cover
Contact Name
M.Ya’kub Aiyub Kadir
Contact Email
kanun.jih@usk.ac.id
Phone
+62651-7552295
Journal Mail Official
kanun.jih@usk.ac.id
Editorial Address
Redaksi Kanun: Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh 23111
Location
Kab. aceh besar,
Aceh
INDONESIA
Kanun: Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : 08545499     EISSN : 25278428     DOI : 10.24815/kanun.v20i3.11380
Core Subject : Social,
anun: Jurnal Ilmu Hukum (KJIH), the Indonesian Journal of Autonomy Law, is an international journal dedicated to the study of autonomy law within the framework of national and international legal systems. Published thrice annually (April, August, December), KJIH provides valuable insights for scholars, policy analysts, policymakers, and practitioners. Managed by the Faculty of Law at Syiah Kuala University in Banda Aceh, Indonesia, KJIH has been fostering legal scholarship since its establishment in June 1991, with the ISSN: 0854 – 5499 and e-ISSN (Online): 2527 – 8428. In 2020, it received national accreditation (SINTA 2) from the Ministry of Research and Technology of the Republic of Indonesia and the National Research and Innovation Agency. KJIH is actively pursuing indexing in prestigious databases like Scopus, Web of Science and other global indexes. We publish in English for accessibility, not as a political statement. The Editorial Board shall not be responsible for views expressed in every article.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)" : 10 Documents clear
Penyelesaian Kredit Macet Bank Melalui Parate Eksekusi Chadijah Rizki Lestari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Salah satu jenis agunan yang dapat diberikan debitur kepada bank adalah tanah. Hal tersebut penting dilakukan agar penyaluran dan pengembalian kredit dapat berjalan lancar sesuai harapan. Namun kredit macet selalu tidak dapat dihindari. Salah satu langkah yang dapat ditempuh bank adalah dengan mengeksekusi obyek agunan yaitu tanah melalui hak tanggungan. Salah satu cara eksekusi hak tanggungan tersebut adalah berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT). Tulisan ini akan menelaah tentang bagaimanakah proses pelaksanaan eksekusi hak tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT. Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat eksplanatoris, dan akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksekusi hak tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT haruslah diperjanjikan terlebih dahulu antara bank dengan debitur. Janji tersebut dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tangungan Atas Hak atas Tanah (APHT). Apabila telah diperjanjikan, maka bank dapat mengajukan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan kepada KPKNL. The Settlement of Non-Performing Loans Through Parate Execution ABSTRACT: One type of collateral that can be given to the bank's borrowers is ground. This is important so that the distribution and loan repayments can run smoothly as expected. However, bad credit cannot always be avoided. One of the steps that can be taken by the executing bank is the object of the collateral is land through mortgage. One way of execution of the mortgage is based on the provisions of Article 6 of Law Number 4, 1996 on Mortgage of Land Along Objects Relating to Land (UUHT). This paper will examine how the process of the execution of the mortgage under the provisions of Article 6 UUHT. This is normative juridical approach that is both explanatory and will be analyzed by qualitative approach. The results showed that the execution Encumbrance pursuant to Article 6 UUHT must be agreed in advance between the bank and the debtor. Appointments are set forth in the Deed Granting Bond Over Land Rights (APHT). It has been agreed then the bank may apply for execution to KPKNL Mortgage.
Implikasi Yuridis Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Batubara dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Aceh Barat Fahmi Sara; Dahlan Dahlan; Sri Walny Rahayu
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan merupakan kewajiban yang dimiliki oleh perusahaan terhadap masyarakat sekitar yang merasakan langsung dampak buruk akibat dari aktivitas usahanya. Berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ditetapkannya tanggung jawab sosial dan lingkungan ke dalam bentuk pengaturan undang-undang sebagai sebuah kewajiban perusahaan, merupakan usaha pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hukum di Indonesia terhadap perkembangan ekonomi dunia dalam rangka menggugah dan meningkatkan kesadaran pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi para pelaku usaha dalam mengelola  perusahaannya dengan baik, dan cerminan dari tanggung jawab hukum yang melekat pada perusahaan dalam menciptakan hubungan yang harmonis, serasi, seimbang, kemudian  ketentuan tersebut menjadi norma yang dijadikan alat pengontrol perilaku di dalam masyarakat terutama dalam menjaga hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar dalam rangka meminimalkan dampak buruk dalam menjalankan usahanya. Social and Environmental Responsibility Implication of Coal Company in Developing People Life Quality In West Aceh Regency ABSTRACT: Social and environmental corporate responsibility is a commitment that was created by company to the surrounding people whose getting worse impact from company activity. Based on Article 74 Law Number 40 year 2007 regarding Limited Company stated social and environmental corporate responsibility is a company commitment for acting the continuous economic development  in increasing  life quality and beneficial environment, for limited company itself, the community, and the surounding people as well. It is stated social and environmental corporate responsibility include to the managing regulation  as  together commitment among stakeholder as goverment acts for fulfill law needs in Indonesia along  world economic fluctuation to challenge and to increase  awarness of doing social and environmental responsibility for company man in running theis business well as reflecting a law responsibility of corporate in creating good relationship with the surrounding people culture in minimazing the worse impact of doing their business.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Pembaruan hukum atas Hukum Acara Pidana dapat dilakukan dengan menelisik sisi dinamis manusia dan kemanusiaan aparat penegak hukum.Metode penulisan demikian menggunakan perspektif ilmu hukum yang dikonsepsikan sebagai realitas. Oleh karenanya, kajian empiris atas Hukum Acara Pidana dipilih sebagai kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan yang dilakukan oleh manusia. Kajian pada aspek manusia inilah yang akan meruntuhkan Hukum Acara Pidana yang disebut sebagai ‘hukum yang tiada tempat untuk menafsir’. Pembaruan hukum yang tidak sebatas mengkaji norma namun memfokuskan hingga ke tataran nilai demikian, pada akhirnya menemukan keseimbangan penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia yang harus dipahami oleh para aparat penegak hukum dengan prophetic intelligence. Renewal of Criminal Procedure Law Through the Study of the Human Side of Law Enforcement Officers ABSTRACT: Reform the law on penal procedure can be done by searching the human dynamic and the human side of law enforcement officers. This writing method using the perspective of jurisprudence ia conceived as areality. Therefore, empirical studies on criminal procedural law chosen as the study that looked at the law as a reality that is done by humans. Thus studies of the human aspect, which further undermine the criminal procedural law known as the ‘law that has no place to interpret’. Legal reform is not limited to assessing the norm, but also focus up to the level of value, finally found a balance of law enforcement and the protection of human rights that must be understood by law enforcemeny officer with prophetic intelligence.
Implikasi Hukum Terkait Pertimbangan Majelis Pendidikan Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh Cut Meutia; Eddy Purnama; M. Saleh Sjafei
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Pasal 1 Ayat (6) Qanun No. 3 Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Pendidikan Daerah (MPD) menentukan bahwa MPD sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemerintah daerah khususnya di bidang pendidikan yang memberikan pertimbangan dan dukungan kepada pemerintah daerah menyangkut kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana peranan Majelis Pendidikan Daerah dalam penyelenggaraan pendidikan Aceh dan konsekuensi hukum terhadap saran, masukan dan pertimbangan dari MPD yang tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan MPD belum berjalan dengan maksimal dikarenakan Pemerintah Aceh masih hanya sebatas menunggu saran, masukan dan pertimbangan di bidang pendidikan dari MPD dan tidak berkewajiban melaksanakan saran tersebut. Konsekuensi hukum terhadap peran MPD yang tidak dijalankan pemerintah Aceh yaitu tidak ada sanksi yang tegas untuk eksekutif dan legislatif jika tidak menjalankan saran dari MPD. The Implementation of Duty and Function of The Province Education Board in the Aceh Governance ABSTRACT: Article 1 (6) of Qanun Number 3, 2006 on the Organization Arrangement and the Organization Structure and Working Structure of the MPD states that the as one of the governmental organization delaing with the education matters in Aceh  providing the policy and consideration for government in regard with the education policy. This research aims to explore the extent of the role of theProvince Education Board in developing the education and the legal consequence of not using the advise, consideration, and suggestions of the body by the Government of Aceh. This is descriptive analytical research by analyzing the data qualitativelyThe research shows that the MPD role has not been well conducted as the Government of Aceh is only wait the advise, consideration, and suggestion of the MPD and the Government of Aceh has no obligation to conduct them. The legal consequences of the Government of Aceh dose not impose them in the policy made, is there is no sanction for both executive and legislative parties due to disobeying the advice, consideration and suggestion of the MPD.
Hak Menguasai Negara dan Perlindungan Hukum terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat: Kajian Teoritis dan Implementasinya Muh. Afif Mahfud
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Lemahnya pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat menyebabkan hak ulayat berada pada posisi yang dilematis ketika berhadapan dengan hak menguasai negara. Hak menguasai negara sesungguhnya bertujuan untuk menciptakan kesejahtera-an rakyat. Namun, selama ini peraturan perundang-undangan yang menjadi penjabaran dari hak menguasai negara tersebut cenderung mengganggu atau bahkan menghilangkan hak-hak dari masyarakat hukum adat. Oleh sebab itu, agar hak ulayat tidak terganggu apalagi dihilangkan oleh hak menguasai negara maka perlu pembatasan dari hak menguasai negara yaitu memajukan kesejahteraan masyarakat hukum adat dan perlindungan kepada hak asasi manusia. Kebijakan terkait masyarakat hukum adat juga haruslah aspiratif. A State’s Right to Control and Legal Protection Towards Indigenous People’s Right to Have a Land: Theories and Its Implementation ABSTRACT: The weakness of indigenous people recognition has made indigenous people right is in dilemmatic position when facing state authority. Actually, the purpose of state authority is people prosperity. In contrast, regulations in field of state authority can disturb or even deplete indigenous people right. So that, in order indigenous people right can be looked after, there must be limit of state authority namely indigenous people prosperity and human right. The policy related to indigenous people right also must be aspirated.
Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi Terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar; Mohd. Din; Yanis Rinaldi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Tindak pidana gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun ketentuan ini hanya berlaku bagi penerima gratifikasi, sedangkan pemberi gratifikasi diatur dengan ketentuan Pasal 5. Sementara itu Pasal 12C menyatakan jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK terhitung paling lambat 30 hari sejak gratifikasi tersebut diterima, maka ketentuan Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi pemberi gratifikasi dalam tindak pidana korupsi dan hilangnya sifat melawan hukum pemberi gratifikasi jika penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK. Metode peneliti-an yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan pemberi gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, setiap pemberian yang dilakukan kepada pegawai negeri/penyelenggara negara dengan harapan agar penerima gratifikasi melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan tugasnya, dan semata-mata untuk memenuhi keinginan pemberi gratifikasi. Hilangnya sifat melawan hukum pemberi gratifikasi dalam tindak pidana korupsi terkait adanya laporan penerima gratifikasi yaitu si pemberi tetap memiliki sifat melawan hukum atas perbuatan mem-berkan gratifikasi, sedangkan adanya laporan penerima gratifikasi bukan merupakan sebuah alasan peniadaan pidana. Akan tetapi alasan peniadaan pidana itu ditujukan terhadap penerima gratifikasi. Disarankan kepada pembentuk undang-undang agar memberikan pembatasan tentang makna dari gratifikasi dan merevisi ketentuan Pasal 12C sehingga terciptanya suatu keseimbangan antara penerima dan pemberi gratifikasi. The Gratification as Corruption in Regard With a Report from a Gratification Receiver ABSTRACT: A crime of gratification has been legislated in Article 12B of the Act Number 20, 2001 in regards with the Alteration of the Act Number 31, 1999 regarding the Corruption Suppression Act. However, it only applies for a gratification receiver, while a gratifier is ruled in Article 5. Article 12C has provided a possibility that if the receiver may report the KPK (Corruption Suppression Commission) within 30 days sine the acceptance, and Article 12B (1) is not applicable. It means that the act which is against the law of accepting it becoming void; nevertheless the gratifier violates the law. This research aims to explore the existence of gratifier in a corruption case and the absence of a breaching law element of the gratifier if the receiver of gratification reports the KPK (Corruption Suppression Commission). This is juridical normative research. The research shows that the existence of the gratifier of corruption is worded in Article 5 of the Corruption Suppression Act that every gift for a civil servant/official aiming at the gratification receiver commits a thing or omit to do a thing violating his/her duty in order to fulfill the need of the gratifier. The absence of an act violating the law of the gratifier in a corruption case in regard with the report from the gratification receiver is that the gratifier does still violate the law due to the commission, while by the report from the receiver, the act against the law is not avoid. However, the reason for abolishing the punishment is only for the gratification receiver. This recommended that the lawmakers should provide a limit on the meaning of gratification and should be revised hence of Article 12C there is a balance between the receiver and the gratifier.
Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Sempadan Sungai Krueng Jambo Aye Aceh Utara Bahrul Walidin; Efendi Efendi; Mahfud Mahfud
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Peningkatan aktivitas pembangunan, berpengaruh terhadap pemanfaatan ruang. Sejumlah ruang tidak bisa bebas dimanfaatkan, seperti sempadan sungai. Penelitian ini ingin mengkaji bagaimana pemanfaatan ruang di sempadan sungai Krueng Jambo Aye, Aceh Utara. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, yang mengkaji implementasi ketentuan hukum positif dan kontak secara faktual pada setiap peristiwa tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang ditentukan. Selain data primer, penelitian ini juga didukung oleh data sekunder. Analisis data secara deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan temuan penelitian, penyebab terjadinya penyimpangan adalah adanya intervensi politik dalam bentuk aspirasi dewan. Di samping itu kurang berjalannya fungsi koordinasi dan peran antara satuan kerja perangkat daerah dan legislatif. Hal lain yang menjadi penyebab, karena belum adanya rencana tata ruang wilayah yang berkekuatan hukum, belum terealisasinya rencana tata ruang kawasan strategis dan peraturan zonasi sebagai penjabaran rencana tata ruang wilayah Kabupaten Aceh Utara 2012-2032. Sebab terakhir perumahan warga karena  tidak adanya teguran kepada para penghuni rumah yang secara turun-temurun tinggal di atas sempadan sungai. Disarankan agar Pemerintah Kabupaten Aceh Utara meninjau kembali melalui revisi rencana tata ruang yang telah ditetapkan dalam Qanun No. 7 Tahun 2013, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010. Spatial Abuse at Riparian Krueng Jambo Aye North Aceh River ABSTRACT: An increase on construction activities, affects spatial usages. A number of spaces cannot be used, such as river border. This paper examines the use of space in the border river of Krueng Jambo Aye, North Aceh. This is empirical legal research exploring the implementation of legislations and contact factually on any special events that occur within the community in order to achieve its objectives. In addition, primary data are also supported by secondary data. Data are analyzed through qualitative approach.  The findings show that the cause of the violation is political interference of parliament members. Moreover, lack of coordination and the role of the functioning of the local work unit and the members. Furthermore, there is no spatial plan that is legal; there is no strategic regional spatial plans realization and zoning regulations as the elaboration of spatial plan, the North Aceh district from 2012 to 2032. Finally, residents’ houses are occupying the place since their ancestors have not been warned. It is recommended that the Government of North Aceh District should revise the spatial plans as ruled in Qanun Number 7, 2013 in accordance with the Government Regulation Number 15, 2010.
Konsepsi Pidana Hudud dalam Qanun Jinayat Aceh-Indonesia dan Brunei Darussalam Aharis Mabrur; Rusjdi Ali Muhammad; Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Sekalipun berakar pada budaya Melayu Islam-Sunni Syafi'iyah namun hudud yang dirumuskan dalam Qanun Aceh dan Brunei terindikasi berbeda, padahal secara konseptual dikenal sebagai perkara qath’i, sehingga menarik untuk mengetahui bagaimana sesungguh-nya konsepsi, implikasi, serta hal-hal yang memengaruhi konsepsinya. Hasil penelitian yuridis-normatif ini menunjukkan: meski memperlihatkan “benang merah” dengan fikih klasik namun secara keseluruhan QJA membentuk konsepsi hudud yang lebih moderat dan khas Aceh-Indonesia sehingga berbeda dibandingkan KHJB yang secara murni mere-presentasikan Syafi’iyah; perbedaan konsepsi berimplikasi pada bercampurnya pidana hudud dan ta’zir dalam konteks pemberatan pidana hudud dalam QJA; dan perbedaan konsepsi dipengaruhi oleh paradigma legislasi hukum Islam. Disarankan pidana hudud dalam QJA disusun lebih komprehensif-sistematis sesuai klasifikasinya; untuk menghindari bercampurnya hudud dan ta’zir dalam formulasi ketentuan pidana, Aceh perlu melihat perbandingan “dua stelsel ketentuan pidana” dalam KHJB; dan sebagai the living law wajar sekiranya mazhab Syafi’i diprioritaskan, tetapi mesti tetap mengedepankan relevansi, tanpa mengekang kreatifitas pemikiran. Hudud Conception in Islamic Criminal Canon of Aceh-Indonesia and Brunei Darussalam ABSTRACT: Although derive from Malay Islam-Sunni Shafeites, the hudud in Islamic Criminal Canon of Aceh and Brunei is indicated to be worded differently, whereas conceptually is known as a “definitive matter”, so it’s interesting to find out how the actual conception is, its implications, as well as things impacting. This normative legal research shows: although showing "red thread" with classical fiqh thought but overall it seems to be more moderate and suit generic of Aceh-Indonesia, so substantively different from KHJB that is purely represent Shafeite thought; the conception has implication on the mixing of hudud and ta’zir in the hudud criminal weighting context of QJA; and the both conceptions is interfered by the existence of paradigm of Islamic law legislation. It is recommended that the substance of QJA is arranged comprehensively and systematically based on its classification; to avoid the mixing of hudud and ta'zir in the crimes wording of hudud, the QJA could find the comparison of a “two-criminal law formulation” in KHJB; and as the living law it is alright that the fiqh of Shafi’i is prevailed in Islamic law process but by persist to prioritize the relevant aspect and without limiting the thought creativity.
Kekuatan Hukum Mengikat SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Riki Yuniagara; Eddy Purnama; M. Saleh Sjafei
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Pada tataran praktik, SEMA No. 7 Tahun 2014 yang menyatakan pengajuan Peninjauan Kembali hanya boleh satu kali mengesampingkan Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyatakan pengajuan Peninjauan Kembali boleh dilakukan berkali-kali. Penolakan perkara pengajuan Peninjauan Kembali yang kedua kali yang diajukan oleh Michael Titus Igweh dalam Putusan MA No. 144 PK/Pid.Sus/2016 menunjukkan bahwa SEMA No. 7 Tahun 2014 memiliki daya kekuatan yang mengikat para hakim-hakim dari pada Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013. Penelitian ini bertujuan mengetahui kekuatan hukum mengikat SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan SEMA No. 7 Tahun 2014 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak termasuk jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. SEMA hanya-lah suatu produk peraturan kebijakan yang berisikan petunjuk teknis untuk menja-lankan tugas publik. Landasan hukum pemberlakuan SEMA No. 7 Tahun 2014 memi-liki materi pengaturan yang sama dengan materi Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang telah dibatalkan oleh MK No. 34/PUU-XI/2013, secara otomatis juga ikut membatalkan materi pasal yang dijadikan landasan hukum pemberlakuan SEMA tersebut sehing-ga pembentukannya cacat formil dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Disarankan Mahkamah Agung perlu melakukan penyempurnaan terhadap SEMA No. 7 Tahun 2014 agar tidak bertentangan dengan Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013. The Binding Precedent of The Supreme Court Circular Number 7, 2014 on The Application of Judicial Review in a Criminal Case ABSTRACT: In practice, the Supreme Court Directive (SEMA) Number 7, 2014 stating that the application is only permitted once time which disregarded the Constitutional Court Decision Number 34/PUU-XI/2013 which nullified Article 268 (3) of Indonesia Criminal Justice Procedure Act (KUHAP) stating the application of the review could be done more than one. Michael Titus Igweh brings that SEMA Number 7, 2014 the application of the review is rejected for the second time case in the Supreme Court Decision Number 144 PK/Pid.Sus/2016 shows, 2014 has a binding power for judges from the Constitutional Court Decision Number 34/PUU-XI/2013. This research aims to know the binding legal power of the Supreme Court Circular Number 7, 2014 on the application review of criminal case. This is a normative juridical research method. The research shows that the Supreme Court Directive (SEMA) Number 7, 2014 has not binding legal power and it is not included in this type of statutes as mentioned in Article 7 and Article 8 of Law Number 12, 2011. The Supreme Court Directive (SEMA) is simply a product of regulatory policy which only contains technical instruction to perform of public duties. The legal basis used in the implementation of The Supreme Court Directive (SEMA)  Number 7, 2014, has the material the same arrangement with the substance of Article 268 (3) Criminal Procedure Code (KUHAP) has been nullified by the Constitutional Court Number 34/PUU-X/2013, the automatically also nullified the material section which is used The legal basis of Supreme Court Directive (SEMA) it is unprocedured produce and has not binding legal power. It is recommended that the Supreme Court should revise the Circular of the Supreme Court Number 7, 2014 hence it does not violates the Decision of the Constitutional Court Number 34/PUU-XI/2013.
Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Bingkai Otonomi Khusus di Papua Efendi Efendi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Provinsi Papua memiliki begitu banyak sumber daya alam, tetapi masyarakatnya masih hidup dalam keterbelakangan dan serba kekurangan. Kondisi ini menjadi pemicu timbulnya konflik di Papua. Untuk mengatasi persoalan dimaksud melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2008, Provinsi Papua diberikan status sebagai daerah otonomi khusus dengan berbagai kewenangan, salah satu kewenangan dimaksud adalah dalam bidang pengelolaan sumber daya alam. Pemberian kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam ini dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga masyarakat Papua dapat hidup lebih makmur dan sejahtera. The Authority of Natural Resources Management in the Scope of Special Autonomy in Papua ABSTRACT: Papua Province has a lot of natural resources, but the people still live poverty. The condition has caused a conflict in Papua. In order to handle the problems, the Act Number 21, 2001 has awarded the province as special autonomy with several authorities; one of these is in the field of managing natural resources. The provision in the field of managing natural resources is aiming at increasing the income of people of Papua Province hence they will be living in wealth and prosperity.

Page 1 of 1 | Total Record : 10


Filter by Year

2017 2017


Filter By Issues
All Issue Vol 27, No 2: August 2025: Islam and Justice development in Indonesia Vol 27, No 1: April 2025: Customary Law and development in Indonesia Vol 26, No 3: December 2024: Law and Justice in Digital Age Vol 26, No 2: August 2024: The Global and National Challenges for Justice Vol 26, No 1: April 2024: Islam and Human Rights: National and Global Perspective Vol. 25, No. 3, December 2023: Law and Justice in Various Context in Indonesia Vol. 25, No. 2, August 2023: Contemporary Issues on Indonesian Legal Reform Vol. 25, No. 1, April 2023: Legal Developments in National and Global Context Vol 24, No 3 (2022): Vol. 24, No. 3, December 2022 Vol 24, No 2 (2022): Vol. 24, No. 2, August 2022 Vol 24, No 1 (2022): Vol. 24, No. 1, April 2022 Vol 23, No 3 (2021): Vol. 23, No. 3, December 2021 Vol 23, No 2 (2021): Vol. 23, No. 2, August 2021 Vol 23, No 1 (2021): Vol. 23, No. 1, April 2021 Vol 22, No 3 (2020): Vol. 22, No. 3, Desember 2020 Vol 22, No 2 (2020): Vol. 22, No. 2, Agustus 2020 Vol 22, No 1 (2020): Vol. 22 No. 1, April 2020 Vol 21, No 3 (2019): Vol. 21, No. 3 (Desember 2019) Vol 21, No 2 (2019): Vol. 21, No. 2 (Agustus 2019) Vol 21, No 1 (2019): Vol. 21, No. 1 (April 2019) Vol 20, No 3 (2018): Vol. 20, No. 3 (Desember 2018) Vol 20, No 2 (2018): Vol. 20, No. 2, (Agustus 2018) Vol 20, No 1 (2018): Vol. 20, No. 1, (April 2018) Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017) Vol 19, No 2 (2017): Vol. 19, No. 2, (Agustus, 2017) Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017) Vol 18, No 3 (2016): Vol. 18, No. 3, (Desember, 2016) Vol 18, No 2 (2016): Vol. 18, No. 2, (Agustus, 2016) Vol 18, No 1 (2016): Vol. 18, No. 1, (April, 2016) Vol 17, No 3 (2015): Vol. 17, No. 3, (Desember, 2015) Vol 17, No 2 (2015): Vol. 17, No. 2, (Agustus, 2015) Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015) Vol 16, No 3 (2014): Vol. 16, No. 3, (Desember, 2014) Vol 16, No 2 (2014): Vol. 16, No. 2, (Agustus, 2014) Vol 16, No 1 (2014): Vol. 16, No. 1, (April, 2014) Vol 15, No 3 (2013): Vol. 15, No. 3, (Desember, 2013) Vol 15, No 2 (2013): Vol. 15, No. 2, (Agustus, 2013) Vol 15, No 1 (2013): Vol. 15, No. 1, (April, 2013) Vol 14, No 3 (2012): Vol. 14, No. 3, (Desember, 2012) Vol 14, No 2 (2012): Vol. 14, No. 2, (Agustus, 2012) Vol 14, No 1 (2012): Vol. 14, No. 1, (April, 2012) Vol 13, No 3 (2011): Vol. 13, No. 3, (Desember, 2011) Vol 13, No 2 (2011): Vol. 13, No. 2, (Agustus, 2011) Vol 13, No 1 (2011): Vol. 13, No. 1, (April, 2011) Vol 12, No 3 (2010): Vol. 12, No. 3, (Desember, 2010) Vol 12, No 2 (2010): Vol. 12, No. 2, (Agustus, 2010) Vol 12, No 1 (2010): Vol. 12, No. 1, (April, 2010) More Issue