cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Perspektif : Review Penelitian Tanaman Industri
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : 14128004     EISSN : 25408240     DOI : -
Core Subject : Education,
Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan yang memuat makalah tinjauan (review) fokus pada Penelitian dan kebijakan dengan ruang lingkup (scope) komoditas Tanaman Industri/perkebunan, antara lain : nilam, kelapa sawit, kakao, tembakau, kopi, karet, kapas, cengkeh, lada, tanaman obat, rempah, kelapa, palma, sagu, pinang, temu-temuan, aren, jarak pagar, jarak kepyar, dan tebu.
Arjuna Subject : -
Articles 203 Documents
PROSPEK INSEKTISIDA NABATI BERBAHAN AKTIF METIL EUGENOL (C12H24O2) SEBAGAI PENGENDALI HAMA LALAT BUAH Bactrocera Spp. (Diptera : Tephritidae) Prospect of Methyl Eugenol (C12H24O2) as Active Ingredient of Botanical Insecticide for Fruit Flies Control Bact Agus Kardinan
Perspektif Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n1.2019.16-27

Abstract

ABSTRAK  Pengendalian organisme pengganggu tanamam (OPT) di bidang hortikultura, khususnya dengan pestisida cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 30% dari biaya usahataninya.  Salah satu OPT di bidang hortikultura adalah hama lalat buah (Bactrocera spp.) yang mengakibatkan buah muda rontok, buah menjadi busuk dan berbelatung dengan kerusakan berkisar antara 30 - 60%, bahkan tidak jarang menggagalkan panen.  Petani sangat bergantung kepada pestisida kimia sintetis yang sering menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan pengguna.  Salah satu alternatif pengendalian ramah lingkungan adalah dengan penggunaan insektisida nabati, yaitu dengan memanfaatkan tanaman yang mengandung bahan aktif metil eugenol (C12H24O2), seperti Melaleuca bracteata, Ocimum sanctum, Ocimum minimum dan Ocimum tenuiflorum. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai potensi insektisida nabati berbahan aktif metil eugenol yang dapat digunakan sebagai pengendali hama lalat buah Bactrocera spp. Minyak atsiri yang dihasilkan dari hasil penyulingan gabungan tanaman tersebut mengandung metil eugenol ± 80%. Dari minyak atsiri tersebut dibuat beberapa formula, diantaranya ; (1) atraktan lalat buah berbentuk cair/minyak; (2) lem perangkap/sticky trap dan (3) umpan beracun/poisonous bait. Pemanfaatan senyawa ini sebagai pengendali lalat buah melalui penggunaan umpan beracun dan lem perangkap dilengkapi umpan sari buah (essence) a,l, mangga, belimbing, jambu biji, jeruk, apel dan nenas serta gula kelapa mampu menurunkan intensitas serangan lalat buah pada mangga sebesar 38,6 - 58,9%. Penggunaan perangkap berwarna kuning dapat meningkatkan efektivitas pengendalian lalat buah.  ABSTRACT Pest control in horticulture commodities need high cost, especially for buying pesticide that can reach about 30% of total expenses. One of the pest problems in  horticulture is fruit fly (Bactrocera spp) which causes young fruit fall, the fruit becomes rotten and contain magot/larva with damage ranging from 30 - 60%,  even rarely causing fail in harvest. Farmers rely heavily on synthetic chemical pesticides that often have a negative impact on the environment and user health. An alternative eco-friendly control is the use of botanical insecticide by using plants containing active ingredient of methyl eugenol (C12H24O2), such as Melaleuca bracteata, Ocimum sanctum, Ocimum minimum and Ocimum tenuiflorum. The essential oils resulted from  distillation of the mixed plant above contain methyl eugenol ± 80%. Some products can be made from the essential oils containing methyl eugenol, i.e. (1) Attractant in the form of liquid/oil; (2) Glue/sticky trap and 3) Poisonous bait. The objective of the paper is to inform the pottency of botanical insecticide containing active ingredient of methyl eugenol for controlling fruit flies Bactrocera spp.
PEMANFAATAN BROTOWALI (Tinospora crispa (L.) Hook.f & Thomson) SEBAGAI PESTISIDA NABATI / The utilization of bitter grape (Tinospora crispa (L.) Hook.f & Thomson) as botanical pesticide Wiratno Wiratno; Hera Nurhayati; Sujianto Sujianto
Perspektif Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n1.2019.28-39

Abstract

Penggunaan pestisida kimia menyebabkan berbagai masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia.  Oleh karena itu, penggunaan pestisida  berbahan baku alami merupakan salah satu alternatif yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT).  Brotowali (Tinospora crispa) merupakan tanaman berkhasiat obat yang tumbuh di daerah tropis termasuk Indonesia. Tanaman tersebut sering digunakan sebagai obat untuk demam, kolera, rematik, penyakit kuning dan diabetes tipe II.  Bahan aktif yang terkandung di dalam akar, batang, daun, buah dan bunga brotowali, yang dapat mengendalikan OPT di antaranya adalah alkaloid, tanin, saponin, glikosida, terpenoid dan flavonoid beserta turunannya. Selain bersifat toksik untuk serangga, tanaman brotowali juga bersifat antijamur, antinematisida dan antimoluska.  Batang brotowali dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga diantaranya tungau, Spodoptera exigua, Nephotettix spp, Nilaparvata lugens, Plutella xylostella, Phyliotera sinuata Ateph, Scirtothrips dorsalis Hood, Phyllocnistis citrella Stainton dan larva nyamuk Culex quinquefasciatus (vektor penyakit filariasis) dengan nilai efektivitas diatas 50% dan rasio efisiensi biaya produksi yang lebih rendah dari pestisida sintetik. Selain itu juga brotowali  dapat digunakan sebagai bahan untuk campuran pestisida organik.  Budidaya brotowali cukup mudah, walaupun belum banyak diteliti, sehingga ketersediaan bahan baku juga dapat berkelanjutan. Review ini bertujuan untuk mengemukakan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan penggunaan brotowali sebagai bahan untuk pestisida nabati. ABSTRACT Excessive use of chemical pesticides cause various problems related to environmental sustainability and human health. Therefore, the use of pesticides made from natural materials, such as from plants known as botanical pesticides, is one of the alternatives used to control plant pest.  Bitter grape (Tinospora crispa) is a medicinal plant  grows in tropical regions including Indonesia. The plant is often used as medicine for fever, cholera, rheumatism, jaundice and type II diabetes. The active ingredients contained in the roots, stems, leaves, fruits and flowers of this plant, which are able to control pests, are alkaloids, tannins, saponins, glycosides, terpenoids, flavonoids and their derivatives. Besides being toxic to insects, bitter grape also has  antifungal, antinematicidal and antimollusca activities. The extract or directly used of bitter grape stem had been utilized to control insects such as mites, Spodoptera exigua, Nephotettix spp, Nilaparvata lugens, Plutella xylostella, Phyliotera sinuata ateph, Scirtothrips dorsalis Hood, Phyllocnistis citrella Stainton and larvae of Culex quinquefasciatus (phyllariasis disease vector), with the pesticide effectiveness above 50% and efficiency ratio of cost production lower than synthetic pesticide.  Moreover, it can be mixed with other plants as raw materal for organic pesticide.  Bitter grape can be cultivated easily, although its cultivation technology has not been widely studied.  Thus, the sustainability of the raw materials will not be a problem. This review aimed to present the results of research related to the use of bitter grape as the material for botanical pestiside.
KELAYAKAN TEKNIS PENGEMBANGAN AGAVE DI LAHAN KERING BERIKLIM KERING Agave Stub Pattern Development in Dry Land, Dry Climate Budi Santoso; Mohammad Cholid
Perspektif Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n1.2019.40-51

Abstract

ABSTRAK Pengembangan agave diarahkan pada lahan kering beriklim kering yang cukup luas ketersediaannya. Potensi curah hujan yang terbatas sekitar 1.347,71 mm/tahun masih dapat mendukung pertumbuhan agave. Tujuan dari penulisan tinjauan ini adalah untuk menginformasikan pola rintisan pengembangan agave di lahan kering, iklim kering di Sumbawa Barat, sehingga dapat diekstrapolasikan ke daerah lain yang memiliki kemiripan sumber daya alam, ekosistem dan kondisi sosial. Program pola rintisan pengembangan agave di Sumbawa Barat mengikuti azas plasma dan inti.  Investor nasional sebagai inti dan para petani sebagai pelaku plasma.  Investor berkewajiban membeli serat kering agave pada saat panen dari para petani plasma dengan harga yang disepakati bersama. Selain itu investor menyediakan sarana produksi dan mesin dekortikator dengan sistem bantuan sosial. Benih Agave disediakan oleh Investor. Pola rintisan pengembanan agave di Sumbawa Barat dilaksanakan di Kecamatan Sekongkang, Poto Tano, dan Alas seluas 5.000 ha yang didukung oleh 10.000 Kepala Keluarga (KK). Dalam pelaksanaan pengembangan pola rintisan agave ini didukung dengan penyediaan paket teknologi berupa benih agave dari kultur jaringan; sistem tanam double row dan rapat; pengendalian penyakit; pengendalian gulma; aplikasi Ca dan Mg; dan teknologi pasca panen. Pengembangan agave di daerah rintisan hendaknya secara sosial dapat diterima oleh masyarakat, secara ekonomi menguntungkan dan mempunyai nilai tambah, tidak merusak lingkungan, dapat dikerjakan oleh petani, produk yang dihasilkan memiliki daya saing yang tinggi serta berorientasi dari produk primer ke sekunder. ABSTRACTAgave development is allocated to a dry up land area with dry climate, which is still available in large extent. The low annual rainfall of 1.347,71 mm is potentially sufficient for agave development. The purpose of this review is to provide information of the development of agave pioneer pattern on dry upland with dry climate in West Sumbawa, with the expectation that it can be extrapolated to other areas with similar natural resources, ecosystems and social conditions. The initial agave development program in West Sumbawa is based on nucleus and plasma principles. National investors as a nucleus and farmers as actors of plasma. Investors are obliged to buy a dry fiber agave at the harvesting from the farmers with a mutually agreed price. Additionally, investor provides production facilities, machinery dekorticator and seeds in the form of social assistance system. The pioneer pattern of agave development  in West Sumbawa was carried out in Sekongkang, Poto Tano and Alas districts and covered the areas of 5,000 ha involving 10,000 household (HH). In the implementation of the agave development pattern, it is supported by the provision of technological package consisting of agave seeds derived from tissue culture; densely double row planting system; disease control; weed control, application of Ca and Mg; and post-harvest technology.  Stub pattern agave development in the area should be socially acceptable by society, economically profitable and value-added, do not damage the environment, can be done by farmers, the products have high competitiveness and oriented from primary to secondary products. The development of agave in the pilot area should be socially acceptable to the community, economically profitable and has added value, does not damage the environment, can be done by farmers, the products produced have high competitiveness and are concentrated from primary to secondary products   
PERANAN AGENS HAYATI DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET The Role Of Biocontrol Agents To Control White Root Disease In Rubber Amaria, Widi; Khaerati, Khaerati; Harni, Rita
Perspektif Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n1.2019.52-66

Abstract

Penyakit jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh Rigidoporus microporus merupakan penyakit penting pada tanaman karet (Hevea brasiliensis). Daerah serangan cukup luas dan menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 1,8 trilliun rupiah. R. microporus merupakan patogen tular tanah yang menginfeksi mulai pembibitan sampai tanaman dewasa di lapang melalui proses mekanis dan enzimatis. Patogen R. microporus menginfeksi Rhizomorf R. microporus cepat berkembang dan mampu bertahan selama bertahun-tahun di dalam tanah. Pengendalian dengan menggunakan fungisida kimia secara terus menerus dapat mengganggu kestabilan lingkungan. Upaya mengurangi dampak negatif tersebut, dilakukan melalui penerapan teknologi pengendalian hayati dengan pemanfaatan agens hayati. Keunggulan penggunaan agens hayati antagonis adalah mudah berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan, mengurangi inokulum patogen, mudah didapatkan dan diperbanyak, serta aman untuk lingkungan. Agens hayati antagonis yang telah digunakan untuk mengendalikan penyakit JAP, antara lain dari kelompok jamur Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus, Chaetomium, Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces, dan Eupenicillium, kelompok bakteri adalah Bacillus dan Pseudomonas, serta kelompok aktinobakteri dari marga Streptomyces. Mekanisme agens hayati menekan infeksi R. microporus dengan kompetisi, antibiosis, hiperparasitisme, dan lisis. Keefektifan dan kestabilan agens hayati perlu diformulasi dalam bentuk biofungsida dengan menggunakan bahan pembawa dan tambahan tertentu. Keberhasilan aplikasi biofungisida sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan, dan pH. Selain itu, juga didukung oleh komponen budi daya tanaman, seperti penggunaan pupuk organik, dan sanitasi lingkungan dengan pemusnahan sumber inokulum.  ABSTRACT White root disease (WRD) caused by Rigidoporus microporus is an important disease in rubber (Hevea brasiliensis). The area of attack was quite extensive and caused economic losses up to 1.8 trillion rupiahs. R. microporus is a soil-borne pathogen that infects from seedlings to mature plants in the field through mechanical and enzymatic processes. Rhizomorph able to spreads and survives for years in the soil. Control using chemical fungicides continuously affects the environment stability. The efforts to reduce are conducted through the application of biological control technology with the use of antagonistic biological agents. The benefits of antagonistic biological agents include: easy to develop and adapt to the environment, reducing pathogen inoculum, easily obtained and reproduced, and safe for the environment. The antagonistic biological agents to control WRD include fungus: Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus, Chaetomium, Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces, Eupenicillium, bacteria: Bacillus and Pseudomonas, and actinobacteria: Streptomyces. The mechanism of biological agents that suppress R. microporus infections with the competition, antibiosis, hyperparasitism, and lysis. The effectiveness and stability of biological agents need to be formulated into biofungicide using carriers and additives. The successful application of biofungicide is strongly influenced by environmental factors such as temperature, humidity, and pH. It is also supported by the cultivation techniques and environmental sanitation, including inoculum source. 
PERKEMBANGAN PENGENDALIAN PENYAKIT VASCULAR STREAK DIEBACK PADA TANAMAN KAKAO / Current Research Progress and Strategy to Control Vascular Streak Dieback (VSD) Disease of Cacao Rita Harni; Dono Wahyuno; Iwa Mara Trisawa
Perspektif Vol 18, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n2.2019.120-134

Abstract

Vascular streak dieback (VSD) merupakan penyakit penting pada tanaman kakao. Penyakit ini telah berkembang luas di sentra produksi kakao di Indonesia dan menyebabkan kerugian 30-45% dari produksi. Luas serangan VSD di Indonesia pada tahun 2007 adalah 70.000 ha dengan kehilangan hasil sebesar  Rp 405 643 680 000/tahun, dan kerugian terus meningkat dari tahun ke tahun. Tujuan dari revieu ini adalah menginformasikan tentang penyakit VSD dan perkembangan teknologi pengendaliannya. Penyakit VSD adalah penyakit pembuluh kayu yang  menyerang tanaman kakao. Gejala serangan ditunjukkan oleh daun yang  mengalami klorosis, gugur dan meranting, hingga akhirnya tanaman tidak berproduksi. Penyakit VSD disebabkan oleh cendawan Ceratobasidium theobromae, yang bersifat obligat parasit, tersebar melalui spora udara (basidiospora), melalui bahan tanam atau bibit kakao yang telah terinfeksi. Keberhasilan spora untuk berkecambah dan melakukan penetrasi jaringan daun sangat tergantung pada kondisi lingkungan. Karakteristik C theobromae yang sulit diperbanyak pada medium buatan menjadikan penelitian VSD sangat tergantung dengan kondisi inokulum di lapang. Komponen pengendalian yang telah dikembangkan berupa varietas atau klon kakao tahan VSD, aplikasi fungisida, agens hayati dan kultur teknis.    Pengembangan kakao tahan VSD perlu disertai dengan pengembangan komponen teknologi pengendalian lainnya. Penanaman klon tahan VSD disertai dengan penerapan kultur teknis budidaya kakao yang tepat  disertai aplikasi komponen pengendalian yang sesuai dianggap sebagai strategi untuk menekan penyebaran VSD yang efisien, efektif dan ramah lingkungan. .  ABSTRACTVascular Streak Dieback (VSD) is a main disease in cacao. It has been widely spread in cacao producing centers in Indonesia which has caused 30-40% production loss. Infested plant showed symptoms such as clorosis on its leaves which then fall off and die back. eventually stop producing.  VSD is caused by a obligate parasite fungus Ceratobasidium theobromae ,  , spread through basidiospora, plant materials, or infected seedlings. Since this fungus is difficult to be cultured in artificial media causes the research on VSD highly depends on the availability of inoculum at the field   The ability of spora to germinate and penetrate leaves tissue is determined by environment conditions.  Components of control which have been developed are varieties or cacao clones, fungicide application, biocontrol agents, and technical culture.  Developing VSD resistant cacao also necessitates the development of control technology components. Planting VSD resistant clones combines with sugested cultural practices are considered efficient and effective for controlling VSD as well as an environmental friendly control strategy. 
PERBANYAKAN ILES-ILES ( Amorphophallus spp.) SECARA KONVENSIONAL DAN KULTUR IN VITRO SERTA STRATEGI PENGEMBANGANNYA Conventional Propogation and In Vitro Culture of Iles-Iles (Amorphophallusspp.) and Its Development Strategy Meynarti Sari Dewi Ibrahim
Perspektif Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n1.2019.67-78

Abstract

ABSTRAK Iles-iles (Amorphophallus spp.) tergolong ke dalam suku talas-talasan yang saat ini karena kandungan gizinya mulai dilirik sebagai bahan baku pangan fungsional. Nilai ekonomi Iles-iles ada pada kandungan glukomanannya. Glukomanan merupakan suatu senyawa polisakarida jenis hemiselulosa yang bersifat hidrokoloid, larut dalam air, rendah kalori, dan bebas dari gluten. Sifat ini menjadikan tepung glokomanan selain untuk kebutuhan bahan pangan, juga digunakan untuk bahan baku industri. Permasalahan dalam pengembangan tanaman iles-iles sebagai alternatif pengganti pangan antara lain ketersediaan bahan baku yang tidak dapat terpenuhi secara kontiyu. Hal ini kemungkinan besar karena siklus hidupnya yang lama, dan masih banyak petani maupun masyarakat yang belum mengetahui prospek tanaman iles-iles, sehingga belum tertarik untuk membudidayakannya. Ketersediaan bahan baku secara kontiyu tentu saja memerlukan bahan tanam yang tidak sedikit. Untuk menyediakan benih tanaman iles-iles, perbanyakan dapat dilakukan secara konvensional dan secara in vitro.  Secara konvensional perbanyakan menggunakan umbi batang merupakan cara yang lebih praktis dibandingkan bulbil, biji atau stek daun.  Pada  kultur in vitro, penggunaan tangkai daun (petiol)  paling efisien dibandingkan eksplan lainnya. Media multipikasi tunas terbaik adalah Media MS yang diberi kombinasi Thidiazuron (0,2 mg/1) dan Benzylaminopurine (0,5 mg/1). Jumlah tunas yang didapatkan melalui kultur in vitro jauh lebih banyak (37 tunas) dibandingkan perbanyakan konvensional yang hanya menghasilkan 1 tunas. Untuk perakaran, media terbaik menggunakan MS yang diberi IBA 1,0 mg/l. Informasi perbanyakan iles-iles secara konvensional dan kultur in vitro serta stategi pengembangannya diharapkan dapat membantu mengatasi masalah ketersedian  benih.  ABSTRACT Iles-iles (Amorphophallus spp.) belongs to the taro family, which has gained increasing attention due to its nutritional content for functional food materials. The economic value of Iles-iles lies in the glucomannan content that is a hemicellulose type polysaccharide compound that is hydrocolloid, water soluble, low in calories, and free of gluten.  Additionally, iles-iles is also potential for industry. However, sustainability in iles-iles supply is one main problem due to its long life cycle and its potential is not yet known among farmers and communities hence lack of interest in cultivating. Thus, providing sufficient planting materials is required which can be achieved through propagation, both conventionally and nonconventionally using in vitro culture. Conventional propagation using stem tubers is more practical than bulbates, seeds or leaf cuttings. In in vitro culture, previous studies on  several explants found that the use of petiol is most efficient compared with other explants.  The best media for multiplication is  combination of thidiazuron (0.2 mg/1) and Benzylaminopurine (0.5 mg/1). The number of shoots obtained through in vitro is much more (37 shoots ) than conventional propagation which only produced 1 shoot. For rooting, the best medium is MS which is given IBA 1.0 mg / l. Information on conventional propagation of iles-iles and in vitro culture and it development strategies are expected to help solving the problem of seed availability.
PENGELOLAAN BIOMASSA TANAMAN DALAM BIOINDUSTRI PERKEBUNAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN BIOENERGI Plant Biomass Management in Plantations Bioindustry Supporting Bioenergy Development Suci Wulandari; Sumanto Sumanto; Saefudin Saefudin
Perspektif Vol 18, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n2.2019.135-149

Abstract

Biomassa tanaman perkebunan dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan, dan bioenergi. Hasil penelitian dan perkembangan teknologi telah mendorong pemanfaatan biomassa bagian-bagian tanaman tersebut. Tanaman perkebunan memiliki potensi besar untuk menghasilkan biomassa yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan energi terbarukan. Pemetaan potensi biomassa telah banyak dilakukan pada tanaman perkebunan, seperti pada: tebu, kakao, kelapa sawit, kemiri sunan, jarak pagar, kopi, kelapa dalam, karet dan teh. Pengembangan sistem produksi pangan dan biomassa untuk pembangkit energi melalui sistem multi tanam berbasis komoditas perkebunan telah dikembangkan.  Di Kabupaten Aceh Timur telah dilakukan pengembangan sistem agroindustri juga memanfaatkan semua produk samping, mendorong daur ulang dan pemanfaatan residu. Pemanfaatan potensi bioenergi masih dihadapkan pada berbagai kendala distribusi, kontinuitas pasokan bahan dan aspek ekonomi. Menyikapi hal tersebut langkah strategis dapat dilakukan melalui: analisis neraca karbon, alokasi lahan, pemanfaatan lahan, pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, dukungan teknologi, fokus pada nilai tambah yang tinggi dan perbaikan tata kelola. Selanjutnya perbaikan pada pengembangan sistem pangan energi terpadu dapat ditempuh melalui: (1) sosialisasi dari inovasi teknologi, (2) membentuk kawasan-kawasan pertanian terpadu di daerah sentra pengembangan dan (3) memperkuat kelembagaan petani untuk mengembangkan agroindustri.   ABSTRACTBiomass from estate crops can be used for food, feed, and bioenergy. The results of research and technological developments have encouraged the utilization of biomass of these plant parts. Plantation crops have great potential to produce biomass that can be utilized in the development of renewable energy. Mapping of biomass potential has been carried out in plantation crops, such as: sugar cane, cocoa, oil palm, candlenut, jatropha, coffee, deep coconut, rubber, and tea. The development of food and biomass production systems for energy generation through a commodity-based multi-cropping system has been developed. In East Aceh District an agro-industrial system development has also been carried out utilizing all byproducts, encouraging recycling and utilizing residues. The utilization of bioenergy is still faced with various distribution constraints, continuity of material supply and economic aspects. In response to this, strategic steps can be taken through carbon balance analysis, land allocation, land use, sustainable use of resources, technology support, focus on high added value and improved governance. Furthermore, improvements to the development of integrated energy food systems can be pursued through (1) socialization of technological innovations, (2) establishing integrated agricultural areas in plant centers and (3) strengthening farmer institutions to develop agro-industries. 
STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI KARET DALAM MERESPON HARGA KARET RENDAH / Strategy to Increase Rubber Farmers’ Income to Respond Low Rubber Price Iman Satra Nugraha; Sahuri Sahuri
Perspektif Vol 18, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n2.2019.79-86

Abstract

Karet merupakan tanaman perkebunan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan penghasil devisa terbesar 10. Produsen karet di Indonesia terdiri dari pulau Sumatera dan Kalimantan. Indonesia merupakan salah satu produsen karet terbesar setelah Thailand dengan jumlah penduduk yang terlibat pada usahatani karet mencapai 2,2 juta KK. Adanya penurunan harga karet pada akhir-akhir ini berdampak terhadap penurunan pendapatan petani karet. Sehingga diperlukan strategi untuk meningkatkan pendapatan petani karet. Makalah ini memberikan gambaran strategi yang perlu dilakukan petani karet untuk meningkatkan pendapatannya. Adapun strategi yang dilakukan adalah peningkatan adopsi klon unggul ditingkat petani, pengoptimalan kebun karet dengan memodifikasi jarak tanaman karet menjadi lebih lebar sehingga dapat dimanfaatkan untuk menanam tanaman sela selama siklus tanaman karet dan petani menggunakan pemasaran karet melalui UPPB karena dapat meningkatkan bagian harga yang diterima petani sehingga petani mendapatkan harga yang tinggi
KOMPONEN BIOAKTIF KOPI BERPOTENSI SEBAGAI ANTIDIABETES / The Potency of Bioactive Compounds of Coffee as Antidiabetis Elsera Br Tarigan; Dian Herawati; Puspo Edi Giriwono
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.41-52

Abstract

Recently, the popularity of coffee is gaining popularity. The researcher found that the benefit of coffee was not refreshing only but also improved the quality of health. These effectsexistdue to the natural bioactive compounds found in the coffee. The bioactive compounds of coffee have activity as an antioxidant, anti-inflammation, anti-microbe, and recently as antidiabetic. The major compounds found in coffee were chlorogenic acid, trigonelline, diterpene, and Maillard reaction product (exp.melanoidin). The objective of this study was to explore the bioactive compounds of coffee and the potency antidiabetic, conducted by in-vitro, in-vivo, clinically, and epidemiology intergrately. The in-vitro analysis shown thatcoffee had activity asan inhibitor a-glucosidase, the compounds were chlorogenic acids. In the in-vivo study,coffee brewwas able to reduce blood glucose concentration of a rat model of type-2 diabetes by increasing insulin sensitivity. Caffeine and chlorogenic acids probably had an antagonist effect on glucose response. At the early stage of a clinical study, blood glucose concentration tend too increasedacutely and gradually reduces along with insulin sensitivity higher. A chlorogenic acid had a potency to decrease blood glucose concentration byseveral mechanisms such as -glucosidase inhibitory and raise insulin sensitivity. Furthermore, epidemiology studied shown that the efficacy of coffee consumption in the long-termwas able to reduce the risk of diabetes type 2. The effectiveness of coffee as antidiabetic depends on some factors such as gender and variation of coffee such asvariety, brewing technique, and frequency consumption of coffee.ABSTRAK Konsumen kopi saat ini makin meningkat, kepopulerannya ditandai dengan industri hilir kopi yang merebak di tengah-tengah masyarakat. Konsumsi kopi selain memberikan efek menyegarkan juga memiliki manfaat dalam meningkatkan taraf  kesehatan konsumennya. Komponen bioaktif pada kopi memiliki aktivitas seperti antioksidan, antiinflamasi, antimikroba dan antidiabetes. Kandungan biokatif kopi yang berperan dalam aktivitas tersebut adalah asam klorogenat, trigonelin, diterpen dan produk reaksi Maillard (cth.melanoidin). Tujuan dari tulisan ini adalah menggali senyawa bioaktif yang terdapat pada kopi dan potensinya sebagai antidiabetes secara terpadu baik secara in-vitro, in-vivo, klinis dan epidemiologi. Berdasarkan penelitian secarain–vitrobahwa komponen bioaktif kopi yang berperan dalam menghambat aktivitas a-glukosidase adalah asam klorogenat. Secara in-vivobahwa seduhan kopi yang dikonsumsi oleh tikus penderita diabetes menghasilkan kadar glukosa darah yang menurun karena peningkatan sensitivitas insulin. Efek kafein kemungkinanberlawanan dengan asam klorogenat terhadap glukosa darah. Pada awal pengujian secara klinis kadar glukosa darah akan meningkat secara akut dan kemudian menurun seiring meningkatnya efek asam klorogenat. Asam klorogenat akan berperan dalam menghambat transportasi glukosa dan meningkatkan sensitivitas insulin. Penelitian secara epidemiologi menunjukkan bahwa konsumsi kopi dalam jangka waktu yang lebih lama dapat menurunkan resiko penyakit diabetes mellitus tipe 2. Persentase penurunan penyakit diabetes melitus dipengaruhi oleh faktor gender dan variasi kopi seperti jenis, teknik menyeduh dan frekuensi konsumsi kopi.
STATUS DAN STRATEGI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT UTAMA TEBU DI INDONESIA Status and Control Strategy of Important Sugarcane Diseases In Indonesia Titiek Yulianti
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.01-16

Abstract

Sejak tebu dibudidayakan untuk menghasilkan gula di Indonesia pada tahun 1650, tercatat lebih dari 30 jenis penyakit yang pernah ditemukan.  Namun, hanya beberapa jenis penyakit yang  berpotensi menurunkan produktivitas tebu dan mutu nira bahkan kerugiannya bisa mencapai 20%.  Jenis penyakit tersebut antara lain adalah: penyakit sereh yang disebabkan oleh Phytoplasma, pokkah boeng yang disebabkan oleh Fusarium moniliformae, blendok oleh bakteri Xanthomonas albineans, luka api oleh jamur Sporisorium scitamineum, pembuluh oleh bakteri Leifsonia xyli  sub sp  xyli, lapuk akar dan pangkal batang oleh jamur Xylaria warbugii, mosaik dan mosaik bergaris oleh virus.  Dominasi penyakit-penyakit tersebut berbeda dari waktu ke waktu akibat perubahan sistem tanam, perubahan ekosistem lahan sawah ke lahan tegal dan tadah hujan yang lebih kering, pergantian jenis varietas yang ditanam, serta akibat terjadinya perubahan iklim. Sampai saat ini pengendalian penyakit tebu yang paling efektif adalah penanaman varietas tahan, penggunaan benih yang sehat bebas patogen dan karantina. Saat ini penyakit luka api dan mosaik bergaris merupakan penyakit yang belum bisa diatasi dan cenderung meningkat kejadian dan penyebarannya.  Tulisan ini mengulas perkembangan dan hasil penelitian pengendalian penyakit yang pernah menjadi masalah penting pada periode waktu tertentu karena menurunkan produksi tebu secara nyata sejak tebu dibudidayakan secara komersial di Indonesia serta strategi pengendalian yang harus dilakukan secara terpadu demi kelangsungan perkebunan tebu dalam mendukung industri gula nasional.ABTRACT There were more than 30 diseases have been recorded since sugarcane grown for sugar in Indonesia.  And yet, only few diseases considered as major diaseases since they decreased productivity up to 20% and sugar content significantly.  They were: sereh caused by Phytoplasm, pokkah boeng caused by Fusarium moniliformae, leafscald caused by Xanthomonas albineans, smut caused by Sporisorium scitamineum, ratoon stunting caused by Leifsonia xyli  sub sp  xyli, root and basal stem rot by Xylaria warbugii, mosaic, and streak mosaic caused by virus.  Domination of the diseases was different from time to time due to the change of cropping sytem, change of ecosystem from wetland (sawah) to drier rainfed area, shift of varieties, and also the occurence of climate change.  The most effective controls of sugarcane disease were the use of resistant varieties, healthy seed, and quarantine.  At the moment smut and streak mosaic have not effectively controlled and tend to increase their occurrence and distribution.  the This paper reviews the development of important diseases which have significantly reduced sugarcane production since sugarcane commercially cultivated in Indonesia and integrated disease control strategies to support the sustainability of sugarcane industry.