cover
Contact Name
Salman Abdul Muthalib
Contact Email
tafse@ar-raniry.ac.id
Phone
+6282165108654
Journal Mail Official
tafse@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Gedung Fakultas Ushuluddin Lantai I, Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry, Jln. Lingkar Kampus, Kopelma Darussalam Banda Aceh, Aceh 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies
ISSN : 26204185     EISSN : 27755339     DOI : 10.22373
TAFSE: Journal of Qur’anic Studies is an open access, peer-reviewed journal that is committed to the publications of any original research article in the fields of Alquran and Tafsir sciences, including the understanding of text, literature studies, living Qur’an and interdisciplinary studies in Alquran and Tafsir. Papers published in this journal were obtained from original research papers,which have not been submitted for other publications. The journal aims to disseminate an academic rigor to Qur’anic studies through new and original scholarly contributions and perspectives to the field. Tafse: Journal of Qur’anic Studies DOES NOT CHARGE fees for any submission, article processing (APCs), and publication of the selected reviewed manuscripts. Journal subscription is also open to any individual without any subscription charges.All published manuscripts will be available for viewing and download from the journal portal for free.
Articles 155 Documents
Tanah sebagai Bahan Penciptaan Manusia: Analisis Semiologi Roland Barthes padaKata Thin dalam Al-Qur’an Fahrudin Fahrudin
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.1 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.8036

Abstract

This article aims to conduct further study of the narrative of human creation, in this case it is about the land which is the basis of human creation. The Qur'an uses four words that indicate the meaning  of  'land' in verses that speak of human creation, namely ardh, turab, shalshal and thin. But the main focus of this article is to see the meaning behind the word thin in the Qur'an using the Roland Barthes semiology approach. With Barthes's semiology we can find the first level meaning of the word thin and the meaning of the second level (myth/connotation). At the first level of meaning it is found that signifier I: thin, signified I: land mixed with water, and sign I: thin as material for human creation. Whereas the second level of meaning is found that signifier I: thin as material for human creation (sign I), signified II: thin makes humans and Satan physically and existence distinct. Also Satan feels more noble than humans so that thin is the reason why Satan does not want to prostrate to humans, and sign II: the perfection of God's power is able to create humans from material, according to Satan is inferior even dirty, but actually better than material creation of the devil. Artikel ini bertujuan untuk melakukan kajian lebih jauh tentang narasi penciptaan manusia, dalam hal ini adalah tentang tanah yang menjadi bahan dasar penciptaan manusia. Al-Qur’an menggunakan empat kata yang menunjukkan makna ‘tanah’ dalam ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan manusia, yaitu ardh, turab, shalshal dan thin. Namun, fokus utama artikel ini adalah melihat makna di balik kata thin dalam al-Qur’an menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes. Dengan semiologi Barthes ini dapat ditemukan makna tingkat pertama kata thin dan makna tingkat keduanya (mitos/konotasi). Pada makna tingkat pertama ditemukan bahwa Penanda I: thin, Petanda I: tanah yang bercampur dengan air, dan Tanda I: thin sebagai bahan penciptaan manusia. Sedangkan makna tingkat kedua ditemukan bahwa Penanda I: thin sebagai bahan penciptaan manusia (tanda I), Petanda II: thin menjadikan manusia dan Iblis berbeda fisik dan eksistensi. Juga Iblis merasa lebih mulia dari manusia sehingga thin menjadi alasan mengapa Iblis tidak mau bersujud kepada manusia, dan Tanda II: kesempurnaan kekuasaan Allah yang mampu menciptakan manusia dari bahan yang menurut Iblis sifatnya rendah bahkan kotor, namun justru lebih baik dari bahan penciptaan Iblis.
Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qur’an Sebagai Jimat Nurullah Nurullah; Ari Handasa
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9082

Abstract

The Quran plays an important role in the survival of humans. One of the various functions of the Quran as al-Syifa’ (antinode/medicine) has developed an understanding which is manifested in the form of amulets as a solution to problems that intelligence cannot solve. The purpose of this study is to know how the background, forms, and arguments for using the verses of the Quran as amulets. The study sets out library research using qualitative and analytical methods as its approach. This study explains that the use of Quran text as a talisman is in the background by promptings or motives that direct them to a single purpose in order to preserve their survival. As for the forms of the lot, it divides into two forms, as a mantra being read and also as a necklace or other writing on the basic arguments of hadith and clerical opinions. Al-Qur’an berperan penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Keberagaman fungsi al-Qur’an salah satunya sebagai ­al-syifa’ (penawar/obat), mengalami perkembangan pemahaman yang diwujudkan dalam bentuk jimat sebagai salah satu solusi bagi permasalahan-permasalahan yang tidak dapat terselesaikan oleh akal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana latar belakang, bentuk-bentuk, serta dalil-dalil penggunaan ayat-ayat al-Qur’an sebagai jimat. Penelitian ini berjenis library research dengan menggunakan metode kualitatif dan deskriptif analitis sebagai pendekatannya. Hasil penelitian menjelaskan bahwa penggunaan ayat-ayat al-Qur’an sebagai jimat dilatar belakangi oleh dorongan-dorongan atau motif yang mengarahkannya pada suatu tujuan demi mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Adapun bentuk-bentuk penggunaannya terbagi menjadi dua bentuk, sebagai mantra yang dibacakan dan juga sebagai tulisan yang berbentuk benda yang ditempelkan, juga berupa kalung atau sebagainya dengan berlandaskan dalil-dalil berupa hadis dan pendapat ulama.
Peran ulu al-albab dalam al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar menurut Al-Qur’an Mira Fauziah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v2i1.8071

Abstract

Ulu al-albab is basically a human being who is able to catch and take lessons from the signs of Allah's greatness and feel His presence. In the Indonesian vocabulary, this understanding has the same meaning as an intelligent person, usually used with the term intellectual or intellectual. From the explanation of the verses of the Qur'an, it can be seen that the ulu al-albab is a human being who has received Allah's guidance. As a chosen human being, ulu al-albab certainly has higher religious and moral responsibilities than ordinary humans. The responsibilities in question include the obligation to uphold al-amr bi al-ma'ruf wa al-nahy 'an al-munkar as a whole among mankind.Ulu al-albab pada dasarnya adalah manusia yang mampu menangkap dan mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah serta merasakan keberadaan-Nya. Dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia, pengertian ini sama maknanya dengan orang yang berakal biasa digunakan dengan istilah intelektual atau cendikiawan. Dari penjelasan ayat-ayat al-Qur’an, terlihat bahwa ulu al-albab merupakan manusia yang telah memperoleh hidayah Allah. Sebagai manusia pilihan, ulu al-albab tentu mempunyai tanggung jawab agama dan moral yang lebih tinggi dibandingkan dengan manusia biasa. Tanggung jawab yang dimaksud di antaranya kewajiban menegakkan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar secara menyeluruh di kalangan umat manusia.
Variasi Makna Lafaz Al-Umm dalam Al-Qur’an Syukran Abu Bakar; Husna Khairudita
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11394

Abstract

This paper discusses the pronunciation of al-Umm contained in the Qur'an. In general, the word al-Ummmeans a mother who gives birth. The pronunciation of al-Umm in the Qur'an does not only mean mother, and it can vary in meaning when based on other sentences. Departing from the variations in pronunciation base, the author needs to investigate the use of pronunciation of al-Umm in the Qur'an deeply. This is library research. The data were collected using the Mawḍu'i method (thematic method) and the al-Wujuh wa al-Nazhair approach. The author's sources of data are al-Mu'jam (language dictionary), books of Ulum al-Qur'an, and books of interpretation (Tafsir). The results of the study presented that the pronunciation of al-Ummis mentioned in the Qur'an in the form of singular, plural and word sequences. The 28 words indicate a mother's figure's meaning from 35 words, while the other 7 have their meanings when juxtaposed with other words. The pronunciation of al-Umm is not related to the time or place where the Qur'an was revealed, both in Mecca and Medina. The pronunciation of al-Umm besides means a mother who is pregnant, gives birth, breastfeeds, and the wives of the Prophet, it also means Umm al-Qura (Mecca), Umm al-Kitab (Lauhul-Mahfuzh), and the place of return. Tulisan ini membahas tentang lafaz al-umm yang terdapat di dalam Alquran, umumnya lafaz al-umm bermakna ibu yang melahirkan, ternyata di dalam Alquran, lafal al-umm tidak hanya bermakna ibu, lafaz  al-umm bisa bervariasi maknanya jika disandarkan kepada kalimat lain, berangkat dari adanya variasi penyandaran lafaz tersebut, penulis perlu meneliti lebih dalam terkait penggunaan lafaz al-umm  di dalam Alquran. Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), data ditelusuri melalui metode mawḍu’i (metode tematik), dengan menggunakan pendekatan ilmu al-Wujuh wa al-Nazhair. Sumber data yang penulis rujuk adalah kitab al-mu’jam(kamus bahasa), kitab-kitab ulum Alquran, kitab-kitab tafsir,. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lafaz al-Umm disebutkan dalam Alquran berupa lafaz tunggal, jamak dan rangkaian kata, 28 kata menunjukkan makna sosok seorang ibu dari 35 lafaz, sedangkan 7 lainnya memiliki makna tersendiri ketika disandingkan dengan kata lain, lafaz al-Umm ini tidak ada sangkut pautnya dengan waktu atau tempat diturunkannya Alquran, baik Makkiyyah maupun Madaniyyah. Adapun makna dari lafaz al-Umm selain berupa makna ibu yang mengandung, melahirkan dan menyusui, istri-istri Nabi, juga bermakna Umm al-Qura (Mekkah), Umm al-Kitab (Lauh al-Mahfuz), dan tempat kembali.
Konsepsi Demokrasi Menurut Al-Qur'an Samsul Bahri; Nurkhalis Nurkhalis; Muhammad Rizki
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.10301

Abstract

Democracy is one of the power management systems considered the most suitable to be applied in modern countries today. As a source of guidance for humans, the Qur'an has explained the concept of the system of administering power. The conception of democracy is thus believed to be accommodated in the Qur'an. On that basis, the main problem that needs to be answered is, what is the conception of democracy in the Qur'an? The data for this paper was collected by following the steps in the mawḍu'i interpretation, after that, it was analyzed by following the thematic interpretation stage. The results of the analysis show that the term of the Qur'an, which represents the meaning of democracy, is syurā. In suyrā, norms are found that regulate the necessity of conducting deliberation in worldly affairs, both family affairs, muamalah, and political affairs. The concept of democracy in the form of syrā is mentioned in QS. Al-Baqarah: 233, QS. Ali 'Imrān: 159, and QS. al-Syurā: 38. There are four points of connection between the verses of the Qur'an about democracy and democracy today. First, the obligation to hold opinion meetings and prohibit dictators. Second, freedom of expression. Third, respecting opinions that are superior to the results of deliberation. Fourth, the majority vote is taken into account by protecting the rights of minorities. Demokrasi merupakan salah satu sistem pengelolaan kekuasaan yang dipandang paling cocok untuk diterapkan di negara-negara modern dewasa ini. Sebagai sumber petunjuk bagi manusia, Al-Qur’an telah menjelaskan konsepsi mengenai sistem penyelenggaraan kekuasaan. Konsepsi mengenai demokrasi dengan demikian diyakini terakomodasi dalam Al-Qur’an. Atas dasar itu, permasalahan utama yang perlu dicarikan jawabannya adalah, bagaimanakah konsepsi demokrasi dalam Al-Qur’an? Data untuk tulisan ini dikumpulkan dengan mengikuti langkah-langkah dalam tafsir mawḍu’i, selanjutnya dianalisis dengan tahapan penafsiran secara tematik. Hasil analisis menunjukkan bahwa terma Al-Qur’an yang merepresentasikan makna demokrasi adalah syūrā. Dalam syūrā ditemukan norma yang mengatur keharusan melakukan musyawarah dalam urusan-urusan duniawi, baik urusan keluarga, muamalah, maupun urusan bidang politik. Konsep demokrasi dalam bentuk syūrā disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 233, QS. Āli ‘Imrān: 159, dan QS. al-Syūrā: 38. Terdapat empat poin hubungan ayat-ayat Al-Qur’an tentang demokrasi dan demokrasi masa kini. Pertama, kewajiban melakukan temu pendapat dan melarang diktator. Kedua, kebebasan mengeluarkan pendapat. Ketiga, menghargai pendapat yang lebih unggul dari hasil musyawarah. Keempat, suara mayoritas diperhitungkan dengan melindungi hak-hak minoritas.
Kebersihan Lingkungan dalam Al-Qur’an dan Aplikasinya pada Masyarakat Gampong Buloh Gogo Furqan Amri; Rahmayani Rahmayani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11289

Abstract

The Al-Qur’an and Hadis, as guiding references for life, contain a  comprehensive and complete guideline for the good and prosperity of human life. One of which is a guideline for a healthy life by keeping the hygiene of the surrounding environment. Islam is very attentive about the hygiene of the environment as it directly and strongly relates to health. Therefore, maintaining the hygiene of the environment is equal to taking care of oneself. This study focuses on the level of understanding and awareness of Buloh Gogo village community, Padang Tiji sub-district, toward their environment. The author found that generally, the community of Buloh Gogo possesses good knowledge and understanding about the relation of the hygiene of the environment with health. However, practically they face difficulty maintaining hygiene due to their livestock roaming the environment freely. Only a small number of them take care of the environment and maintain its hygiene. Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup tentunya  mengandung berbagai petunjuk lengkap yang dapat  menciptakan kehidupan yang baik dan sejahtera bagi manusia, salah satunya adalah petunjuk tentang pola hidup sehat dengan menjaga kebersihan lingkungan. Islam sangat memperhatikan kebersihan lingkungan sekitar karna kebersihan sangat erat kaitannya dengan kesehatan, oleh sebab itu menjaga kebersihan sama pentingnya dengan menjaga diri sendiri. Namun dalam kenyataannya masyarakat tidak terlalu memperhatikan dan memahami betapa pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Tulisan ini akan fokus pada tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat Gampong Buloh Gogo kecamatan Padang Tiji terhadap kebersihan lingkungan. Penulis menemukan bahwa pada umumnya masyarakat Gampong Buloh Gogo Kecamatan Padang Tiji memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang kebersihan lingkungan namun dalam praktiknya masyarakat Gampong Buloh Gogo kurang peduli dengan kebersihan lingkungan karna tingkat kesulitannya tinggi untuk selalu menjaga agar tetap bersih akibat dari hewan ternak yang bebas berkeliaran di lingkungan mereka dan  hanya sebagian kecil dari masyarakat saja yang peduli dan menjaga kebersihan lingkungan.
Interpretasi Perintah Sujud pada Kisah Nabi Adam menurut Para Mufasir Zulihafnani Zulihafnani; Novita Putri
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.10185

Abstract

Prostration is proof of the closeness between beings to Allah Swt as their God, by placing his head on the ground as worship that is only done to Allah. This is different from the story of Prophet Adam, and God commanded the angels and demons to prostrate to Prophet Adam. This article attempts to discuss the meaning of prostration in the story of the Prophet Adam. The research method used is the method of maudhu'i which is the method of interpreting the verses of the Qur'an thematically. The type of research that the author uses is the type of literature research, by collecting data following the topic of discussion. The analysis technique that the author uses is descriptive analysis; that is, the author tries to understand the verses based on the interpretation of the scholars and also based on other sources. According to the commentators, this article discusses the command of prostration in the story of the Prophet Adam. The result of the research is the description of prostration in the story of the Prophet Adam in the Qur'an, which is included in various surahs such as surah al-Baqarah, al-Hijr, al-A’raf, al-Isra, al-Kahfi, Thaha, and surah Shad. There are also differences of opinion among scholars in interpreting the verses in which it explains the story of the command of prostration to the Prophet Adam. Sujud merupakan bukti ketaatan dan kedekatan makhluk dengan Allah Swt sebagai Tuhan. Sujud dilakukan dengan merendahkan diri, menundukkan badan dan meletakkan kepala di bawah sebagai bentuk penyembahan. Dalam pengertian tersebut, tidak ada sujud yang boleh dilakukan oleh makhluk selain kepada Allah. Namun di sisi lain, Allah Swt memerintahkan para malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui makna sujud pada kisah Nabi Adam. Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan menggunakan metode maudhu’i untuk menemukan ayat-ayat yang terkait dengan tema yang dimaksud. Kemudian dianalisa secara deskriptif dengan memahami ayat-ayat melalui penafsiran para ulama dan sumber-sumber lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deskripsi sujud pada kisah Nabi Adam dalam al-Qur’an terangkum dalam berbagai surah, yaitu QS. al-Baqarah, QS. al-Hijr, QS. al-A’raf, QS. al-Isra’, QS. al-Kahfi, QS. Thaha, dan QS. Shad. Dari ayat-ayat tersebut, diketahui bahwa Allah Swt memerintahkan para malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam sebagai bentuk penghormatan, bukan sebagai penyembahan.  
Optimisme Nabi Zakaria dan Maryam dalam Menghadapi Ujian Menurut Al-Qur’an Muhajirul Fadhli; Syifa' Ahmad Fauzi
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.10174

Abstract

Optimism is the behaviour of someone who tends to think positively. Optimism and not giving up on Allah's favours are characteristics of people who believe. Everyone must face a difficult phase in his life. When faced with a problem, humans tend to worry too much about overcoming the problem, so that in the end, many choose the short path in the wrong way through the process of abusing faith or being trapped in heretical teachings. However, the Qur'an is presented in our lives to be a guide in living our daily lives. Therefore, in this study, examples of optimism in the Qur'an are shown to be used as lessons in life, namely the story of the Prophet Zakaria and Maryam, where these two stories have similarities. The formulation of the problem in this study is the attitude of optimism and the process they face. The type of research used is qualitative research using the maudhû'i (thematic) method. The result of this study is that they faced trials that were very hard, but they managed to get through with optimistic attitudes, namely, not giving up hope, having good thoughts, and not stopping to rely on hope and praying to Him. Optimisme merupakan perilaku seseorang yang cenderung kepada pemikiran yang positif. Sifat optimisme dan tidak berputus asa pada nikmat Allah merupakan ciri-ciri orang yang beriman. Setiap orang pasti menghadapi fase sulit dalam hidupnya. Ketika dihadapkan pada sebuah masalah manusia cenderung terlalu khawatir secara berlebihan dalam hal mengatasi permasalahan tersebut, sehingga pada akhirnya banyak yang memilih jalan singkat dengan cara yang salah melalui proses penyalahgunaan akidah ataupun terjebak dalam ajaran sesat. Walau bagaimanapun, Al-Qur’an dihadirkan dalam hidup kita bertujuan untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini ditampilkan contoh-contoh sifat optimisme dalam Al-Qur’an untuk dijadikan pembelajaran dalam hidup, yaitu kisah Nabi Zakaria dan Siti Maryam dimana  kedua kisah ini memiliki persamaan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sikap optimisme dan proses yang dihadapi oleh keduanya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode maudhû’i (tematik). Hasil penelitian adalah kedua hamba menghadapi ujian begitu berat, namun mereka berhasil melaluinya dengan sikap-sikap optimis yaitu tidak berputus asa, bersangka baik, dan tidak berhenti dari bergantung harap serta berdoa kepada-Nya. 
Tafsir dan Budaya Aceh Iskandar Usman
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11540

Abstract

This paper aims to examine the development of interpretation in Aceh. This research is qualitative with documentation data collection techniques and uses descriptive-analytical methods by looking at the literature and scientific history in Aceh. The results showed that the study of interpretation in Aceh was not as developed as fiqh. There was even a long vacuum after the book Turjuman al-Mustafid written by Abdurrauf al-Singkili. Sometime later, the works of scholars began to appear who began to focus on studying and writing about the interpretation of the Qur'an. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji fenomena perkembangan tafsir di Aceh. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan teknik pengumpulan data dokumentasi dan menggunakan metode deskriptif analitis, dengan melihat literatur dan sejarah keilmuan di Aceh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kajian tafsir di Aceh tidak terlalu berkembang sebagaimana fikih. Bahkan ada kevakuman yang lama setelah kitab Turjuman al-Mustafid yang ditulis oleh Abdurrauf al-Singkili. Beberapa masa setelahnya, mulai muncul karya-karya ulama yang mulai fokus mengkaji dan menulis tentang tafsir al-Qur’an. 
Penakwilan Ayat-Ayat Sifat menurut Imam Fakhruddin Al-Razi Muslim Djuned; Makmunzir Makmunzir
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11288

Abstract

One of the most controversial themes in the history of the interpretation of the Qur'an is the interpretation of the verses of the Qur'an related to the attributes of Allah SWT. Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ was a commentator who interpreted the verses of nature. This study aims to determine the interpretation and approach used by Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ in interpreting the verses of nature. The adjective verses that are the author's focus here are the pronunciation of istawȃ’ QS. Ṭhȃhȃ: 5, yad on QS. al-Fatḥ: 10, wajh on QS. al-Rahmȃn: 27, ‘ain on QS. Hȗd: 37, and sȃq on QS. al-Qalam: 42. These words were chosen because they were widely discussed by scholars in their works, especially in the treasures of Qur'anic Studies. The conclusions that can be drawn from this study are: First, Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ tends to use takwȋl in understanding the verses of nature that are not to interpret the meaning of a sentence with the meaning that is apparent because there are arguments that prevent it from being interpreted with the meaning. Second, it tends to use language and logic approaches in interpreting adjective sentences. Salah satu tema yang kontroversial dalam sejarah penafsiran al-Qur`an adalah pentakwilan terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah Swt. Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ adalah seorang mufassir yang melakukan pentakwilan terhadap ayat-ayat sifat. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan penafsiran dan pendekatan yang digunakan al-Rȃzȋ dalam mentakwilkan ayat-ayat sifat. Ayat-ayat sifat yang menjadi fokus penulis di sini adalah lafaz istawā pada QS. Thȃhȃ: 5, lafaz yad pada QS. al-Fath: 10, lafaz wajh pada QS. al-Rahmȃn: 27, lafaz ‘ain pada QS. Hȗd: 37, dan lafaz sāq pada QS. al-Qalam: 42. Lafaz-lafaz tersebut dipilih karena banyak dibahas para ulama dalam karya-karya mereka terutama dalam khazanah Ilmu al-Qur`an dan Tafsir. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan (library reaseach), sedangkan metode pendekatannya menggunakan metode tafsir maudhu’i, yaitu dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tema  dan penyusunannya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat, selanjutnya di analisis secara deskriptif serta sampai mengambil kesimpulan. Hasil penelitian ini adalah: Pertama, Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ cenderung menggunakan takwil dalam memahami ayat-ayat sifat yakni tidak memaknai makna sebuah lafaz ayat dengan makna yang zahirnya, hal itu disebabkan adanya dalil yang mencegah untuk dimaknai dengan makna zahir. Kedua, ia cenderung menggunakan pendekatan bahasa dan logika dalam menakwil ayat-ayat sifat.

Page 4 of 16 | Total Record : 155