cover
Contact Name
Tri Mulyaningsih
Contact Email
trimulya@unram.ac.id
Phone
+62274-512102
Journal Mail Official
jik@ugm.ac.id
Editorial Address
https://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt/about/editorialTeam
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Ilmu Kehutanan
ISSN : 01264451     EISSN : 24773751     DOI : https://doi.org/10.22146/jik.28284
Focusing on aspects of forestry and environments, both basic and applied. The Journal intended as a medium for communicating and motivating research activities through scientific papers, including research papers, short communications, and reviews
Articles 206 Documents
Studi Ekologi Kuantitatif Hutan Pilan Sebagai Dasar Pengembangan Kebun Raya Gianyar Farid Kuswantoro; I Nyoman Lugrayasa; Wawan Sujarwo
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6936.418 KB) | DOI: 10.22146/jik.40147

Abstract

Penelitian ekologi kuantitatif diperlukan sebagai baseline dalam proses pembangunan dan pengembangan kebun raya di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data vegetasi di kawasan hutan yang akan dibangun kebun raya dan menganalisisnya secara kuantitatif. Penelitian dilakukan dengan metode petak kuadrat (PU), dengan petak ukur 20 m x 20 m untuk pengamatan tingkat pohon dan tiang, serta 2 mx 2 m untuk pengamatan tingkat tumbuhan bawah. Analisis data dilakukan mengunakan indeks nilai penting, indeks keanekaragaman ShannonWiener, indeks similaritas, analisis kluster, dan analisis komponen utama (PCA). Komunitas tumbuhan di hutan Pilan didominasi oleh Magnolia montana (Blume) Figlar dan Arenga pinnata (Wurmb) Merr. pada tingkat pohon serta Daemonorops sp. pada tingkat tumbuhan bawah. Indeks keanekaragaman pada tingkat pohon dan tiang menunjukan nilai sedang dan rendah pada tingkat tumbuhan bawah, sementara indeks similaritas mayoritas kombinasi PU adalah rendah. Hasil kluster menunjukan terbentuknya dua subset pada kedua tingkat pertumbuhan, dimana PU VI berada di luar kluster sedangkan PCA menunjukan setiap PU mendukung jenis tumbuhan yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa komposisi vegetasi hutan Pilan mendekati klimaks yang disebabkan karena statusnya sebagai hutan keramat sehingga relatif bebas dari gangguan. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perbedaan komposisi tumbuhan di setiap PU adalah pH tanah, intensitas sinar matahari, jenis pohon yang dominan, efek tepi, dan persebaran bijioleh hewan.Quantitative Ecological Study of Pilan Forest as a Baseline for Development of Gianyar Botanic GardenAbstractQuantitative ecological research is needed as a baseline in the future construction and development of botanic gardens. This study aims to acquired the vegetation data in the forest area where a botanic garden will be established and analyse it quantitatively. The study was conducted using the quadrat plot (PU) method, with a plot measuring 20 m x 20 m for observation and tagging of all trees and saplings, as well as 2 mx2 m for observation of the understorey level. Data analysis was performed by utilising the importance value index, Shannon-Wiener diversity index, similarity index, cluster analysis, and principal component analysis (PCA). Plant communities in Pilan Forest were dominated by Magnolia montana(Blume) Figlar and Arenga pinnata(Wurmb) Merr. at the canopy level and Daemonorops sp. in the understorey level. The diversity index was moderate and low respectively, while the similarity index was mostly low. The clustering results showed the formation of two subsets in both growth rate as the PU VI was outside the cluster and the PCA indicated that each plot supports different plant species. The study results concluded that the composition of vegetation at Pilan forest is approaching the maximum diversity, and is relatively undisturbed due to its status as a sacred forest. Factors thought to affect the different composition of plants in each plot was the pH of the soil, the intensity of sunlight, dominant tree species, edge effects and distribution of seeds by animals.
Potensi Simpanan Karbon pada Beberapa Tipologi Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah Muhammad Abdul Qirom; Tri Wira Yuwati; Purwanto Budi Santosa; Wawan Halwany; Dony Rachmanadi
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7890.083 KB) | DOI: 10.22146/jik.40150

Abstract

Akurasi pendugaan simpanan karbon hutan rawa gambut dapat ditingkatkan melalui pengukuran masing-masing gudang/sumber karbon dan berbagai macam tipologi hutannya. Pengukuran tersebut berkaitan dengan besarnya kandungan dan fraksi simpanan karbon pada masing-masing gudang karbon. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kandungan dan potensi simpanan karbon pada masing-masing gudang karbon di tipologi gambut. Pengukuran simpanan karbon dilakukan pada lima gudang karbon yakni vegetasi (tingkat permudaan pohon), serasah, tumbuhan bawah, nekromasa dan tanah. Hasil penelitian menunjukkan kandungan karbon adalah 50% dari berat kering biomassa. Kandungan karbon tidak dipengaruhi oleh gudang karbon dan tipologi gambut. Pada tanah gambut, kedalaman gambut mempengaruhi besarnya kandungan karbon sehingga besarnya faktor konversi harus memperhatikan kedalaman masing-masing tipologi gambut. Potensi simpanan karbon terbesar pada tipologi hutan sekunder dengan kedalaman gambut antara 3-3,5 m sebesar 3.722,08 Mg/ha sedangkan potensi simpanan karbon terendah pada tipologi semak belukar dengan kedalaman gambut 3-3,5 m sebesar 2243,49 Mg/ha. Pada hutan gambut, gudang karbon tanah menyumbang >95% dari simpanan karbon total. Gudang karbon nekromasa memberikan sumbangan simpanan karbon terkecil. Fraksi simpanan karbon pada masing-masing gudang karbon berturut-turut adalah tanah> vegetasi> serasah> tumbuhan bawah> nekromasa.Carbon Stocks Potential of Peatland Forests Typologies in Central KalimantanAbstractAccuracy of carbon stocks estimation can be enhanced by measuring each carbon pools in various forest peatland typologies. The carbon stocks measurement is associated with the amount of contents and fractions of carbon stocks. The research objectives were to obtain the information of carbon contents and carbon stocks potentials in each carbon pool in the peat typologies. Carbon stocks measurement was conducted in five carbon pools which were: vegetation (tree stages), litter, understory, necromass, and soil. The results showed that the carbon contents reached more than 50% of its dry weight. The carbon contents were not affected by the carbon pools and peat typologies. In the soil carbon pools, peat depth affected the amount of carbon content so that the magnitude of the conversion factor should concentrate to the depth of each peat typology. The greatest potential of carbon stocks was found in the secondary forest (3,733.08 Mg/ha) with the peat depths between 3-3.5 m, while the lowest potential of carbon stocks found in the bush typology (2243.49 Mg/ha) with the peat depths between 3-3.5 m. In the peat typology, soil carbon stocks contributed more than 95% of total carbon stocks whereas necromass carbon stocks contributed the smallest amount of carbon. The fractions of carbon stocks in each carbon pools were soil> vegetation> litter> understorey> necromass, respectively.
Keragaman Kandungan Lemak Nabati Spesies Shorea Penghasil Tengkawang dari Beberapa Provenans dan Ras Lahan Budi Leksono; Lukman Hakim
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2956.524 KB) | DOI: 10.22146/jik.40155

Abstract

Buah tengkawang merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu bernilai tinggi dan merupakan salah satu komoditi eksporsebagai bahan baku lemak nabati, industri kosmetik, dan substitusi lemak coklat. Indonesia memiliki sekitar 13 spesies pohon penghasil tengkawang yang tersebar di Kalimantan dan sebagian kecil di Sumatera, namun sebagian besar telah masuk dalam kategori terancam punah. Untuk tindakan konservasi dan meningkatkan kandungan lemak nabati tengkawang, perlu diketahui potensi kandungan lemak dan sifat fisiko kimia dari setiap spesies dan provenan. Buah tengkawang dikoleksi pada saat musim panen raya spesies shorea penghasil tengkawang pada tahun 2010 di Kalimantan dan Jawa. Analisis kandungan lemak nabati tengkawang dilakukan terhadap empat spesies shorea penghasil tengkawang (S. macrophylla, S. gysbertsiana, S. stenoptera, S. pinanga) yang berasal dari empat provenans dan ras lahan (Gunung Bunga dan Sungai Runtin-Kalimantan Barat, Bukit Baka-Kalimantan Tengah, Haurbentes-Jawa Barat). Sebelas kombinasi spesies-provenan diambil sampel buahnya untuk diekstrasi guna mengetahui kandungan lemak dan sifat fisiko kimia tengkawang (kadar air, bilangan asam, dan kadar asam lemak bebas). Terdapat keragaman yang tinggi di antara kombinasi spesiesprovenans tengkawang untuk empat parameter yang diuji, termasuk kandungan lemak dan kadar air biji tengkawang. Kandungan lemak tertinggi dengan kadar air terendah dihasilkan oleh S. stenoptera dari Haurbentes (Jabar) dan S. pinanga dari Bukit Baka (Kalimantan Tengah). Kedua kombinasi spesies-provenan tersebut direkomendasikan sebagai materi genetik untuk dikembangkan dalam program konservasi eks-situ dan program pemuliaan tanaman hutan dalam pembangunan sumber benih unggul pada kondisi lingkungan yang hampir sama dengan kedua provenans dan ras lahan tersebut.Variation in Illipe Nut's Fat Yield of Tengkawang-producing Shorea from Several Provenances and Land RacesAbstractIllip (tengkawang) nut is a non-wood forest product which has a high economic value and one of export commodities as raw material for illipe nut's fat, cosmetics, and substitution of chocolate fat. Indonesia has 13 species of tengkawang-producing shorea distributed in Kalimantan and some small parts of Sumatra. Most of them are categorized as threatened species. To conserve and improve the species for illip nut's fat, it is important to assess the potential of fat yield and physical-chemical properties for each species and provenance. Fruit collection was conducted during fruit season in Kalimantan and Java in 2010. The fruits were collected from four species of tengkawangproducing shorea (i.e. S.macrophylla, S. gysbertsiana, S. stenoptera, S. pinanga) originated from 4 provenances and land races (Gunung BungaWest Kalimantan, Sungai Runtin-West Kalimantan, Bukit Baka-Central Kalimantan, and Haurbentes-West Java). Fruit samples from eleven combinations of species-provenances were extracted to assess fat yield and physical-chemical properties (i.e. moisture content, acid number and free fatty acid). Variation between species-provenances combination was high for all parameters tested, including the illipe nut's fat yield and moisture content. The highest fat yield with lowest moisture content was found in S. stenoptera from Haurbentes (West Java) and S. pinanga from Bukit Baka (Central Kalimantan). Both species-provenance combinations are recommended as genetic material to be developed in the program of ex-situ conservation as well as tree improvement program for the establishment of best seed sources in the same environment condition as the respected provenances.
Uji Fitokimia dan Aktivitas Antibakteri Tumbuhan Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) Amalia Indah Prihantini; Krisnawati Krisnawati; Anita Apriliani Dwi Rahayu; Yosephin Martha Maria Anita Nugraheni; Gipi Samawandana
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1967.868 KB) | DOI: 10.22146/jik.40157

Abstract

Euchresta horsfieldii merupakan tanaman obat yang dikenal di Nusa Tenggara Barat dan Bali sebagai pranajiwa. Pada penelitian ini telah dilakukan analisis fitokimia dan aktivitas antibakteri dari akar, batang, daun, dan biji pranajiwa. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan terhadap bakteri Bacilus subtilis Inacc-B334, Staphylococccus aureus Inacc-B4, dan Escherchia coli Inacc-B5. Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa alkaloid sebagai komponen senyawa yang paling dominan pada pranajiwa dan terdeteksi di setiap bagian tanaman. Bagian akar pranajiwa terdeteksi memiliki komponen senyawa yang paling bervariasi seperti alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, dan terpenoid. Analisis GC-MS dari batang, akar, dan biji pranajiwa menunjukkan mome inositol, sophoridane, dan asam lemak seperti asam palmitat dan asam stearat sebagai komponen utamanya. Adapun uji aktivitas antibakteri pranajiwa menunjukkan bagian batang dan akar memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus Inacc-B4 dan E. coli Inacc B-5, sedangkan bagian biji memiliki aktivitas antibakteri terhadap B. subtilis Inacc-B-334 dan S. aureus Inacc-B4. Hasil-hasil penelitian tersebut dapat mendukung penelitian terkait potensi E. horsfieldii sebagai sumber alternatif obat antibakteri. Phytochemical Test and Antibacterial Activity of Pranawija (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.)AbstractEuchresta horsfieldii is a medicinal plant known in West Nusa Tenggara and Bali as pranajiwa. This study investigated phytochemical analysis and antibacterial activity of roots, stems, leaves, and seeds of E. horsfieldii. The samples were analyzed for their antibacterial activity against Bacilus subtilis Inacc-B334, Staphylococccus aureus Inacc-B4, and Escherchia coli Inacc-B5. The phytochemistry result indicated that alkaloids was the most dominant constituent of E. horsfieldii as it was detected in all parts of the plant. GC-MS analysis of the stems, roots, and seeds showed mome inositol, sophoridane, and fatty acids such as palmitic acid and strearic acid as the main components. The roots had the most varied constituents with detection of alkaloids, tannins, flavonoids, saponins, and terpenoids. Further, antibacterial activity assay showed that the stems and roots had antibacterial activity against S. aureus Inacc-B4 and E. coli Inacc B-5, whereas the seeds had antibacterial activity against B. subtilis Inacc-B-334 and S. aureus InaccB4. The result of the present study supports the investigation on potentiality of E. horsfieldii as alternative source for antibacterial agents.
Tingkat Kesamaan Acacia mangium, Acacia auriculiformis, dan Hibridnya Berdasarkan Sifat Anatomi Akar, Batang, dan Daun Sri Sunarti; Visda Fitriana; Suharyanto Suharyanto
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3447.571 KB) | DOI: 10.22146/jik.40160

Abstract

Persilangan antara Acacia mangium dan Acacia auriculiformis akan menghasilkan hibrid akasia, baik secara alami maupun buatan. Seperti induknya, jenis hibrid akasia dikembangkan untuk mendukung ketersediaan bahan baku industri pulp dan kertas. Secara morfologi, A. mangium, A. auriculiformis, dan hibridnya (A. mangium xA. auriculiformis) dapat dengan mudah dibedakan pada tingkat semai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesamaan antara A. mangium, A. auriculiformis, dan hibridnya berdasarkan perbedaan struktur anatomi mikroskopis pada akar, batang/ranting dan daun (filodia). Sampel akar, batang/ranting, dan daun (filodia) dibuat preparat semi permanen menggunakan teknik free-hand dan hasilnya diamati dengan image raster dan leaf clearing. Parameter yang diamati adalah ukuran jaringan penyusun akar, batang/ranting, dan daun(filodia) serta hubungan kekerabatan antara A. mangium, A. auriculiformis, dan hibridnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara A. mangium dan A. auriculiformis mempunyai tingkat kesamaan sebesar 55,26% dan hibrid A. mangium xA. auriculiformis mempunyai tingkat kesamaan dengan induk betina (A. mangium) lebih besar dibandingkan dengan induk jantan (A. auriculiformis), yaitu berturut-turut sebesar 60,53%-65,78% dan 52,63%-63,16%. Hibrid vigor mempunyai kekerabatan lebih dekat dengan hibrid intermediet dibandingkan dengan hibrid inferior, yaitu berturut-turut sebesar 78,95% dan 68,42%. Kemungkinan untuk mendapatkan hibrid unggul dengan persilangan dapat ditingkatkan dengan memilih pohon induk betina yang lebih unggul.Similarity Index among Acacia mangium, Acacia auriculiformis, and its Hybrid Based on the Anatomical Properties of Root, Stem, and LeafAbstractCrossing between Acacia mangium and Acacia auriculiformis will result Acacia hybrid whether naturally or artificially. Acacia hybrid, as its parents, was developed to support pulp and paper industries. Morphological characteristics of leaves among A. mangium, A. auriculiformis, and its hybrid (A. mangium x A. auriculifomris) were easily differentiated on nursery stage. This study was done to observe the anatomy of root, stem, and leaves of A. mangium, A. auriculiformis, and its hybrid for assessing their similarity. The samples of leaves, stems, and roots were made into semi-permanent object using freehand technique then the results were assessed using an image-raster and leaf clearing. The observed parameters were the anatomical structure in the root, stem, and leaves tissues as well as similarity index among A. mangium, A. auriculiformis, and its hybrid. The result showed that the similarity between A, mangium and A. auriculiformis was 55.26% and its hybrid were closer to A. mangium than A. auriculiformis with similarity index of 60.53%-65.78% and 52.63%-63-16%, respectively. Hybrid vigour showed a closer similarity to intermediate hybrid than inferior hybrid with similarity index of 78.95% and 68.42%. It is a great probability to obtain hybrid vigour by selecting good mother-trees due to the similarity index between hybrid and its mother tree.
Pengaruh Kecepatan Pertumbuhan terhadap Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Acacia Mangium Umur 4 Tahun Asal Wonogiri, Jawa Tengah Fanny Hidayati; Ramadhani Ayu Purnama; Harry Praptoyo; Sri Sunarti
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3668.817 KB) | DOI: 10.22146/jik.40162

Abstract

Kebutuhan masyarakat akan kayu solid yang semakin meningkat, memberikan peluang bagi jenis pohon cepat tumbuh seperti Acacia mangium untuk digunakan sebagai bahan semi konstruksi maupun konstruksi. Secara umum, kualitas kayu dipengaruhi oleh sifat pertumbuhan terutama kecepatan pertumbuhan. Pengaruh kecepatan pertumbuhan terhadap sifat-sifat kayu mangium belum banyak di diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika dan mekanika kayu mangium pada kecepatan tumbuh yang berbeda serta hubungan antara kerapatan dasar dengan sifat-sifat lain yang diuji. Sembilan pohon mangium umur 4 tahun yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Adapun sifat-sifaf kayu yang diuji adalah kerapatan dasar, perubahan dimensi, rasio T/R, keteguhan lengkung statis (MOE dan MOR), keteguhan tekan sejajar dan tegak lurus serat. Selanjutnya data yang diperoleh diuji dengan one-way ANOVA. Sebagai hasilnya, sifat fisika dan mekanika kayu yang diuji menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada tiga kategori kecepatan tumbuh yang berbeda, kecuali pada penyusutan radialnya. Selanjutnya, kerapatan dasar berkorelasi positif secara signifikan terhadap penyusutan radial dan tangensial serta kekuatan tekan sejajar dan tegak lurus serat. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan dasar merupakan indikatoryang bagus untuk mempredikasi sifat fisika dan mekanika kayu mangium. Effect of Growth Rate on Physical and Mechanical Properties of 4-year-old Acacia mangium Wood from Wonogiri, Central JavaAbstractIncreasing solid wood demand provides an opportunity to fast-growing wood species such as Acacia mangium as semi construction and construction materials. In general, the quality of wood is affected by growth characteristics such as radial growth rate. The study about effect of growth rate on the properties of mangium wood is limited in Indonesia. Therefore, this study aimed to determine the physical and mechanical properties of mangium wood at different growth rates. Furthermore, relationship between basic density and other properties was clarified. The nine mangium trees of 4-year-old used in this study were planted in Wonogiri Regency, Central Java. Basic density, shrinkage, T/R ratio, static bending strength (MOE and MOR), compressive strength parallel and perpendicular to grain were determined. The results were analyzed with one-way ANOVA. As a result, the physical and mechanical properties of the woods showed no significant difference in three different categories of growth rates, except for radial shrinkage. Furthermore, the basic density is positively significant correlated with radial and tangential shrinkage and also compressive strength parallel and perpendicular to grain. Based on these results, it is suggesting that basic density is a good indicator for predicting physical and mechanical properties of mangium wood.
Seberapa Luas Hutan Yang Kita Perlukan? Sebuah Refleksi Cara Pandang Kita Pada Pengurusan Hutan Emma Soraya
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.632 KB)

Abstract

Baru-baru ini Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melakukan kajian teknokratik masterplan redesign pembangunan kehutanan Indonesia 2020-2024 yang salah satu keluarannya adalah rasionalisasi luas dan fungsi kawasan hutan yang perlu dipertahankan. Kajian ini dimaksudkan untuk menjadi dokumen yang dapat digunakan oleh presiden yang terpilih di tahun ini. Dalam berbagai konsultasi publik yang dilakukan Bappenas, terlihat bahwa Bappenas menggunakan faktor: (1) stok karbon; (2) biodiversitas; (3) kapasitas air; dan (4) fungsi kawasan/ administrasi. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa kawasan hutan yang perlu dipertahankan sesuai fungsi hanya 72,3 juta hektar (60% dari kawasan hutan daratan yang luasnya 120,6 juta hektar (KLHK 2018)). Luasan kawasan hutan saat ini mencakup hampir dua per tiga daratan Indonesia.Rekalkulasi luas kawasan hutan dapat dipahami karena kebutuhan lahan di luar sektor kehutanan, mulai dari untuk permukiman, pertanian, hingga sumber energi (pertambangan) terus meningkat dan perlu pengalokasian yang lebih terencana untuk menghindari kerusakan sumberdaya alam/ hutan yang semakin menurun kuantitas dan kualitasnya. Badan dunia semacam FAO pun mengakui bahwa kebutuhan lahan khususnya untuk sumber pangan tidak dapat dihindarkan karena pertumbuhan populasi penduduk dunia yang terus meningkat.Hasil kajian tersebut nampaknya mendapatkan resistensi dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penerima mandat negara sebagai pengurus kawasan hutan. Dalam pasal 1 UU 41, kawasan hutan dijabarkan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Seluruh kawasan hutan ditujukan untuk melindungi ekosistem dan pemanfaatan sumber daya hutan untuk menopang ekonomi negara. Resistensi atas hasil kajian Bappenas terjadi karena mungkin KLHK menginterpretasi mandat pengurusan kawasan hutan ini sebagai ‘tuan tanah’ yang ‘menguasai’ kawasan hutan harus dipertahankan sebagai harga mati?Hutan di Indonesia, seperti halnya sumberdaya alam yang lain, diamanatkan oleh undang-undang dasar untuk dapat dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kita telah menyadari bahwa hutan kita telah menurun kuantitas dan kualitasnya sejak diundangkannya UU tentang Kehutanan di tahun 1967 dan di dalam UU 41/1999 pun disebutkan bahwa kondisi hutan terus menurun. Disebutkan pula bahwa hutan merupakan salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat yang keberadaannya harus dipertahankan secara optimal dan dijaga daya dukungnya secara lestari.KLHK juga melaporkan bahwa hasil interpretasi citra Landsat tahun 2016 menunjukkan bahwa dari total luas kawasan hutan daratan hanya sekitar 71% yang masih berhutan (KLHK 2018). Jika mandat yang diberikan kepada KLHK “hanya” pada sumberdaya hutan, sesungguhnya mulai tahun lalu KLHK hanya perlu mengurus 85,6 juta hektar saja. Namun tidak, KLHK juga memiliki mandat untuk mengupayakan kawasan hutan dalam kondisi berhutan dengan kegiatan reforestasi sehingga fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan (ekosistem dan ekonomi) dapat terus berlangsung. Luasnya lahan berstatus kawasan hutan namun tak berhutan menjadi pangkal pertanyaan seberapa luas hutan yang perlu dipertahankan (baca: yang dapat diurus negara?).Namun, kajian Bappenas pun dapat dikatakan terlalu menyederhanakan faktor-faktor yang digunakan dalam menghitung luas kawasan hutan yang harus dipertahankan. Pertimbangan tersebut masih berorientasi ekonomi dan kurang mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial. Hal ini mungkin dapat dipahami karena sebagian besar dari kita memandang hutan baru sebatas sumberdaya ekonomi saja. Bappenas juga masih mengkotak-kotakkan fungsi kawasan hutan seperti halnya yang dilakukan oleh KLHK dalam mengurus kawasan hutan.Penggunaan pertimbangan-pertimbangan tersebut mungkin dapat dipahami karena sebagian besar dari kita memandang hutan baru sebatas sumberdaya ekonomi saja. Selain itu, ketika kajian dilaksanakan masih terkendala dengan ketersediaan data spasial yang masih belum lengkap dan tertata Adanya data spasial yang terintegrasi merupakan pangkal untuk menjawab pertanyaan luasan kawasan hutan yang perlu dipertahankan.Sebenarnya sejak tahun 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (PKSP), Presiden telah memandatkan untuk memastikan seluruh peta tematik sesuai dengan kondisi aktual di lapangan dan terhindar dari tumpang tindih. Badan Informasi Geospasial (BIG), Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri dimandati sebagai pelaksana KSP. Akhir tahun 2018, presiden telah meresmikan penggunaan Geoportal Kebijakan Satu Peta (KSP) yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan peta skala besar yang terstandarisasi dan terupdate secara nasional sehingga dapat mencegah konflik dan penyalahgunaan kekayaan alam. Pelaksaan KSP dibagi dalam beberapa pekerjaan: kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi. Saat ini BIG telah berhasil menyelesaikan tahap kompilasi dan integrasi 83 dari 85 peta Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang di targetkan di seluruh Indonesia yang bersumber dari 19 kementrian/ lembaga dan 34 propinsi sebagai wali data.Tahapan terakhir berupa tahapan sinkronisasi masih dalam proses dan perlu segera diselesaikan. Kendala terbesar tahap ini berupa penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan. Hasil identifikasi tumpang tindih telah dituangkan melalui Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI). Berdasar PITTI ditemukan tumpang tindih pemanfaatan hutan, sumber daya alam, dan perizinan yang luasnya mencapai 10,4 juta hektar di Kalimantan dan 6,4 juta hektar di Sumatra. Sebanyak 70% dari luasan tersebut berada di kawasan hutan. Hasil penelitian tim Fakultas Kehutanan UGM pun menemukenali kebun sawit seluas 2,8 juta hektar yang ada di dalam kawasan hutan dari interpretasi penginderaan jauh (FKT UGM 2018). Temuan-temuan tumpang tindih seperti ini tidak hanya akan mengubah peta, tetapi juga akan memiliki implikasi hukum yang berpengaruh pada surat keputusan penerbitan izin hak guna usaha dan bangunan.Terlepas telah tersedianya peta-peta tematik yang terintegrasi, yang lebih penting adalah perlunya menyamakan cara pandang pada bagaimana mengelola hutan. Sejalan dengan yang disampaikan Sayer et al. (2003) lebih dari 15 tahun yang lalu, pada Kongres Kehutanan Dunia di Quebec, Canada, paling tidak terdapat dua faktor penting yang perlu dijadikan pertimbangan dalam pengurusan dan pengelolaan SDH, yaitu: (1) mengoptimalkan kemanfaatan nilai publiknya dengan mengedepankan keunikan kondisi dan kebutuhan lokal; dan (2) memastikan fungsi ekologis hutan mampu berkontribusi terhadap fungsionalitas lansekap secara keseluruhan. Kedua hal tersebut dapat kita gunakan untuk menentukan luasan kawasan hutan yang perlu dipertahankan. Lebih lanjut, Sayer et al. (2003) juga menyarankan untuk tidak mengkotak-kotakkan fungsi hutan berdasar kategori yang sudah ditentukan sebelumnya dan memastikan stakeholder lokal menjadi aktor utama pada proses pengelolaan SDH. Kedua hal tersebut, dapat diterjemahkan dalam bentuk mosaik berbagai tipe pengelolaan hutan yang sesuai dan memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dan sekaligus secara simultan mampu memenuhi konservasi global (misal: biodiversitas dan penyerapan karbon). Tipe pengelolaan hutan menjadi sangat unik dan merupakan solusi lokal yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial sehingga terwujud hutan sebagai komponen lansekap DAS yang multi-fungsi yang menyeimbangkan fungsi perlindungan hingga ekonomi lokal.Kisah keberhasilan komunitas/ masyarakat lokal dalam pengelolaan dan peningkatan nilai konservasi hutan sudah sangat sering kita dengar namun tidak sampai tercatat dalam statistik global. Hal ini disebabkan pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal hampir selalu memiliki karakter yang sangat khas: sesuai dengan kondisi tapak dan ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan lokal. Kisah sukses ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal mempunyai kemampuan dan kearifan untuk mengelola SDH. Pengutamaan stakeholder lokal tidak hanya memastikan bahwa pengurusan dan pengelolaan hutan dapat optimal kemanfaatan dan terjamin kelestariannya, namun juga sebenarnya merupakan solusi untuk penyelesaian persoalan tumpang tindih penggunaan lahan di lapangan. Nilai budaya gotong-royong masih merupakan modal sosial yang cukup kuat untuk penyelesaian permasalahan di tingkat tapak.Selain itu, SDH perlu diurus dan dikelola tidak hanya berdasar pada kondisi biofisik terbatas di lahan di mana hutan itu tumbuh, namun perlu penekanan bahwa hutan yang ada harus dapat berkontribusi dengan fungsi ekologisnya terhadap fungsionalitas lansekap daerah aliran sungai (DAS) secara keseluruhan (Sayer et al. 2003). Bahkan, jika dirasa perlu, di lansekap tertentu, restorasi untuk meningkatkan semua multi-manfaat hutan, terutama untuk kebutuhan yang bersifat lokal harus juga dilakukan.Dengan mempertimbangkan kedua faktor tersebut dan adanya data spasial yang telah terstandarisasi dan sesuai dengan kondisi tapak saat ini, penentuan luas kawasan hutan yang masih perlu dipertahan dapat dengan mudah dikuantifikasikan dan dipetakan sebarannya.
Pemodelan Efektivitas Hutan Pantai di Cagar Alam Pananjung Pangandaran Sebagai Buffer Tsunami Denni Susanto; Lies Rahayu Wijayanti Faida; Sunarto Sunarto
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2188.754 KB) | DOI: 10.22146/jik.46139

Abstract

Kawasan pantai selatan Jawa merupakan daerah pesisir yang rawan terjadi tsunami. Tahun 2006 tsunami dengan kekuatan gempa 6 skala Richter melanda daerah Pangandaran termasuk Cagar Alam Pananjung. Terdapatnya hutan pantai di Cagar Alam Pananjung mampu mereduksi kekuatan tsunami sehingga efek merusak tsunami dapat diminimalkan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memodelkan efektivitas hutan pantai Cagar Alam Pananjung Pangandaran sebagai buffer tsunami dengan berbagai faktor pereduksi tsunami. Nested sampling digunakan untuk pengambilan data karakteristik vegetasi dengan intensitas sampling 4%. Luas hutan pantai 38 ha, sehingga digunakan petak ukur sebanyak 38 petak ukur persegi dengan ukuran petak ukur untuk tumbuhan bawah 1 m x 1 m, semai 2 m x 2 m, sapihan 5 m x 5 m, tiang 10 m x 10 m, dan pohon 20 x 20 m. Petak ukur ditempatkan secara purposive dengan mempertimbangkan lokasi genangan tsunami dan kerapatan vegetasi. Kerapatan vegetasi dilakukan dengan analisis citra Sentinel 2-A tahun 2017. Efektifitas hutan pantai sebagai buffer tsunami dianalisis menggunakan persamaan matematis menggunakan konsep Harada dan Imamura (2003) dan dimodelkan dengan Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA) dengan kriteria lebar hutan pantai, kerapatan vegetasi, diameter pohon, dan kerapatan tumbuhan bawah. Hasil penelitian menunjukkan nilai-nilai parameter hutan pantai pereduksi tsunami di Cagar Alam Pananjung berupa kerapatan vegetasi > 2000 ind/ha, rata-rata diameter pohon yaitu 15,94 cm, dan lebar hutan pantai antara 120– 325 m. Ketinggian tempat hutan pantai Cagar Alam Pananjung bergelombang antara 0–59 m dpl. Hasil pemodelan menunjukkan efektivitas hutan pantai Cagar Alam Pananjung sebagai buffer dalam meredam energi tsunami memiliki nilai reduksi sebesar 41,18%, sehingga termasuk kategori efektif. Effectiveness Model of Coastal Forest in Pananjung Nature Reserve, Pangandaran as Tsunami Buffer AbstractThe southern coast of Java is a coastal area prone to tsunami. In 2006, a tsunami with a magnitude of 6 Richter scale happened in Pangandaran area including Pananjung Nature Reserve. The presence of coastal forest in the Pananjung Nature Reserve reduced the force of the tsunami so that the destructive effect of the tsunami can be minimized. This research aimed to model and assess the effectiveness of coastal forest in Pananjung Nature Reserve as a tsunami buffer. Nested sampling was used to collect vegetation data with 4% sampling intensity. Extensive coastal forest of 38 ha was measured in 38 square forest sample plots with the size of the plot for the understorey 1 mx 1 m, seedlings 2 m x 2 m, saplings 5 mx 5 m, poles 10 m x 10 m, and trees 20 x 20 m. The plots were located purposively by considering the location of tsunami inundation and vegetation density. The vegetation density was performed by image analysis of Sentinel 2-A2017. The effectiveness of coastal forests as tsunami buffers was analyzed using mathematical concepts according to Harada and Imamura (2003) and modeled with Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA) with width coastal vegetation criteria, vegetation density, tree diameter, and density of understorey. The results showed that in Pananjung Nature Reserve has vegetation density > 2000 ind/ha, average tree diameter of 15.94 cm, and coastal forest width between 120 m - 325 m. Topography of coastal forest Pananjung Nature Reserve waved between 0 m asl - 59 m asl. It was found that the effectiveness of coastal forest Pananjung Nature Reserve in reducing energy tsunami was in the value of 41.18%, thus it was included in the effective category.
Okupansi Kukang Jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy 1812) di Hutan Tropis Dataran Rendah di Kemuning, Bejen, Temanggung, Jawa Tengah Mahfut Sodik; Satyawan Pudyatmoko; Pujo Semedi Hargo Yuwono
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1164.801 KB) | DOI: 10.22146/jik.46141

Abstract

Faktor kehilangan/berkurangnya habitat, dan fragmentasi habitat dapat memberikan dampak buruk terhadap kukang Jawa (Nycticebus javanicus), satwa primata nokturnal yang tergolong dalam kategori Critically Endangered. Kukang Jawa yang hidup di hutan yang terfragmentasi merasakan dampak negatif dari faktor- faktor tersebut dan hal tersebut juga dapat memengaruhi okupansi dalam sebuah kawasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi okupansi habitat oleh kukang Jawa di hutan dataran rendah yang terfragmentasi di Kemuning, Temanggung, Jawa Tengah, Indonesia. Untuk mem­perkirakan proporsi penggunaan wilayah, probabilitas detek­si (detection probability) dan faktor – faktor yang berpengaruh terhadap okupansi habitat oleh kukang Jawa, kami menggunakan occupancy model of a single-season. Sebanyak 5 kali ulangan survei malam pada tahun 2017 digunakan sebagai data pokok di dalam model okupansi. Metode pengambilan data lingkungan dan data anthropogenic menggunakan observasi lapangan dan interview dengan masyarakat lokal. Kami membagi lokasi penelitian menjadi 141 grid dengan ukuran 200 m x 200 m (4 ha) sebagai acuan dalam survei malam dengan jalur. Data kovariat lingkungan yang diukur adalah jarak dari jalan, jarak dari tepi hutan, jarak dari pemukiman, jarak dari sumber air, ketinggian tempat, dan kemiringan lahan. Hasil penelitian menunjukan bahwa kukang Jawa menghuni habitat sekitar 23,2% dari keseluruhan areal di hutan Kemuning. Jarak dari jalan dan jarak dari sumber air (sungai) berkorelasi positif terhadap tingkat hunian, sedang jarak dari pemukiman berkorelasi negatif terhadap tingkat hunian dari kukang Jawa. Data dan informasi kuantitatif yang dihasilkan dari penelitian ini penting untuk mengetahui kebutuhan sumber daya jangka panjang populasi kukang Jawa khususnya di hutan Kemuning. Selanjutnya diharapkan pemerintah Indonesia atau stakeholder terkait dapat melakukan upaya konservasi dan rencana strategi pengelolaan spesies kukang Jawa dengan baik khususnya di hutan dataran rendah yang terfragmentasi.Occupancy of Javan Slow Loris (Nyticebus javanicus E. Geoffroy 1812) in Kemuning Tropical Low Land Forest, Bejen, Temanggung, Central Java Abstract Habitat loss and landscape fragmentation have a negative impact on the Javan slow loris (Nycticebus javanicus), a Critically Endangered nocturnal primate species. Slow lorises in remaining forest fragments might be suffered and affect their occupancy behavior. We aim to investigate the determinant factors for the probability of habitat occupancy by the javan slow loris in Kemuning forest fragment of Temanggung District, Central Java. To estimate the site occupancy rate, detection probability, and the determinant factor of site use by Nycticebus javanicus, we employed the occupancy model of a single-season using night surveys. Five repeated night surveys in 2017 were used as the main basis data for the occupancy model. We used direct observation and interview with locals to collect data on environmental and anthropogenic features. We divided the study area into 141 grids with 200 m x 200 m (4 ha) each which were the basis for the night survey following existing walking paths. The influence of six covariates was assessed to determine of site use by Nycticebus javanicus: distance to road, distance to forest edge, distance to the settlement, distance to water source, altitude, and elevation. The result shows that the probability of site use occupied by Nycticebus javanicus was 23.2% of the total area. Distance to roads and distance to water source have a positive correlation with the probability of site use, whereas the influence of distance to settlements has a negative correlation with the site use of the species. Such quantitative data and information gained in this research are important to know for the long term resource needs of the Nycticebus javanicus, especially in the Kemuning forest. Therefore, the Indonesian Government or related stakeholders can formulate the detail conservation plans of the species, especially in the lowland fragmented tropical forest.
Habitat dan Interaksi Spatio-Temporal Merak Hijau dengan Sapi dan Herbivora Besar di Taman Nasional Baluran Satyawan Pudyatmoko
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.877 KB) | DOI: 10.22146/jik.46142

Abstract

Merak hijau (Pavo muticus muticus) adalah species yang terancam punah dengan populasi yang terus menurun. Burung ini adalah jenis yang dilindungi di Indonesia, dan hidup di beberapa sisa-sisa habitat yang kebanyakan sempit dan dengan tingkat perburuan tinggi. Hal ini menyebabkan risiko kepunahan yang tinggi. Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Baluran untuk menyelidiki pengaruh variabel habitat terhadap kemungkinan okupansi merak hijau serta interaksi spasial dan temporal antara merak hijau dengan sapi dan herbivora besar. Kehadiran merak hijau direkam dengan kamera trap dan variabel-variabel habitat diukur di tempat kamera trap dipasang. Penelitian ini menemukan bahwa kemungkinan okupansi merak hijau paling baik dijelaskan oleh model yang tidak melibatkan peran variabel habitat. Selain itu, ditemukan pula bahwa pola interaksi merak hijau dengan sapi mirip dengan pola interaksi merak hijau dengan sebagian besar herbivora besar. Tidak ada dampak negatif sapi terhadap kehadiran dan aktivitas harian merak hijau. Burung ini memiliki daya adaptasi yang cukup tinggi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda. Penurunan populasi di Jawa mungkin lebih disebabkan karena tekanan perburuan yang tinggi daripada perubahan habitat. Habitat and Spatio-Temporal Interaction Between Green Peafowl with Cattle and Megaherbivores in Baluran National Park  Abstract Green peafowl (Pavo muticus muticus) is an endangered species, whose population is continuously declining. It is protected animal in Indonesia that occurs in remnant, and sometime small habitat with high hunting pressure, that made the animal prone to extinction. This study was conducted to investigate the influence of habitat on the occupancy probability of green fowl as well as the interaction between green peafowl and free-range cattle and wild mammal in Baluran National Park. The presence of animals in the study was recorded by camera traps, and the habitat variables were measured in the locations, where the camera traps were installed. The research found that the occupancy of green peafowl best explained by the model that not include any habitat variables. The pattern of interaction between green peafowl and domesticated cattle was similar to those of between green peafowl and the majority of wild mammal. There was no evidence of negative impact of domesticated cattle on the spatial occurrence as well as temporal activity of green peafowl. Green peafowl is a bird species with high adaptability to various environmental conditions. The population decrease of this animal in Java might be mainly due to high hunting pressure than habitat change.