cover
Contact Name
Tri Mulyaningsih
Contact Email
trimulya@unram.ac.id
Phone
+62274-512102
Journal Mail Official
jik@ugm.ac.id
Editorial Address
https://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt/about/editorialTeam
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Ilmu Kehutanan
ISSN : 01264451     EISSN : 24773751     DOI : https://doi.org/10.22146/jik.28284
Focusing on aspects of forestry and environments, both basic and applied. The Journal intended as a medium for communicating and motivating research activities through scientific papers, including research papers, short communications, and reviews
Articles 206 Documents
Potensi Pemanfaatan Ipomoea pes-caprae (L.) R. Br. di Hutan Pantai Petanahan Kebumen Frita Kusuma Wardhani; Erny Poedjirahajoe
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 14, No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2776.302 KB) | DOI: 10.22146/jik.61398

Abstract

Vegetasi yang tumbuh di hutan pantai memiliki potensi ekonomi yang tinggi, salah satunya disebabkan oleh tingginya zat bioaktif yang memiliki sifat farmakologis. Salah satu spesies yang memiliki potensi tinggi sebagai sumber obat alam yaitu Ipomoea pes-caprae (L.) R. Br. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi pemanfaatan I. pes-caprae di habitat alaminya yaitu di hutan pantai Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen. Pengamatan dilakukan dengan metode kuadrat ukuran 1 x 1 meter yang ditempatkan secara sistematik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan yang paling dekat dengan pantai memiliki biomassa I. pes-caprae yang paling tinggi, yaitu dengan rata-rata sebesar 235,01 gr/m2. Sebaran spesies tersebut dibatasi oleh kompetisi dan naungan. Dalam bidang farmakologis kandungan fitokimia dalam ekstrak Ipomoea pes-caprae memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat. Namun ketersediaannya di hutan pantai Kecamatan Petanahan masih terbatas sehingga belum dapat dikembangkan untuk menjadi bahan baku obat alam. Potential Utilization of Ipomoea pes-caprae (L.) R. Br. in the Coastal Forest Petanahan Kebumen DistrictAbstractVegetation that grows in coastal forests has high economic potential, one of which is caused by the high bioactive substances that have pharmacological properties. One species that has high potential as a source of natural medicine is Ipomoea pes-caprae (L.) R. Br. This study aims to examine the potential use of I. pes-caprae in its natural habitat in the coastal forest of Petanahan District, Kebumen Regency. Observations were made using the 1 x 1 meter quadratic method which was placed systematically. The results showed that the area closest to the coast had the highest biomass I. pes-caprae, with an average of 235.01 gr/m2. The distribution of these species is limited by competition and shade. In the pharmacological field, the phytochemical content in Ipomoea pes-caprae extract has high potential to be developed as a drug raw material. But its availability in the coastal forests of Petanahan District is still limited so it cannot be developed to become raw material for natural medicine.
Penyebaran Semut dalam Kawasan Hutan di Pulau Saparua, Propinsi Maluku Fransina Latumahina
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 14, No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3081.819 KB) | DOI: 10.22146/jik.61399

Abstract

Semut akan merespon kehadiran manusia dalam habitatnya, dimana kehadiran manusia melalui kegiatan pengambilan hasil hutan akan berdampak terhadap penyebaran semut dan peranannya dalam ekosistem hutan. Respon semut ditunjukan melalui perubahan nilai keragaman jenis, kelimpahan, dan kelimpahannya yang akan berubah sesuai dengan tekanan dalam habitatnya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kehadiran, kelimpahan, dan keragaman semut dalam Hutan Tuhaha yang telah mengalami tekanan akibat kehadiran manusia. Semut dikoleksi dengan tiga metode yakni Hand Collecting, Pitfall trap berisi larutan detergen, bait trap dengan umpan berupa larutan gula dan potongan ikan tuna. Hasil penelitian menemukan 3615 ekor semut dimana 592 ekor semut dengan menggunakan pitfaal trap, 515 ekor menggunakan metode Bait Trap dengan umpan berupa Ikan Tuna Mentah, 669 ekor semut dengan menggunakan umpan berupa larutan gula, dan 1839 ekor menggunakan metode Hand Collecting. Nilai kelimpahan jenis semut tertingi ditemukan pada jalur 10 sebesar 125 % dan Indeks keragaman Jenis tertinggi sebesar 1.45 pada jalur 10, sementara nilai kelimpahan jenis terendah ditemukan pada jalur 9 sebesar 75 % dan Indeks keragaman jenis terendah ditemukan pada jalur 9 sebesar 0.52. Kekayaan Jenis semut tertinggi ditemukan pada jalur 10 sebesar 4.7, sehingga diduga beberapa faktor yang berperan penting dalam penyebaran semut dalam Hutan Negeri Tuhaha yakni pH tanah antara 6.5 - 6.8, ketersediaan bahan organik, suhu udara yang sesuai diantara 250 o C – 27 0 C dan tutupan vegetasi. Spread of Ants in Forest Areas in The Island of Saparua Province Of MollucasAbstractAnts will respond to the presence of humans in their habitat, where the presence of humans through the extraction of forest products will have an impact on the spread of ants and their role in the forest ecosystem. Ant response is shown through changes in the value of diversity of species, abundance, and abundance that will change according to the pressure in their habitat. The research aims to determine the presence, abundance, and diversity of ants in the Forest of Tuhaha that have experienced pressure due to human presence. Three methods collect ants, namely, Hand Collecting, Pitfall Trap contains detergent solution, bait trap with bait in the form of sugar solution and tuna pieces. The results found 3615 ants where 592 ants using pitfall traps, 515 tails using the Bait Trap method with bait in the form of Raw Tuna Fish, 669 ants using bait in the form of a sugar solution, and 1839 using the Hand Collecting method. The highest ant species abundance was found in lane ten by 125%, and the highest species diversity index was 1.45 in lane 10, while the lowest species abundance was found in lane nine by 75 % and the lowest species diversity index was found in lane 9 by 0.52. The highest ant species richness found in lane 10 is 4.7, so it is assumed that several factors play an essential role in the spread of ants in the Tuhaha State Forest namely soil pH between 6.5 - 6.8, availability of organic matter, suitable air temperature between 250 o C - 27 0 C and vegetation cover.
Model Kelembagaan Lokal Kabupaten Konservasi Tambrauw di Papua Barat Sepus M. Fatem; San Afri Awang; Ahmad Maryudi; Satyawan Pudyatmoko; Jonni Marwa
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 14, No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5992.684 KB) | DOI: 10.22146/jik.61401

Abstract

Komitmen Politik pembentukan Tambrauw sebagai kabupaten konservasi di Papua Barat, mendorong terjadinya perubahan tatakelola pemerintahan konvensional menuju tatakelola konservasi. Dengan demikian kelembagaan sebagai unit yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan kegiatan kabupaten konservasi perlu dirancang guna mengawal kebijakan kabupaten konservasi dimaksud. Penelitian ini bertujuan untuk merancang model kelembagaan lokal kabupaten Tambrauw Sebagai Kabupaten Konservasi. Proses rancang bangun model kelembagaan lokal dilaksanakan sejak Bulan Juni 2013- Desember 2017 mengikuti metode penelitian dan pengembangan (research and development). Data penelitian diperoleh dari: (1) hasil wawancara Pakar; (2) catatan lapangan, dan (3) data saran perbaikan draf model awal dan hasil observasi observer pada pelaksanaan uji coba (FGD/Konsultasi) dengan skala kecil dan besar. Untuk melihat signifikanis perbandingan model kelembagaan eksis berupa organisasi perangkat daerah (OPD)) dan kelembagaan kabupaten konservasi yang ditawarkan, maka dilakukan Uji-t. Proses rancang bangun kelembagaan lokal kabupaten konservasi dilakukan mengacu pada terhadap 8 prinsip rancangan kunci yang ditawarkan oleh Ostrom tentang kelembagaan pengelolaan yang efektif terhadap sumberdaya alam lokal milik bersama (common property). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kelembagaan kabupaten konservasi layak dikembangkan sebagai unit yang bertanggungjawab terhadap mekanisme kinerja kabupaten konservasi, dimana bersifat non body dan lebih ditekankan pada fungsi koordinasi oleh Bappeda Kabupaten Tambrauw sebagai coordinator perencanaan pembangunan daerah. Local Institution Model of Tambrauw Conservation in West PapuaAbstractPolitical Commitment to establishing Tambrauw as a conservation district in West Papua, has led to changes in conventional governance towards conservation management. Thus the institution as a unit responsible for organizing conservation district activities needs to be designed to oversee the policies of the conservation district concerned. This study aims to design a local institutional model of Tambrauw Regency as a Conservation District. The design process of the local institutional model was carried out from June 2013 to December 2017 following the research and development method. Research data obtained from: (1) the results of expert interviews; (2) field notes, and (3) data suggesting improvements to the initial model draft and observers' observations on the implementation of trials (FGDs / Consultations) on a small and large scale. To see the significance of the comparison of the existing institutional models in the form of regional apparatus organizations (OPD) and the conservation district institutions offered, a t-test was conducted. The design process of the conservation district's local institutional building was carried out about the 8 key design principles offered by Ostrom on effective management institutions for common property. The results showed that conservation district institutions should be developed as a unit responsible for the mechanism of conservation district performance, which is non-body and more emphasized on the coordination function by the Agency for Regional Development Tambrauw Regency as coordinator of regional development planning.
Perceived Forest-based Ecosystem Services and Attitudes Toward Forest Rehabilitation: A Case Study in the Upstream of Central Java, Indonesia Prasetyo Nugroho; Shinya Numata; Nur Abdi Aprilianto
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 14, No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4865.483 KB) | DOI: 10.22146/jik.61402

Abstract

Forest rehabilitation is essential in restoring forest-based ecosystemservices (ES) provided by forest area. However, the critical issue on how locals perceived importance of forest rehabilitation, and how forest rehabilitation generates, both direct and indirect, benefits for the adjacent communities has remained contentious. A questionnaire survey was employed to examine locals' perceived importance, perceived ES, and attitudes toward forest rehabilitation in a village adjacent to Perhutani's forest area in the upstream of a catchment in Central Java, Indonesia. In total, 90 usable questionnaires were collected. The findings indicate that their perceived pine-sap production, conserving forest area, and water availability are the importance of forest rehabilitation programs. Locals recognized various ES benefits, including provisioning, regulating, supporting, and cultural services, though the adverse impacts emerged. Spearman rank correlation analysis revealed that local's satisfaction with forest rehabilitation positively and significantly correlated with their positive perceptions and subsequently increase their willingness to be actively involved in forest conservation efforts. The findings also imply that forest managers should not only focus on delivering benefits but also be aware of the adverse impacts of forest rehabilitation and management practices, which are crucial for ensuring forest sustainability. Jasa Ekosistem Berbasis Hutan yang Diterima dan Sikap terhadap Rehabilitasi Hutan: Studi Kasus di Hulu Daerah Aliran Sungai di Jawa Tengah, IndonesiaIntisariRehabilitasi hutan penting untuk memulihkan jasa ekosistem berbasis hutan yang disediakan oleh kawasan hutan. Sementara rehabilitasi hutan sangat penting dalam memulihkan jasa lingkungan, pertanyaan mengenai bagaimana penduduk setempat memandang pentingnya rehabilitasi hutan, dan bagaimana rehabilitasi hutan menghasilkan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung, bagi masyarakat sekitar masih diperdebatkan. Kuesioner survey dilaksanakan untuk menggali persepsi masyarakat tentang tingkat kepentingan, persepsi terhadap jasa lingkungan, dan sikap mereka terhadap rehabilitasi hutan di desa berdekatan kawasan hutan Perhutani, di hulu daerah alisan sungai, Jawa Tengah, Indonesia. Secara total, 90 kuesioner yang lengkap berhasil dikumpulkan. Temuan menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap pentingnya rehabilitasi hutan yaitu untuk produksi getah pinus, melestarikan kawasan hutan, dan ketersediaan air. Masyarakat desa merasakan berbagai jasa lingkungan yang diperoleh dari kawasan hutan meliputi manfaat penyediaan, pengaturan, dukungan, budaya, meskipun dampak negatif juga teramati. Analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa kepuasan masyarakat terhadap rehabilitasi hutan berkorelasi positif dan signifikan terhadap persepsi positif mereka, dan selanjutnya akan meningkatkan kesediaan mereka untuk terlibat aktif dalam upaya konservasi kawasan hutan. Temuan ini juga menyiratkan bahwa pengelola hutan tidak hanya fokus memberikan manfaat, tetapi harus juga menyadari dampak buruk dari praktik rehabilitasi dan pengelolaan hutan yang muncul untuk memastikan kelestarian hutan.
The Importance of Unprotected Areas as Habitat for The Leopard Cat (Prionailurus bengalensis javanensis Desmarest, 1816) on Java, Indonesia Nanang Irawan; Satyawan Pudyatmoko; Pujo Semedi Hargo Yuwono; Muhammad Tafrichan; Anthony J. Giordano; Muhammad Ali Imron
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 14, No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7348.183 KB) | DOI: 10.22146/jik.61403

Abstract

Protected areas play important roles for protecting many endangered species in Indonesia. However, very limited information regarding roles of protected areas and non-protected areas for supporting the habitat of less-concerned carnivores in Java, leopard cat (Prionailurus bengalensis javanensis). We aim to assess the relative roles of non-protected areas for the habitat of this cat on the highly fragmented and populated island of Java. We develop species distribution modelling, using Maxent by integrating various sources of presence data of this species and environmental data. Our finding confirms that leopard cat can life in various habitat types but mainly patchy forest areas. While most of the protected areas are suitable for the habitat of this smallest cat on Java, the non-protected areas provide much larger areas for its habitat (66.8 %). Our findings highlighted the importance of maintaining connectivity among habitat patches in non-protected areas, habitat protection using current government policy on high conservation value forest and essential ecosystems areas. Pentingnya Kawasan Non Lindung sebagai Habitat Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis javanensis Desmarest, 1816) di Jawa, IndonesiaIntisariKawasan lindung memainkan peran penting dalam melindungi banyak spesies yang terancam punah di Indonesia. Walaupun demikian, informasi mengenai peran kawasan lindung dan kawasan non lindung untuk mendukung habitat karnivora yang kurang mendapat perhatian di Jawa, kucing hutan (Prionailurus bengalensis javanensis), sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk menilai peran kawasan non lindung sebagai habitat kucing hutan di Pulau Jawa, pulau yang sangat terfragmentasi dan padat penduduk. Kami mengembangkan pemodelan distribusi spesies, menggunakan Maxent dengan mengintegrasikan berbagai sumber data kehadiran spesies kucing hutan dan data lingkungan. Temuan kami menegaskan bahwa kucing hutan dapat hidup di berbagai jenis habitat tetapi habitat utamanya adalah kawasan hutan yang agak terbuka. Meskipun sebagian besar kawasan lindung sesuai untuk habitat kucing terkecil di Jawa ini, kawasan non lindung justru menyediakan area yang jauh lebih besar untuk habitat kucing hutan (66,8 %). Temuan kami juga menyoroti pentingnya menjaga konektivitas antar habitat di kawasan non lindung dan perlindungan habitat dengan menggunakan kebijakan pemerintah saat ini tentang hutan Bernilai Konservasi Tinggi dan Kawasan Ekosistem Esensial.
Kadar Ekstraktif dan Sifat Warna Kayu Jati Plus Perhutani Umur 11 Tahun dari KPH Ngawi Zulkahfi Zulkahfi; Denny Irawati; Tomy Listyanto; Dian Rodiana; Ganis Lukmandaru
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 14, No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3653.609 KB) | DOI: 10.22146/jik.61419

Abstract

Pemanfaatan kayu jati dari pohon umur muda meningkat disebabkan adanya kesenjangan permintaan dengan ketersediaan kayu. Perhutani menanam pohon Jati Plus Perhutani (JPP) dengan karakteristik cepat tumbuh untuk meningkatkan produksi kayu jati. Pembiakan secara vegetatif ini diduga bisa berpengaruh terhadap sifat-sifat kayu. Kadar ekstraktif menjadi penting mengingat hubungannya dengan keawetan alami kayu dan sifat warna kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi kadar ekstraktif dan warna pada arah radial dan longitudinal kayu JPP. Sampel kayu diambil dari tiga pohon JPP berumur 11 tahun di KPH Ngawi. Faktor yang diamati terdiri dari arah longitudinal (pangkal, tengah, ujung); dan radial (gubal, teras terluar, teras terdalam). Kayu diekstrak secara berurutan dengan pelarut toluena, etanol, air panas pada alat soklet. Kadar fenolat total diuji dengan metode Folin-Ciocalteu untuk ekstrak toluena. Pengukuran sifat warna menggunakan sistem CIEL*a*b*. Hasil menunjukkan bagian pangkal memiliki kadar ekstrak terlarut etanol tertinggi, tetapi memiliki kadar fenolat total relatif rendah. Nilai kecerahan (L*) lebih tinggi di bagian ujung dibandingkan dengan bagian tengah dan pangkal sedangkan nilai kemerahan (a*) relatif tinggi di bagian pangkal. Secara nyata, ekstrak terlarut toluena, ekstrak terlarut etanol, dan kadar fenolat total di bagian gubal berbeda nyata dengan bagian teras dan terdapat perbedaan antara teras terluar dan teras terdalam pada kadar esktraktif terlarut toluena dan kadar ekstraktif terlarut etanol. Berdasarkan variasi radial, warna lebih gelap di bagian teras terluar dibandingkan bagian lainnya. Kadar ekstraktif terlarut air panas memiliki hubungan yang nyata (r = -0,72) dengan nilai L* di bagian gubal. Pada bagian teras, nilai L* memiliki hubungan negatif dengan kadar ekstrak terlarut etanol (r = -0,70), kadar ekstraktif terlarut air panas (r = -0,52), dan kadar ekstraktif total (r = -0,78). Secara nyata, nilai a* memiliki hubungan negatif (r = -0,58) dengan kadar fenolat total. Relatif rendahnya kadar ekstraktif dibandingkan umur dewasa serta tidak seragamnya sifat warna pada arah longitudinal perlu menjadi perhatian dalam pemanfaatan kayu JPP umur muda. Extractives Content and Colour Properties of 11-year-old Perhutani Superior Teakwood from Ngawi Forest Management UnitAbstractThe utilization of young teak wood had increased due to the gap in demand and the supply of raw materials. To meet the high demand, Perhutani had planted the fast growing of superior teakwood (Jati Plus Perhutani/JPP). This vegetative reproduction may affect the wood properties. Extractive content is important considering its relationship with the natural durability of wood and colour properties. The purpose of this study was to find out the effect of radial and longitudinal directions on extractives content and colour properties from JPP. The JPP wood samples (11 years) were located in Ngawi Forest Management Unit. The observed factors were vertical (bottom, center, top) and radial (sapwood, outer heartwood, inner heartwood) directions. Wood extracts were obtained by successive extraction (toluene, ethanol, and hot water) in a soxhlet. Total phenolic content was also determined by Folin-Ciocalteu method in toluene soluble extract. Colour properties were determined by CIEL*a*b* system. The result showed that vertical direction had significant effect as the bottom part showed the highest value in ethanol extract content but it had lower value in total phenolic content. Brightness (L*) value was comparatively high at the top part, while redness (a*) value was high at the bottom part. The levels of toluene, ethanol, and total extract content had a significant different between sapwood and heartwood as well as between outer heartwood and inner heartwood. Based on radial direction, the colour was darker in outer heartwood compared to the other parts. The correlation degree between the values of hot water extract and L* was significant (r = -0.72) in sapwood part. In heartwood, the correlation between ethanol, hot water, and total extract contentwith L* values were negative (r = -0.70; -0.52; -0.78, respectively). The correlation between a* value and total phenolic content was moderately significant (r = -0.58). The comparatively low content of extractive compared to mature woods as well as inhomogeneity of colour properties in vertical position should be noticed for young JPP wood utilization.