Media Iuris
Media Iuris E-ISSN (2621-5225) is an open-access-peer-reviewed legal journal affiliated with the Faculty of Law of Airlangga University, which was published for the first time in 2018 in the online version. The purpose of this journal is as a forum for legal scholars, lawyers and practitioners to contribute their ideas to be widely disseminated for the development of legal science in Indonesia. This journal is published three times a year in February, June and October. Scope of articles ranging from legal issues in the fields of business law, constitutional law, administrative law, criminal law, international law, comparative law, and other legal fields.
Articles
221 Documents
Kedudukan Hukum Badan Usaha Milik Negara Sebagai Anak Perusahaan Dalam Perusahaan Holding Induk
Rizal Choirul Romadhan
Media Iuris Vol. 4 No. 1 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v4i1.23669
Visi Kementerian BUMN saat ini adalah menyelesaikan pembentukan perusahaan holding induk (super holding company) BUMN dalam bentuk klaster yang menjadi payung pengelola BUMN agar dapat menggerakkan proses penciptaan nilai tambah bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Perusahaan holding induk BUMN dalam bentuk klaster tersebut akan membawahi perusahaan-perusahaan atau perusahaan holding berdasarkan klaster-klaster sejenis dalam struktur korporasi modern. Pembentukan klaster-klaster tersebut tujuannya untuk memperkuat rantai pasok bukan membunuh sektor usaha lainnya yang sedang berjalan dan meningatkan sinergitas. Realisasi pembentukan induk usaha (holding) pada BUMN berdasarkan core business mesti disikapi dan dilaksanakan secara hati-hati. Sebab, ada sejumlah potensi permasalahan hukum yang mungkin muncul ke permukaan ketika proses holding BUMN itu direalisasikan salah satunya berkaitan dengan status hukum BUMN. Potensi permasalahan itu berangkat dari definisi BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Potensi permasalah itu memunculkan dua isu hukum yakni berkaitan dengan Kedudukan hukum BUMN yang menjadi anak perusahaan dalam Holding Company dan Wewenang Negara/Pemerintah dalam melakukan pengawasan dan fungsi pembinaan kepada BUMN yang menjadi anak perusahaan dalam Holding Company. Penulis menggunakan metode penelitian hukum, yaitu suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about, sebagai kegiatan know-how penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Kewajiban Penyidikan Oleh Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Perusakan Hutan
Syahrul Arif Hakim;
Didik Endro Purwoleksono;
Andi Surya Perdana
Media Iuris Vol. 3 No. 3 (2020): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v3i3.22493
Penyidikan yang dilakukan oleh Penuntut Umum setelah Penyidik ( Kepolisian / PPNS ) tidak dapat melengkapi berkas perkara sebagaimana Pasal 39 huruf b UU No. 18 Tahun 2013 tidak dijelaskan lebih lanjut dalam pasal tersendiri maupun penjelasan tentang ruang lingkup kewenangan penyidikan tersebut serta dalam undang-undang juga tidak disebutkan apakah penyidikan oleh Penuntut Umum ini termasuk Penyidikan Lanjutan atau penuntut umum melakukan penyidikan dari awal. Penyidikan oleh Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana perusakan dilakukan dalam tahap yang dikenal istilahnya Pra Penuntutan. Tugas Penuntut Umum dalam tahap Pra Penuntutan yang awalnya melakukan tugas dan kewenangannya meneliti berkas perkara yang disampaikan penyidik dan selanjutnya memberikan petunjuk, berdasarkan perintah undang-undang wajib melakukan penyidikan dengan jangka waktu tertentu setelah penyidik tidak dapat menyelesaikan penyidikannya baik karena berkas perkara belum lengkap dan atau masa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik selama 60 ( enam puluh ) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari telah habis dan jika kewajiban sebagaimana Pasal 39 tersebut tidak dilaksanakan, maka sesuai Pasal 42 UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ( P3H ) dapat dikenakan sanksi administratif
Konsep “Antargolongan” dalam Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Tiara Kumalasari
Media Iuris Vol. 3 No. 2 (2020): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v3i2.20892
Secara faktual, Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Adanya fakta bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE cenderung digunakan untuk mengkriminalisasi orang-orang yang mengeluarkan pendapatnya berupa kritikan di media elektronik karena adanya ketidakjelasan makna dari konsep “antargolongan” dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE sehingga menyebabkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan aparat penegak hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum teoritikal (theoritical research) dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Kesimpulannya adalah pertimbangan hakim dalam beberapa putusan pengadilan, baik pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi tidak dapat memberikan makna yang jelas dari konsep “antargolongan”, bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi pun cenderung memperluasnya. Dengan penafsiran sistematis, maka dalam menemukan kriteria dari konsep “antargolongan” dalam Pasal 28 ayat (2) dapat digunakan istilah “golongan” dalam Pasal 156 KUHP.
Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Korban Kekerasan Seksual di Indonesia
Luh Made Khristianti Weda Tantri
Media Iuris Vol. 4 No. 2 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v4i2.25066
Protection from all forms of sexual violence is part of human rights, namely the right to individual safety, the right to freedom and personal security, and self-protection of the honor and dignity of a person that are guaranteed by the constitution. The number of sexual violence that is increasing year after year is not proportional comparing to the low legal settlement obtained by victims of sexual violence. However, until now, there are no specific laws and regulations governing sexual violence In Indonesia. This research will discuss the protection of human rights for victims of sexual violence in Indonesia as an effort to protect human rights for the victims of sexual violence by using statute approach and conceptual approach. The results of this study conclude that laws related to sexual violence already exist but have not been able to provide comprehensive legal protection because there is no specific law on sexual violence.Keywords: Human Rights; Self Protection; Sexual Violence.Perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual merupakan bagian dari hak asasi manusia yaitu hak atas keselamatan individu, hak kebebasan dan keamanan pribadi, dan perlindungan diri atas kehormatan dan martabat seseorang yang dijamin oleh konstitusi. Angka kekerasan seksual yang semakin meningkat dari tahun ke tahunnya tidak sebanding dengan rendahnya penyelesaian hukum yang didapat oleh korban-korban kekerasan sekual. Namun demikian, hingga kini belum ada peraturan perundang- undangan khusus yang mengatur tentang kekerasan seksual di Indonesia. Penelitian ini akan membahas tentang perlindungan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia sebagai upaya perlindungan hak asasi manusia dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penelitian ini memperoleh kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan terkait kekerasan seksual sudah ada namun masih belum dapat memberikan perlindungan hukum yang komprehensif karena tidak adanya peraturan perundang-undangan khusus tentang kekerasan seksual.Kata Kunci: Asasi Manusia; Perlindungan Diri; Kekerasan Seksual.
Kewenangan Kurator Dalam Pemberhentian Direksi Perseroan Terbatas
Clara Renny Kartika
Media Iuris Vol. 4 No. 1 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v4i1.24834
Direksi Perseroan Terbatas sebagai organ Perseroan memiliki tanggung jawab terhadap kepengurusan Perseroan Terbatas yang mengartikan bahwa Perseroan tidak akan ada apabila tanpa peranan Direksi dan begitu pula sebaliknya. Apabila terjadi kepailitan, Direksi Perseroan Terbatas dapat diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan persetujuan dari Kurator yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Kurator tidak berwenang mengadakan RUPS sendiri dan mengubah anggaran dasar tanpa adanya peranan RUPS. Akibat hukum dari adanya pemberhentian Direksi Perseroan Terbatas memberikan berbagai dampak yang mempengaruhi kelangsungan usaha-usaha perusahaan itu sendiri atau terhadap pemegang saham lainnya bila mekanisme pemberhentiannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku walaupun tidak dirasakan secara langsung akibat yang ditimbulkannya. Jika Direksi dilepaskan tanggung jawabnya melalui pemberhentian oleh Kurator maka hal ini dapat dinilai terjadi ketidakefektifan dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit karena sebenarnya organ Perseroan Terbatas yang mana itu Direksi masih dibutuhkan oleh Kurator dalam penanganan hal tersebut. Pemberhentian Direksi oleh Kurator ini juga dinilai dapat menghalangi keberlakuan proses rehabilitasi yang mana Direksi berhak mengajukan rehabilitasi kepada Pengadilan yang telah mengucapkan putusan pernyataan pailit. Direksi Perseroan Terbatas yang diberhentikan oleh Kurator dapat melakukan upaya hukum yang berupa gugatan lain-lain tindakan Kurator serta melakukan pelaporan ke Dewan Kehormatan Organisasi asal Kurator terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Kurator.
Karakteristik Pengawasan terhadap Penyidik Militer dalam Proses Peradilan Pidana Militer
Agus Setiyawan Dwi Arianto
Media Iuris Vol. 3 No. 3 (2020): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v3i3.23039
Hukum acara pidana militer memiliki karakteristik pengawasan terhadap penyidik yang berbeda dengan pengawasan terhadap penyidik yang ada dalam peradilan pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHAP, hukum acara pidana militer tidak mengenal sistem pengawasan eksternal atau praperadilan yang dilakukan pada penyidik dalam menjalankan proses penyidikan yang diatur dalam KUHAP, karena dalam lingkungan militer terdapat asas kesatuan komando yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Perdilan Militer. Jadi pengawasan terhadap penyidik dalam menjalankan proses penyidikan di lingkungan Peradilan Militer hanya berupa pengawasan internal yang dilakukan dalam organisasi TNI, dan bentuk pengawasan internalnya berupa pengawasan teknis. Jika tersangka dirugikan atas tindakan penyidik dalam menjalankan proses penyidikan militer yang semena-mena dan tidak sesuai prosedur penyidikan dalam hukum acara pidana militer, tersangka tetap dapat melakukan upaya melaui pengawasan internal yang ada dalam organisasi TNI itu sendiri atas tindakan penyidik militer tersebut dengan mengadukannya kepada atasan yang berhak menghukum (Ankum) sebagaimana bentuk pengawasan yang dimiliki Ankum, selain itu juga dapat mengadukan tindakan penyidik militer tersebut di proses persidangan dalam lingkungan Peradilan Militer.
Dinamika Hukum Waris Adat di Masyarakat Bali Pada Masa Sekarang
Dinta Febriawanti;
Intan Apriyanti Mansur
Media Iuris Vol. 3 No. 2 (2020): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v3i2.18754
Di Indonesia terdapat tiga hukum waris, yaitu hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris BW. Hukum waris adat tidak terlepas dari adanya pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia di mana setiap daerah memiliki adat yang berbeda-beda. Dalam artikel ini yang akan di bahas yaitu hukum waris adat, khususnya di masyarakat Bali. Seiring berjalannya waktu, hukum waris adat di Bali masih berlangsung dan dipertahankan dari generasi sebelumnya hingga ke generasi selanjutnya untuk dilestarikan dan diterapkan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terkadang ada beberapa masalah mengenai pembagian harta waris yang diberikan atau ditinggalkan oleh si pewaris. Penyebabnya yaitu karena dirasanya kurang adil mengenai bagian harta yang diberikan mengingat bahwa di Bali pelaksanaan hukum adat maupun hukum waris adatnya yang masih sangat kental. Permasalahan tersebut berujung pada penyelesaian sengketa di pengadilan. Adanya permasalahan di dalam pembagian harta secara hukum waris adat di Bali tersebut dalam artikel ini akan dibahas dan dikaitkan dengan keadaan zaman sekarang di mana pada saat ini zaman sudah maju dan terdapat perkembangan dalam menyelesaikan perkara sengketa waris adat di pengadilan.
Pemenuhan Hak Rekreasional Terhadap Narapidana Anak Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Banda Aceh
Zulyani Mahmud;
Zahratul Idami;
Suhaimi Suhaimi
Media Iuris Vol. 4 No. 2 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v4i2.26478
This article discusses and describes the task of the Banda Aceh Special Development Institute (LPKA) in providing guidance and fulfilling the rights of children in lpka. Law No. 11 of 2012 on the child criminal justice system in Article 3 states that every child in the criminal justice process has the right to conduct recreational activities, but in fact the fulfillment of children’s recreational rights has not been carried out to the maximum while in LPKA. The research method used is empirical juridical research method. The results showed the granting of Recreational Rights has not been running optimally, from within the LPKA is done by giving a schedule of play to students on holidays, activities carried out are playing volleys and playing musical instruments, activities outside lpka is to be a guest at discussion events held by other parties. not clearly regulated how the granting of recreational rights, the granting of recreational rights is done only on the basis of the policy of the Head of LPKA. Inhibitory factors in the absence of a special budget for the granting of recreational rights.Keywords: Fullfillment; Right; Recreational; Child Prisioner.Artikel ini membahas dan menganilis tugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Banda Aceh dalam memberikan pembinaan dan mempenuhi hak-hak anak di dalam LPKA, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak melakukan kegiatan rekreasional, Namun dalam faktanya pemenuhan hak rekreasional anak belumlah terlaksana dengan maksimal selama di LPKA. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukan pemberian Hak Rekreasional belum berjalan maksimal, dari dalam LPKA dilakukan dengan cara memberikan jadwal bermain kepada anak didik di hari libur, kegiatan yang dilakukan adalah bermain volley dan bermain alat musik, kegiatan di luar LPKA yaitu menjadi tamu pada acara-acara diskusi yang di selenggarkan pihak lain. tidak diatur secara jelas bagaimana pemberian hak rekreasional tersebut, pemberian hak rekreasional dilakukan hanya atas dasar kebijakan Kepala LPKA. Faktor Penghambat tidak adanya anggaran khusus untuk pemberian hak rekreasional.Kata Kunci: Pemenuhan; Hak; Rekreasional; Narapidana Anak.
Kebijakan Restrukturisasi Pinjaman Pada Peer To Peer Lending
Salsabila Yuharnita
Media Iuris Vol. 4 No. 1 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v4i1.24832
Covid-19 merupakan sebuah pandemi yang dialami oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Adanya pandemi ini berdampak pada berbagai sektor, salah satunya ekonomi. Dampak ekonomi salah satunya dirasakan dalam perjanjian pinjam-meminjam yang saat ini marak digunakan yaitu perjanjian pinjam meminjam uang berbasis teknologi atau Peer to Peer Lending (P2PL). P2PL tidak dilakukan secara tatap muka, tetapi hanya melalui online. Penyelenggara P2PL merupakan perantara antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Dalam kondisi pandemi, P2PL mengalami kemungkinan risiko yaitu gagal bayar oleh penerima pinjaman. Untuk mengurangi risiko gagal bayar, penyelenggara P2PL menawarkan fasilitas pengajuan restrukturisasi pinjaman bagi penerima pinjaman. Ketentuan terkait fasilitas restrukturisasi pinjaman ditentukan oleh masing-masing penyelenggara karena belum adanya peraturan yang mengatur terkait restrukturisasi pinjaman pada P2PL. Beberapa upaya restrukturisasi pinjaman yang dapat dilakukan dalam P2PL yaitu grace period dan perpanjangan waktu. Apabila telah dilakukan upaya restrukturisasi pinjaman, namun tetap terjadi sengketa, maka dapat diselesaikan dengan jalur litigasi maupun non-litigasi.
Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa Prostitusi Online
Winda Hayu Rahmawati
Media Iuris Vol. 3 No. 3 (2020): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/mi.v3i3.23047
Di Indonesia, kegiatan prostitusi merupakan suatu tindak pidana yang telah ada dari jaman dahulu hingga sekarang. Apalagi dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti media sosial, kegiatan prostitusi semakin mudah untuk dilakukan. Saat ini, masih belum ada ketentuan yang mengatur secara rinci perihal larangan kegiatan prostitusi. Kegiatan prostitusi hanya diatur dalam KUHP yang hanya dapat dikenakan pada mucikari saja. Sedangkan pihak lain seperti penyedia jasa dan pengguna jasa yang juga turut terlibat dalam melaksanakan kegiatan prostitusi masih belum ada pengaturan yang dapat menjerat keduanya. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, dilakukan penelitian dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Merujuk pada hasil dari penilitian yang dilakukan, berdasarkan hukum nasional Indonesia, pengguna jasa prostitusi online masih belum dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sebab masih belum ada aturan yang dapat menjerat para pengguna jasa prostitusi. Pengguna jasa prostitusi online hanya dapat dipertanggungjawabkan melalui Pasal 55 tentang penyertaan dan melalui Peraturan Daerah di masing-masing daerah yang telah mengatur tentang kegiatan prostitusi. Sebab itu perlu adanya pembaharuan kebijakan hukum pidana agar penanggulangan terhadap kegiatan prostitusi online dapat lebih maksimal.