fuction: itsnegative function and its positive work. Of these functions in application only to its negative (or exempted from the written law) function because of its positive function (an act not prohibited by the law but by society of the act is mistaken) and therefore is a violation of the law. This type of research is the normative study with the constitution approach (statue approach) and the conceptual approach. From this research it can be concluded that the repayment of all financial losses in the state can be excused/ fail d;excuse, so that the nature of resisting the laws of materiel’s negative function of the perpetrators of corruption is lost. The provision of article 4 of the constitution is judged as irrelevant because the application of a fixed sanction without seeing thr benefits of its ratification. This is based on the theory presented by Nigel Walker and Jeremmy Bentham, which says the application of criminal santions must be ideal and beneficial to the perpetrator. Keywords: Loss of Unlawful Character; Corruption; Recovery of State Losses.Perbuatan pidana dapat dimintai pertanggungjawaban apabila memenuhi dua unsur yakni perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan perbuatan tersebut dapat dicela. Sifat melawan hukum itu sendiri terbagi dalam dua yakni sifat melawan hukum formal dan sifat melawan hukum materiel, Sifat melawan hukum materiel itu sendiri memiliki dua fungsi yaitu fungsinya yang negatif dan fungsinya yang positif. Dari kedua fungsi tersebut dalam penerapannya hanya diperbolehkan fungsinya yang negatif (atau perbuatan yang dapat dikecualikan dari hukum yang tidak tertulis) dikarenakan fungsinya yang positif (perbuatan yang tidak dilarang oleh undang-undang tetapi oleh masyarakat perbuatan tersebut dianggap keliru) sehingga fungsinya ini dianggap bertentangan dengan undang-undang. Jenis Penelitian ini ialah penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang (Statute Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan dikembalikannya seluruh kerugian keuangan negara maka perbuatan pelaku dapat dimaafkan/fail d;excuse, sehingga sifat melawan hukum materiel fungsinya yang negatif dari perbuatan pelaku tindak pidana korupsi hilang. Sehingga ketentuan dalam Pasal 4 UU dinilai sudah tidak relevan dikarenakan penerapan sanksi yang tetap dijatuhkan tanpa melihat manfaat dari penjatuhan sanksi tersebut. Hal tersebut berdasarkan pada teori yang dikemukakan oleh Nigel Walker dan Jeremmy Bentham, yang mengatakan bahwa penerapan sanksi pidana harus ideal dan bermanfaat bagi pelaku.Kata Kunci: Hilangnya Sifat Melawan Hukum; Korupsi; Pengembalian Kerugian Negara.