cover
Contact Name
Salman Abdul Muthalib
Contact Email
tafse@ar-raniry.ac.id
Phone
+6282165108654
Journal Mail Official
tafse@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Gedung Fakultas Ushuluddin Lantai I, Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry, Jln. Lingkar Kampus, Kopelma Darussalam Banda Aceh, Aceh 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies
ISSN : 26204185     EISSN : 27755339     DOI : 10.22373
TAFSE: Journal of Qur’anic Studies is an open access, peer-reviewed journal that is committed to the publications of any original research article in the fields of Alquran and Tafsir sciences, including the understanding of text, literature studies, living Qur’an and interdisciplinary studies in Alquran and Tafsir. Papers published in this journal were obtained from original research papers,which have not been submitted for other publications. The journal aims to disseminate an academic rigor to Qur’anic studies through new and original scholarly contributions and perspectives to the field. Tafse: Journal of Qur’anic Studies DOES NOT CHARGE fees for any submission, article processing (APCs), and publication of the selected reviewed manuscripts. Journal subscription is also open to any individual without any subscription charges.All published manuscripts will be available for viewing and download from the journal portal for free.
Articles 155 Documents
Konsep Keluarga Ideal dalam Al-Qur’an: Kajian Tafsir Tematik Muslim Djuned; Asmaul Husna
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12507

Abstract

Marriage is a noble act and the dream of every normal human being, with the aim of becoming a sakinah, mawaddah, and rahmah family. The Qur’an commands Muslims to create harmony in the family, and the Qur’an has also explained that the ideal family in Islam is a family that upholds the rights and obligations of family members. It's just that in reality, not everyone succeeds in achieving this goal, some even end in failure and divorce. Based on the problems above, this paper will examine the interpretation of the scholars regarding the verses related to the family and observe the criteria for the ideal family in Islam. This research includes library research using the mawdhu'i data analysis method, namely by collecting Qur'anic verses that have relevance to the ideal family. The data sources in this study are the Book of Tafsir al-Mishbāh, Tafsir al-Nūr, and the Book of Tafsir fī ilālil al-Qur'ān. The results of the study show that, first: the Qur’an instructs Muslims to settle down and look after their families. Second: The harmony of a family is largely determined by the moral values of each family member. Third: Fostering an ideal family requires awareness among each family member about the rights, obligations, and responsibilities of each family member. Fostering an ideal family is part of maintaining the tranquility and integrity of society and the realization of the Qur'anic generation. Berumah tangga termasuk perbuatan mulia dan dambaan setiap insan yang normal, dengan tujuan menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Alquran memerintah kepada umat Islam untuk menciptakan keharmonisan dalam keluarga, dan Alquran juga telah menjelaskan bahwa keluarga yang ideal dalam Islam adalah keluarga yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban anggota keluarganya. Hanya saja dalam realitasnya tidak semua orang berhasil mencapai tujuan tersebut, bahkan ada yang berakhir dengan kegagalan dan perceraian. Berdasarkan permasalahan di atas, maka tulisan ini akan menelaah tentang penafsiran para ulama tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan keluarga serta melihat kriteria-kriteria keluarga ideal dalam Islam. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan dengan metode analisis data secara mawdhu’i, yaitu dengan menghimpun ayat-ayat Alquran yang memiliki relevansi dengan keluarga ideal. Sumber data dalam kajian ini adalah Kitab Tafsir al-Mishbāh, Tafsir al-Nūr, dan Kitab Tafsir fī Ẓilālil al-Qur’ān. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama: Alquran memerintahkan umat Islam untuk berumah tangga dan memelihara keluarganya. Kedua: Keharmonisan suatu keluarga sangat ditentukan oleh nilai-nilai akhlak yang dimiliki setiap anggota keluarga. Ketiga: Membina keluarga ideal perlu adanya kesadaran antara setiap anggota keluarga tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga. Membina keluarga yang ideal merupakan bagian dari menjaga ketenangan dan keutuhan masyarakat serta terwujudnya generasi qurani.
Penggunaan Lafaz Bahjah, Jamal dan Zukhruf dalam Al-Qur’an Rizky Mubarak; Nurullah Nurullah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12521

Abstract

The choice of vocabulary in the Qur'an is not a coincidence, but each word has its own value of balaghah. The beauty of the language and style of the Qur'an can be seen from its balaghah and fasahah, both concretely and abstractly. The Qur'an sometimes uses several words that have the same or close meanings, so there seems to be an inconsistency in the words it uses. This study will examine the use of the words bahjah, jamᾱl and zukhruf which means beautiful in the Qur'an. This research is library research using the maudhu'i method. The main sources of data are the verses of the Qur'an that contain the words bahjah, jamᾱl and zukhruf as well as secondary sources in the form of books of tafsir, mu'jam and other related scientific sources. In the Qur'an, the words bahjah, jamᾱl and zukhruf have meanings that are almost related to each other but with different contexts and purposes. Bahjah is defined by the beautiful colors used to express the beauty in the trees, flowers, mountains, oceans, etc. that make the earth look beautiful. Jamᾱl in the Qur'an is generally used to describe the beauty that radiates from a nature that will not be mentioned unless there is dispute or friction. As for zukhruf, it is used in the Qur'an to mention concrete decoration, but if it is paired with other words, then the decoration in question is abstract decoration. Pemilihan kosa kata dalam Alquran, bukanlah suatu kebetulan tetapi setiap kata mempunyai nilai balaghah tersendiri. Keindahan bahasa dan uslub Alquran yang menakjubkan terlihat dari balaghah dan fasahahnya, baik yang konkrit maupun abstrak. Alquran kadangkala menggunakan beberapa kata yang memiliki arti sama atau dekat, sehingga tampak adanya inkonsistensi dalam kata-kata yang digunakannya. Kajian ini akan mengkaji penggunaan lafaz bahjah, jamᾱl dan zukhruf  yang bermakna indah dalam Alquran. Penelitian ini berupa riset kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode maudhu’i. Sumber data utama yaitu ayat-ayat Alquran yang mengandung lafaz bahjah, jamᾱl dan zukhruf serta sumber sekunder berupa kitab-kitab tafsir, mu’jam dan sumber ilmiah terkait lainnya. Dalam Alquran lafaz bahjah, jamᾱl dan zukhruf  mempunyai makna yang hampir berkaitan antara satu dengan lainnya namun dengan konteks dan tujuan yang berbeda. Bahjah diartikan dengan warna yang indah yang  digunakan untuk menyebutkan keindahan pada pepohonan, bunga-bungaan, pegunungan, lautan, dan lain-lain yang menjadikan bumi terlihat indah. Jamᾱl dalam Alquran pada umumnya digunakan untuk menyebutkan keindahan yang terpancar dari sesuatu sifat yang tidak akan disebutkan kecuali terjadi perselisihan atau gesekan. Adapun zukhruf digunakan dalam Alquran untuk menyebutkan hiasan yang konkrit akan tetapi jika disandingkan dengan kata lain maka hiasan yang dimaksud adalah hiasan yang abstrak.
Pemaknaan Kata Tasbih pada Awal Surat Al-Qur’an Muhajirul Fadhli; Syarifah Salsabila
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12550

Abstract

In the al-Qur’an, there are seven surahs that start with the root word of sabbaha in various forms. The word tasbih is a maṣdar of the word sabbaha which means to keep God away from bad qualities. This study aims to seek clarification of the expression of tasbih and seek the opinion of mufasir on the differences in the expression of tasbih at the beginning of the surahs of the al-Qur’an. The research method used in this study is the mauḍū'i method. This type of research is library research. Primary data sources come from Tafsr mafātih al-Ghayb, Tafsr al-Misbah, Tafsr Sayyid Quṭb, Tafsr Wahbah al-Zuhayli, and Tafsr al-Qurṭubi. The results showed that the word tasbih using maṣdar (Subhāna) states as an affirmation. The word tasbih using fi'l māḍi (Sabbaha) means that from the past until now all creatures on the earth and sky are glorifying. The word tasbih using fi'l muḍāri' (Yusabbihu) does not only states in the present and the future but also states as a past and the act of glorifying is done repeatedly. The word tasbih uses fi'l al-amr (Sabbih) works as a reminder to always glorify during prayer times and off prayer times.  Di dalam al-Quran, ada tujuh surah yang dimulai dari akar kata sabbaha dan dalam berbagai bentuk. Kata Tasbih merupakan maṣdar dari kata sabbaha yang bermakna menjauhkan Allah dari sifat-sifat buruk. Penelitian ini bertujuan mencari klarifikasi ungkapan tasbih dan mencari pendapat mufassir terhadap perbedaan ungkapan tasbih di awal surah-surah al-Quran. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode mauḍū‘i. Jenis penelitian bersifat studi kepustakaan (library research). Sumber data primer berasal dari Tafsīr mafātih al-Ghayb, Tafsīr al-Misbah, Tafsīr Sayyid Quṭb, Tafsīr Wahbah al-Zuhayli, dan Tafsīr al-Qurṭubi. Hasil penelitian menunjukkan kata tasbih dengan menggunakan maṣdar (Subhāna) berfungsi sebagai penegasan. Kata tasbih dengan menggunakan fi‘l māḍi (Sabbaha) bermakna dari dulu hingga sekarang seluruh makhluk di muka bumi dan langit bertasbih. Kata tasbih dengan menggunakan fi‘l muḍāri‘ (Yusabbihu) tidak hanya berfungsi zaman kini dan akan datang, tetapi juga berfungsi sebagai masa lampau dan perbuatan bertasbih dilakukan secara berulang-ulang. Kata tasbih dengan menggunakan fi‘l al-amr (Sabbih) sebagai peringatan untuk senantiasa bertasbih baik di luar waktu ṣalat maupun di dalam waktu salat. 
Keunikan Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh Karya Teungku Mahjiddin Yusuf Salman Abdul Muthalib; Nurlaila Nurlaila; Safriani Safriani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i1.13095

Abstract

In general, the translation of the Koran is done in the national language so that it can be understood by the general public, but one of the Acehnese clerics, Tgk. H. Mahjiddin Jusuf in his work Al-Karim Qur'an and Free Translation of Rhyme in Acehnese translates the Qur'an in Acehnese and in the form of nazam. Based on this phenomenon, it is necessary to conduct a study to see the uniqueness and characteristics, advantages and disadvantages of the work. This research is a literature study with the data sources being the Qur'an and the Free Translation of Rhyme in Acehnese which was analyzed descriptively. The results showed that the interpretation made by Mahjiddin Jusuf was lughawi (language), because he translated the Koran by expressing words poetically. In terms of method, this work is included in the ijmali interpretation method, because it explains the meaning of the Qur'an globally. The translation of the Koran also has regional and literary characteristics, because it expresses the meaning of the Koran in the regional language (Aceh) in the form of a-b-a-b rhymes with an Acehnese cultural approach. Pada umumnya penerjemahan Alquran dilakukan dalam bahasa nasional sehingga dapat dipahami khalayak ramai, namun salah seorang ulama Aceh Tgk. H. Mahjiddin Jusuf dalam karyanya Alquran al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh menerjemahkan Alquran dalam bahasa Aceh dan dalam bentuk nazam. Berdasarkan fenomena ini, maka perlu dilakukan kajian untuk melihat keunikan dan karakteristiknya, kelebihan dan kekurangan karya tersebut. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan dengan sumber datanya Alquran dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh yang dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penafsiran yang dilakukan Mahjiddin Jusuf bercorak lughawi (bahasa), karena menerjemahkan Alquran dengan mengungkapkan kata-kata secara puitis. Dari segi metode, karya tersebut termasuk dalam metode tafsir ijmali, karena menjelaskan makna Alquran secara global. Terjemahan Alquran tersebut juga berkarakteristik kedaerahan dan sastra, karena mengungkapkan makna Alquran dengan bahasa daerah (Aceh) dengan bentuk sajak a-b-a-b dengan pendekatan kultur masyarakat Aceh. 
Riwayat Qalun dan Warsy pada Qiraat Nafi’ dalam Surah Al-Shaff Suarni Suarni; Ahmad Sufian bin Saiful Bahari
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v3i2.13272

Abstract

The riwayah of Qalun and Warsy is a way of reading the Qur’an that is widely circulated in Indonesian society with various differences. Unfortunately, people are not very familiar with the various ways of reading the Qur'an, even if they hear the reading of the Qur'an that is different from their habit, they will judge it as something foreign. From this phenomenon, it is necessary to explain to the public the procedures for reading the Qur'an from the riwayah of Qalun and Warsy, so that there will be no suspicion when they hear a different way of reading the Qur'an. The results show that there are many differences in the Qalun and Warsy qirãat contained in the ash-Shaff surah, there are 12 differences in terms of the manhaj qiraat. 4 differences in the (Ũshul) Qalun qiraat section and 10 differences in the Warsy qirat (Ushul) section. There are also 2 differences in the (Farsy al-huruf) section of the Qalun qiraat and there is 1 difference in the (Farsy al-huruf) section of the Warsy qiraat. The author also found 40 places in the whole of Surah al-Shaff which have different readings, for Qalun there are 24 different places and Warsy has 28 different places, so that the Qur'an cannot be read with only one version of qiraat. Riwayat Qalun dan Warsy merupakan cara baca al-Qur’an yang banyak beredar dalam masyarakat Indonesia dengan berbagai perbedaan yang ada. Sayangnya masyarakat tidak begitu familiar dengan beragam cara baca al-Qur’an, bahkan jika mereka mendengar bacaan al-Qur’an yang berbeda dari kebiasaan, akan menilai hal itu sebagai sesuatu yang asing. Dari fenomena ini perlu dijelaskan kepada masyarakat tata cara bacaan al-Qur’an riwayat Qalun dan Warsy, sehingga tidak akan muncul rasa curiga ketika mendengar car abaca al-Qur’an yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak perbedaan qiraat Qalun dan Warsy yang terdapat dalam surah ash-Shaff, terdapat 12 perbedaan dari segi manhaj qiraat. 4 perbedaan pada bagian (Ushul) qirãat Qalun dan 10 perbedaan pada bagian (Ushul) qirãat Warsy. Terdapat juga 2 perbedaan pada bagian (Farsy al-huruf) qirãat Qalun dan ada 1 perbedaan pada bagian (Farsy al-huruf) qiraat Warsy. Penulis juga enemukan 40 tempat pada keseluruhan surah ash-Shaff yang berlaku perbedaan bacaan, bagi Qalun mempunyai 24 tempat perbedaan dan Warsy mempunyai 28 tempat perbedaan, sehingga al-Qur’an tidak dapat dibaca dengan satu versi qirãat saja.
Kepemimpinan Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an Zulihafnani Zulihafnani; Khalil Husaini
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i1.13101

Abstract

Leaders are people who undergo leadership. So far, there have been many misunderstandings about the meaning of leadership. In general, people see the leader as a position or a mere position. As a result, many people are pursuing to become a leader by justifying various ways to achieve these goals. This study discusses the verses of the Koran that talk about leadership by looking at the leadership model of the Prophet Solomon. This research is in the form of library research. There are three types of data collection, namely primary, secondary and tertiary data. Data collection techniques are carried out by collecting all data related to the subject matter. Then the author analyzes the content analysis method in the form of the maudu'i method so that the right answer is obtained. The story of Prophet Solomon is told in the Koran 16 times. The leadership concept contained in the story of Prophet Sulaiman is management ability, social responsibility, discipline, and firmness, checking all reports and conducting investigations into reports, and upholding the morals of a leader where a leader is not easily deceived by property. So with this leadership concept, Prophet Sulaiman's leadership stood firmly and was respected by his opponents. Pemimpin adalah orang yang menjalani kepemimpinan. Selama ini banyak sekali kekeliruan pemahaman tentang arti kepemimpinan. Pada umumnya, orang melihat pemimpin adalah sebuah kedudukan atau posisi semata. Akibatnya banyak orang yang mengejar untuk menjadi seorang pemimpin dengan menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuan tersebut. Penelitian ini membahas tentang ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang kepemimpinan dengan melihat pada model kepemimpinan Nabi Sulaiman. Penelitian ini berupa penelitian kepustakaan (library research), dalam pengumpulan data ini ada tiga jenis yaitu, data primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan seluruh data yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Kemudian penulis analisa dengan metode analisa isi dalam bentuk metode maudu’i, sehingga diperoleh jawaban yang tepat. Kisah Nabi Sulaiman diceritakan dalam Alquran sebanyak 16 kali. Konsep kepemimpinan yang terdapat dalam kisah Nabi Sulaiman ialah, kemampuan manajemen, tanggung jawab sosial, kedisiplinan dan ketegasan, melakukan pemeriksaan terhadap segala laporan dan melakukan penyelidikan terhadap laporan, dan  menjunjung tinggi moral seorang pemimpin yang mana seorang pemimpin tidak mudah diperdaya oleh harta benda. Sehingga dengan konsep kepemimpinan ini membuat kepemimpinan Nabi Sulaiman berdiri dengan kokoh, dan disegani oleh lawan-lawannya.
Lafaz Sa’ala dalam Al-Qur’an Nurullah Nurullah; Siti Husna
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v3i2.13277

Abstract

The Qur'an uses a lot of vocabularies that appear to be synonymous at birth, but when examined carefully it turns out that each vocabulary has its own connotation that does not exist in other pronunciations that are considered synonymous with it. As stated by Abi Isba' quoted by Nasiruddin Baidan that the beauty of the language of the Koran is classified into two major groups, namely the beauty of speech and the beauty of meaning. One of them is lafaz sa'ala, the lafaz is one of the lafaz that is repeated a lot in the Qur'an, 129 times, both in the same form and in different forms. This study is based on library research, besides that, the author examines these verses using the maudhu'i interpretation framework. Lafaz sa'ala is found in the Qur'an 129 times in 118 verses in 47 surah with 55 different forms of lafaz sa'ala. The whole lafaz sa'ala which means a question is repeated 73 times, whether there are two pronunciations in one verse or not. As for the meaning of asking to be called 49 times, while the meaning of asking is called 5 times and the meaning of rebuttal, speaking is only mentioned once. Alquran banyak memakai kosa kata yang pada lahirnya tampak bersinonim, namun bila diteliti secara cermat ternyata masing-masing kosa kata itu mempunyai konotasi sendiri-sendiri yang tidak ada pada lafal lain yang dianggap bersinonim dengannya. Sebagaimana pernyataan Abi Isba’ yang dikutip oleh Nasiruddin Baidan bahwa keindahan bahasa Alquran itu diklasifkasikan menjadi dua kelompok besar yaitu keindahan lafaz dan keindahan makna. Salah satunya adalah lafaz sa’ala, lafaz tersebut merupakan salah satu lafaz yang banyak diulang dalam Alquran, sebanyak 129 kali, baik dalam bentuk yang sama maupun dalam bentuk yang berbeda. Kajian ini berbasis kajian kepustakaan (library research), selain itu penulis mengkaji ayat-ayat tersebut dengan menggunakan kerangka kerja tafsir maudhu’i. Lafaz sa’ala ditemukan di dalam Alquran sebanyak 129  kali dalam 118 ayat di dalam 47 surah dengan 55 bentuk lafaz sa’ala yang berbeda-beda. Keseluruhan lafaz sa’ala yang bermakna tanya di ulang sebanyak 73 kali baik yang terdapat dua lafaz dalam satu ayat maupun tidak. Adapun yang makna nya minta di sebut sebanyak 49 kali, sedangkan yang bermakna memohon disebut sebanyak 5 kali dan yang bermakna bantahan, bercakap hanya disebut sekali saja.
Konsep Perbudakan menurut Sayyid Quṭb dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an Abd. Wahid; Suarni Suarni; Nurul Fitri
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.13177

Abstract

Slaves are people who do not have independence in people's lives and have the fate of being traded as objects, sometimes even being treated inhumanely. In historical records, slavery existed before Islam, and when Islam came, slaves were called slaves and this religion forbade all forms of slavery practices with a call to free them. This paper attempts to discuss how to interpret slavery and how to free slaves according to Sayyid Quṭb in Tafsir Fī ilāl al-Qur'ān. The research method used in this study is the mauḍū'i (thematic) method, which is a method that collects verses from the Qur'an that have the same purpose. The data used in this study is the Tafsir Fī ilāl al-Qur'ān. The results of this study indicate that the concept of slavery according to Sayyid Qutb is aimed at conditions of emergency (compulsion), that only in emergency conditions is slavery allowed, such as being allowed to marry slave women during the war, and only slaves who are obtained as prisoners in the fī sabīlillah war are one thing. the only slavery recognized in Islam. While the way of freeing slaves is done by establishing slave freedom through the payment of kafarat, for example, someone frees a slave before having intercourse with a wife who is forbidden to him through zhihar. Budak merupakan orang yang tidak memiliki kemerdekaan dalam hiduporang dan bernasib sebagai benda yang diperjualbelikan, bahkan kadang-kadang diperlakukan tidak manusiawi. Dalam catatan sejarah, perbudakan sudah ada sebelum Islam, dan ketika Islam datang, budak disebut hamba sahaya dan agama ini melarang seluruh bentuk praktik perbudakan dengan seruan memerdekakannya. Tulisan ini berupaya membahas tentang bagaimana penafsiran perbudakan dan cara pembebasan budak menurut Sayyid Quṭb dalam Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode mauḍū’i (tematik), yaitu metode yang menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep perbudakan menurut Sayyid Qutb tertuju pada kondisi darurat (keterpaksaan), bahwasanya hanya dalam kondisi darurat diperbolehkannya perbudakan, seperti dibolehkannya menikah dengan wanita budak pada masa peperangan, dan hanya budak yang diperoleh sebagai tawanan di dalam perang fī sabīlillah lah satu-satunya perbudakan diakui dalam Islam. Sedangkan cara pembebasan budak dilakukan dengan menetapkan kemerdekaan budak melalui pembayaran kafarat, misalnya seseorang memerdekakan budak sebelum menggauli istri yang di haramkan kepada dirinya melalui zhihar.
Penafsiran Ibnu Katsir terhadap Ayat-Ayat Isra’ Mikraj Ahmad Asyraf bin Mohd Asri; Zainuddin Zainuddin
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i1.13099

Abstract

Faith means belief in the heart, words in the mouth and practice with the limbs. Every believer must believe in Allah, His angels, His books, His Messengers, the Last Day, and belief in both good and bad destiny. Believing in the miracles of the apostles includes believing in the apostles. Among the miracles of the Prophet SAW is the Isra 'Mikraj event. This event is clearly mentioned in QS. al-Isrā' (17): 1 and QS. al-Najm (53): 5-18. This incident is also found in the hadiths of various narrations. The commentators have described in depth this great event, among them is Ibn Kathir. In the theory of creed, the arguments and proofs related to the issue of faith must be with definite arguments (qath'i), and cannot use conjectures (dzan). However, Ibn Kathir uses the dha'īf hadith and the āhād hadith in his interpretation of Isra' Mikraj. The research method used by the author is library research, including secondary data collection and processing of the data that has been obtained using descriptive-analytical methods. The author collects data according to the findings, then analyzes the data and understands Ibn Kathir's thoughts on the verses related to Isra and Mikraj. Iman berarti keyakinan dalam hati, perkataan di lisan dan amalan dengan anggota badan. Setiap mukmin wajib beriman kepada Allah Swt, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik maupun yang buruk. Mempercayai mukjizat-mukjizat para rasul termasuk beriman kepada rasul. Di antara mukjizat Nabi Saw adalah peristiwa Isra’ Mikraj. Peristiwa tersebut disebut secara jelas dalam QS. al-Isrā’ (17): 1 dan QS. al-Najm (53): 5-18. Peristiwa ini juga terdapat dalam hadis dari pelbagai riwayat. Para mufasir telah menguraikan dengan mendalam peristiwa besar ini, di antaranya adalah Ibnu Katsir. Dalam teori akidah, dalil dan hujjah yang berkaitan dengan masalah akidah haruslah dengan dalil yang pasti (qath‘i), tidak bisa menggunakan dugaan (dzan). Namun, Ibnu Katsir menggunakan hadis dha‘īf dan hadis āhād dalam penafsirannya tentang Isra’ Mikraj. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah library research (penelitian kepustakaan), meliputi pengumpulan data sekunder dan mengolah data-data yang telah didapatkan dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Penulis menghimpun data sesuai hasil temuan, lalu melakukan analisis data tersebut dan memahami pemikiran Ibnu Katsir terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan Isra’ dan Mikraj. 
Konsep Mahabbah dalam Al-Qur’an Zuherni Zuherni; Raudhatul Jannah Ilyas
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v3i2.13273

Abstract

Human love is nature from God. Mahabbah or love for fellow human beings in the form of love for parents, children, husband and wife and relatives is something that is natural, because of closeness and other emotional relationships. Moreover, love for them is based on love for Allah swt. However, all of this is forbidden if love for those closest to him turns him away from Allah, making him close his eyes in distinguishing between right and wrong. On the basis of this thought, it is necessary to study how to place the love of fellow human beings in accordance with the instructions of the Qur'an. The results of this paper indicate that love for fellow human beings both for parents, children, husband and wife and relatives in Islam is highly recommended, but if this love makes someone associate partners with Allah, commit immorality and disobey the Messenger of Allah, then love for fellow humans is not justified. Rasa cinta yang dimiliki manusia merupakan suatu fitrah dari Allah. Maḥabbah atau cinta sesama manusia berupa cinta kepada orang tua, anak, suami istri dan sanak saudara sesuatu yang alami, karena kedekatan dan hubungan emosional lainnya. Apalagi cinta kepada mereka didasari pada cinta kepada Allah swt. Akan tetapi, semua itu dilarang jika dengan cinta kepada orang-orang terdekat membuatnya berpaling dari Allah, membuat mata dia tertutup dalam membedakan antara yang benar dan yang salah. Atas dasar pemikiran inilah perlu dikaji bagaimana menempatkan cinta sesama manusia yang sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa cinta sesama manusia baik kepada orang tua, anak, suami istri maupun sanak saudara di dalam Islam sangat dianjurkan, namun apabila cinta ini membuat seseorang menyekutukan Alah, berbuat maksiat serta ingkar kepada Rasulullah, maka rasa cinta kepada sesama manusia tidak dibenarkan.

Page 6 of 16 | Total Record : 155