cover
Contact Name
Tri Mulyaningsih
Contact Email
trimulya@unram.ac.id
Phone
+62274-512102
Journal Mail Official
jik@ugm.ac.id
Editorial Address
https://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt/about/editorialTeam
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Ilmu Kehutanan
ISSN : 01264451     EISSN : 24773751     DOI : https://doi.org/10.22146/jik.28284
Focusing on aspects of forestry and environments, both basic and applied. The Journal intended as a medium for communicating and motivating research activities through scientific papers, including research papers, short communications, and reviews
Articles 206 Documents
Struktur Sebaran dan Tata Ruang Anggrek Epifit (Orchidaceae) di Hutan Pantai Cagar Alam Pulau Sempu Malang, Jawa Timur Asep Sadili
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (701.722 KB) | DOI: 10.22146/jik.46143

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur, sebaran, dan tata ruang jenis-jenis anggrek epifit yang ada di hutan pantai Cagar Alam Sempu, Malang, Jawa Timur. Penelitian menggunakan plot memanjang 10 m x 1.000 m (1 ha), yang dibagi menjadi 100 anak plot. Letak plot dari Pantai Semut ke arah Pantai Sumber Air Tawar. Seluruh jenis anggrek epifit dalam plot dicatat dan dihitung jumlahnya (rumpun). Hasil menunjukkan terdapat empat jenis dari tiga marga, dengan kerapatan 77 rumpun/ha. Jenis dominan adalah Taeniophyllum cf. biocellatum, diikuti Dendrobium subulatum, Grosourdya appendiculata, dan Dendrobium crumenatum. Pola tata ruang sebaran berdasarkan tiga parameter indeks dan uji chi-square bagi setiap jenis menunjukkan adanya pola acak.Structure, Distribution, and Spatial Patterns of Epiphytic Orchids (Orchidaceae) at Coastal Forest of the Sempu Island Nature Reserve, Malang, East Java AbstractThe aim of this study is to know the structure, spatial pattern, and distribution of epiphytic orchids in coastal forest Sempu Nature Reserve, Malang, East Java. This study used an elongated plot of 10 m x 1.000 m (1 ha), and was divided into 100 subplots. The location of plot was from Semut Beach to the direction of Sumber Air Tawar Beach. All the epiphytic orchids species of inside plot were recorded and counted (clumps). The results showed that there was four species from three genera with density of 77 clumps/ha. The most dominant species was Taeniophyllum cf. biocellatum, followed by Dendrobium subulatum, Grosourdya appendiculata, and Dendrobium crumenatum. Spatial pattern of distribution based on three parameter indices, and chi-square test showed that every species showed a random pattern.
Kajian Pengusangan Cepat dan Penyimpanan Biji terhadap Perkecambahan Anaphalis longifolia (Blume) Blume ex.DC. Muhammad Imam Surya; Suluh Normasiwi
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (374.267 KB) | DOI: 10.22146/jik.46144

Abstract

Anaphalis longifolia merupakan kelompok bunga edelweiss yang memiliki nilai konservasi tinggi, namun upaya konservasi melalui kegiatan penyimpanan biji dan pengembangan usaha pembudidayaannya relatif masih terbatas. Penelitian ini melaporkan hasil dua percobaan yang dilaksanakan di laboratorium Kebun Raya Cibodas. Dalam percobaan pertama, pengusangan biji dilakukan menggunakan etanol 96% dengan 11 lama waktu perendaman (0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 menit), sedangkan dalam percobaan kedua dilakukan pengujian kualitas daya simpan biji terhadap beberapa tempat penyimpanan seperti desikator, lemari, kulkas 4 oC dan freezer -20 oC selama kurun waktu 12 bulan. Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa perendaman biji pada etanol 96% selama 10-30 menit mampu memacu perkecambahan biji A. longifolia. Penyimpanan biji A. longifolia untuk waktu yang lama direkomendasikan menggunakan freezer dengan suhu -20 oC.A Study of Accelerated Aging and Seed Storage on the Germination of Anaphalis longifolia (Blume) Blume ex.DC. AbsractAnaphalis longifolia is a group of edelweiss flowers which has a highly conservation value. However, there are only limited information on conservation activities of A. longifolia regarded to the seed storage and cultivation. The study was conducted in the laboratory of Cibodas Botanical Garden. In this study, two experiments were carried out. In the first experiment, A. longifolia seeds were treated by ethanol 96% with 11 different immersion time (0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 and 100 minutes). In the second experiment, seed storability and viability test were conducted after A. longifolia seeds were saved in desiccator, cabinet, refrigerator 4 oC and freezer -20 oC during 12 months. Results of the first experiment showed that soaking seeds on 96% ethanol for 10-30 minutes was able to stimulate seed germination of A. longifolia. Freezer with temperature -20 oC is recommended to storage A. longifolia for long periods.
Multi Inang Fungi Ektomikoriza pada Dipterocarpaceae di Hutan Tropis Maliyana Ulfa; Eny Faridah; Su See Lee; Sumardi Sumardi; Christine le Roux4 le Roux; Antoine Galiana; Patahayah Mansor; Marc Ducousso
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (690.186 KB) | DOI: 10.22146/jik.46196

Abstract

Dipterocarpaceae dikenal sebagai keluarga vegetasi hutan dominan di hutan tropis yang memiliki simbiosis mutualisme dengan fungi ektomikoriza. Hal tersebut menjadikan pemulihan hutan tropis bergantung pada keberadaan fungi ektomikoriza. Peranan fungi ektomikoriza dalam mendukung regenerasi dijumpai dalam bentuk multi inang yang dapat terindikasi dari penggunaan secara bersama jenis fungi ektomikoriza antar tanaman. Berdasarkan hal tersebut, penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis fungi ektomikoriza yang berasosiasi dengan dipterocarpaceae di tingkat pohon dan semai, serta mengetahui adanya multi inang fungi ektomikoriza pada kedua tingkat pertumbuhan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi ektomikoriza melalui pendekatan molekuler dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Urutan ekstrak DNA diperkuat menggunakan pasangan primer spesifik ITS 1F-ITS 4. Identitas fungi ektomikoriza diperoleh dari pencocokan urutan DNA sampel terhadap database Genbank. Berdasarkan hasil identifikasi, jenis-jenis fungi ektomikoriza yang berasosiasi dengan dipterocarpaceae di tingkat pohon dan semai mempunyai hubungan kekerabatan dengan kelas Dothideomycetesdan ordo Sordariales, Sebacinales, Cantharellales, Russulales, Agaricales, Boletales, dan Thelephorales. Penelitian juga menemukan multi inang fungi ektomikoriza terhadap dipterocarpaceae, baik pada jenis maupun tingkatan pertumbuhan inang yang berbeda (semai dan pohon). Jenis fungi ektomikoriza yang paling berperan dalam multi inang adalah fungi yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan ordo Thelephorales, Russulales, dan Sebacinales.Tomentella sp. dari ordo Thelephorales ditemukan paling banyak berasosiasi multi inang pada pohon dan semai. R. lepidicolor, Sebacina sp., dan fungi ektomikoriza famili Thelephoraceae masing-masing berasosiasi multi inang di tingkat semai. Keberadaan jenis-jenis fungi ektomikoriza yang mampu berasosiasi secara multi inang dengan dipterocarpaceae merupakan modal alami upaya rehabilitasi hutan tropis terdegradasi. Multi-Host of Ectomycorrhizal Fungi on Dipterocarpaceae inTropical Rain ForestsAbstractDipterocarpaceae is known as the dominant forest vegetation family in tropical forests that has mutual symbiosis with ectomycorrhizal fungi. It makes tropical forest resilience depend on the existence of ectomycorrhizal fungi. The role of ectomycorrhizal fungi to support the regeneration was found in multi-host form, indicated by sharing ectomycorrhizal fungal species between plants. Based on that phenomenon, the study aims to recognize ectomycorrhizal fungi that associate with dipterocarpaceae at tree and seedling levels, and the presence of multi-host ectomycorrhizal fungi on both growth stages. The research was conducted by identifying the ectomycorrhizal fungi via molecular approach by using Polymerase Chain Reaction (PCR) technique. To strengthen the sequence of DNA extracts, a specific primer pair of ITS 1F-ITS 4 was used. The identity of the ectomycorrhizal fungi was obtained by matching the samples’DNA sequence to the Genbank database. Based on the identification results, ectomycorrhizal fungi that associate with dipterocarpaceae on tree and seedling levels have genetic relationship with Dothideomycetes class and Sordariales, Sebacinales, Cantharellales, Russulales, Agaricales, Boletales, and Thelephorales orders. The research also found that multi-host of ectomycorrhizal fungi to dipterocarpaceae is formed both in different species and growth stages of host (tree and seedling). The most ectomycorrhizal fungi that play a role in multi-host are those with genetic relationship to the orders of Thelephorales, Russulales, and Sebacinales. Tomentella sp. of Thelephorales order was the most multi-host on both tree and seedling levels. R. lepidicolor, Sebacina sp., and ectomycorrhizal fungi of Thelephoraceae were found multi-host in seedling level. The existence of ectomycorrhizal fungi associated in multi-host with dipterocarpaceae is a natural asset for rehabilitation effort of degraded tropical forests.
Distribusi Sel Pori pada Kayu Tarik dan Korelasinya dengan Komposisi Lignin Deded Sarip Nawawi; Istie Sekartining Rahayu; Nyoman Jaya Wistara; Rita Kartika Sari; Wasrin Syafii
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (349.755 KB) | DOI: 10.22146/jik.46207

Abstract

Sifat anatomi kayu tarik dianalisis untuk parameter jumlah dan diameter pori dan korelasinya dengan komposisi lignin. Sampel kayu reaksi diambil dari batang pohon mindi (Melia azedarach) yang tumbuh miring. Pembentukan kayu tarik menurunkan jumlah dan diameter pori dan sebagai implikasinya meningkatkan proporsi serat. Jumlah dan diameter pori berkorelasi positif dengan kadar lignin. Nisbah siringil/guaiasil dan erythro/threo struktur β-O-4 berkorelasi negatif dengan jumlah dan diameter pori. Hasil penelitian ini mengkonfirmasi bahwa perubahan proporsi sel penyusun kayu akibat tegangan pertumbuhan merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap perubahan karakteristik kimia lignin kayu tarik. Distribution of Vessels in Tension Wood and Its Correlation with Lignin CompositionAbstractThe anatomical properties of tension wood were investigated for number and diameter of vessel and its correlation with lignin composition. Reaction wood sample was taken from the leaning stem of mindi (Melia azedarach). The formation of tension wood reduced the number and size of vessel and, consequently, increased the proportion of fiber. Number and diameter of vessels positively correlated with lignin content. However, syringyl/guaiacyl ratio of lignin and erythro/threo ratio of β-O-4 structures were negatively correlated with number and diameter of vessels. It was confirmed that changes in the proportion of wood cell was an importance factor influencing the changes in chemical characteristic of tension wood lignin.
Aktivitas Larvasida Ekstrak Daun Tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser) terhadap Larva Aedes aegypti Renhart Jemi; Royda Dara Ertini Damanik; Lies Indrayanti
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (480.45 KB) | DOI: 10.22146/jik.46208

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kadar ekstrak daun tumih dan menguji aktivitas larvasidanya terhadap Aedes aegypti. Daun tumih dimaserasi dan difraksinasi dengan pelarut metanol, n-heksana, etil asetat, dan etanol. Aktivitas larvasida ekstrak diuji dengan konsentrasi 0, 5, 10, 25, 50, 75, dan 100 ppm. Hasil penelitian menunjukkan rendemen dari ekstraksi daun tumih pada berbagai larutan adalah sebagai berikut ekstrak metanol sebesar 15%, n-heksana 51%, etil asetat 35% dan etanol 85%. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun tumih positif mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin. Pengujian larvasida ekstrak daun tumih menunjukkan pengaruh terhadap mortalitas larva Aedes aegypti. Aktivitas larvasida ekstrak daun tumih optimum pada ekstrak etil asetat dengan LC(50) = 24,54 ppm, ekstrak metanol LC(50) = 45,65 ppm, ekstrak etanol LC(50) = 46,77 ppm dan ekstrak n-heksana LC(50) = 48,97 ppm. Ekstrak etil asetat daun tumih merupakan ekstrak teraktif dalam aktivitas larvasidanya. Selanjutnya, analisis FT-IR menunjukkan adanya gugus fungsi C-H alkana dan C = C aromatik. Gugus fungsi tersebut diduga penyusun senyawa alkaloid, flavanoid, saponin, dan tanin. Hasil analisis LCMS mengindikasikan adanya 7 senyawa bioaktif yaitu hexadecyl-ferulate, 21-o-methyl toosendanopentaol, 23-acetate alismaketone, dehydroxy-24-acetate alisol, physanol, prosapogenin 2, dan stigmastan-3,6-dione Larvacide Activity of Tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.)Danser) Leaf Extracts against Aedes aegyptiAbstractThis research aimed to measure the content of Combretocarpus Rotundatus (Miq.) Danser leaf extracts and to test its larvicidal activity against Aedes aegypti. The leaves were macerated and fractionated using methanol, n-hexane, ethyl acetate, and ethanol. The extract contents from the leaves extraction were metanol extract of 15%, n-hexane extract of 51%, ethyl acetate extract of 35% and ethanol extract of 85%. The larvicidal activity of extracts was tested with concentration of 0, 5, 10, 25, 50, 75, and 100 ppm. Phytochemicals test exhibited that the methanol extract of Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser leaves contained alkaloids, flavonoids, saponins, and tannins. Larvicidal test conducted on the extracts exhibited an effect on the mortality levels against Aedes aegypti larvae. The larvicidal activity of leaf extracts was optimum in the ethyl acetate extract at LC(50) = 24.54 ppm, methanol extract at LC(50) = 45.65 ppm, ethanol extract at LC(50) = 46.77 ppm, and n-hexane extract at LC(50 = 48.97 ppm. It was found that the ethyl acetate extract was the most active larvicide. FT-IR analysis showed existing functional groups of C-H alkanes and C=C aromatics. Those functional groups were assumed to be flavanoid, alkaloid, saponin, and tannin constituents. Results of LC-MS analysis indicated 7 bioactive compounds i.e.hexadecyl-ferulate, 21-o-methyl toosendanopentaol, 23-acetate alismaketone, dehydroxy-24-acetate alisol, prosapogenin 2, and stigmastan-3,6- dione.
Optimasi Produksi Badan Buah Tiga Jenis Jamur Kayu dengan Inovasi Perlakuan pada Waktu Inkubasi dan Jumlah Penyobekan pada Baglog Denny Irawati; Naresvara Nircela P Nircela P; Febe Margareta RM; J.P. Gentur Sutapa Gentur Sutapa
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (486.162 KB) | DOI: 10.22146/jik.46209

Abstract

Di Indonesia permintaan jamur konsumsi, baik yang untuk obat maupun bahan makanan, terus meningkat. Akselerasi produksi perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama waktu inkubasi dan banyaknya jumlah penyobekan baglog terhadap produktivitas 3 jenis jamur konsumsi yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Sampel baglog pada penelitian ini diperoleh dari petani jamur Sedyo Lestari, Bantul. Selanjutnya pada baglog tersebut diinokulasikan 3 jenis jamur yaitu Auricularia sp. (jamur kuping), Pleurotus sp. (jamur tiram), dan Ganoderma sp. (jamur lingzhi). Setelah inokulasi, media diinkubasi selama 30, 40, dan 50 hari, untuk selanjutnya dibudidayakan selama 60 hari. Pada akhir masa inkubasi dilakukan pengukuran kadar glukosamin dan penyobekan baglog pada 1 atau 2 ujung untuk memicu munculnya badan buah. Selama periode pembudidayaan, dilakukan pemanenan badan buah dan diukur produktivitas badan buah serta intensitas pemanenan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan lama waktu inkubasi dan jumlah sobekan pada baglog memberikan pengaruh yang berbeda terhadap setiap jenis jamur. Lama waktu inkubasi tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas badan buah dan nilai konversi biologi pada jamur tiram dan kuping, namun berpengaruh nyata terhadap jamur lingzhi. Lama waktu inkubasi terbaik untuk jamur lingzhi adalah 40 hari. Jumlah sobekan pada baglog tidak memberi pengaruh terhadap produktivitas jamur tiram dan kuping, akan tetapi berpengaruh terhadap produktivitas jamur lingzhi dan intensitas pemanenan jamur kuping.  Optimization of Fruiting Body Production of Three Kinds Edible Mushrooms Species by Innovate the Incubation Time and Number of Rips on Baglog AbstractIn Indonesia the demand for edible mushroom, both for medicine and food, continues to increase. Production acceleration is needed to meet the market needs. This study aims to determine the effect of the incubation time and the number of rips on baglog to the productivity of 3 species of edible mushrooms that are widely cultivated in Indonesia. The baglog as sample in this study was obtained from Sedyo Lestari mushroom farmer in Bantul. The baglog was inoculated by 3 kinds of mushroom of Auricularia sp. (ear fungus), Pleurotus sp. (oyster mushroom), and Ganoderma sp. (lingzhi mushroom). After inoculation, the medium was incubated for 30, 40, and 50 days, for subsequent cultivation for 60 days. At the end of the incubation period, the glucosamine content was analysed and the baglog was teared at 1 or 2 ends to trigger the appearance of the fruiting body. During the cultivation period, the fruiting bodies were harvested and the productivity of the fruiting body and the harvesting intensity were measured. The results showed that the incubation time and the amount of rips on the baglog gave a different effect on each mushroom species. The duration of incubation time had no significant effect on fruiting body productivity and biological conversion on oyster and ear mushrooms.However, it had a significant effect on Lingzhi mushroom. The best time of incubation for Lingzhi mushroom was 40 days. The amount of rips on the baglog did not give effect to the productivity of oyster and ear mushrooms, but it affected the productivity of Lingzhi mushroom and the harvesting intensity of ear mushroom.
Opsi Skema Pendanaan Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Kehutanan Fitri Nurfatriani; Dodik Ridho Nurrochmat; Mimi Salminah
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (764.676 KB) | DOI: 10.22146/jik.46210

Abstract

Upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan memerlukan dukungan pendanaan yang kuat. Salah satu skema pendanaan perubahan iklim yang ditetapkan dalam PP 46 tahun 2017 adalah skema imbal jasa lingkungan. Meskipun demikian, skema tersebut di tingkat tapak belum banyak dikembangkan. Tulisan ini menganalisis opsi-opsi kombinasi skema pendanaan jasa lingkungan dengan optimalisasi pemanfaatan kawasan hutan dalam rangka mendukung upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan salah satu provinsi yang aktif dalam upaya penurunan emisi dari sektor kehutanan. Hasil analisa menunjukkan bahwa pola pendanaan jasa lingkungan yang dapat diterapkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dikelompokkan menjadi Payment of Environmental Services (PES), Liablity Rule (LR), dan Purchasing Development Right (PDR). Pola pendanaan PES efektif untuk mendukung upaya pengelolaan hutan sebagai penyimpan karbon, LR untuk kegiatan penyerapan karbon, sedangkan PDR potensial untuk mendukung kegiatan pengurangan emisi karbon. Funding Scheme Options for Climate Change Mitigation in Forestry SectorAbstractClimate change mitigation actions significantly require strong financial support. One of the climate change financing schemes stated on the government regulation no 46/2017 is transaction of environmental services. The implementation schemes in the site level however have not been clearly explored yet. This paper explores funding scheme options for various forest management purposes in order to support climate change mitigation actions in forestry sector. Tanjung Jabung Timur District that is actively reducing emission from forest is chosen as the research location. The research shows environmental service funding schemes that could be implemented in Tanjung Jabung Timur are including Payment of Environmental Services (PES), Liability Rule (LR), and Purchasing Development Right (PDR). PES is effective to encourage forest management purposed for carbon stock; LR is to support carbon sequestration activities, while PDR is potential to support forest management for reducing carbon emission.
Small Scale Ecology and Society: Forest-Culture of Papua Nutmeg (Myristica argentea Warb.) Antoni Ungirwalu; San Afri Awang; Ahmad Maryudi; Priyono Suryanto
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (899.913 KB) | DOI: 10.22146/jik.52091

Abstract

Identities and entities can be found in the cultural and ecological environment of a community when its members interact with each other. The Papua nutmeg (Myristica argentea Warb.) has been utilized by the Baham-Matta ethnic in the western part of Papua for centuries as part of their traditional ecological knowledge of nontimber forest products (NTFPs). However, this practice has not been scientifically constructed as part of social forestry science. Therefore, this paper seeks to contribute to an empirical understanding of the forest-culture of the local community and its implications for adaptive forest governance in West Papua. This study found that adaptive resource management has been applied to the Papua nutmeg, which is called henggi in Iha language and endemic to the tropical forest of the western part of Papua. The treatment of Papua nutmeg consists of three stages, namely pre-harvest, harvest, and post-harvest, all of which form a holistic unity which is sustainable until today. The Papuan nutmeg is traditionally managed and locally conserved using a traditional method known as the sasi system.Ekologi dan Masyarakat Skala Lokal : Hutan Budidaya Pala Papua (Myristica argentea Warb.)IntisariIdentitas dan entitas dapat ditemukan pada lingkungan budaya dan ekologi masyarakat saat mereka berinteraksi. Pala papua (Myristica argentea Warb.) telah dimanfaatakan selama berabadabad oleh etnis Baham-Matta di Papua Barat berdasarkan sistem pengetahuan ekologis tradisional sebagai bagian dari hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan. Namun disayangkan fenomena ini belum dikonstruksi secara ilmiah sebagai bagian dari ilmu perhutanan sosial. Oleh karena itu makalah ini berusaha memberi kontribusi pada pemahaman empiris tentang hutan-budaya dari praktik masyarakat lokal dan implikasinya terhadap tata kelola hutan adaptif di Papua Barat. Hasil kajian ini menemukan bahwa pengelolaan sumber daya adaptif pala papua yang disebut Henggi dalam bahasa Iha adalah tumbuhan endemik yang berasal dari hutan alam tropis di Papua Barat. Pemanfaatan pala papua terdiri dari tiga tahapan yaitu pra panen, panen dan pasca panen. Pengelolaaannya masih sangat sederhana dan bersifat tradisional dengan salah satu keunggulannya adalah konservasi tradisional menggunakan sistem “Sasi”. 
Lessons Learned from Social Forestry Policy in Java Forest: Shaping the Way Forward for New Forest Status in ex-Perhutani Forest Area Andita Aulia Pratama
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (400.967 KB) | DOI: 10.22146/jik.52092

Abstract

Forest resource control in Indonesia has progressed from stringent state control towards a more community and indigenous based. Indonesia has embarked a journey in agrarian reform and social forestry to achieve a more balanced portion of forest resource control. The social forestry has manifested in the Collaborative Forest Management Program (PHBM) by Perhutani with the establishment of Forest Community Institution (LMDH) as its core. Forest for Special Purpose (KHDTK) Getas – Ngandong was chosen as the study case since it offers striking issue in social forestry program in the past and the outlook for the new forest status. This paper attempted to identify the policy learning from the past forest resource arrangement i.e., social forestry policy for the new forest status outlook. We identified the policy prior to the social forestry program and the implementation of social forestry from Perhutani. Subsequently, we identified policy learning from that past policy and tried to formulate the policy outlook for the new forest status. The data obtained through an interview to key informants complemented with observation, study literature, and document study. We found that past policy does not incorporate the local community in the forest utilization. The social forestry by Perhutani in their PHBM also showed indifferent approach which positioned the local community unequal with the Perhutani as social forestry promised. We identified fundamental changes should be done, which should prioritize social aspect before seeking out the economic and ecological restoration of the forest. We found the new forest status might hamper the implementation for the new forest policy which driven by the social forestry ideas. If only the new forest status could enable social aspect, the new manager will require tremendous support, robust institution, and plentiful resources to implement their policy.Pembelajaran dari Kebijakan Perhutani Sosial di Hutan Jawa: Menyusun Langkah Ke-depan untuk Status Hutan Baru di Kawasan Hutan eks-PerhutaniIntisariPengelolaan hutan di Indonesia yang dulunya didominasi oleh peran sentral negara saat ini telah mulai bergeser menjadi pengelolaan yang berbasis masyarakat dan adat. Program perhutanan sosial dan reforma agraria telah dijalankan untuk mendapatkankebermanfaatan hasil hutan secara lebih adil. Perhutanan sosial tersebut termanifestasikan dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dari Perhutani dengan pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Getas – Ngandong memberikan suatu kasus yang menarik karena memperlihatkan adanya konteks perhutanan sosial di masa lampau dalam PHBM dan pengelolaan yang sedang dilakukan saat ini dengan adanya perubahan status dan pengelola. Artikel ini menggali pembelajaran dari kebijakan dari pengelolaan hutan di masa lalu (perhutanan sosial dalam PHBM) dan pandangan ke depan pengelolaan dengan konsep perhutanan sosial dengan status yang baru. Pengumpulan data dilaksanakan melalui wawancara kepada informan kunci yang dilengkapi dengan observasi langsung, studi literatur dan studi dokumen. Dari hasil penelitian tersebut, didapat hasil bahwa kebijakan di masa lampau tidak mengikutsertakan masyarakat sekitar dalam pengelolaan hutan. Kemudian dapat disimpulkan bahwa perhutanan sosial dari PHBM juga tidak menunjukkan adanya perubahan signifikan karena juga tidak menempatkan masyarakat sebagai mitra setara seperti yang dijanjikan konsep perhutanan sosial. Perubahan fundamental yang harus dilakukan mencakup perubahan fokus pembangunan hutan ke aspek sosial sebelum fokus ke aspek ekonomi dan ekologi hutan. Perubahan status yang baru juga terlihat dapat menghambat implementasi dari kebijakan perhutanan sosial yang baru. Apabila aspek sosial dapat diselesaikan maka selanjutnya akan masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi pengelola baru. Pengelola baru akan membutuhkan dukungan yang besar dari segi sumber daya dan perlu membentuk institusi secara utuh untuk dapat mengimplementasikan kebijakannya.  
Status Ergonomi Pekerja Sektor Kehutanan di Indonesia: Kelelahan Fisik-Mental-Sosial, Kepuasan Kerja, Konsep Sumber Bahaya, dan Konsep Biaya Kecelakaan Efi Yuliati Yovi
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (371.015 KB) | DOI: 10.22146/jik.52140

Abstract

Pengelolaan hutan lestari menuntut perhatian terhadap perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), selain perhatian terhadap aspek produktivitas kerja, dan kesejahteraan pengelola/pekerjanya. Di Indonesia, ke-empat aspek tersebut, yang merupakan tujuan utama kajian ergonomi, belum banyak mendapat perhatian, walau kegiatan pengelolaan hutan merupakan kegiatan dengan risiko gangguan K3 yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan gambaran kondisi kelelahan fisikmental-sosial, gangguan otot, kepuasan kerja, persepsi terhadap sumber bahaya, dan persepsi terhadap biaya kecelakaan kerja dalam kegiatan pengelolaan hutan di Indonesia. Status kelelahan diukur menggunakan instrumen Cumulative Fatigue Symptom Index (CFSI) dan gangguan otot diinvestigasi menggunakan instrumen Standardized Nordic Questionnaire (SNQ). Kepuasan kerja dan persepsi terhadap sumber bahaya dan biaya kecelakaan ditelusuri menggunakan kuisioner dan wawancara (tatap muka, pertanyaan terbuka dan semi terstruktur). Data diambil dari 98 responden yang terdiri atas polisi hutan, tenaga inventarisasi hutan, pengawas/mandor penebangan, dan staf administrasi selama Februari 2016–Oktober 2017. Analisis CFSI menunjukkan bahwa kegiatan penjagaan hutan dan inventarisasi hutan telah menyebabkan gangguan kelelahan fisik dan mental yang intens (dalam bentuk gangguan kecemasan). Analisis SNQ mengonfirmasi keluhan gangguan otot pada pinggang, punggung, leher, bahu, serta lengan (bawah-atas). Secara umum responden memiliki (1) keterbatasan secara finansial, (2) tingkat pengetahuan yang belum memadai untuk mengenali berbagai sumber bahaya potensial di tempat kerja, dan (3) pemahaman yang kurang tepat terhadap konsep biaya kecelakaan. Keterbatasan aspek kognitif responden menyebabkan penggunaan mekanisme K3 partisipasif semata (untuk meningkatkan perlindungan K3) bukanlah keputusan yang tepat. Upaya peningkatan perlindungan K3 perlu dilakukan dalam bentuk (1) peningkatan fasilitas kerja (fasilitas kesehatan, saranasarana sosial dan komunikasi, aksesibilitas), (2) peningkatan pendapatan, dan (3) peningkatan pemahaman terhadap konsep sumber bahaya dan konsep biaya kecelakaan kerja.Ergonomics Status of Indonesian Forestry Workers: Physical-Mental-Social Fatigue, Job Satisfaction, Concept of Hazards, and Concept of Accident CostAbstractSustainable forest management requires attention to the protection of occupational safety and health (OSH), in addition to attention to aspects of work productivity, and the welfare of managers/workers. In Indonesia, these four aspects, which are the main objectives of ergonomics studies, have not received much attention, although forest management activities are activities with a high risk of OSH disorders. This study aims to present an overview of the conditions of physical-mental-social fatigue, musculoskeletal disorders (MSDs), job satisfaction, perception of hazards sources, and perception toward work accident costs from workers involved in forest management activities in Indonesia. Fatigue status was measured using the Cumulative Fatigue Symptom Index (CFSI) and MSDs were investigated using Standardized Nordic Questionnaire (SNQ). Job satisfaction, perception of the source of danger, and the cost of accidents were traced using questionnaires and interviews (face to face, open and semi-structured questions). Data were taken from 98 respondents consisting of forest rangers, forest inventory workers, logging supervisors, and administrative staff during February 2016–October 2017. The CFSI analysis shows that forest guarding and forest inventory have caused intense physical and mental fatigue (in the form of excessive anxiety). The SNQ analysis confirms intense MSDs complaints at the waist, back, neck, shoulders, and arm. The general characteristics of the respondents were having: (1) limited financial capacity, (2) inadequate knowledge to recognize various potential hazards sources at work, and (3) inappropriate understanding of the concept of accident costs. The limitations on the respondents’ cognitive, has made participatory OSH mechanisms alone (to improve OSH protection) is not an appropriate option. Efforts to improve OHS protection should be carried out in the form of (1) improving workplace facilities (health facilities, social and communication facilities, accessibility), (2) improving remuneration, and (3) improving knowledge on the concepts of the source of hazards and accident cost.