Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum
The focus and scope of SUPREMASI HUKUM: Jurnal Kajian Ilmu Hukum are legal Science, including the study of Law issues in Indonesia and around the world, either research study or conceptual ideas. Generally we are interested in all law studies such as following topics Civil Law, Criminal Law, Civil Procedural Law, Criminal Procedure Law, Commercial Law, Constitutional Law, International Law, State Administrative Law, Customary Law, Islamic Law, Agrarian Law, Environmental Law, Legal Theory and Legal Philosophy.
Articles
7 Documents
Search results for
, issue
"Vol 9, No 2 (2020): Supremasi Hukum"
:
7 Documents
clear
Diskursus Riba Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) Paytren Di Kalangan Ulama Penceramah Dan Ulama Entreprenuer
Nurainun Mangunsong
Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Vol 9, No 2 (2020): Supremasi Hukum
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.14421/sh.v9i2.2209
Sharia Tiered Direct Selling (PLBS) or popularly called multilevel marketing (MLM) in the sharia perspective is still being debated. The element of usury and gharar that can be seen from this practice of multilevel marketing or multilevel pyramid has made many scholars indoctrinate it as haram. However, along with the development of e-commerce or digital online facilities that can be accessible, faster, cheaper, and unlimited, PLBS continues to be developed into an attractive business and sharia as an effort to answer business competitions and to channel for the needs of muslims. This research tries to look at the business practice of PayTren PLBS in the copetititions and sharia context, and the response of Preaching Scholars and Entrepreneur Scholars in the online media related to PayTren PLBS.
Problematika Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik Oleh Mahkamah Konstusi
Fikri Ilham Yulian
Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Vol 9, No 2 (2020): Supremasi Hukum
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.14421/sh.v9i2.2206
Perubahan transformatif pada Undang-Undang Dasar NRI 1945, membawa implikasi pada terbentuknya lembaga peradilan baru, yaitu Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan melakukan pembubaran partai politik. Kaitanya dengan pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi, menarik kemudian untuk diketahui perihal bagiamana akibat hukum dari pembubaran partai politik yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, khususnya mengetahui bagaimana implikasi lebih lanjut dalam pengisiian kekosongan kursi di DPR dan DPRD akibat pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini berusaha menggali aturan-aturan terkait yang berkaitan dengan akibat hukum pembubaran partai politik dan meneropong kemungkinan alternatif pengisian kekosongan kursi DPR dan DPRD akibat pembubaran partai politik. Temuan dalam tulisan ini yang pertama terdapat kekosongan hukum dalam mekanisme pengisian kekosongan kursi DPR dan DPRD sebagai akibat pembubaran partai politik. Kedua, alternatif pengisian kekosongan kursi DPR dan DPRD dapat melalui mekanisme plebisit, stembus acccord atau musyawarah pengurus partai politik yang dibubarkan.
Zakat "Instumen Kesejahteraan Ummat"
Nurhidayatuloh Nurhidayatuloh
Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Vol 9, No 2 (2020): Supremasi Hukum
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.14421/sh.v9i2.2210
Manusia dicitakan sebagai makhuk sempurna karena memiliki akal sehingga dikenai pertanggung jawaban atas apa yang diperbuatnya, baik pertanggung jawaban di dunia maupun pertanggung jawaban di akhirat. Salah satu kewajiban manusia dalam rukun islam adalah mengeluarkan zakat dengan kuailfikasi tertentu. Muzakki (orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat), memiliki peranan besar dalam mensukseskan jalannya hak dan kewajiban dalam regulasi zakat di masyarakat. Mustahik (orang yang berhak menerima zakat) memiliki peran yang besar pula agar dana zakat yang dikeluarkan oleh muzakki tepat sasaran sesuai dengan tujuannya (produktif).Makhluk sosial, sifat yang mendasari manusia karena tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya memiliki hubungan yang menarik. Zakat yang telah diatur dalam hukum Islam menjadi bukti bahwa sesungguhnya manusia tidak boleh hanya mementingkan diri sendiri melainkan harus mempertimbangkan kepentingan orang lain. Kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang mampu bukan tidak memiliki landasan. Salah satu adanya zakat karena dirasa masih adanya golongan tertentu dari klasifikasi perekonomian masyarakat.Pemberian zakat tunai yang dikeluarkan banyak berdampak psikologis. Kebiasaan yang dilakukan akan menjadikan budaya dan habit yang tidak baik tentunya. Budaya pemberi dan penerima zakat dalam hal konsumtif jangka pendek harus dirubah pola peruntukannya. Ketika seseorang diberi ikan untuk di makan, akan berbeda dampak jangka panjangnya dengan seseorang diberi bibit ikan untuk dibudidayakan. Mustahik mempunyai hak sepenuhnya atas harta yang mereka dapatkan, akan tetapi pengelolaan dana tersebut akan mudah habis ketika digunakan untuk konsumtif. Peran pesantren dalam merubah stigma masyarakat sangat dibutuhkan demi tercapainya tujuan syariat sesuai koridornya.Kata kunci: zakat, instrumen, kesejahteraan, ummat
Urgensi Pengesahan RUU PKS Terhadap Instrumen Penegakan Hak Asasi Perempuan
Alfianita Atiq Junaelis Subarkah;
Faiq Tobroni
Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Vol 9, No 2 (2020): Supremasi Hukum
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.14421/sh.v9i2.2207
Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak-hak asasi yang dimiliki perempuan sebagai seorang manusia. Berbagai bentuk kekerasan kepada perempuan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat, dari mulai kekerasan luring yang memerlukan kontak fisik hingga kekerasan daring melalui media virtual. Penegakan hak asasi perempuan tentulah harus dilaksanakan sesuai dengan amanat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang tidak membolehkan adanya diskriminasi pada suatu kaum tertentu. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat mendorong pemerintah untuk menetapkan suatu Undang-Undang yang dapat berlaku secara luas dalam rangka menghapuskan berbagai macam kekerasan. Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual telah berulang kali masuk dalam Program Legislasi Nasional, tetapi hingga kini belum terbentuk suatu Undang-Undang yang sah sebagai tonggak penegakan keadilan yang akan menjadi dasar dalam memberikan sanksi pada pelaku kekerasan seksual dan juga memberikan perlindungan kepada korban. Oleh karenanya, penting untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini agar dapat menekan maraknya kekerasan yang terjadi terhadap perempuan.
Pertanggung Jawaban Pribadi Dan Jabatan Dalam Hukum Administrasi Negara
Abdul Basid Fuadi
Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Vol 9, No 2 (2020): Supremasi Hukum
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.14421/sh.v9i2.2158
The modern state is the personification of the legal system so that almost all countries in the world claim to be a state of law. However, the paradigm of the rule of law idea has shifted to the concept of a welfare state. This is because to carry out a government with increasingly complex needs of society is not sufficient only by referring to the legislative delegation or implementing laws. It is in this framework that the government is then given the authority to act on its own initiative in solving problems faced by society in the form of discretion. The problem is how to be accountable when the authority essentially contains responsibility consequences, the problem that arises next is that every government administration is always carried out by two entities, namely positions (government) and officials (people) as individuals who carry out government affairs. This paper finds that if there is an element of administrative error that causes loss to citizens, the responsibility and accountability will be borne by the person of the perpetrator of the maladministration, both administratively and even turning into a criminal responsibility.Negara modern adalah personifikasi tata hukum sehingga hampir seluruh negara di dunia mengklaim diri sebagai negara hukum. Namun paradigma gagasan negara hukum telah bergeser kepada konsep negara kesejahteraan. Sebab untuk menyelenggarakan pemerintahan di ruang publik yang semakin kompleks tidak cukup hanya dengan berpedoman pada delegasi undang-undang atau melaksanakan undang-undang. Dalam kerangka inilah kemudian kepada pemerintah diberikan wewenang bertindak dengan inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat berupa diskresi. Permasalahannya adalah bagaimana pertanggungjawabannya ketika wewenang pada hakikatnya mengandung konsekuensi pertanggungjawaban, problematika yang muncul berikutnya adalah setiap penyelenggaraan pemerintahan selalu dilakukan dua entitas, yaitu jabatan (pemerintah) dan pejabat (orang) sebagai pribadi yang menjalankan urusan pemerintahan. Tulisan ini menemukan jika terdapat unsur kesalahan administrasi yang menyebabkan kerugian warga negara, tanggung jawab dan tanggung gugatnya dibebankan pada pribadi pelaku tindakan maladministrasi tersebut, baik secara administratif bahkan bisa berubah menjadi tanggung jawab pidana.
Kebijkan Pemutusan Hubungan Kerja di Masa Pandemi Covid 19 Prespektif Hukum Ketenagakerjaan
Ahmad Syaifudin Anwar
Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Vol 9, No 2 (2020): Supremasi Hukum
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.14421/sh.v9i2.2195
Pandemic Covid-19 yang telah terjadi membawa dampak nyata bagi aktivitas ekonomi yang mengarah kepada kebijakan hukum, hal tersebut adalah Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh pengusaha karena mengalami kerugian sebagai akibat langsung atas adanya dampak dari pandemic Covid-19. Alasan yang digunakan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja pada pandemic covid-19 adalah asas force majeur, bagaimana pemutusan hubungan kerja menurut peraturan perundang-undangan, serta langkah apa yang telah dilakukan oleh pemerintah. Penelitian ini termasuk tipologi penelitian normative, yang mengacu kepada Peraturan Perundangan. Dan hasil dari penelitian ini adalah merujuk pada pasal 164 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 pengusaha dapat mengunakan asas force majeur dalam pemutusan hubungan kerja, pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 pasal 164 dan pasal 156 ayat 2, 3 dan 4. Kebijakan yang dilakukan pemerintah diantaranya; mengeluarkan surat edaran menteri ketenagakerjaan No M/3/HK.04/III/2020 tentang perlindungan pekerja/buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19, adanya program kartu pra kerja serta dialog sosial.Kata kunci; Hukum Ketenagakerjaan. PHK, dan Covid-19
Problematika Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Nilman Ghofur
Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Vol 9, No 2 (2020): Supremasi Hukum
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.14421/sh.v9i2.2196
Tap MPR is one source of the legal sequences in the laws and regulations hierarchy in Indonesia. Tap MPR contains the meaning of Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tap MPR was originally included in the hierarchy of statutory regulations in 1965. It is interesting because tap MPR is still used as a source of law in Indonesia even though legally the MPR is no longer authorized to issue decrees. This article aims to delve deeper into the problems arising from the entry and exit of Tap MPR in the laws and regulations hierarchy in Indonesia. This is very important because there will be confusion in law enforcement if the status of tap MPR changes in the source of the statutory system in Indonesia. The method used is literature by reading books and other journal articles that discuss tap MPR. All data are then analyzed with content analysis to narrow the problem and find solutions to existing problems. This article finds several things, namely that tap MPR problem contains at least 2 sides of the problem. The first is related to the standing of the MPR and the second is the judicial review of tap MPR. This article makes an important contribution that it turns out that this problem can be solved by several legal steps taken by the government. The first is by giving the right standing to tap MPR and the second is the interpretation of the laws and regulations relating to the judicial review of Tap MPR.