cover
Contact Name
Aulia Muthiah
Contact Email
jenterajurnal8@gmail.com
Phone
+6285251684929
Journal Mail Official
jenterajurnal8@gmail.com
Editorial Address
Fakultas Hukum Universitas Achmad Yani Banjarmasin Jl Jend A Yani Km 5.5 Komp. Stadion Lambung Mangkurat Banjarmasin Telp / Fax (0511325850) HP/WA (08525168929)
Location
Kota banjarmasin,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Jentera Hukum Borneo
ISSN : 25410032     EISSN : 26859874     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Jentera Hukum Borneo terbit dua kali setahun pada bulan Januari dan Juli memuat artikel ilmiah dalam bentuk hasil penelitian, kajian analisis, aplikasi teori dan pembahasan kepustakaan tentang hukum.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 45 Documents
PROSEDUR PENANGANAN TERHADAP PEMBERI GADAI SAHAM YANG MELAKUKAN WANPRESTASI Rahmad DS Rahmad Ds; Andin Sofyannor
Jantera Hukum Bornea Vol. 3 No. 2 (2019): Juli 2019
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.607 KB)

Abstract

Saham sebagai modal dasar Perseroan termasuk kategori benda bergerak, sehingga secara otomatis memebrikan hak kebendaan, yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan eksekusi terhadap gadai saham akibat wanprestasi dan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pemberi gadai saham yang dirugikan atas pelaksanaan eksekusi.Metode penelitian yang digunakan adalah metode normatif. Sumber data dipilih secara deskriptif analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka. Analisis hasil penelitian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan terhadap pemberi gadai saham yang wanprestasi yang dilakukan melalui parate eksekusi menurut pasal 1155 KUHPerdata pada prinsipnya melalui pelelangan umum, kecuali ada perjanjian antara pemberi gadai saham dengan penerima gadai saham, maka eksekusi dapat dilakukan secara di bawah tangan tanpa melalui pelelangan umum, seperti halnya kasus eksekusi gadai saham oleh Deutsche Bank terhadap PT. Swabara Mining Beckect. Oleh karena pasal 1155 KUHPerdata bersifat fakultatif yang berlakunya dapat dikesampingkan dengan perjanjian, Pemberi gadai saham maupun pihak ketiga yang berkepentingan kurang mendapatkan perlindungan hukum terhadap haknya kalau eksekusi gadai saham menurut pasal 1156 KUHPerdata dilakukan melalui mekanisme permohonan. Karena pemberi gadai saham tidak dimintai keterangannya di sidang pengadilan, dan seharusnya menggunakan gugatan.
URGENSI PEMBENTUKAN LEMBAGA PENCEGAHAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DALAM RANGKA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PERUSAKAN HUTAN DI INDONESIA Josia Nopindo; Zulfa Asma Vikra
Jantera Hukum Bornea Vol. 3 No. 2 (2019): Juli 2019
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perusakan hutan merupakan perbuatan melanggar hukum yang jika dilihat dari aspek lingkungan mengakibatkan rusaknya kelestarian hutan yang selanjutnya akan menimbulkan bencana alam yang dahsyat, selain itu rusaknya hutan Indonesia juga menyumbang pemanasan global. Sedangkan jika dilihat dari aspek ekonomi, perusakan hutan mengakibatkan kerugian Negara. Perusakan hutan yang telah merongrong kelestarian hutan dan keseimbangan ekologi dunia merupakan bentuk kejahatan yang harus dituntaskan. Dampaknya sangat dahsyat terhadap kelangsungan fungsi hutan penyangga ekosistem bumi secara lintas teritori dan lintas generasi. Dengan demikian kegiatan pembalakan liar juga dapat dikategorikan sebagai keejahatan yang luar biasa. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan di Indonesia, pada tanggal 06 Agustus 2013 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan di sahkan. Undang-undang ini merupakan instrumen hukum baru dalam penegakan hukum perkara kehutanan khususnya perkara perusakan hutan dimana undang-undang sebelumnya dianggap tidak mampu meakomodir keinginan masyarakat dan pemerintah dalam menindak pelaku perusakan hutan. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengamanatkan membentuk lembaga yang dianggap mampu mengatasi permasalahan kerusakan hutan secara terpusat. Semenjak lahirnya Lembaga Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan, penanganan dan penegakan hukum semua perkara perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini menjadi kewenangan lembaga ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan perlunya pembentukan Lembaga Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan untuk menanggulangi tindak pidana perusakan hutan di Indonesia dan bagaimana peran dan mekanisme penangangan perkara perusakan hutan melalui Lembaga Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan dalam sistem penyidikan yang terpadu di sektor kehutanan. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal, penelitian ini didukung oleh bahan-bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), dan pendekatan sejarah (historical approach), sedangkan analisis penelitian dengan cara penafsiran asas-asas hukum, dengan kerangka berfikir deduktif-induktif sebagai suatu penjelasan dan interpretasi logis dan sistematis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Dasar pertimbangan perlunya pembentukan lembaga pencegahan pemberantasan perusakan hutan untuk menanggulangi tindak pidana perusakan hutan adalah bahwa telah terjadi perusakan hutan di Indonesia yang disebabkan oleh pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perusakan hutan terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengamanatkan membetuk lembaga yang dianggap mampu mengatasi permasalah kerusakan hutan secara terpusat. Sejak terbentuknya Lembaga Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan, penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini menjadi kewenangan lembaga ini. . Lembaga Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan nantinya berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang terdiri atas unsur Kehutanan, Kepolisian, Kejaksaan, dan unsur terkait lainnya. Selain memiliki fungsi penegakan hukum, lembaga ini juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi. Lembaga ini dapat membentuk satuan tugas yang melaksanakan upaya hukum sampai pada tingkat penuntutan layaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peran dan mekanisme penangangan perkara perusakan hutan sebagaimana amanah Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan melalui Lembaga Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan dalam sistem penyidikan yang terpadu di sektor kehutanan, maka penanganan tindak pidana perusakan hutan tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, perlu adanya sinergisitas dengan berbagai lembaga yang menangani sektor-sektor terkait untuk mendukung penegakan hukum. Pengintegrasian system peradilan pidana diwujudkan dalam sinkroniasasi antar lembaga penegak hukum dengan mewujudkan system peradilan pidana yang terpadu. Besarnya kewenangan yang dimiliki oleh Lembaga Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan aparat penegak hukum membuka potensi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya sistem integritas yang kuat. Sistem tersebut dibentuk melalui adanya seleksi melalui tim terpadu yang independen pada level pimpinan sampai pelaksana lapangan. Pengawasan internal termasuk pelaporan dan dukungan terhadap proses penegakan hukum yang efektif (misalnya anggaran dan sarana prasarana). Untuk peningkatan kapasitas perlu dibentuk jaksa, penyidik dan hakim khusus sumber daya alam serta lingkungan hidup. Proses tersebut dapat dimulai dari proses sertifikasi dan pelatihan intensif (pelatihan secara selektif dan khusus), guna membentuk kesepahaman tentang makna filosofis, sosiologis dan yuridis atas perusakan hutan.
KETENTUAN ADIL TERHADAP SISTEM DALAM PERKAWINAN POLIGAMI (TINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Umi Kalsum; Siti Maisarah
Jantera Hukum Bornea Vol. 3 No. 2 (2019): Juli 2019
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (399.807 KB)

Abstract

Hakikatnya asas perkawinan adalah monogami, namun pada ketentuan hukum Islam memberikan peluang untuk menjalani pernikahan poligami dengan syarat suami harus mampu berbuat adil kepada istri-istrinya. Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan kriteria adil. Sehingga dalam hal ini ada kekosongan hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yaitu jenis penelitian yaitu untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab persoalan hukum yang dihadapi. Hasil penelitian menyatakan bahwa Undang-Undang tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam membolehkan seorang suami berpoligami dengan persyaratan berlaku adil terhadap para isterinya. Namun kedua peraturan hukum tersebut tidak menentukan konsep dan kriteria adil dalam berpoligami. Berdasarkan pendapat paraa ahli hukum Islam, bahwa kriteria adil dalam berpoligami adalah menyangkut kebutuhan materil yang berupa sandang, pangan, dan papan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI tidak menentukan akibat hukum apabila seorng suami yang berpoligami tidak berlaku adil terhadap para isterinya yang menyangkut kebutuhan materil, seperti sanksi hukum. Berdasarkan pendapat para ahli hukum Islam, bahwa apabila seorang suami yang berpoligami tidak berlaku adil terhadap para isterinya, maka di hukum berbuat dosa dan haram hukumnya.
ANALISIS YURIDIS PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Tinjauan Terhadap Pasal 35 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan) Annisa Hidayati
Jantera Hukum Bornea Vol. 5 No. 02 (2022): Juli 2022
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (392.073 KB)

Abstract

Tujuan Penelitian mengetahui dan menganalisis tentang pengaturan pencatatan perkawinan beda agama, dan mengetahui dan menganalisis tentang akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dilakukan pencatatan. Jenis penelitian ini berupa penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (UU Perkawinan) tidak mengatur mengenai pencatatan perkawinan beda agama. Naming dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 (UU Adminduk) pada Pasal 35 huruf a dan Penjelasan Pasalnya menentukan bahwa perkawinan beda agama yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri dicatat di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang berwenang. UU Perkawinan maupun UU Adminduk tidak mengatur tentang akibat hukum bagi perkawinan beda agama yang tidak tercatat. Namun ditinjau dari Pasal 6 ayat (2) KHI yang menentukan bahwa perkawinan yang tidak tercatat tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan ketentuan ini, maka perkawinan beda agama yang tidak tercatat juga tidak mempunyai kekuatan hukum yaitu tidak sah secara hukum administratif.
KEPASTIAN HUKUM UNTUK GANTI KERUGIAN PENGADAAN TANAH GUNA KEPENTINGAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Ningrum Ambarsari
Jantera Hukum Bornea Vol. 5 No. 02 (2022): Juli 2022
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.794 KB)

Abstract

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 yang diselenggarakan melalui tahapan perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil dengan salah satu prinsipnya yaitu Prinsip Musyawarah, dimana di dalam mencapai kesepakatan dalam pengadaan tanah harus didasarkan atas musyawarah agar tercapai keadilan dan keseimbangan dalam pengadaan tanah terutama terkait bentuk dan besarnya ganti kerugian atas pengadaan tanah. Masalah yang sering dihadapi dalam pengadaan tanah adalah mayarakat tidak memberi tanahnya untuk pembangunan karena berbagai alasan. Salah satu alasan yang didapati adalah adanya perbenturan atau ketidakseimbangan antara pengambilan tanah atau dengan besaran ganti kerugian.Metode penulisan Skripsi ini adalah metode penelitian Yuridis Normatif berupa penelitian kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer, skunder dan tersier. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Pasal 18 UUPA menjadi dasar dilaksanakannya Pengadaan Tanah di Indonesia dan untuk Kepentingan Umum dengan aturan pelaksananya yaitu Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 yang telah empat kali mengalami perubahan. Namun masih banyak masyarakat yang belum mengerti mekanisme pengadaan tanah ini sehingga tidak bisa berbuat banyak atas ketidakadilan atau ketidakseimbangan yang dirasakan dalam pemberian nilai ganti kerugian atas pengadaan tanah tersebut.
KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM PERADILAN BAGI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (ANAK DIBAWAH UMUR) Istiana Heriani; Indah Dewi Megasari; Muthia Septarina
Jantera Hukum Bornea Vol. 5 No. 02 (2022): Juli 2022
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (363.842 KB)

Abstract

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita human capital bagi perjuangan bangsa dan pembangunan nasional. Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk mengamankan dan melindungi anak dan hak-haknya, serta agar anak hidup dan tumbuh kembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya. dan diskriminasi. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena global yang telah terjadi dalam kehidupan manusia selama berabad-abad dan telah terjadi di semua negara. Ada banyak bentuk kekerasan. Artinya, dalam bidang sosial budaya, politik, ekonomi dan pendidikan, korbannya biasanya perempuan dan anak-anak di lingkungan rumah.
EKSEKUSI TERHADAP KEWAJIBAN PEMBERIAN NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN MENURUT HUKUM POSITIF Alfi Bariroh; Aulia Muthiah
Jantera Hukum Bornea Vol. 5 No. 02 (2022): Juli 2022
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (378.831 KB)

Abstract

Perceraian merupakan salah satu cara putusnya perkawinan sebagaimana ditentukan oleh Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan terjadinya perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat, kedua orangtua nya, terutama Bapaknya wajib memberikan nafkah kepada anaknya yang yang belum kawin atau belum mandiri. Nafkah anak pada umumnya dimohonkan atas bekas isteri kepada Pengadilan Agama dan permohonan tersebut dituangkan dalam putusan Pengadilan Agama yang besarnya sesuai dengan kemampuan bapak. Namun kewajiban bapak untuk memberikan nafkah anak tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan. Karena bapak tidak melaksanakan kewajiban untuk memberikan nafkah anak. Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan eksekusi terhadap putusan Pengadilan Agama yang berisi kewajiban untuk memberikan nafkah anak, serta akibat hukum apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap bahan - bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang dikumpulkan dengan cara Studi Pustaka. Selanjutnya bahan - bahan hukum tersebut di olah dan di analasis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksekusi terhadap putusan Pengadilan Agama yang mewajibkan Bapak memberikan nafkah anak pasca Perceraian tidak mudah dilakukan dikarenakan biaya yang mahal dan objek eksekusi tidak diketahui atau tidak jelas. Kemudian Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menentukan sanksi hukum tertentu kepada Bapak yang tidak menentukan sanksi hukum tertentu kepada Bapak yang tidak mematuhi kewajiban memberi nafkah anak.
HAK MASYARAKAT MENDAPATKAN KEPASTIAN DAN KEADILAN DI PENGADILAN PERIKANAN Safitri Wikan Nawang Sari; Devi Sara'i
Jantera Hukum Bornea Vol. 5 No. 02 (2022): Juli 2022
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (597.301 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam mengenai konsep-konsep tindak pidana perikanan serta menguraikan terkait hak masyarakat mendapatkan kepastian dan keadilan di Pengadilan Perikanan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dalam penyelesaian tindak pidana perikanan. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan teknik pengumpulan melalui studi kepustakaan (library research) kemudian bahan hukum diolah dan dianalisa melalui editing, coding, reconstructing, systematizing dan dianalisa dan disajikan secara kualitatif deskriptif . Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Pemerintah Indonesia telah membentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana perikanan yang berkedudukan di Pengadilan Negeri dalam perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan negara RI baik yang dilakukan oleh WNA maupun WNI; (2) Sebagai suatu kebijakan dan penanggulangan sengketa hukum atau konflik hukum dalam tindak pidana perikanan yang akan menjadi landasan dalam kebijakan aplikasi maupun eksekusi maka UU No. 31 Tahun 2004 Jo UU No. 45 Tahun 2009 sebagai UU perikanan telah memuat regulasi/ formulasi baik mengenai hukum acara pidana maupun tindak pidana perikanan sepanjang di dalam hukum acara pidana umum yang berlaku di Indonesia (KUHAP/ UU No. 8 Tahun 1981) belum mengaturnya walaupun selama ini pengadilan perikanan belum optimal memberikan perlindungan, mengingat terdapat faktor-faktor penghambat yang bisa membuat masyarakat tidak bisa maksimal dalam mendapatkan akses kepastian dan keadilan.
PERANAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM RANGKA PENGAWASAN TERHADAP PEMERINTAHAN DESA DI DESA SIMPANG WARGA LUAR KABUPATEN BANJAR Annisa Hidayati
Jantera Hukum Bornea Vol. 4 No. 1 (2020): Januari 2020
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (579.876 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk: 1), Mengetahui dan memperoleh data mengenai pelakanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan di Desa Simpang Warga Luar Kecamatan Aluh-Aluh Kabupaten Banjar 2), Mengetahui dan memperoleh data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan di Desa Simpang Warga Luar Kecamatan Aluh-Aluh Kabupaten Banjar. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan sosiologis, karena data diperoleh langsung dari fakta yang ada di masyarakat. Pengumpulan data melalui studi kasus, penelitian lapangan, dan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1. Pelaksanaan Fungsi Pengawasan BPD dalam penyelenggaraan pemerintahan di Desa Simpang Warga Luar Kecamatan Aluh-Aluh Kabupaten Banjar belum sepenuhnya dilakukan secara optimal karena hanya 3(tiga) tugas pokok yang dilaksanakan yaitu menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakt, 2. faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi pengawasan BPD dipngaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor pendorong yang meliputi Dukungan/partisipasi masyarakat terhadap BPD, dan hubungan kerjasama yang baik antara BPD dengan Pemerintah Desa. Sedangkan faktor yang kedua yaitu faktor penghambat yang meliputi kurangnya tunjangan yang diberikan kepada anggota BPD, Sarana dan prasarana, kurangnya SDM yang mengisi keanggotaan BPD serta Adanya masyarakat yang pro maupun kontra terhadap setiap keputusan yang ditetapkan.
KEDUDUKAN DAN PERANAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM IMPLEMENTASI PENGAWASAN TERHADAP ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DESA DI DESA BELAWANG KECAMATAN BELAWANG KABUPATEN BARITO KUALA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Annisa Hidayati
Jantera Hukum Bornea Vol. 5 No. 01 (2022): Januari 2022
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (550.062 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengetahui dan memperoleh data mengenai pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Permusyawaratan Desa dalam penyelenggaraan pemerintah di Desa Belawang, Kecamatan Belawang, Kabupaten Barito Kuala. 2) Mengetahui dan memperoleh data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Permusyawaratan Desa dalam Implememntasi Pengawas Terhadap Administrasi Pemerintahan di Desa Belawang, Kecamatan Belawang, Kabupaten Barito Kuala. Untuk mencapai tujuan terebut maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1. Pelaksanaan tugas pokok BPD dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa Belawang, Kecamatan Belawang Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan belum sepenuhnya dilakukan secara optimal karena hanya 3 tugas pokok yang dilaksanakan yaitu menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, membentuk panitia pemilihan kepala Desa dan proses pembahasan dan Penetapan Peraturan Desa bersama dengan Kepala Desa, dari 6 tugas pokok yang telah ditetapkan berdasarkan PP Nomor 72 Tahun 2005.