cover
Contact Name
Sonia Hanifati
Contact Email
soniahanifati@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
mdvi.perdoski@gmail.com
Editorial Address
Ruko Grand Salemba Jalan Salemba 1 No.22, Jakarta Pusat, Indonesia
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Media Dermato-Venereologica Indonesiana
ISSN : -     EISSN : 26567482     DOI : https://doi.org/10.33820/mdvi.v49i3
Core Subject : Health,
Media dermato Venereologica Indonesiana adalah jurnal open access dan peer-reviewed yang fokus di bidang dermatologi dan venereologi. Jurnal ini menerbitkan artikel asli, laporan kasus, tinjauan pustaka dan komunikasi singkat mengenai kesehatan kulit dan kelamin, diagnosis dan terapi pada bidang kulit dan kelamin dan masalah lainnya di bidang kesehatan kulit dan kelamin.
Arjuna Subject : Kedokteran - Dematologi
Articles 283 Documents
Peran transforming growth factor-`β pada reaksi eritema nodosum leprosum berulang
Media Dermato Venereologica Indonesiana Vol 45 No 4 (2018)
Publisher : PERDOSKI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (782.929 KB) | DOI: 10.33820/mdvi.v45i4.1

Abstract

Eritema nodosum leprosum (ENL) berulang adalah suatu komplikasi imunologi Kusta yang serius, menyebabkan peradangan pada kulit, saraf dan organ lain yang menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah hubungan Transforming Growth Factor-β (TGF-β) dengan ENL berulang pada pasien kusta. Metode desain penelitian ini adalah cross sectional comparative study. Penelitian ini memeriksa kadar serum TGF-β dengan metode ELISA. Subjek penelitian sejumlah 44 pasien kusta tipe multibasiler (MB) terdiri atas 22 subjek dengan reaksi ENL berulang dan 22 subjek tanpa reaksi ENL berulang sebagai kontrol. Pada penelitian ini didapatkan pasien kusta dengan reaksi ENL berulang memiliki kadar TGF-β rerata sebesar 62,6 30,4 pg/ml, sedangkan pada kontrol memiliki kadar TGF-β rerata sebesar 47,2 23. Uji statistik t-independen terhadap kelompok sampel dan kontrol didapatkan nilai p=0,015. Kesimpulan pada penelitian ini terdapat perbedaan bermakna kadar TGF-β pada subjek dan kontrol. Peningkatan kadar TGF-β pada pasien kusta tipe MB dapat sebagai tanda timbulnya reaksi berulang. 
FUNGSI BARIER KULIT PADA PASIEN MELASMA
Media Dermato Venereologica Indonesiana Vol 45 No 3 (2018)
Publisher : PERDOSKI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (317.797 KB) | DOI: 10.33820/mdvi.v45i3.3

Abstract

Keratinocyte derived factor dianggap berperan dalam menstimulasi proses pigmentasi pada melasma sebagai respons terhadap adanya gangguan barier kulit akibat paparan radiasi ultraviolet. Penelitian ini ber- tujuan untuk menganalisis perbedaan fungsi barier antara kulit lesi dengan kulit normal perilesi dan korelasi antara fungsi barier kulit lesi dengan skor Melasma Area Severity Index (MASI) pada pasien melasma. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan potong lintang. Pengu- kuran transepidermal water loss (TEWL), kadar sebum, hidrasi dan pH kulit dilakukan pada 32 subyek yang memenuhi kriteria. Perbedaan fungsi barier antara kulit lesi dengan kulit normal perilesi dianalisis dengan uji-t berpasangan, kecuali kadar sebum menggunakan uji Wilcoxon. Korelasi antara fungsi barier kulit lesi dengan skor MASI dianalisis dengan korelasi Pearson, kecuali kadar sebum menggunakan korelasi Spearman. Hasil penelitian ini berupa nilai TEWL, kadar sebum, dan pH kulit menunjukkan perbedaan yang ber- makna (p<0,05). Sebaliknya dengan hidrasi kulit tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kulit lesi dibandingkan kulit normal perilesi (p>0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara fungsi barier kulit baik berdasarkan nilai TEWL, kadar sebum, hidrasi maupun pH kulit dengan skor MASI (p>0,05). Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat perbedaan fungsi barier berdasarkan nilai TEWL, kadar sebum, dan pH kulit, namun tidak terdapat perbedaan fungsi barier berdasarkan hidrasi kulit antara kulit lesi dengan kulit normal perilesi pada pasien melasma. Tidak terdapat korelasi antara fungsi barier kulit lesi dengan skor MASI pada pasien melasma. 
Kelainan Mukokutan dan Infeksi Menular Seksual Pada Pasien HIV-AIDS di RSUP Prof. DR. R. D. Kandou, Manado
Media Dermato Venereologica Indonesiana Vol 45 No 2 (2018)
Publisher : PERDOSKI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (879.805 KB) | DOI: 10.33820/mdvi.v45i2.4

Abstract

Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4, sehingga terjadi defisiensi imunitas selular. Selain itu dapat menimbulkan berbagai gangguan termasuk kelainan mukokutan berupa penyakit infeksi dan non-infeksi serta proses neoplastik baik bentuk atipikal maupun tipikal yang berat dan rekalsitrans terhadap terapi.Telah dilakukan penelitian terhadap berbagai kelainan mukokutan dan infeksi menular seksual (IMS) pada pasien HIV-AIDS baru di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou, Manado mulai tahun 2014 hingga 2016. Penelitian dilakukan secara retrospektif. Semua kasus pasien HIV-AIDS dengan kelainan mukokutan dan IMS dicatat berdasar rekam medik.Dalam kurun waktu tersebut terdapat 284 kasus HIV dengan kelainan mukokutan dan IMS. Perbandingan laki-laki dan perempuan 2,6:1, terbanyak pada kelompok usia 25-44 tahun (61,62%) dan belum menikah (53,87%). Transmisi HIV terbanyak melalui hubungan seks heteroseksual (83,10%). Sekitar 54,58% subyek telah mendapat terapi antiretrovirus (ARV). Data hitung CD4 hanya terdapat pada 59,86% subyek dengan rentang antara 3 sampai dengan 649 sel/mm3. Kelainan terbanyak berupa kandidiasis oral (90,85%). Kebanyakan subyek dengan kelainan mukokutan dan IMS (73,53%) dengan hitung CD4 <200 sel/mm3.
Perbandingan Jumlah Kuman Pada Pasien Bromhidrosis, Sebelum Dan Sesudah Operasi Modifikasi Sedot Lemak Dengan Kuretase
Media Dermato Venereologica Indonesiana Vol 45 No 1 (2018)
Publisher : PERDOSKI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v45i1.5

Abstract

Bromhidrosis merupakan kondisi bau badan menyengat akibat interaksi antara kelenjar keringat dan mikroorganisme. Tindakan pembedahan dengan teknik modifikasi sedot lemak dan kuretase merupakan salah satu terapi yang cukup aman dan efektif untuk bromhidrosis. Pertumbuhan kuman penyebab bromhidrosis dipengaruhi oleh suhu, kelembapan serta sekresi kelenjar keringat. Pada pasien pascaoperasi bromhidrosis terjadi penurunan sekresi kelenjar keringat dan penurunan kelembapan yang menyebabkan penurunan jumlah kuman komensal penyebab bromhidrosis.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan jumlah kuman pada pasien bromhidrosis sebelum dan sesudah operasi modifikasi sedot lemak dan kuretase.Penelitian di lakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, rancangan penelitian menggunakan eksperimental uji klinik dengan pendekatan one group pretest-posttest design. Subjek terdiri dari 10 pasien bromhidrosis yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilakukan sebelum dan sesudah prosedur, menggunakan teknik swab, dioleskan pada permukaan media agar natrium, agar darah dan agar Mc Conkey. Penghitungan jumlah kuman dengan teknik total plate count, data di analisis  menggunakan Paired T test.Tidak didapatkan perbedaan bermakna (p>0,05) antara jumlah kuman dari sampel sebelum dan sesudah perlakuan. Beberapa spesies kuman yang ditemukan adalah kokus positif Gram (Staphylococcus spp., Streptococcus spp.), batang positif Gram, E. coli dan  Shigella spp.  Kata kunci: bromhidrosis, jumlah  kuman, modifikasi  sedot lemak dan kuretase
Efek Kadar Serum Estradiol Fase Bleeding Siklus Menstruasi Pada Aktivitas Fibroblas Dermis Manusia
Media Dermato Venereologica Indonesiana Vol 45 No 1 (2018)
Publisher : PERDOSKI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (225.254 KB) | DOI: 10.33820/mdvi.v45i1.6

Abstract

Pembedahan elektif selama fase bleeding siklus menstruasi sering dihindari terkait gangguan koagulasi. Salah satu hormon yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka adalah estrogen. Kadar estrogen berfluktuasi sepanjang siklus menstruasi dan berada pada kadar terendah selama fase bleeding. Penelitian eksperimental ex vivo dilakukan pada 16 perempuan berusia 18–40 tahun yang memiliki siklus menstruasi teratur. Darah vena subjek diambil sebanyak 5ml pada fase bleeding dan ovulasi. Kemampuan penyembuhan luka dari masing-masing serum dinilai dengan mengukur proliferasi fibroblas dan deposisi kolagen fibroblas kulit. Ovulasi ditentukan dengan uji pakis saliva, kadar estradiol serum diukur menggunakan Cobas Elecsys®, proliferasi fibroblas menggunakan MTT assay, dan deposisi kolagen dengan sirius red. Hasil penelitian menunjukkan rerata kadar serum estradiol pada fase bleeding dan ovulasi berturut-turut adalah 29,6±10,5pg/dl dan 180,1±164,5pg/dl. Rerata indeks proliferasi fibroblas yang dipajankan pada fase bleeding dan ovulasi adalah 1,09±0,63 dan 1,44±0,66. Rerata densitas optik kolagen fibroblas yang terpajan serum fase bleeding dan ovulasi adalah 0,47±0,2 dan 0,54±0,14. Seluruhnya menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0,05). Serum fase bleeding memiliki kemampuan penyembuhan luka yang lebih rendah dibandingkan dengan serum fase ovulasi. Kebijakan untuk tidak melakukan pembedahan elektif selama fase bleeding, selain terkait dengan gangguan pembekuan darah juga terkait dengan proses penyembuhan luka.Kata Kunci:  menstruasi, estradiol, ovulasi, proliferasi fibroblas, deposisi kolagen, penyembuhan luka
Perbandingan Jumlah Kuman Pada Pasien Bromhidrosis, Sebelum Dan Sesudah Operasi Modifikasi Sedot Lemak Dengan Kuretase
Media Dermato Venereologica Indonesiana Vol 45 No 1 (2018)
Publisher : PERDOSKI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v45i1.7

Abstract

Bromhidrosis merupakan kondisi bau badan menyengat akibat interaksi antara kelenjar keringat dan mikroorganisme. Tindakan pembedahan dengan teknik modifikasi sedot lemak dan kuretase merupakan salah satu terapi yang cukup aman dan efektif untuk bromhidrosis. Pertumbuhan kuman penyebab bromhidrosis dipengaruhi oleh suhu, kelembapan serta sekresi kelenjar keringat. Pada pasien pascaoperasi bromhidrosis terjadi penurunan sekresi kelenjar keringat dan penurunan kelembapan yang menyebabkan penurunan jumlah kuman komensal penyebab bromhidrosis.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan jumlah kuman pada pasien bromhidrosis sebelum dan sesudah operasi modifikasi sedot lemak dan kuretase.Penelitian di lakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, rancangan penelitian menggunakan eksperimental uji klinik dengan pendekatan one group pretest-posttest design. Subjek terdiri dari 10 pasien bromhidrosis yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilakukan sebelum dan sesudah prosedur, menggunakan teknik swab, dioleskan pada permukaan media agar natrium, agar darah dan agar Mc Conkey. Penghitungan jumlah kuman dengan teknik total plate count, data di analisis  menggunakan Paired T test.Tidak didapatkan perbedaan bermakna (p>0,05) antara jumlah kuman dari sampel sebelum dan sesudah perlakuan. Beberapa spesies kuman yang ditemukan adalah kokus positif Gram (Staphylococcus spp., Streptococcus spp.), batang positif Gram, E. coli dan  Shigella spp.  Kata kunci: bromhidrosis, jumlah  kuman, modifikasi  sedot lemak dan kuretase
Hubungan Jumlah CD4 Dengan Manifestasi Mukokutan: Kajian Pada Pasien HIV di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Media Dermato Venereologica Indonesiana Vol 45 No 2 (2018)
Publisher : PERDOSKI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (803.231 KB) | DOI: 10.33820/mdvi.v45i2.8

Abstract

Kelainan mukokutan sering dijumpai pada pasien HIV dengan bentuk kelainan yang bervariasi. Progresivitas HIV ditandai dengan penurunan jumlah CD4 dan munculnya manifestasi mukokutan.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jumlah CD4 dengan manifestasi mukokutan pada pasien HIV.Dilakukan studi potong lintang berdasarkan rekam medis di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta selama periode Januari 2011-Desember 2015. Data meliputi usia, jenis kelamin, faktor risiko transmisi, manifestasi mukokutan dan jumlah CD4. Titik potong jumlah CD4 adalah 200 sel/mm3. Hubungan jumlah CD4 dengan manifestasi klinis dianalisis menggunakan tes Chi-square, dengan kemaknaan p< 0,05.Dijumpai 928 subyek HIV; 65,4% laki-laki, 34,5% perempuan. Rentang usia terbanyak 20-29 tahun (38,69%). Faktor risiko transmisi HIV terbanyak seks tidak aman (72%). Jumlah CD4 tertinggi 1.094 sel/mm3 dan terendah 1 sel/mm3. Ditemukan 306 kasus dengan manifestasi mukokutan. Manifestasi mukokutan terbanyak berupa infeksi jamur (40,4%) dengan jenis infeksi tersering adalah kandidiasis oral (33,8%); diikuti non-infeksi (28%) dengan jenis tertinggi erupsi obat (35,9%); persentase tumor kecil (0,5%) berupa sarkoma kaposi. Ditemukan kasus infeksi menular seksual (18,85%) dengan kasus terbanyak berupa kondilomata akuminata (49,3%). Analisis statistik menunjukkan hubungan bermakna antara jumlah CD4 dengan infeksi jamur (p:0.0001; OR 3,8; 95% CI 2,29 – 6,30), infeksi virus (p: 0,0031 OR 0,4; 95% CI 0,24–0,74 ) dan infeksi parasit (p: 0,043 OR 0,2; 95% CI 0,06 – 0,61). Infeksi jamur meningkat pada kondisi jumlah CD4 < 200 sel/mm3, sedangkan infeksi virus dan parasit meningkat pada kondisi CD4>200 sel/mm3.
Perbandingan Kadar Brain – Derived Neurotrophic Factor Pasien Psoriasis Vulgaris Dan Bukan Pasien Psoriasis Vulgaris
Media Dermato Venereologica Indonesiana Vol 45 No 1 (2018)
Publisher : PERDOSKI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (118.624 KB) | DOI: 10.33820/mdvi.v45i1.9

Abstract

Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronik pada kulit, dengan dugaan kuat akibat pengaruh genetik. Psoriasis memiliki karakteristik berupa gangguan pertumbuhan dan diferensiasi epidermis serta keterlibatan agen biokimiawi, imunologik, kelainan vaskular, dan sistem saraf. Keterlibatan sistem saraf pada psoriasis salah satunya diperankan oleh brain-derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF telah dikenal luas berperan pada kondisi stres dan depresi, namun BDNF ternyata juga memilki peran menjaga homeostasis korneosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar BDNF dalam serum pasien psoriasis vulgaris dibandingkan dengan bukan pasien psoriasis vulgaris.Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain potong lintang. Sebanyak 20 orang pasien psoriasis vulgaris (kasus) dan 20 orang bukan pasien psoriasis vulgaris (kontrol) ikut serta dalam penelitian ini. Pada seluruh subyek penelitian dilakukan pengambilan darah untuk dilakukan pemeriksaan kadar BDNF dalam serum dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Kadar BDNF serum yang diperoleh kemudian dinilai perbedaannya antara kelompok kasus dan kontrol dengan menggunakan uji-t independen.Hasil penelitian didapatkan kadar BDNF dalam serum pasien psoriasis vulgaris lebih rendah secara bermakna (852,99 ± 172,28 pg/ml) dibandingkan dengan bukan pasien psoriasis vulgaris (1202,37 ± 67,06 pg/ml) dengan  nilai p<0,05. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar BDNF serum pasien dan bukan pasien psoriasis vulgaris.        Kata Kunci: psoriasis vulgaris, brain-derived neurotrophic factor
Acrodermatitis Continua Of Hallopeau Yang Memberi Respons Baik Terhadap Terapi Kombinasi Salep Klobetasol Propionat 0,05% Dan Dapson
Media Dermato Venereologica Indonesiana Vol 45 No 1 (2018)
Publisher : PERDOSKI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (319.794 KB) | DOI: 10.33820/mdvi.v45i1.10

Abstract

Acrodermatitis continua of Hallopeau (ACH) merupakan kasus jarang, yang ditandai dengan erupsi pustular steril yang mengenai ujung jari tangan dan kaki. Pengobatan ACH sulit karena kondisinya yang rekalsitran. Berbagai terapi menggunakan obat topikal atau sistemik, secara tunggal atau kombinasi telah dicoba dengan hasil yang bervariasi. Seorang anak perempuan 10 tahun dengan ACH kuku keempat dan kelima jari tangan kanan dan kuku ketiga jari tangan kiri sejak 5 tahun sebelum berobat. Pengobatan awal dengan salep klobetasol propionat 0,05% saja gagal memperbaiki lesinya. Kombinasi dengan dapson 50 mg/hari menghasilkan perbaikan lesi akral dalam waktu empat minggu, namun terdapat efek samping anemia.Steroid topikal superpoten memiliki mekanisme kerja sebagai anti-inflamasi, anti-proliferasi, imunosupresif, dan vasokonstriksi, terutama jika digunakan secara oklusif, berguna untuk menghentikan pustulasi. Dapson menghambat kemotaksis neutrofil manusia melalui sistem transduksi sinyal protein G dan mengganggu migrasi kemotaktik neutrofil melalui supresi fungsi adhesi ke epidermis yang diperantarai oleh integrin. Hal tersebut menyebabkan supresi perekrutan neutrofil serta kurangnya influks neutrofil ke dalam dermis. Kombinasi salep klobetasol propionat 0,05% yang dioklusi dan dapson dianjurkan untuk ACH Kata kunci: Acrodermatitis continua of Hallopeau, klobetasol propionat, dapson
Perbandingan Kadar Kortisol Dalam Serum Pasien Psoriasis Vulgaris Dengan Bukan Pasien Psoriasis Vulgaris
Media Dermato Venereologica Indonesiana Vol 45 No 2 (2018)
Publisher : PERDOSKI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (873.813 KB) | DOI: 10.33820/mdvi.v45i2.11

Abstract

Psoriasis adalah suatu penyakit kulit kronis yang secara klasik ditandai oleh daerah kulit memerah dan menebal, ditutupi skuama keperakan. Etiopatogenesisnya kompleks, melibatkan faktor genetik, imunologik dan lingkungan. Kemungkinan adanya kontribusi neuroendokrin pada patogenesis psoriasis cukup menarik perhatian. Kortisol merupakan salah satu profil neuroendokrin yang berinteraksi dengan banyak jalur dalam mencetuskan psoriasis, antara lain regulasi kompartemen epidermis, modulasi respons imun, dan stres.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar kortisol dalam serum antara pasien psoriasis vulgaris dengan bukan pasien psoriasis vulgaris, menggunakan rancangan penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang. Penelitian dilakukan sejak bulan Juni sampai Oktober 2016 di RSUP H. Adam Malik Medan. Kadar kortisol dalam serum subyek diperiksa dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Digunakan uji T-independen untuk menilai perbandingan kadar kortisol dalam serum antara kedua kelompok.Selama 5 bulan penelitian didapatkan 40 subyek penelitian yang terdiri atas 20 pasien psoriasis vulgaris dan 20 bukan pasien psoriasis vulgaris. Ditemukan kadar rerata kortisol yang lebih rendah dalam serum pasien psoriasis vulgaris (7,185  5,04 g/dL) dibandingkan dengan bukan pasien psoriasis vulgaris (10,390  3,74 g/dL) yang bermakna secara statistik (p<0,05).Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada nilai rerata kadar kortisol dalam serum antara pasien psoriasis vulgaris dengan bukan pasien psoriasis vulgaris.

Page 1 of 29 | Total Record : 283