cover
Contact Name
Ihdi Karim Makinara
Contact Email
Ihdi Karim Makinara
Phone
+6282304008070
Journal Mail Official
mediasyariah@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
Media Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial
ISSN : 14112353     EISSN : 25795090     DOI : http://dx.doi.org/10.22373/jms
This journal focused on Islamic Law Studies and present developments through the publication of articles, research reports, and book reviews. SCOPE Ahkam specializes on Islamic law, and is intended to communicate original research and current issues on the subject. This journal warmly welcomes contributions from scholars of related disciplines.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 21, No 1 (2019)" : 7 Documents clear
Pencabutan Ketentuan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Nasional Kautsar Muhammad Yus
Media Syari'ah Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v21i1.6036

Abstract

Abstrak: Pasal 571 huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh namun prosedur pencabutan seharusnya ada konsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA sebagai representasi masyarakat Aceh yang tertera Pasal 269 ayat (3) undang-undang a quo. Hal tersebut tidak dilakukan oleh Pemerintah Pusat sama sekali dan serta merta menyalahi procedural perubahan yang ada di undang-undang khusus Aceh.  Dua masalah yang menjadi fokus peneliti: Pertama, bagaimana prosedur pencabutan undang-undang yang bersifat khusus dalam peraturan perundang-undangan nasional? Kedua, apakah konsekuensi yuridis jika pencabutan ketentuan undang-undang bersifat khusus tidak sesuai mekanisme yang berlaku? Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah penelitian yuridis normatif dengan beberapa pendekatan: Pendekatan historis, pendekatan perundang-undangan, pendekatan perbandingan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Hasil penelitian sebagai berikut: bahwa prosedur pencabutan undang-undang yang bersifat khusus dalam peraturan perundang-undangan nasional oleh dua undang-undang. Pasal 269 ayat (3) “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”. Artinya ada kewajiban selaku pembentuk undang-undang yakni DPR dan Pemerintah untuk wajib berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA. Jika hal tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang-undang maka secara konstitusional hal tersebut dianggap inprosedural dan batal demi hukum. Pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 “Usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Konsekuensi yuridis atas Pasal 571 huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tidak mempunyai hukum mengikat, dan kehilangan objek oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Abstract: Article 571 letter d of Law Number 7 of 2017 concerning General Elections revokes and declares the enactment of Article 57 and Article 60 paragraph (1), paragraph (2), and paragraph (4) of Law Number 11 of 2006 concerning Aceh Government but revocation procedures should have consultations and get DPRA considerations as representatives of the people of Aceh as stated in Article 269 paragraph (3) of the a quo law. This was not done by the Central Government at all and necessarily violated the procedural changes in the special law in Aceh. Two issues are the focus of the researcher: First, what are the procedures for revoking specific laws in national legislation? Secondly, what is the juridical consequence if the revocation of the provisions of the law is specific not in accordance with the existing mechanism? The research method used in this article is normative juridical research with several approaches: historical approach, legislative approach, comparative approach, conceptual approach, and case approach. The results of the study are as follows: that the procedure for revoking special laws in national legislation by two laws. Article 269 paragraph (3) "In the event that a planned change to this Law is carried out by first consulting and obtaining the consideration of the DPRA". This means that there is an obligation as a legislator namely the DPR and the Government to be obliged to consult and obtain DPRA considerations. If this is not done by the legislators then constitutionally it will be considered procedural and null and void. Article 77 of Law Number 21 Year 2001 "Proposed amendments to this law may be submitted by the people of the Papua Province through the MRP and DPRP to the DPR or the Government in accordance with statutory regulations". Juridical consequences for Article 571 letter d of Law Number 7 of 2017 does not have a binding law, and loss of objects by the Constitutional Court Decision.
PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DI INDONESIA MENURUT UUDNRI 1945 SERTA KEDUDUKAN DPD DALAM PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Fahrul Reza
Media Syari'ah Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v21i1.6425

Abstract

Amanah pembentukan undang-undang di Indonesia sebelum amandemen sangat didominasi oleh Presiden, seakan-akan fungsi DPR hanya sebatas pendampingan Presiden dalam proses pembentukan undnag-undang. Pasca amandemen, kewenangan pembentuk undang-undang berubah dari format sebelumnya. Presiden dan DPR mempunyai kewenangan yang sama dalam hal pembentukan undang-undang bahkan fungsi pembentukan undang-undang juga diberikan kepada DPD selaku keterwakilan daerah yang ada di Indonesia. Persoalnya ialah, beberapa poses pembentukan undang-undang kerapkali Presiden dan DPR tidak mengikutsertakan yang diamanahkan oleh konstitusi. Artikel ini akan membahas tentang dua permasalahan yang akan kaji sebagai berikut berikut: Pertama, siapa pembentuk undang-undang di Indonesisa menurut UUD 1945 pasca putusan Mahkamah Konstitusi? Kedua, bagaimanakah kedudukan DPD dalam pelaksanaan fungsi legislasi  pasca putusan Mahkamah Konstitusi? Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa siapa pembentuk undang-undang di Indonesia menurut UUD 1945 pasca putusan Mahkamah Konstitusi jelas sudah terjawab oleh UUD Tahun 1945 pasca amandemen. Artinya keberadaan DPD harus equal dengan DPR dalam hal program legislasi di Indonesia. Selanjutnya kedudukan DPD dalam pelaksanaan fungsi legislasi  pasca putusan Mahkamah Konstitusi juga sudah terjawab oleh putusan Mahkamah Konstitusi bahwa kehadiran DPD menjadi pengimbang legislasi di Indonesia bahkan jangan lagi Presiden dan DPR sebagai pendulum pembentuk undang-undang namun institusi DPD harus mendapatkan perhatian bahkan Kementerian juga harus menstarakan kedudukan DPD dengan DPR dalam rapat-rapat mitra kerja.
Penolakan Permohonan Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka dan Penyitaan (Kajian Putusan Nomor 01/Pra.Pid/2016/PN-Mbo) Hendrawan Sofyan; Dahlan Ali; Suhaimi Suhaimi; Mansari Mansari
Media Syari'ah Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v21i1.3923

Abstract

Abstrak: Hakim praperadilan Pengadilan Negeri Meulaboh melalui putusan Nomor 01/Pra.Pid/2016/PN-Mbo telah menolak permohonan praperadilan dengan objek perkaranya penetapan tersangka dan penyitaan. Padahal penetapan tersangka tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yakni tidak adanya penetapan pengadilan untuk penyitaan dan tidak adanya bukti yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim menolak praperadilan pemohon dan tinjauan yuridis terhadap penolakan permohonan praperadilan. Penelitian ini ingin mengkaji pertimbangan hakim menolak praperadilan dan tinjauan yuridis terhadap penolakan tersebut. Penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian yuridis normatif atau dokrtinal dengan tujuan mengkaji tentang asas-asas dan kaidah hukum sesuai dengan kajian ilmu hukum. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Putusan Nomor 01/Pra.Pid/2016/PN-Mbo, Putusan MK Nomor 21/PPU-XII/2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim menolak praperadilan pemohon yaitu: Pertama, Penetapan tersangka baru menjadi objek praperadilan pada sejak dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PPU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan yakni pada tahun 2015 dan penyitaan yang dilakukan oleh Polres Aceh Barat telah memenuhi dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perspektif yuridis, putusan hakim Nomor  01/Pra.Pid/2016/PN-Mbo masih banyak kelemahan dan kekeliruan. Pertama, hakim menyatakan bahwa penetapan tersangka bukanlah objek praperadilan sebelum adanya putusan MK, padahal praperadilan diajukan pemohon pada tahun 2016 setelah adanya putusan MK. Kedua, menurut hakim praperadilan penyitaan yang dilakukan telah sesuai padahal tidak adanya penetapan pengadilan untuk dilakukan penyitaan. Ketiga, penolakan praperadilan cenderung melanggar HAM, karena setelah ditolak hingga saat ini tahun 2018 tidak dilimpahkan kasus tersebut ke Pengadilan sehingga tidak adanya kepastian hukum bagi tersangka.Abstract: The pretrial judge of the Meulaboh District Court through Decision Number 01 / Pra.Pid / 2016 / PN-Mbo has rejected a pretrial application with the object of his case for the determination of a suspect and confiscation. Even though the determination of the suspect is not in accordance with the provisions of the legislation, namely the absence of a court's determination for confiscation and the lack of sufficient evidence to determine it as a suspect. This study aims to determine the consideration of judges rejecting pretrial applicants and juridical review of rejecting pretrial applications. This study wants to examine the consideration of judges rejecting pretrial and judicial review of the rejection. This research belongs to the category of normative or doctrinal juridical research with the aim of reviewing the principles and legal rules in accordance with the study of law. The primary legal material used is Law Number 8 of 1981 concerning KUHAP and Decision Number 01 / Pra.Pid / 2016 / PN-Mbo, Constitutional Court Decision Number 21 / PPU-XII / 2014. The results showed that the judge's judgment rejected the applicant's pretrial, namely: First, Determination of the suspect was only the object of pretrial since the issuance of the Constitutional Court ruling Number 21 / PPU-XII / 2014 which expanded the object of pretrial namely in 2015 and the seizure by the West Aceh Police fulfill and comply with applicable laws and regulations. In a juridical perspective, the decision of judge Number 01 / Pra.Pid / 2016 / PN-Mbo still has many weaknesses and errors. First, the judge stated that the determination of the suspect was not the object of pretrial before the Constitutional Court's decision, even though the pretrial was filed by the applicant in 2016 after the Constitutional Court's decision. Secondly, according to the pretrial judge, the seizure carried out was appropriate even though there was no court ruling for confiscation. Third, pretrial refusal tends to violate human rights, because after being rejected until now in 2018 the case has not been transferred to the Court so that there is no legal certainty for the suspect.
Hisab Urfi Syekh Abbas Kutakarang: Kajian Etnoastronomi dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah Hasna Tuddar Putri
Media Syari'ah Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v21i1.6476

Abstract

Perkembangan keilmuan falak merupakan buah karya atas kembalinya para ulama ke Indonesia dari Makkah maupun Timur Tengah. Mulai saat itu lahir beberapa tokoh falak dengan karyanya dengan model perhitungan yang bermacam-macam dan terus berkembang hingga sekarang. Salah satu ulama Aceh yang masih dikenal adalah Syekh Abbas Kutakarang. Ia terkenal sebagai ahli astronomi maupun astrologi di dunia Melayu. Berangkat dari hal tersebut, maka penulis ingin menelusuri bagaimana kontribusi Syekh Abbas Kutakarang tentang hisab penentuan awal bulan Hijriah. Penulis menggunakan penelitian jenis library research untuk mengumpulkan data tentang pemikiran Syekh Abbas Kutakarang dengan karyanya Tāj al-Mulūk yang terkait dengan hisab penentuan awal bulan Hijriah sebagai sumber primer. Hasil penelitian menyebutkan karya Syekh Abbas Kutakarang yang fenomenal adalah kitab Tāj al-Mulūk, di dalamnya terdapat konsep hisab urfi yang hampir sama dengan hisab aboge. Selama ini hisab urfi seperti aboge hanya dikenal di Jawa. Faktanya, Syekh Abbas Kutakarang juga menggunakan hisab seperti sistem aboge tetapi dengan konsep yang berbeda. Hisab urfi Syekh Abbas Kutakarang unik dan berbeda dengan hisab aboge dalam penentuan awal bulan Hijriah. Ia menggunakan kaidah ilmu falak tidak hanya untuk keperluan ibadah, melainkan untuk menghitung hari baik dan buruk, untuk pertanian dan menghitung musim. Hisab urfi Syekh Abbas Kutakarang dalam kajian ilmu falak tergolong dalam kajian etnoastronomi yaitu kajian yang menghubungkan antara astronomi dan budaya dalam penggunaan kaidah falak.Abstract: The development of astronomy is a work of the return of the scholars to Indonesia from Mecca and the Middle East. From then on, several celestial figures were born with their work with various calculation models and continue to grow until now. One of the Acehnese scholars who is still well known is Sheikh Abbas Kutakarang. He is famous as an astronomer and astrologer in the Malay world. Departing from this, the authors want to explore how the contribution of Sheikh Abbas Kutakarang about hisab of the beginning of the Hijri month. The author uses research library type research to collect data about the thoughts of Sheikh Abbas Kutakarang with his work Tāj al-Muluk related to hisab of early Hijri months as a primary source. The results of the study mention the phenomenal work of Sheikh Abbas Kutakarang is the book of Taj al-Muluk, in which there is a concept of  urfi hisab which is almost the same as aboge hisab. So far, hisab of Ufi like Aboge is only known in Java. In fact, Sheikh Abbas Kutakarang also uses hisab like the aboge system but with a different concept. Hisab urfi Sheikh Abbas Kutakarang is unique and different from the hisab aboge in the determination of the beginning of the Hijri month. He uses the principle of astronomy not only for religious purposes, but to count good and bad days, for agriculture and for seasons. Hisab urfi Sheikh Abbas Kutakarang in the study of astronomy belongs to the study of ethnoastronomy, the study that connects astronomy and culture in the use of astronomical rules.
Kewajiban Pemerintah Aceh dalam Penyediaan Fasilitas Pemberian ASI di Ruang Publik: Pengalaman Kota Banda Aceh Devi Faradila; Eddy Purnama; Mahdi Syahbandar
Media Syari'ah Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v21i1.4570

Abstract

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pelaksanaan kewajiban penyediaan fasilitas khusus terhadap pemberian ASI Eksklusif menurut PP No. 33 Tahun 2012 dan implikasi hukum dari tidak dilaksanakannya kewajiban penyediaan fasilitas pemberian ASI Eksklusif. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kewajiban penyediaan fasilitas khusus terhadap pemberian ASI Eksklusif di Kota Banda Aceh telah diupayakan merespon ketentuan ketentuan PP Nomor 33 Tahun 2012 melalui ketentuan Pergub Nomor 49 Tahun 2016 sebagai bentuk pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2006 dan beberapa qanun lainnya yang terkait perempuan dan anak. Upaya yang dilakukan Pemerintah Aceh dalam penyediaan fasilitas khusus terhadap pemberian ASI Eksklusif menurut PP Nomor 33 Tahun 2012 belum berjalan dengan baik dan pihak pemerintah belum melakukan upaya berupa komunikasi dengan SKPD diwilayahnya guna pengambilan kebijakan penyediaan fasilitas pemberian ASI Eksklusif diwilayah kerjanya serta pengawasan kepada perusahaan swasta dalam penyediaan ruang laktasi bagi ibu menyusui. Implikasi hukum dari tidak dilaksanakannya kewajiban penyediaan fasilitas pemberian ASI Ekslusif tidak dapat dilaksanakan mengingat belum adanya ketentuan pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam penerapan sanksi hukum bagi lembaga atau instansi maupun badan usaha swasta yang terkena ruang lingkup PP Nomor 33 Tahun 2012 walaupun terhadap hal tersebut telah ada ketentuan sanksinya yaitu dapat dikenakan sanksi pidana akibat menghalangi ibu dalam memberikan ASI Eksklusif. Selain itu juga membawa implikasi terhadap pelaksanaan program pemberian ASI Ekslusif terhadap instansi maupun badan usaha yang mempekerjakan wanita dalam penyelenggaraan perusahaannya. Abstract: This study discusses to explain the commitment to provide exclusive breastfeeding according to PP No. 33 of 2012 and the legal implications of not implementing the need to provide exclusive breastfeeding facilities. This research uses empirical juridical methods. Exclusive breastfeeding in the city of Banda Aceh has agreed to grant PP No. 33/2012 through Pergub regulation No. 49/2016, as a form of implementation of Law No. 11/2006 and a number of other qanuns related to women and children. Efforts by the Government of Aceh in providing special facilities for the provision Exclusive ASI according to PP No. 33/2012 has not been going well and the government has not made efforts to provide communication with the SKPD in the region. provide space for nursing mothers. The legal implications of not implementing the requirements for the provision of breastfeeding sanctions are punishable by the approval of the mother in providing exclusive breastfeeding. It also has implications for the implementation of exclusive breastfeeding programs for agencies and business entities that employ women in the organization of their companies.
Perlindungan Keluarga Terpidana Hukuman Cambuk dalam Qanun Aceh Indra Suhardi
Media Syari'ah Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v21i1.6047

Abstract

Abstrak: Hukuman penjara berimbas luas kepada suami, istri, dan anak serta keluarga besar terpidana.  Selama ini, negara tidak memberikan advokasi bagi keluarga narapidana. Ini berbeda dengan hukuman cambuk yang dinilai lebih manusiawi. Pertanyaannya, apakah pidana cambuk di Aceh dapat menjadi alternatif perlindungan keluarga terpidana?  Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum Islam tampak lebih jelas dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat, termasuk keluarga pelaku/terpidana; didasarkan kepada nilai-nilai yang dapat ditemukan di dalam al-Qur'an dan hadis. Keberadaan hukuman cambuk di Aceh dapat menjadi alternatif bagi perlindungan keluarga terpidana. Namun demikian, diperlukan pemisahan tegas antara konsep hudud dengan takzir untuk dapat mencapai maqāṣid al-syarī`ah  dan merealiasikan tujuan penghukuman. Untuk itu, diperlukan penguatan norma dalam bentuk alternatif bentuk `uqubat berupa gabungan antara cambuk, penjara, dan denda. Selain itu itu juga diperlukan regulasi khusus untuk pembinaan terpidana pascaeksekusi cambuk.Abstract: Prison sentences have a wide impact on the husband, wife, and children and extended family of convicts. So far, the state does not provide advocacy for the families of prisoners. This is different from caning that is considered more human. The question is, can caning in Aceh be an alternative protection for convicted families? The results showed that Islamic law appeared to be more clear in providing protection to the community, including the families of the perpetrators / convicted persons; based on values that can be found in the Qur'an and Hadith. The existence of caning in Aceh can be an alternative for the protection of convicted families. However, a strict separation between the concept of hudud and takzir is needed to be able to reach the maqāṣid al-syarī`ah and realize the purpose of punishment. For this reason, it is necessary to strengthen the norm in the form of an alternative form of uqubat in the form of a combination of whips, prisons and fines. In addition, it also requires special regulations for fostering convicted men after caning.
PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK TERHADAP ANAK (Suatu Penelitian di Pengadilan Negeri Takengon) Zulfikri Zulfikri; Dahlan Ali; Syarifuddin Hasyim
Media Syari'ah Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v21i1.5244

Abstract

Abstrak: Tulisan ini bertujuan menganalisis penyelesaian tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak dan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku dan korban tindak pidana persetubuhan. Metode penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian terhadap penyelesaian tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Takengon dilakukan penyelesaian melalui proses pengadilan karena tindak pidana tersebut tidak dapat dilakukan penyelesaian melalui diversi, sebab ancaman pidana terhadap tindak pidana persetubuhan terhadap anak di atas 7 (tujuh) tahun. Pedampingan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana maka pihak BAPAS berperan aktif dalam melakukan penelitian terhadap riwayat kehidupan anak yang melakukan tindak pidana persetubuhan, sehingga menjadi satu pertimbangan penyidik dalam proses penyidikan dan menjadi satu pertimbangan hakim dalam memutuskan hukuman terhadap anak dengan mengedepankan perlindungan hukum bagi anak. Abstract: This paper aims to analyze the settlement of the act of intercourse committed by children against children and the legal protection of children as perpetrators and victims of the act of intercourse. The research method was carried out with normative and empirical juridical methods. The results of research on the settlement of the sexual offense committed by a child against a child within the jurisdiction of the Takengon District Court is carried out through the court process because the criminal act cannot be resolved through diversion, because the criminal threat against the sexual offense against a child over 7 (seven) year. Assistance to children as perpetrators of crime, the BAPAS plays an active role in conducting research on the life history of children who commit criminal acts of intercourse, so that it becomes a consideration of investigators in the investigation process and becomes a consideration of judges in deciding sentences against children by prioritizing legal protection for children.

Page 1 of 1 | Total Record : 7