cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
JOGED
ISSN : 18583989     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
JOGED merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 22, No 2 (2023): OKTOBER 2023" : 7 Documents clear
KOMODIFIKASI TARI BADAYA DALAM UPACARA ADAT MAPAG PANGANTEN SUNDA Pradasta Asyari; Dade Mahzuni; R. M. Mulyadi Mulyadi
Joged Vol 22, No 2 (2023): OKTOBER 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v22i2.11273

Abstract

ABSTRAKBadaya merupakan sebuah jabatan di dalam pertunjukan Wayang yang merujuk kepada emban geulis yang bertugas untuk mempersipkan segala kebutuhan Keraton sekaligus menari di hadapan Raja dan petinggi Keraton. Di awal perkembangannya, tari Badaya ini digunakan sebagai tari bubuka dalam pertunjukan Wayang Wong, yang kini telah beralih fungsi menjadi sebuah tari komoditi yang digunakan sebagai materi pokok dalam rangkaian Upacara Adat Mapag Panganten Sunda. Perubahan yang terjadi tidak hanya secara tekstual pada bentuk seninya, melainkan terhadap masyarakat itu sendiri sebagai pelaku dalam sektor ekonomi, industri, politik, dan pariwisata. Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan bagaimana proses terjadinya tari Badaya menjadi sebuah tari komoditi dalam Upacara Adat Mapag Panganten melalui pemikiran Raymond Williams dan Theodor W. Adorno. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan secara etnografi dan historical analysis. Kajian ini memperoleh hasil bahwa komodifikasi tari Badaya memiliki standarisasi yang menggiring kemasan dengan pemadatan koreografi, durasi penampilan yang singkat, busana yang glamour dan mewah, rias sederhana, serta aksesibilitas instrumen pengiringnya.ABSTRACKBadaya is a position in the Wayang performance that refers to the Emban Geulis whose job is to prepare all the needs of the palace as well as dance in front of the king and other palace officials. At the beginning of its development, this Badaya dance was used as a powder dance in the Wayang Wong performance, which has now changed its function into a commodity dance which is used as the main material in a series of Sundanese Mapag Panganten Traditional Ceremonies. Changes that occur are not only textual in the form of art, but also to the community itself as an actor in the economic, industrial, political, and tourism sectors. This paper attempts to explain how the process of the Badaya dance becoming a commodity dance in the Mapag Panganten Traditional Ceremony through the thoughts of Raymond Williams and Theodor W. Adorno. The method used is a qualitative method with an ethnographic approach and historical analysis. This study finds that the commodification of Badaya dance has standardization that leads to packaging with compaction of choreography, short duration of performance, glamorous and luxurious clothing, simple make-up, and accessibility of accompanying instruments.
TINTA HIJAU: Koreografi tentang Stigma Negatif Masyarakat Tulungagung terhadap Perempuan di Warung Kopi Cethe Yussi Ambar Sari
Joged Vol 22, No 2 (2023): OKTOBER 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v22i2.11278

Abstract

RINGKASANTinta Hijau merupakan karya tari yang hadir untuk merespons realita kehidupan mengenai stigma masyarakat Tulungagung terhadap perempuan di warung kopi cethe. Berlakunya budaya patriarki pada masyarakat pada umumnya, memberikan stigma buruk terhadap kehadiran perempuan di warung kopi cethe. Stigma masyarakat tentang keberadaan perempuan di warung kopi cethe dapat membelenggu kebebasan perempuan dan melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan. Penyebabnya masih klasik, karena ranah perempuan masih dianggap ada di wilayah domestik, sehingga ketidakadilan gender masih ada.ABSTRACT Tinta Hijauis a dance work choreographed to respond to the reality of life on the stigma of the public of Tulungagung against women in the coffee shop cethe. The development of the culture patriarchy that occurs in the scope of the coffe shop cethe give the stigma of bad against the presence of woman. The stigma of the community about the existence of the women in the coffee shop cethe can shackles freedom of women and breaks the women rights. The cause was a conservative believe, that the realm of woman was limited to the domestic work. In addition, in Indonesia, law enforcement has been weak and gender inequity is still there.
NALA: KARYA TARI YANG TERINSPIRASI DARI TOKOH SINTA YANG DIKORELASIKAN PADA FENOMENA MASA SEKARANG
Joged Vol 22, No 2 (2023): OKTOBER 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v22i2.11274

Abstract

ABSTRAKKarya tari Nala terinspirasi dari tokoh Sinta dalam kisah pewayangan Ramayana. Dikisahkan, selama Sinta diculik Rahwana, ia merasa sedih, marah, putus asa, dan juga rindu. Hal ini memunculkan ide gagasan penciptaan tari yang dituangkan dalam sebuah koreografi Tunggal, bertipe dramatik dengan tema kesetiaan. Metode penciptaan yang digunakan dari Alma Hawkins yang menguraikan proses penciptaan terdiri atas eksplorasi, improvisasi, komposisi, dan evaluasi. Penyajian karya ini menggunakan sajian sinematografi dengan memperhatikan ruang pertunjukan berdasarkan angle kamera. Karya tari yang berdurasi 9 menit, proses penggarapannya berpijak pada esensi filosofi ngenceng yaitu teteg sebagai sumber kreatif gerak tari gaya Yogyakarta yang terdiri dari 4 bagian. Bagian I menggambarkan keadaan Sinta ketika bermimpi tentang Rahwana, bagian II penggambaran perasaan Sinta ketika dibaluti kesedihan, bagian III menyajikan sifat manusiawi yang ada di dalam diri Sinta, yaitu marah dan kecewa, dengan menghadirkan setting kain berwarna merah sebagai properti memberi suasana tegang. Bagian IV menghadirkan motif ngenceng penggambaran rasa sabar dan legawa dengan kain berwarna putih sebagai simbol keikhlasan.ABSTRACTNala's dance work is inspired Sinta, by the puppet character in the Ramayana story. The story of Sinta's journey while being abducted by Rahwana gave rise to feelings of sadness, anger and longing, bringing up ideas that were poured into a single choreography. This work is presented in the form of a single choreography with the choreographer as a dancer. This solo choreography is of dramatic type and the theme in this work is loyalty. The idea was used as a foothold by using the Alma Hawkins method in the process of its creation, namely; exploration, improvisation, composition, and evaluation. The presentation of this work uses a cinematographic presentation by paying attention to theperformance space based on the camera angel in certain parts. This work is 9 minutes long with the process of making it based on the essence of the ngenceng philosophy, namely teteg as a creative source of motion so that it produces 4 parts. Part I contains the state of Sinta when dreaming about Ravana, part II describes how Sinta feels when she is sad, part III presents Sinta's human nature, namely anger and chaos, by presenting cloth settings and costume play which are used as props to give a tense atmosphere. Part IV presents the motif of ngenceng depicting a sense of patience and relief as a symbol of sincerity.
WA ODE MENERJANG BADAI: KARYA TARI YANG MEREFLEKSIKAN PERJUANGAN PEREMPUAN BUTON DALAM MENGGAPAI KEMERDEKAAN
Joged Vol 22, No 2 (2023): OKTOBER 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v22i2.11279

Abstract

RINGKASANWa Ode Menerjang Badai adalah perjuangan wanita Buton dalam melawan kebebasannya. Koreografinya terinspirasi oleh pribadi penulis/koreografer sebagai wanita yang menyandang gelar bangsawan Ode. Hari ini, banyak perempuan Buton Ode yang benar-benar ingin mencapai tujuannya dengan membuat pilihan sendiri. Dalam lagu Khabanti tradisional dan novel modern Di bawah bayang-bayang, Ode digambarkan sebagai perempuan yang hampir tidak memiliki kebebasan karena dibatasi secara ketat oleh aturan tradisional di mana pernikahan yang diatur adalah kebiasaan di antara keluarga kerajaan. "Wa Ode Menerjang Badai ” ditarikan oleh lima orang penari perempuan, salah satunya bertindak sebagai Wa Ode — karakter utama — yang berjuang untuk kebebasan dan status yang setara. Sepanjang koreografi Wa Ode mengungkapkan rasa frustrasi, kebingungan, dan kecemasannya berbagai cara untuk mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan, yaitu membebaskan wanita Buton dari dunia maya yang belenggu aturan tradisional untuk mencapai kebebasan dan kesetaraanABSTRACTWaode Crossing the Storm is the struggle og Buton women in fighting their freedom. The choreography is inspired by the author-choreographer’s personal experience as a woman who bears the noble title of Ode. Today, many Buton Ode women really want to achieve her goals by making her own choices. In the traditional khabanti songs and modern novel Under Shadow of Ode, the Ode women are depicted as almost having no freedom bounded strictly by traditional rules in which arranged marriage is customary among royal families. “Waode Crossing the Storm” is performed by five female dancers one of them acts as Waode—the main character—who is fighting for freedom and equal status. Along the choreography Waode expresses he frustration, confusion, and anxiety indifferent ways to make her dream a reality, i.e, freeing Buton women from the shackles of traditional rules to achieve freedom and equality.
REPRESENTASI GONG DALAM TARI NGERUAI KENEMIAK (ANALISIS POLA DUA ESTETIKA PARADOKS) Regaria Tindarika; Winda Istiandini; Ahadi Sulissusiawan
Joged Vol 22, No 2 (2023): OKTOBER 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v22i2.11275

Abstract

ABSTRAKTari Ngeruai Kenemiak memiliki keunikan tersendiri yaitu terdapatpenggunaan alat musik Gong sebagai properti tarinya. Gong ini dimainkan selama pertunjukan tari berlangsung. Adapun cara memainkannya dengan dipegang, diayunkan ke atas dan bawah, diinjak, dan diduduki. Dengan menggunakan teori estetika paradoks oleh Jakob Sumarjo, penelitian ini akan dianalisis berdasarkan bentuk properti, cara penggunaannya dalam upacara maupun tari Ngeruai Kenemiak. Metode yangdigunakan adalah deskriptif dan bentuk penelitian ini adalah kualitatif. Data dianalisis melalui pendekatan semiotik. Teknik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan observasi, wawancara, dokumentasi danstudi pustaka. Melalui tari Ngeruai Kenemiak tergambar jelas bahwa tari ini mendapat inspirasi dari prosesiadat Ngeruai Kenemiak yang merupakan upacara kelahiran bayi suku Dayak Kantu’. Gong yang setelah dianalisis menggunakan pola dua menggunakan estetika paradoks merupakan representasi dari dunia, siklus kehidupan, serta peran manusia di dalamnya sangat terikat oleh hungungan antar sesama manusia, alam sekitarnya dan juga Petara atau Tuhan.ABSTRACTThis research is motivated by Ngeruai Kenemiak dance which has its own uniqueness, namely the use of Gongmusical instruments as dance properties. This gong is played during the dance performance. As for how to playit, it is to be held, swinging up and down, being stepped on, and being occupied. Using the paradoxical aesthetic theory by Jakob Sumarjo, this research will be analyzed based on the shape of the property, the way it is used in ceremonies and Ngeruai Kenemiak dance. The method used is descriptive and the form of this research is qualitative. The data are analyzed through a semiotic approach. The techniques carried out in this study are observation, interviews, documentation and literature studies. Through the Ngeruai Kenemiak dance, it is clearly illustrated that this dance draws inspiration from the traditional procession of Ngeruai Kenemiak whichis the birth ceremony of the baby of the Dayak Kantu tribe'. Gong, which after analysis using pattern two usingparadoxical aesthetics, is a representation of the world, the cycle of life, and the role of humans in it is very much bound by the relationship between fellow humans, the surrounding nature and also Petara or God.
ANALISIS KOREOGRAFI TARI SETABEK DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN SUMATERA SELATAN Widya Yuli Sartika; Rina Martiara; Budi Astuti
Joged Vol 22, No 2 (2023): OKTOBER 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v22i2.11276

Abstract

RINGKASANTari Setabek merupakan tari penyambutan tamu yang menjadi ciri khas dari Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Tari ini ditarikan oleh 10 orang penari yang terdiri dari 1 orang penari utama (pembawa tepak), 2 orang penari dayang penabur bunga, 4 orang penari pengiring, 2 orang pembawa tombak (laki-laki), dan 1 orang pembawa payung (laki-laki). Untuk menganalisis, dipakai pendekatan koreografi. Analisis pendekatan koreografi meliputi aspek bentuk, teknik, dan isi serta aspek tenaga, ruang dan waktu. Ketiga konsep tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Pemahaman analisis koreografi terdiri dari prinsip-prinsip kebentukan yang meliputi kebentukan, variasi, repetisi, transisi, rangkaian, dan klimaks. Struktur tari Setabek terdiri dari 3 bagian berdasarkan pola iringan, pola gerak, dan pola lantai, yaitu Jebo Maro (pembuka), Bedundai (inti), dan Karang Buri (penutup). Secara koreografis dapat disimpulkan bahwa ragam gerak yang spesifik pada tari Setabek adalah motif tabek dan motif lambaian, karena motif tersebut sering muncul atau dilakukan berulang kali dan juga sebagai motif penghubung antara gerakan yang satu dengan yang lainnya. Dari analisis struktur, tari Setabek memiliki 6 kalimat gerak dan 18 frase. Jumlah keseluruhan motif yang ada pada tari Setabek yaitu 128 motif yang terdiri atas 11 jenis motif dari 123 jumlah motif putri dan 5 jenis motif dari 5 jumlah motif laki-laki dengan 10 pola lantai yang digunakan. Dari struktur ini terlihat secara kebentukan bahwa tari Setabek merupakan tari yang bertemakan penyambutan tamu yang bisa dilihat dari gerakannya yang mencirikan penghormatan. Secara teknik gerak-gerak dalam tari Setabek ini memiliki kecendrungan bergerak sejajar dengan torso dan gerakan yang dilakukan juga tidak terlalu luas atau lebar, kebanyakan gerak yang dilakukan bergerak secara lemah lembut dan mengayun, serta hal tersebut juga didukung dengan musiknya yang sangat lembut dan mengalir. Secara isi tari Setabek merealisasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Musi Banyuasin, hal tersebut terlihat dari segi kostum, properti, dan lain-lain.ABSTRACTThis study analyzes the choreography of the Setabek dance in Musi Banyuasin Regency, South Sumatra. Setabek dance is a welcoming dance that is characteristic of Musi Banyuasin Regency, South Sumatra. This dance is danced by 10 dancers consisting of 1 main dancer (slap bearer), 2 flower-sowing dayang dancers, 4 accompaniment dancers, 2 spear bearers (male), and 1 umbrella carrier (male). To analyze, used a choreographic approach. The analysis of the choreographic approach includes aspects of form, technique, and content as well as aspects of energy, space and time. The three concepts are a unified whole. The understanding of choreographic analysis consists of the principles of formation which include formation, variation, repetition, transition, sequence, and climax. The structure of the Setabek dance consists of 3 parts based on the accompaniment pattern, movement pattern, and floor pattern, namely Jebo Maro (opener), Bedundai (core), and Karang Buri (cover). Choreographically, it can be concluded that the specific range of motion in the Setabek dance is the tabek motif and the waving motif, because these motifs often appear or are performed repeatedly and also serve as a connecting motif between one movement and another. From the structural analysis, the Setabek dance has 6 sentences of movement and 18 phrases. The total number of motifs in the Setabek dance is 128 motifs consisting of 11 types of motifs from 123 female motifs and 5 types of motifs from 5 male motifs with 10 floor patterns used. From this structure, it can be seen from the form that the Setabek dance is a dance with the theme of welcoming guests which can be seen from its movements that characterize respect. Technically the movements in this Setabek dance have a tendency to move parallel to the torso and the movements performed are also not too broad or wide, most of the movements performed are gentle and swaying, and this is also supported by the music which is very soft and flowing. The content of the Setabek dance realizes the values that exist in the Musi Banyuasin community, this can be seen in terms of costumes, properties, and others.
NILAI SOSIAL DALAM PERTUNJUKAN KUDA KEPANG SANGGAR WAHYU BUDOYO DI DESA LEGOKKALONG, KABUPATEN PEKALONGAN Shadewi Noorita Prabandari; Sestri Indah Pebrianti
Joged Vol 22, No 2 (2023): OKTOBER 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v22i2.11277

Abstract

ABSTRAKSanggar Wahyu Budoyo merupakan sanggar atau paguyuban kesenian yang masih melestarikan kuda kepang yang diajarkan ke generasi muda daerah setempat. Kuda kepang Wahyu Budoyo memiliki dua jenis tarian yaitu tari putra dan putri, dari segi bentuk gerak dan iringan memiliki perbedaan yang menjadi keunikan dari Tari Kuda Kepang Sanggar Wahyu Budoyo. Tema dari Tari Kuda Kepang Sanggar Wahyu Budoyo yaitu keprajuritan yang mana menggunakan rujukan cerita pasukan berkuda yang sedang berlatih dan bersiap untuk berperang melawan musuh. Selain bentuk tarinya dalam pertunjukan kuda kepang Sanggar Wahyu Budoyo juga memiliki beberapa nilai salah satunya yaitu nilai sosial. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menginterpretasi nilai yang ada pada pertunjukan kuda kepang Sanggar Wahyu Budoyo. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan pendekatan etik emik. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik keabsahan data menggunakan teknik triangulasi sumber. Teknik analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat nilai yang terkandung dalam pertunjukan kuda kepang di Sanggar Wahyu Budoyo yaitu nilai sosial meliputi nilai gotong-royong, kebersamaan, dan kerukunan.ABSTRACTSanggar Wahyu Budoyo is an art studio or association that still preserves the braid horse which is taught to the local younger generation. Wahyu Budoyo's braided horse has two types of dances, namely male and female dances, in terms of the form of movement and accompaniment, there are differences that are unique to the Wahyu Budoyo Sanggar Kuda Kepang Dance. The theme of the Kuda Kepang Dance at Sanggar Wahyu Budoyo is soldiering which uses references to the story of cavalrymen who are training and preparing to fight against the enemy. In addition to the form of the dance, in the horse braid show, Wahyu Budoyo Studio also has several values, one of which is social value. The purpose of this research is to interpret the values that exist in the horse braid show at Sanggar Wahyu Budoyo. The research method used is a qualitative method with an emic ethic approach. Data collection techniques using interviews, observation, and documentation. The data validation technique uses the source triangulation technique. Data analysis techniques using data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results of the study show that there are values contained in the horse braid show at the Wahyu Budoyo Studio, namely social values including the values of mutual cooperation, togetherness, and harmony.

Page 1 of 1 | Total Record : 7