cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Perspektif : Review Penelitian Tanaman Industri
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : 14128004     EISSN : 25408240     DOI : -
Core Subject : Education,
Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan yang memuat makalah tinjauan (review) fokus pada Penelitian dan kebijakan dengan ruang lingkup (scope) komoditas Tanaman Industri/perkebunan, antara lain : nilam, kelapa sawit, kakao, tembakau, kopi, karet, kapas, cengkeh, lada, tanaman obat, rempah, kelapa, palma, sagu, pinang, temu-temuan, aren, jarak pagar, jarak kepyar, dan tebu.
Arjuna Subject : -
Articles 203 Documents
PERTANIAN PRESISI DALAM BUDIDAYA LADA The Precision Farming on Pepper Cultivation Joko Pitono
Perspektif Vol 18, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n2.2019.91-103

Abstract

Nilai ekonomi lada pada subsektor perkebunan cukup penting dan perlu penguatan daya saingnya untuk menghadapi semakin tajamnya kompetisi pasar ke depan. Peningkatan efisiensi dan presisi dalam penanganan budidaya di lapangan menjadi salah satu penentunya. Peningkatan efisiensi tersebut memungkinkan dilakukan melalui pendekatan pertanian presisi. Konsep dasar pertanian presisi adalah penggunaan input seakurat mungkin sesuai kebutuhan tanaman, sehingga diperoleh keuntungan berupa penghematan dalam pembiayaan input, tenaga kerja, dan hasil panen yang lebih baik. Penerapan pertanian presisi memungkinkan diterapkan mulai dari pendekatan sederhana hingga tingkat yang lebih komplek, tentunya akan diikuti oleh konsekuensi perbedaan keakurasian dan besaran investasi instrumen teknologi yang digunakannya. Pada review ini diulas tentang relevansi antara penerapan pertanian presisi dengan karakteristik budidaya lada yang tergolong padat input, serta pendekatan sederhana yang memungkinkan dilakukan petani untuk memperbaiki presisi dan efisiensi usahatani ladanya. Selain itu, diuraikan juga tentang perkembangan hasil penelitian dan teknologi saat ini yang berpeluang dimanfaatkan untuk perbaikan budidaya lada ke depan. Dan strategi untuk percepatan penerapan inovasi pertanian presisi pada budidaya lada tersebut diantaranya dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan, penguatan mekanisasi dan digitalisasi di tataran on-farm dan off-farm, serta pemberian insentif atas penerapannya. ABSTRACT The economic value of pepper in the estate subsector is important and its competitiveness should be strengthened to challenge the increasingly sharp market competition in the future. Increasing efficiency and precision in the on-farm level is one of the important factors to face the challenge. The cultivation efficiency can be improved through a precision farming approach. The basic concept of precision farming is the use of inputs accurately according to plants need to obtain benefits both by saving cost of inputs and labor, and getting better yields. The precision farming can be applied from a simple approach to a more complex level.  This determines the accuracy level and the investments related to the instruments used in the technology.  This paper reviews the relevance of precision farming application and the characteristics of pepper cultivation that is classified as input-intensive, as well as a simple approach that allows farmers to improve the precision and efficiency of their farming systems. In addition, it also elaborates the development of current research and technology which are potential to improve pepper cultivation in the future. The strategies for accelerating the application of precision agricultural innovations in pepper cultivation could be performed through increasing human resource and institutional capacity, strengthening mechanization, digitalization at the on- and off-farm levels, and providing incentives for the farmers as a reward for their implementation. 
PENGEPEREMAJAAN KARET DAN MODEL PENGEMBANGAN TUMPANGSARI KARET BERKELANJUTAN DI INDOENSIA Replanting and Sustainable Development of Participatory Rubber Intercropping Modeling in Indonesia Sahuri Sahuri; Iman Satra Nugraha
Perspektif Vol 18, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n2.2019.87-90

Abstract

Model tumpangsari karet partisipatif berkelanjutan merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh petani agar dapat bertahan dalam kondisi harga karet rendah saat ini. Tulisan ini membahas model tumpangsari karet partisipatif, implementasi model, kendala teknis pengembangan model, inovasi teknologi dan kelembagaan model, tantangan pengembangan model, dan perspektif kebijakan pengembangan model. Model tumpangsari karet partisipatif merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan produktivitas usahatani karet rakyat melalui inisiasi dan partisipasi petani serta layak secara finansial. Model ini dapat meningkatkan pendapatan petani, produktivitas lahan dan dan produktivitas karet. Kendala teknis pengembangan model ini adalah naungan tajuk tanaman karet sehingga tidak dapat berkelanjutan dan produktivitas tanaman sela menurun. Diperlukan modifikasi jarak tanam karet melalui jarak tanam ganda sehingga dapat mengembangkan model ini dalam jangka panjang. Kendala sosial dan ekonomi dapat diatasi melalui model tumpangsari karet partisipatif dan didukung oleh kebijakan pemerintah dan kelembagaan partisipatif yang kuat. Tantangan pengembangan model ini pada skala yang lebih luas antara lain: sikap mental ketergantungan petani pada bantuan pemerintah; lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah dan nonpemerintah; dan tidak terjaminnya kontinuitas anggaran merupakan tantangan yang dapat mengganggu upaya mobilisasi partisipasi petani dan masyarakat untuk menjalankan program secara komprehensif. Selain itu, tantangan yang harus dihadapi untuk memperlancar pelaksanaan program model ini antara lain meningkatkan peran pemerintah, penyuluh, menyederhanakan birokrasi administrasi, dan mendapatkan komitmen yang kuat dari pimpinan eksekutif dan legislatif  di daerah secara menyeluruh dan konsisten yang didukung oleh lembaga penelitian, penyuluh pertanian, dan lembaga keuangan daerah. Perspektif kebijakan pemerintah diperlukan untuk mendukung dan penyangga harga karet dan tanaman ekonomis lainnya di tingkat usahatani melalui penguatan kelembagaan ekonomi seperti lembaga pengolahan hasil, penyimpanan, dan pemasaran. Diperlukan juga dukungan bimbingan teknis dan pendampingan manajemen model usahatani ini untuk mempercepat adopsi teknologi. Secara sosial diperlukan diseminasi teknologi untuk mengetahui tingkat adaptasi teknologi di tingkat petani sehingga mempermudah petani dalam melaksanakan sistem usahataninya. ABSTRACTSustainable of participatory rubber intercropping model is one strategy that can be carried out by farmers in order to survive in the current low rubber price condition. In according with this issue, participatory rubber intercropping models, model implementation, technical constraints of model development, technological innovation and institutional models, challenges to the development of models, and implications of model policies are discussed. The participatory rubber intercropping model is one of the strategies to increase the productivity of smallholder rubber farming through the initiation and participation of farmers and is financially feasible. This model can increase farmers' income, land productivity and rubber productivity. Technic obstacle the development of rubber intercropping model was rubber canopy shading so that it cannot be sustainable and rubber intercrops productivity decreases. In according needed to modify rubber spacing to extend the period of intercrops cultivation. Social and economic constraints can be overcome through a participatory rubber intercropping model and supported by strong government policies and participatory institutions. The challenges of developing this model on a broader scale include: the mental attitude of farmers' dependence on government assistance; weak coordination between government and non-government agencies; and not guaranteeing budget continuity are challenges that can disrupt efforts to mobilize farmers and community participation to carry out comprehensive programs. In addition, challenges that must be faced to expedite the implementation of this model program include increasing the role of government, extension workers, simplifying administrative bureaucracy, and obtaining strong commitments from executive and legislative leaders in the region as a whole and consistently supported by research institutions, agricultural extension workers, and regional financial institutions. The government policy perspective is needed to support and support the price of rubber and other economic crops at the farm level through strengthening economic institutions such as processing, storage and marketing institutions. There is also a need for technical guidance and management assistance for this model to accelerate technology adoption. Socially necessary technology dissemination to determine the level of technological adaptation at the farm level so that farmers make it easier to implement this systems. 
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KARET NASIONAL MELALUI PERCEPATAN ADOPSI INOVASI DI TINGKAT PETANI Improvement of National Rubber Productivity through Acceleration of Innovation Adoption at The Farmer's Level Junaidi Junaidi
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.17-28

Abstract

ABSTRAK Produktivitas karet Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan mayoritas perkebunan karet Indonesia berupa perkebunan karet rakyat yang produktivitasnya hanya berkisar 1.100 – 1.200 kg/ha/tahun. Upaya meningkatkan produktivitas karet rakyat merupakan tantangan besar bagi pemerintah, peneliti, akademisi, penyuluh, praktisi perkebunan dan segenap pemangku kepentingan lainnya. Tulisan ini menyajikan produktivitas karet Indonesia secara umum, teknologi-teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas karet, kendala dalam adopsi teknologi serta upaya-upaya percepatan adopsti teknologi terutama untuk perkebunan rakyat. Kegiatan penelitian dan pengembangan tanaman karet di Indonesia telah menghasilkan teknologi-teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas karet antara lain: klon unggul berpotensi produksi tinggi, pola tanam tumpangsari dan integrasi karet-ternak untuk meningkatkan pendapatan petani, dan sistem sadap tipologi klonal untuk mengoptimalkan potensi tanaman. Adopsi teknologi di tingkat petani masih mengalami hambatan berupa keterbatasan pengetahuan, modal dan lahan. Penyuluhan berkelanjutan, pemberdayaan kelompok tani, dan dukungan pemerintah berupa modal dan sarana produksi merupakan kunci percepatan adopsi teknologi. Dalam konsep sistem penyuluhan pertanian berkelanjutan, selain adopsi teknologi peran penyuluhan adalah pemecahan masalah, pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia. Peningkatan produktivitas karet rakyat akan berdampak signifikan terhadap produktivitas karet nasional dan kesejahteraan petani.ABSTRACT This article presents Indonesia's rubber productivity in general, technologies to increase rubber productivity, technology adoption constraints,and strategies to accelerate technology adoption, especially for smallholding farmers. Compared to other main producer countries, Indonesia's rubber productivity is still relatively low. This is due to the majority of Indonesia's rubber is smallholder plantation which productivity is only around 1,100 - 1,200 kg/ha/year. Increasing smallholder plantation productivity is still a major challenge for the government, researchers, academics, extension workers, plantation practitioners and all other stakeholders. The rubber research and development activities in Indonesia have produced technologies that can increase rubber productivity including superior clones, intercropping system and rubber-livestock integration to increase farmers' incomes, and clonal typology tapping systems to optimize yield potential. The adoption of these technologies at the farm level still encounter major obstacles such as limited knowledge, capital and land area. Sustainable extension, farmer groups empowerment,and government support of capital and production resources are required to accelerate technology adoption. In the sustainable agricultural extension concept; beside the technology adoption, the roles of extension are problem-solving, training, and human resources development. The increase of smallholder plantation productivity will have a significant impact on Indonesian rubber productivity as well as farmers' welfare.
KAKAO FERMENTASI : PELEPASAN PEPTIDA BIOAKTIF DAN MANFAATNYA BAGI KESEHATAN Fermented Cocoa: The Release of Bioactive Peptides and Their Health Benefits Haliza, Winda; Purwani, Endang Yuli; Fardiaz, Dedi; Suhartono, Maggy Thenawidjaja
Perspektif Vol 18, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n2.2019.104-119

Abstract

ABSTRAKProses fermentasi diperlukan untuk mendapatkan biji kakao berkualitasi tinggi. Fermentasi biji kakao melibatkan beragam mikrobia dan enzim endogen yang mampu merombak komponen di dalamnya menjadi prekursor citarasa dan aroma bahkan komponen bioaktif.  Protein termasuk salah satu komponen yang mengalami perombakan yang memicu pelepasan bioaktif peptida. Proses proteolitik selama fermentasi kakao menyediakan asam amino dan peptida yang melimpah dimana lebih dari 800 peptida dapat diidentifikasi secara jelas. Peptida tersebut memiliki manfaat kesehatan karena mampu berfungsi  sebagai antioksidan, antihipertensi, antitumor dan sebagainya.  Hal ini mengindikasikan bahwa biji kakao terfermentasi memiliki keunggulan sebagai sumber bioaktif peptida. Ketentuan fermentasi biji kakao di Indonesia secara jelas telah diatur oleh Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.67/Permentan/Ot.140/5/2014 tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao. Fermentasi spontan biji kakao bersifat unik dan berkaitan erat dengan keragamanan jenis mikroba  dan enzim serta metabolit yang dihasilkannya. Pemahaman yang baik terhadap fermentasi spontan telah mendorong dikembang-kannya beragam teknologi fermentasi biji kakao yang sifatnya terkendali untuk menghasilkan produk dengan standar tertentu yang dikehendaki. Selanjutnya, proses fermentasi seharusnya menjadi strategi dalam meningkatkan daya saing biji kakao.  ABSTRACTThe fermentation process is needed to get high-quality cocoa beans. Fermentation of cocoa beans involves a variety of microbes and endogenous enzymes that are able to remodel the components inside to become the precursors for flavor and aroma and even bioactive components. Protein is one component that has undergoes a change that triggers the release of bioactive peptides. Proteolytic processes during cocoa fermentation provide abundant amino acids and peptides from which more than 800 peptides can be clearly identified. The peptide has health benefits because it is able to function as an antioxidant, antihypertensive, antitumor and so on. This indicates that fermented cocoa beans have the advantage of being a source of bioactive peptides. The provisions on the fermentation of cocoa beans in Indonesia have clearly been regulated by Regulation of the Minister of Agriculture of the Republic of Indonesia No.67/Permentan/Ot.140/5/2014 concerning Quality and Marketing Requirements for Cocoa Beans. Spontaneous fermentation of cocoa beans is unique and is closely related to the variety of microbial types and the enzymes and metabolites that they produce. A good understanding of spontaneous fermentation has led to the development of a variety of cocoa bean fermentation technologies that are controlled to produce products with certain desired standards. Furthermore, the fermentation process should become a strategy to improve the competitiveness of cocoa beans. 
PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU RIMPANG BENIH JAHE PUTIH BESAR MELALUI APLIKASI ZAT PENGATUR TUMBUH The Production and Quality Improvement of Big White Ginger Seed Rhizomes by Plant Growth Regulator Aplication Rusmin, Devi; Suhartanto, Muhammad Rahmad; Ilyas, Satriyas; Manohara, Dyah -; Widajati, Eny -
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.29-40

Abstract

Permasalahan utama dalam pengembangan tanaman jahe putih besar (JPB) adalah   terbatasnya ketersediaan rimpang benih bermutu dalam jumlah yang mencukupi, pada waktu diperlukan oleh pengguna. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan oleh produksi dan mutu rimpang benih yang masih rendah, serta bobot rimpang benih yang cepat menyusut dan mudah bertunassaat di penyimpanan. Penulisan ini bertujuan untuk menginformasikan kepada pengguna tentang karakter pola pertumbuhan, keseimbangan hormonal dan perubahan fisiologis yang menjadi faktor perhatian utama dalam peningkatan produksi dan mutu JPB melalui aplikasi zat pengatur tumbuh (ZPT).Peningkatan produksi dan mutu dapat dicapai dengan penggunaan rimpang benih  bermutu yang diperoleh  melalui: penentuan pola pertumbuhan, pengaturan keseimbangan hormon, baik secara alami (pengaturan iklim mikro), maupun dengan pemberianZPT selama proses produksi di lapangan dan di penyimpanan. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa: (1) Pola pertumbuhan tajuk dan rimpang JPB selama pembentukan dan perkembangannya secara umum diklasifikasikan atas  tiga fase yaitu: fase lambat 1–4 bulan setelah tanam (BST), cepat (> 4–6 BST), dan pemasakan (> 6 BST).Rimpang benih JPB umur 7 BST sudah dapat digunakan sebagai bahan tanaman. (2) Perbedaan lokasi tanam dan umur panen mempengaruhi pola keseimbangan hormon endogen tanaman (rasio hormonABA/GA dan ABA/sitokinin (Zeatin) dan mutu rimpang benih JPB. Rasio ABA/sitokinin (zeatin) yang lebih tinggi pada rimpang benih umur 7 BST (5,0) dan 8 BST (4,7) dibanding rimpang benih umur 9 BST (4,2) untuk rimpang benih asal Nagrak, sehingga mampu memicu dan mempertahankan dormansi sehingga benih JPB lebih tahan disimpan.  (3) Periode dormansi benih rimpang JPB pecah setelah disimpan selama 2 bulan dan merupakan periode kritis atau periode yang tepat untuk aplikasi perlakuan penundaan pertunasan. (4) Aplikasi PBZ 400 ppm meningkatkan produksi JPB yang dinyatakan dalam bobot basah (22%) dan jumlah rimpang cabang (68%), dengan karakter rimpang: kecil, ruas pendek dan bernas, serta meningkatkan mutu dan daya simpan dibanding tanpa PBZ. (5) Aplikasi PBZ 1000 ppm, pada suhu ruang simpan 20 – 22 ºC, dapat menekan susut bobot sebesar 15% dibanding kontrol, setelah disimpan selama 4 bulan dan dapat menekan persentase rimpang bertunas sebesar 26% setelah 3 bulan disimpan.Permasalahan utama dalam pengembangan tanaman jahe putih besar (JPB) adalah   terbatasnya ketersediaan rimpang benih bermutu dalam jumlah yang mencukupi, pada waktu diperlukan oleh pengguna. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan oleh produksi dan mutu rimpang benih yang masih rendah, serta bobot rimpang benih yang cepat menyusut dan mudah bertunassaat di penyimpanan. Penulisan ini bertujuan untuk menginformasikan kepada pengguna tentang karakter pola pertumbuhan, keseimbangan hormonal dan perubahan fisiologis yang menjadi faktor perhatian utama dalam peningkatan produksi dan mutu JPB melalui aplikasi zat pengatur tumbuh (ZPT).Peningkatan produksi dan mutu dapat dicapai dengan penggunaan rimpang benih  bermutu yang diperoleh  melalui: penentuan pola pertumbuhan, pengaturan keseimbangan hormon, baik secara alami (pengaturan iklim mikro), maupun dengan pemberianZPT selama proses produksi di lapangan dan di penyimpanan. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa: (1) Pola pertumbuhan tajuk dan rimpang JPB selama pembentukan dan perkembangannya secara umum diklasifikasikan atas  tiga fase yaitu: fase lambat 1–4 bulan setelah tanam (BST), cepat (> 4–6 BST), dan pemasakan (> 6 BST).Rimpang benih JPB umur 7 BST sudah dapat digunakan sebagai bahan tanaman. (2) Perbedaan lokasi tanam dan umur panen mempengaruhi pola keseimbangan hormon endogen tanaman (rasio hormonABA/GA dan ABA/sitokinin (Zeatin) dan mutu rimpang benih JPB. Rasio ABA/sitokinin (zeatin) yang lebih tinggi pada rimpang benih umur 7 BST (5,0) dan 8 BST (4,7) dibanding rimpang benih umur 9 BST (4,2) untuk rimpang benih asal Nagrak, sehingga mampu memicu dan mempertahankan dormansi sehingga benih JPB lebih tahan disimpan.  (3) Periode dormansi benih rimpang JPB pecah setelah disimpan selama 2 bulan dan merupakan periode kritis atau periode yang tepat untuk aplikasi perlakuan penundaan pertunasan. (4) Aplikasi PBZ 400 ppm meningkatkan produksi JPB yang dinyatakan dalam bobot basah (22%) dan jumlah rimpang cabang (68%), dengan karakter rimpang: kecil, ruas pendek dan bernas, serta meningkatkan mutu dan daya simpan dibanding tanpa PBZ. (5) Aplikasi PBZ 1000 ppm, pada suhu ruang simpan 20 – 22 ºC, dapat menekan susut bobot sebesar 15% dibanding kontrol, setelah disimpan selama 4 bulan dan dapat menekan persentase rimpang bertunas sebesar 26% setelah 3 bulan disimpan. ABSTRACT The main problems in the development of big white ginger plant (BWG) is the limited availability of quality seed rhizomes in sufficient quantities, at the time required by the user. Its caused by the production and quality of seed rhizomes are still low, and the seed rhizomes weight are rapidly shrinking and sprouting when in the storage. This Overview aims to inform users about the character of the pattern of growth, the balance of hormonal and physiological changes that are primarily focused on the production and seed quality improvement BWG through the application of plant growth regulator (PGR). Increased production and quality can be achieved by the use of quality seed rhizomes obtained through: determination of growth patterns, hormonal balance regulation, both naturally (microclimate regulation), as well as by application of growth regulators (ZPT) during the production process in the field and in storage. Some research results showed that: (1) The growth pattern of the canopy and GWB seed rhizomes during its formation and development is generally classified into three phases: slow phase 1-4 months after planting (MAP), fast (> 4-6 MAP), and maturty (> 6 BST). (2) Differences in planting location and harvest age affect the balance pattern of plant endogenous hormones (ABA / GA and ABA / cytokinin (zeatin) hormone ratios) and the BWG seed rhizomes quality. ABA / cytokinin ratios are higher in BWG seedlings aged 7 MAP (5.0) and 8 MAP (4.7) compared to 9 MAP (4.2) for seed rhizomes from Nagrak, so they are able to trigger and maintain dormancy so Its are more resistant to storage. (3) The dormancy period of BWG seed rhizomes break after stored for 2 months and this is a critical period or an appropriate period for sprouting inhibition treatment. (4) Application of PBZ 400 ppm increased production and quality of BWG seed rhizomes, namely: wet weight (22%) and number of branch rhizomes (68%) with rhizome characteristics: small, short and filled out internodes compared without PBZ. (5) Application of PBZ 1000 ppm, at a storage temperature of 20-22 ºC, can reduce weight loss by 15% compared to control, after stored for 4 months and also can reduce the sprouting percentage of rhizomes by 26% after stored for 3 months.
PERMASALAHAN PENGEMBANGAN DAN INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN PALA BERBASIS EKOLOGI The Problem of The Development and Technology Inovation of Ecology-Based Nutmeg Cultivation Rosihan Rosman
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.53-62

Abstract

Nutmeg is one of the spice crops in Indonesia. The economical value of nutmeg is a fruit, seed, and fully. Besides, the distillation process produced essential oil. The increasing need for products from nutmeg plants and as a source of foreign exchange for the country makes nutmeg plants one of the plants that need attention. But, in its development, there are several problems. The problem of the nutmeg plant is the low quantity and quality of the product. It will cause a low of the competitive and added value of nutmeg. The problem of nutmeg was caused by a mix of type of nutmeg, aflatoxin, management plants which have not optimal and sex ratio. Therefore, needed an effort for that problem. Efforts can be made is to improve existing cultivation technology, based on site-specific ecological conditions, starting from land suitability and climate conditions, selection of varieties (superior varieties), and crop management (planting, maintenance to harvest, and post-harvest). This paper discus efforts to improve ecological-based technologies needed to support the development of nutmeg in Indonesia.ABSTRAK Tanaman pala (Myristica fragrans HOUTT) merupakan salah satu tanaman rempah Indonesia. Nilai ekonomi dari tanaman pala adalah buah, biji dan fuli. Selain itu, melalui proses destilasi dihasilkan minyak atsiri. Meningkatnya kebutuhan akan produk dari tanaman pala dan sebagai sumber devisa negara, menjadikan tanaman pala merupakan salah satu tanaman yang perlu mendapat perhatian. Namun dalam pengembangannya terdapat beberapa permasalahan. Permasalahan pada pala hingga saat ini adalah rendahnya produksi dan kualitas. Rendahnya produksi dan kualitas, bila dibiarkan akan menyebabkan rendahnya daya saing dan nilai tambah pala Indonesia. Penyebab dari rendahnya produksi adalah pengelolaan tanaman yang belum optimal dan masalah sex ratio, sedangkan kualitas pala Indonesia disebabkan bercampurnya berbagai jenis/type pala dan adanya aflatoxin. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan berbagai upaya. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki teknologi budidaya yang ada, berbasis pada kondisi ekologi spesifik lokasi mulai dari kondisi kesesuaian lahan dan iklim, pemilihan varietas (varietas unggul) dan pengelolaan tanaman (penanaman, pemeliharaan hingga panen dan pasca panen). Tulisan ini membahas tentang upaya perbaikan teknologi berbasis ekologi yang diperlukan untuk mendukung pengembangan pala di Indonesia.
PERSPEKTIF KETERSEDIAAN GULA DOMESTIK DAN SWASEMBADA GULA NASIONAL Perspective of Domestic Sugar Availability and National Sugar Self-sufficiency Yonas Hangga Saputra
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.63-78

Abstract

This article aims at reviewing the perspective of domestic sugar availability and national sugar self-sufficiency. The review result shows that the existence of sugar as one of the basic needs of the Indonesian people is faced with a gap between production (2.5 million tons/year) and consumption (5.7 million tons/year), caused Indonesia has to import 3.2 million tons of sugar annually. During the last five years (2011-2015), the growth of sugar import (3.42%/year) was higher than those of consumption (3.19%/year), productivity (3.01%/year), and production (2.27%/year). In order to anticipate such conditions, the government has prepared a roadmap to increase production with a target of self-sufficiency in sugar. Therefore, it is required a comprehensive solution to solve sugar problems from cultivation aspect at upstreamlevel, processing aspect at midstream level, up to marketing aspect at downstream level. Coordination, participation, and cooperation among stakeholders are absolutely necessary while eliminating sectoral ego institutionally. It is purposed to support the availability of domestic sugar and the national sugar self-sufficiency.ABSTRAK Artikelini bertujuan mengulas perspektif ketersediaan gula domestik dan swasembada gula nasional Hasil ulasan menunjukkan bahwa keberadaan gula sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia berhadapan dengan kondisi kesenjangan antara produksi (2,5 juta ton/tahun) dengan konsumsi (5,7 juta ton/tahun), sehingga Indonesia harus mendatangkan gula impor sebesar 3,2 juta ton per tahun. Selama kurun waktu lima tahun terakhir (2011-2015), laju pertumbuhan impor gula (3,42%/tahun) lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan konsumsi (3,19%/tahun), produktivitas (3,01%/tahun), dan produksi (2,27%/tahun). Dalam rangka mengantisipasi kondisi tersebut, pemerintah telah menyusun peta jalan peningkatan produksi dengan target swasembada gula. Untuk itu diperlukan solusi komprehensif dalam mengatasi permasalahan gula mulai dari aspek budidaya di bagian hulu, aspek pengolahan di bagian tengah, hingga aspek pemasaran di bagian hilir. Koordinasi, partisipasi, dan kerja sama antar pemangku kepentingan terkait mutlak diperlukan seraya menghilangkan ego sektoral pada masing-masing pihak. Tujuannya adalah dalam rangka mendukung ketersediaan gula domestik dan swasembada gula nasional.
PELUANG LIMBAH KELAPA SAWIT UNTUK PRODUKSI POLIHIDROKSIALKANOAT SEBAGAI BIOPLASTIK / The Opportunities of Oil Palm Waste for Production of Polyhydroxyalkanoate as Bioplastic Hasibuan, Hasrul Abdi
Perspektif Vol 19, No 2 (2020): Desember 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n2.2020.79-94

Abstract

ABSTRAK Plastik konvensional merupakan plastik berbasis minyak bumi (petrokimia), yang memiliki permasalahan meliputi ketersediaan bahan baku semakin sedikit dan sampah plastik ini menyebabkan polusi lingkungan karena sulit mengalami degradasi secara alami. Oleh karena itu, plastik yang dibuat dari bahan baku yang biodegradable dan berkelanjutan perlu untuk terus dikembangkan. Bioplastik adalah plastik yang dibuat dari bahan alami dan salah satu bahan bakunya adalah polihidroksialkanoat (PHA), yang memiliki sifat biodegradable, fleksibel dan termoplastik. Polihidroksialkanoat dihasilkan oleh bakteri sebagai cadangan karbon dan energi intraseluler menggunakan substrat seperti gula dan asam lemak. Bioplastik berbahan PHA telah dibuat menjadi barang dagangan sebagai bahan kemasan. Peningkatan sifat fisik dari PHA sebagai bahan kemasan dilakukan melalui pencampuran dengan bahan polimer yang biodegradable, plastisiser, dan antimokroba. Kelemahan produksi PHA adalah biaya produksinya tinggi namun dapat diminimalisasi dengan menggunakan bahan baku yang tepat. Limbah cair dan padat dari industri kelapa sawit merupakan bahan yang berpotensi untuk produksi PHA karena dengan pemanfaatannya dapat meminimalkan limbah, meningkatkan nilai tambah dan mendukung industri kelapa sawit yang berkelanjutan. Jenis-jenis PHA yang dihasilkan dari limbah cair dan padat dari industri kelapa sawit sangat tergantung dari substrat dan bakteri yang digunakan. Strategi yang dapat dilakukan untuk mempercepat hilirisasi bioplastik berbasis PHA dari industri kelapa sawit meliputi: (1) penggunaan teknologi pengolahan limbah cair dan padat dari pabrik kelapa sawit secara terintegrasi, (2) penggunaan bakteri yang tepat untuk mengakumulasi PHA dari limbah cair (seperti Rhodobacter sphaeroides, Delftia tsuruhatensis Bet002, Betaproteobacteria, Alphaproteobacteria, Gammaproteo-bacteria), dan limbah padat (seperti B. megaterium, Bacillus cereus suaeda B-001), dan (3) pemanfaatan PHA pada produk yang memiliki nilai tambah tinggi seperti produk biomedis dan farmasi.  ABSTRACT Conventional plastic is petroleum-based plastic, which has problems including the availability of fewer raw materials, and this plastic waste causes environmental pollution because it is difficult to natural degradation. Therefore, plastics made from biodegradable and sustainable raw materials need to develop. Bioplastics are plastics made from natural materials and one of the raw materials is polyhydroxyalkanoate (PHA), which has biodegradable, flexible, and thermoplastic properties. Polyhydroxyalkanoate is produced by bacteria as carbon reserves and intracellular energy using substrates such as sugar and fatty acids. Bioplastics made from PHA have been commercialized as packaging materials. Improvement of the physical properties of PHA as a packaging material is conducted by mixing it with biodegradable polymerizers, plasticizers, and antimicrobials.  The disadvantage of PHA production is that its production costs are high but can be minimized by using appropriate raw materials. Liquid and solid waste from the oil palm industry are materials that have the potential for the production of PHA because its utilization can minimize waste, increase added value, and support the sustainable oil palm industry. The types of PHA that are produced from liquid and solid wastes from the palm oil industry are highly dependent on the substrate and bacteria used. Strategies that can be taken to accelerate the downstream of PHA-based bioplastics from the oil palm industry include: (1) the use of liquid and solid waste from the oil palm industry with integrated processing technology, (2) the use of appropriate bacteria to accumulate PHA from liquid waste (such as Rhodobacter sphaeroides, Delftia tsuruhatensis Bet002, Betaproteobacteria, Alphaproteobacteria, Gammapro-teobacteria), and solid waste (for example B. megaterium, Bacillus cereus suaeda B-001), and (3) utilization of PHA on products that have a high added value such as biomedical and pharmaceuticals products. 
KERUSAKAN TANAH PADA LAHAN PERKEBUNAN DAN STRATEGI PENCEGAHAN SERTA PENANGGULANGANNYA / Soil Deterioration of Plantation Land and Strategies for Its Prevention and Handling Bariot Hafif
Perspektif Vol 19, No 2 (2020): Desember 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n2.2020.105-121

Abstract

Tanah areal perkebunan Indonesia seluas 26,5 juta ha yang terdiri atas tanah mineral dan tanah gambut, rentan mengalami kerusakan. Penyebabnya antara lain pengelolaan tanah berlebihan, penggunaan tidak sesuai dengan kelas kesesuaian lahan, dan pengembalian hara tidak berimbang. Kerusakan tanah juga didorong oleh sifat alam seperti curah hujan tinggi, topografi berlereng dan erodibilitas tanah tinggi. Tujuan penulisan artikel adalah membahas berbagai indikator kerusakan tanah pada lahan perkebunandan strategi pencegahan serta penanggulangannya. Indikator penilaian kerusakan sifat fisika, kimia dan biologi tanah mineral yang relatif baru adalah sealing/crusting (lapisan tanah tipis kedap air), pemadatan tanah, kandungan logam berat dan residu pestisida, dan kandungan mikroba.Sedangkan pada tanah gambut seperti perubahan simpanan karbon, tingkat respirasi, emisi gas rumah kaca (GRK), tingkat kematangan gambut, perubahan tinggi muka air, subsidensi dan kontaminasi polutan. Untuk menghindari kerusakan tanah pada lahan perkebunan, cara preventif dinilai lebih baik. Cara ini di antaranya dapat digapai dengan memaksimalkan penutupan permukaan tanah oleh kanopi. Untuk hal itu pertumbuhan tanaman harus optimal dengan menyediakan hara, air dan bahan organik yang cukup, dan memelihara stabilitas agregat dan ruang pori tanah. Cara lain adalah menerapkan pola agroforestri dan teknologi konservasi. Untuk menghindari tanah gambut dari kerusakan maka pemilihan komoditas perkebunan harus selektif di antaranya tanaman harus berkontribusi nyata dalam sekuestrasi karbon gambut, pola tataguna lahan sesuai dengan hasil penilaian kesesuaian lahan gambut, lahan merupakan kawasan budidaya, ketebalan gambut tidak >3 (tiga) meter, tanah gambut bukan kategori fibrik, dan tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan tanah sulfat masam. ABSTRACTIndonesia's plantation area of 26.5 million ha, consisting of mineral soils and peat soils, is vulnerable to damage. The causes include excessive soil management, land use is improper to land suitability, and imbalanced nutrient returns. Soil deterioration is also driven by natural characteristics such as rainfall, topography, and soil erodibility. The purpose of this article is to discussvarious indikators of soil deterioration on plantation land and strategies for their prevention and control. Indicators in the assessment of physical, chemical, and biological characteristics deterioration of mineral soils are relatively new, are sealing/crusting, soil compaction, the content of heavy metals, pesticide residues, and microbes. While in peat soils are deposits carbon, respiration rates, greenhouse gas (GHG) emissions, peat maturity, water table level, peat subsidence and pollutant contamination. Preventive measures are better to avoid damage to plantation soil. This method can be achieved, among others, by maximizing the cover of the soil surface by the canopy. For this, plant growth must be optimal by providing sufficient nutrients, water, and organic matter and maintaining the aggregates stability, and soil pore space. Another way is to apply agroforestri patterns and conservation technologies. Toprevent peat soil from being damaged, plantation commodities selected should contribute significantly to the carbon sequestration of peatand land-use patterns based on peatland suitability assessment, besides the peat soils are in cultivation areas, peat soil thickness is<3 (three) meters, the peat is not fibric and under the peat is not quartz sands and acid sulphate soils.
PELUANG PALM FATTY ACID DISTILLATE DARI INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM PEMBUATAN MONO-DIGLISERIDA The Opportunities of Palm Fatty Acid Distillate from Palm Oil Industry in Production of Mono-Diglyceride Kartika Okta Purnama; Dwi Setyaningsing; Erliza Hambali; Darmono Taniwiryono
Perspektif Vol 20, No 1 (2021): Juni 2021
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v20n1.2021.11-25

Abstract

Palm fatty acid distillate (PFAD) merupakan produk samping bernilai rendah yang dihasilkan dari proses deodorisasi pada tahapan refinery crude palm oil (CPO) menjadi minyak goreng sawit. Kandungan PFAD yaitu asam lemak bebas (ALB) sebagai komponen utama (>80 %) dan komponen minor berupa karoten (pro-vitamin A), tokoferol dan tokotrienol (vitamin E), sterol, fosfolipid, glikoloid, serta hidrokarbon terpenik dan alifatik. Potensi PFAD dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk dalam upaya peningkatan nilai tambah industri minyak sawit, seperti sebagai bahan baku dalam sintesis mono-digliserida (MDAG). Produk MDAG merupakan emulsifier yang telah banyak digunakan sebagai pengemulsi dalam industri pangan dan bukan pangan. Emulsifier berfungsi menyatukan dua fase cairan yang berbeda kepolaran sehingga membentuk suatu sistem emulsi. Hal ini disebabkan oleh karena bahan tersebut memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik di dalam senyawanya. Sintesis MDAG dari PFAD dapat dilakukan melalui esterifikasi enzimatis dan kimiawi dengan bantuan katalis. Sintesis MDAG dari PFAD merupakan reaksi yang bersifat reversible, sehingga konversi reaktan menjadi produk dalam jumlah tinggi sulit untuk diperoleh. Spesifikasi kemurnian MDAG tentang aditif makanan standar Uni Eropa (UE) tahun 2012. Adapun tantangan dalam produksi MDAG dari PFAD adalah rendemen dan spesifikasi produk MDAG yang dihasilkan relatif rendah, sehingga diperlukan berbagai upaya dalam peningkatan rendemen dan spesifikasi produk MDAG hasil sintesis. Makalah ini mereview tentang proses pengolahan dan karakterisik PFAD serta aplikasinya dalam sintesis MDAG dan berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rendemen dan spesifikasi serta aplikasi MDAG pada berbagai produk untuk dapat diteliti lebih lanjut. Sintesis MDAG secara kimiawi  dilanjutkan dengan pemurnian produk hasil esterifikasi menggunakan metode distilasi molekuler berpeluang untuk dilakukan sebagai upaya dalam meningkatkan rendemen dan spesifikasi produk MDAG sesuai standar.ABSTRACT Palm fatty acid distillate (PFAD) is a low-value by-product produced from the deodorization process at the refinery crude palm oil (CPO) stage to become palm cooking oil. PFAD contains free fatty acids (ALB) as the primary (> 80%) and minor components in the form of carotene (pro-vitamin A), tocopherols, and tocotrienols (vitamin E), sterols, phospholipids, glycoloid, as well as terpenic and aliphatic hydrocarbons. PFAD can  to be used as a raw material for various products to increase the added value of the palm oil industry, such as a raw material in the synthesis of mono-diacylglyceride (MDAG). MDAG is an emulsifier that has been widely used as an emulsifier in the food and non-food industries. An emulsifier is a material that can unite two liquid phases with different polarities to form an emulsion system. This is because the material has both hydrophilic and hydrophobic properties as well as in its compounds. The synthesis of MDAG from PFAD can be carried out through enzymatic and chemical esterification with the help of a catalyst. The synthesis of MDAG from PFAD is a reversible reaction, so the conversion of reactants into products in high amounts is difficult to obtain. MDAG product purity specifications are following on European Union (EU) standard food additives in 2012. The challenge in MDAG production from PFAD is that the output and specifications of MDAG products are still relatively low so that various efforts are needed to increase the yield and specifications of synthesized MDAG products. This paper reviews the processing and characteristics of PFAD and its application in the synthesis of MDAG and the various efforts that can be made to improve the yield and specifications and the application of MDAG to multiple products for further research. Chemical synthesis of MDAG with a continuous process followed by purification of esterified products using the molecular distillation method has the opportunity to be done as an effort to increase the yield and specifications of MDAG products according to standards.