cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum
Published by Universitas Brawijaya
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 99 Documents
Search results for , issue "Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022" : 99 Documents clear
ANALISIS YURIDIS KETERKAITAN DATA PRIBADI SEBAGAI OBJEK RAHASIA DAGANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN PENGATURAN DATA PRIBADI DI INDONESIA Azzahra Meidy Trianandini
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Azzahra Meidy Trianandini, Yenny Eta Widyanti, Moch. Zairul Alam Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang e-mail: meidy.azzahra@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis keterkaitan antara rahasia dagang dan data pribadi sebagai suatu informasi bisnis yang dilindungi oleh rahasia dagang menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 2000 dan perlindungan hukum yang dapat dilakukan jika terjadi penyalahgunaan atas data pribadi sebagai suatu informasi bisnis rahasia dagang berdasarkan UU No.30 Tahun 2000 dan Pengaturan Data Pribadi di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan yakni metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pada hasil penelitian ini, keterkaitan antara rahasia dagang dan data pribadi dapat dianalisis dengan didasarkan pada unsur informasi, unsur nilai ekonomi, dan unsur kerahasiaan yang jelas terkandung dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 2000. Data pribadi disini berupa kumpulan data pribadi individu yang tidak spekulatif dan termasuk daftar konsumen serta informasi bisnis sekaligus bernilai ekonomi karena membantu menyusun kebijakan pelaku usaha yang jika disalahgunakan akan membahayakan pengendali. Kerahasiaan perlu dijaga dan ada izin dari pemiliknya. Kumpulan data pribadi dinyatakan sepihak sebagai rahasia dagang oleh pelaku usaha sehingga konsumen tidak akan tahu sejauh mana data pribadi digunakan. Ketika kebocoran terjadi, eksistensi kerahasiaan dan nilai ekonomi akan menghilang pada kumpulan data pribadi dalam data konsumen sedangkan data pribadi perseorangan akan tetap ada. Perbuatan penyalahgunaan data pribadi dapat dikenakan Pasal 13 dan Pasal 14 UU Rahasia Dagang serta Pasal 32 ayat (1) dan (3) UU ITE. Sedangkan, sanksi yang dapat diberi yakni Pasal 17 UU Rahasia Dagang dan Pasal 48 ayat (1) dan (3) UU ITE. Penyelesaian sengketa permasalahan ini lebih tepat dilakukan melalui non-litigasi demi terwujud win-win solutions dan terjaminnya penegakan hak para pihak. Pihak yang bertanggungjawab dapat pihak pelaku usaha atau pihak ketiga lain dan keduanya memiliki hak untuk membuktikan diri jika tidak bersalah. Kata Kunci : Keterkaitan, Rahasia Dagang, Data Pribadi, Penyalahgunaan. ABSTRACT This research aims to find out and analyze the nexus between trade secret and personal data business information protected by trade secret according to Article 1 point 1 of Law Number 30 of 2000 and the legal protection in case of misuse of personal data as business information of trade secret according to Law Number 30 of 2000 and Personal Data Management in Indonesia. This method employed normative-juridical methods, statutory, and conceptual approaches. The research results have found that the nexus between trade secret and personal data can be analyzed based on information, economic value, and confidentiality aspects outlined in Article 1 Point 1 of Law Number 30 of 2000. Personal data refers to the non-speculative data owned individually by a consumer. This data includes a consumer list and business information that could help arrange the policy for business actors, and the misuse of this data may harm controllers. The confidentiality of the data needs to be maintained and needs the consent of the data owners. The collection of personal data is usually declared solely as a trade secret by business owners, and this does not give any chance to the owner to know how far the data is used. When a leak takes place, the confidentiality and the economic value will no longer be embedded in the collection of personal data
TINJAUAN HUKUM MENGENAI AMICUS CURIAE SEBAGAI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA (Studi Putusan Nomor 784/pid/2018/PT Mdn, Nomor 6/pid.sus-anak/2018/PT Jmb dan Nomor 371/pid.b/2020/PN Jkt.utr) Belinda Akira Putri
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Belinda Akira Putri, Prija Djatmika, Fachrizal Afandi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya e-mail: belindaakiraputri@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Amicus Curiae sebagai pertimbangan hakim dalam putusan perkara pidana di Indonesia. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum mengenal konsep Amicus Curiae sebagai alat bukti surat. Namun tidak menutup kemungkinan Amicus Curiae tidak bisa dijadikan sebagai pertimbangan hakim. Dasar hukum diperbolehkannya surat Amicus Curiae sebagai pertimbangan hakim, yaitu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim dan hakim konstitusi harus menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Maka untuk memperkuat lebih lanjut dalam persidangan perkara pidana, perlu digali lebih lanjut perihal surat Amicus Curiae sebagai alat bukti. Dalam KUHAP alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1). Adapun jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian normatif dengan metode penelitian yuridis-normatif yang dilakukan dengan menggunakan studi kasus hukum normative berupa produk perilaku hukum. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diketahui bahwa Amicus Curiae dapat dijadikan sebagai pembuktian dalam praktik peradilan perkara pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 188 ayat (1) tentang alat bukti petunjuk. terkait surat yang tidak memenuhi persyaratan sebagai alat bukti surat dapat diperuntukan sebagai alat bukti petunjuk yang pertimbangannya berdasarkan keyakinan hakim. Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Amicus Curiae, Alat Bukti Belinda Akira Putri, Prija Djatmika, Fachrizal Afandi Faculty of Law, Universitas Brawijaya e-mail: belindaakiraputri@gmail.com ABSTRACT This research aims to study Amicus Curiae as the judge’s decision in delivering verdicts over criminal cases in Indonesia. Criminal Code Procedure in Indonesia does not recognize the concept Amicus Curiae serving as an evidential document, but there is a possibility that judges could refer to Amicus Curiae. This possibility is set forth in Article 5 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power, implying that judges and constitutional judges are required to discover, follow, and understand legal and justice values in society. The existence of Amicus Curiae as evidence at court needs to be discovered more. Proof in Criminal Code Procedure is regulated in Article 184 paragraph (1). This research employed normative-juridical methods that involved a case study observing legal action. The research result concludes that Amicus Curiae could serve as evidence in the adjudication of criminal cases. This is regulated in Article 188 paragraph (1) concerning Indication. Documents not meeting the requirement as documents as evidence could serve as an indication with the consideration made based on what judges believe. Keywords: judge’s consideration, Amicus Curiae, proof
IMPLIKASI YURIDIS EUROPEAN RESOLUTION: EUROPE AS AN LGBTIQ FREEDOM ZONE TERHADAP ACT LXXIX OF 2021 HUNGARY BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL Christian Louis Panangian Simanjuntak
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pada tanggal 15 Juli 2021 Komisi Uni Eropa memulai tindakan hukum terhadap negara anggotanya yakni Hongaria. Dalam kasus ini Hongaria dirasa melakukan diskriminasi pada kaum LGBTIQ dengan mengesahkan Undang-Undang yang dirasa anti LGBTIQ, yang bertentangan dengan tindakan hukum Uni Eropa yang mendeklarasikan suatu resolusi pada tanggal 11 Maret 2021 yang mana intinya menjelaskan bahwa wilayah Eropa menjadi zona kebebasan LGTBIQ. Bahwasannya apabila dilihat dari kacamata hukum internasional secara umum Hongaria tidaklah salah mengingat terdapat banyak prinsip hukum internasional yang mendukung adanya kedaulatan pada suatu negara untuk mengatur yuridiksi wilayahnya masing-masing. Akan tetapi Uni Eropa merupakan organisasi internasional yang berbeda dengan organisasi internasional pada umumnya. Yang mana organisasi menjunjung kesamarataan untuk negara anggotanya agar tidak adanya ketidak adilan antara negara anggota dengan negara anggota lainnya. Dengan kata lain penegakan hukum dalam Uni Eropa memiliki keunikannya sendiri yang mana tidak dapat disandingkan dengan organisasi internasional yang ada pada dunia ini. Kata Kunci: Resolusi, Organisasi Internasional, Uni Eropa ABSTRACT On 15 July 2021, European Union Commission took legal action against Hungary as its member state that allegedly discriminated against LGBTIQ people by passing anti-LGBTIQ law. This state stands against European Union law that declared a resolution dated 11 of March 2021 implying that the European Union is a freedom zone for LGBTIQ. From the perspective of international law, Hungary should not be blamed for this act, recalling that some principles of national law also allow the sovereignty of every state to run its jurisdiction. On the other hand, European Union is different from other international organizations in general; European Union upholds the equality of its member state for the sake of justice for all of its member states. That is, the law enforcement in European Union represents its own uniqueness incomparable to other international organizations globally. Keywords: Resolution, International Organization, European Union
PENGATURAN BATAS MINIMUM JUMLAH UTANG SEBAGAI SYARAT PAILIT DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA Daffa Ghaly Raihan
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Syarat untuk mengajukan permohonan pailit sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa, debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya, setidaknya dari dua utang dan salah satunya telah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Dimana dalam hukum kepailitan di Indonesia tidak mengatur mengenai batasan minimum jumlah utang sebagai salah satu syarat untuk dapat mengajukan permohonan kepailitan. Berdasarkan hal tersebut diatas, skripsi ini mengangkat rumusan masalah: 1) Bagaimanakah urgensi pengaturan batas minimum jumlah utang sebagai syarat pailit dalam hukum kepailitan di Indonesia? 2) Apakah syarat pailit yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sudah selaras dengan asas kelangsungan usaha (going concern)? Kemudian penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan menggunakan metode penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis. Dari hasil penelitian dengan metode di atas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa syarat kepailitan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan saat ini. Dengan tidak diaturnya batas minimum jumlah utang sebagai syarat untuk mengajukan permohonan pailit, sehingga tidak sedikit kreditor dengan nilai utang minimum menyalahgunakan kelonggaran tersebut menggunakan lembaga kepailitan semata-mata hanya sebagai alat untuk menagih utang, tanpa memperhatikan kreditor lainnya dengan nilai utang bahkan jauh lebih besar yang oleh debitor terhadap utang tersebut masih dilaksanakan dengan baik. Maka dari itu, dalam hal ini sangat perlu agar hukum kepailitan di Indonesia untuk memberikan batasan minimum jumlah utang sebagai syarat kepailitan. Kata kunci: kepailitan, utang Abstract Article 2 Paragraph (1) of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and suspension of Debt Payment Obligation states that a debtor facing difficulties paying off at least one of the debts that has met the due date and been payable can be declared bankrupt by Commercial Court. However, the bankruptcy law in Indonesia does not regulate the minimum amount of debt as one of the requirements to request bankruptcy. Departing from the above issue, this research investigates: 1) what is the urgency of the regulation of the minimum limit of debt as the requirement in bankruptcy law in Indonesia, and are the requirements of bankruptcy that are governed in Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligation congruent with ongoing concern principle? This research employed normative-juridical methods and conceptual and comparative approaches. The primary, secondary, and tertiary data were analyzed using grammatical and systematic interpretations. The research results reveal that Article 2 Paragraph (1) in conjunction with Article 8 paragraph (4) of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligation is no longer relevant to apply these days. With the absence of the minimum limit of the debt as the requirement to request for bankruptcy, many creditors with the minimum amount of debt misuse this leniency involving the bankruptcy agency as the party to collect the debt without considering other creditors with even far bigger amounts of the debt, while the debtors with this huge amount still pay the debt accordingly. Thus, it is essential that bankruptcy law in Indonesia set the minimum limit of the amount of debt as the requirement of bankruptcy. Keywords: bankruptcy, debt
PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP STATUS BOEDEL PAILIT ATAS PUTUSAN NOMOR 89 K/PDT.SUS-PAILIT/2019 dan PUTUSAN NOMOR 529 K/PDT.SUS-PAILIT/2017 DALAM ACTIO PAULIANA KEPAILITAN Dwi Cahya Jayanugraha
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Demi keadilan bagi setiap Kreditor pailit terhadap pelunasan piutangnya oleh Debitor pailit, maka Pengadilan Niaga memberikan pengaturan tentang actio pauliana kepailitan selayaknya peraturan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Meskipun telah ada pengaturannya, namun pada fakta yang terjadi di lapangan masih banyak permasalahan yang timbul perihal status boedel pailit dalam actio pauliana kepailitan ini. Yang sering terjadi permasalahan berkaitan dengan penafsiran hakim dalam memutus suatu perkara gugatan actio pauliana kepailitan. Penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan penafsiran hakim terkait actio pauliana kepailitan yang didasari dengan aturan hukum yang ada pada Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Dan untuk mendukung penelitian ini digunakan pendekatan undang-undang, dan pendekatan kasus. Penafsiran hakim terhadap boedel pailit yang digugat actio pauliana kepailitan dapat dianggap aset kepailitan termasuk boedel pailit, tetapi ada juga hakim yang menafsirkan bahwa suatu aset tidak termasuk dalam boedel pailit. Hal ini harus dilihat dari perbuatan hukum debitor pailit tersebut apakah termasuk perbuatan yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau undang-undang. Ataupun apakah perbuatan hukum debitor pailit semata hanya untuk mengalihkan asetnya yang merugikan para kreditor pailit. Kata Kunci: Penafsiran Hakim, Boedel Pailit, Actio Pauliana Kepailitan Abstract On the grounds of justice for each bankruptcy creditor related to the full payment given by bankrupt debtors, Commercial Court set the regulation concerning Actio Pauliana of Bankruptcy as what is governed in Article 41 of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligation. Despite the regulation, there have been some problems emerging from the status of the bankruptcy estate in this Actio Pauliana of bankruptcy, especially those regarding the interpretation of judges settling the cases of Actio Pauliana of bankruptcy. This research aims to give resolutions to the interpretation of the judges as mentioned above according to Article 41 paragraph (3) of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and the Suspension of Debt Payment Obligation. With normative-juridical methods, statutory and case approaches, this research has found that the bankruptcy estate based on Actio Pauliana of bankruptcy as interpreted by the judges concerned can be considered as the bankruptcy asset of the bankruptcy estate. This can be seen from what has been performed by the bankrupt debtor; whether it is an act that must be taken based on a contract and/or law or an act that is intended to transfer the asset that has caused loss for the creditors in a bankruptcy case. Keywords: judge’s interpretation, bankruptcy estate, Actio Pauliana of bankruptcy
KRIMINALISASI CHILD GROOMING DI DUNIA MAYA Linda Suci Rahayu
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Child grooming merupakan pelecehan seksual yang menargetkan seorang anak dibawah umur dengan cara memanipulasi dan tipu muslihat untuk kemudian dilecehkan secara seksual. Namun, tindakan tersebut belum diatur secara khusus dan mendetail di dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Penelitian ini menganalisis urgensi dari kriminalisasi child grooming di dunia maya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan reformulasi kriminalisasi child grooming di dunia maya dalam hukum pidana Indonesia ke depan. Penelitian ini menggunkan metode yuridis normatif, dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa urgensi dari kriminalisasi child grooming yaitu semakin maraknya kasus child grooming yang berdampak negatif terhadap anak seiring berkembangnya teknologi yang semakin canggih, pelaku dapat dengan mudah menghindari hukum karena tidak adanya aturan khusus serta adanya keterbatasan kemampuan dari aparat penegak hukum sendiri dalam menangani tindakan child grooming. Dengan modus dan cara yang semakin berkembang, maka peraturan yang sudah ada dirasa tidak lengkap. Sehingga perlu adanya aturan khusus mengenai child grooming dengan cara mengkomparasikan aturan seperti aturan di Malaysia yaitu mengenai Sexual Offences against Children Act 2017 yang secara khusus mengatur terkait pelanggaran seksual terhadap anak di Malaysia. Yang nantinya dapat menjadi pertimbangan ke dalam aturan di Indonesia ke depan dengan penambahan pasal terkait child grooming ke dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak sebagai upaya mempermudah proses kriminalisasi pelaku (groomer) serta dalam upaya melindungi anak sebagai penerus bangsa. Kata kunci: Child Grooming, Dunia Maya, Kriminalisasi, Reformulasi. ABSTRACT Child grooming is categorized as sexual harassment that targets underage children by manipulating and deceiving children before they are sexually harassed. However, this offense is not specifically regulated in the laws in Indonesia and the reformulation of the criminalization of child grooming in the cyber world in the future is required. This research employed normative-juridical methods, statutory, conceptual, and comparative approaches. The research result shows that the incidence of cases of child grooming is mounting, which leaves negative influences amidst the ever-changing development of technology. The offenders seem to easily escape from sanctions recalling that there are no specific regulations so the authority to enforce the law concerning this issue seems restricted. The existing regulations cannot follow the vast development of the technology, and, thus, more specific regulations intended to handle the child grooming cases are required, where the regulations are compared to the related regulation in Malaysia called Sexual Offences against Children Act 2017 that specifically regulates sexual offenses against children in Malaysia. This comparison is later expected to serve as a consideration in the existing Child Protection Law regarding child grooming cases in Indonesia. This consideration is also expected to ease the process of the criminalization for the groomers and to protect the children responsible for being the next generations of the future. Keywords: child grooming, cyber world, criminalization, reformulation
REFORMULASI SISTEM POST-MERGER NOTIFICATION SEBAGAI UPAYA MENGHINDARI RECHTVACUUM PEMBATALAN MERGER OLEH KPPU Muhammad Fadhali Yusuf
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Sistem Post-Merger Notification yang diterapkan di Indonesia saat ini tentu masih menimbulkan Kontroversi maupun perdebatan dikalangan praktisi maupun Akademisi, mengingat sistem ini mewajinkan Notifikasi atas transaksi Merger baru dapat dilakukan setelah Merger terlaksana. Apabila dibandingkan dengan Negara lain, terdapat perbedaan yang tentu mempengaruhi penerapan Hukum Persaingan Usaha, yang mana di Negara-negara lain telah menerapkan sistem Pre-Merger Notification. Penulis dalam penelitian ini mencoba mengkaji kekosongan hukum yang ada di sistem Post-Merger Notification dan merumuskan upaya penyempurnaan sistem Post-Merger ini. Metode Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif, dengan Pendekatan Konseptual (conceptual approach) dan Pendekаtаn Perundаng-undаngаn (stаtue аpproаch). Kemudian diperoleh hasil dari penelitian bahwa KPPU menyusun dan menyelaraskan regulasi maupun skema untuk membatalkan transaksi penggabungan dari suatu Perusahaan yang telah melakukan penggabungan serta pengaturan mengenai Pemulihan Status Hukum Perusahaan hasil Pembatalan Merger. Adapun hal ini dilakukan guna memberikan kepastian hukum bagi Pelaku Usaha juga memperbaiki kekosongan hukum dalam penegakan Hukum Persaingan Usaha. Kata Kunci : Kekosongan Hukum, Penggabungan, KPPU ABSTRACT The post-merger system that applies in Indonesia still sparks cons and debates among practitioners and scholars because such a system requires the notification of a new merger transaction to take place following the execution of the merger. There are differences between this system and that of other countries, which affects the implementation of business competition law, and the pre-merger notification system has been implemented in several countries. This research aims to study the legal loopholes in the post-merger system and formulate the measures taken to improve the post-merger system. With normative-juridical methods and conceptual and statutory approaches, this research reveals that the Business Competition Supervisory Commission drafts and adjusts regulations and schemes to cancel a merger transaction in a company performing this merger and performs the recovery of the legal standing of the company following the merger cancellation. This approach is intended to guarantee legal certainty for business people, fill the legal loopholes, and enforce business competition law. Keywords: legal loopholes, merger, business competition supervisory commission (KPPU)
ANALISIS PEMBATALAN PUTUSAN HOMOLOGASI OLEH MAHKAMAH AGUNG (STUDI KASUS PEMBATALAN PUTUSAN HOMOLOGASI PT NUSANTARA PROSPEKINDO SUKSES) Petrus Christoforus Darato
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan putusan hakim antara Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung terhadap proses pemungutan suara atas rencana perdamaian PT Nusantara Prospekindo Sukses (Dalam PKPU) tanggal 9 September 2020. Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat bahwa proses pemungutan suara telah memenuhi ketentuan Pasal 281 jo. 280 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Adapun Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa proses pemungutan suara atas rencana perdamaian tersebut telah menyalahi ketentuan Pasal 281 jo. 280 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, sehingga Mahkamah Agung membatalkan pengesahan perjanjian perdamaian tersebut dan menyatakan PT Nusantara Prospekindo Sukses pailit dengan segala akibat hukumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan Putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan Niaga disebabkan karena perbedaan penafsiran penerapan Pasal 280 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, dimana Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa sikap Hakim Pengawas dalam memerintahkan Tim Pengurus untuk mengakui tagihan Kreditor Separatis namun tidak memberikan hak suara telah menyalahi ketentuan Pasal 280 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Dalam hal ini Majelis Hakim Mahkamah Agung menafsirkan Pasal 280 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tanpa memperhatikan fakta dan kejadian dalam rapat-rapat kreditor PT Nusantara Prospekindo Sukses (Dalam PKPU). Kata Kunci : Hakim Pengawas, Kepailitan, Rencana Perdamaian ABSTRACT This research aims to analyze the different court decisions given by the judges of the Commercial Court in the District Court of Central Jakarta and the Supreme Court in the voting process for the reconciliation of PT Nusantara Prospekindo Sukses (in PKPU) dated 9 September 2020. The Panel of Judges of the Commercial Court of the District Court of Central Jakarta argued that the voting process met the provision of Article 281 in conjunction with Article 280 of Law concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU). However, the judges of the Supreme Court were adamant that this voting process violated Article 281 in conjunction with Article 280, making the court cancel all the homologation of the reconciliation and declared PT Nusantara Prospekindo Sukses bankrupt. The research results show that these two dissenting decisions stemmed from varied interpretations of the implementation of Article 280, in which the judges of the Supreme Court saw this decision as not in line with Article 280 because the supervising judges instructed the team concerned to admit the payable amount of the secured creditor but no right to vote was given. The judges of the Supreme Court interpreted Article 280 without considering the facts and what took place in the sessions attended by the creditors of PT Nusantara Prospekindo Sukses (in PKPU). Keywords: supervising judge, bankruptcy, reconciliation plan
PEMBATASAN SYARAT DIVERSI BAGI PELAKU ANAK TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Purwati Cahya Mustikaningrum
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Dilatar belakangi atas tingginya angka kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Anak yang diberlakukan proses peradilan secara formal dalam persidangan, serta adanya pembatasan syarat diversi dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Padana Anak yang mengatakan bahwa Anak tidak wajib diupayakan diversi apabila ancaman pidana yang dikenakan kepadanya lebih dari 7 tahun dan merupakan tindak pidana recidive sehingga Anak pelaku tindak pidana narkotika tidak dapat di diversi. Melihat dari problematika tersebut maka rumusan masalah yang dapat diambil ialah (1) Apakah pembatasan syarat diversi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terkait tindak pidana narkotika telah sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Hak-Hak & The Beijing Rule? (2) Bagaimanakah konsep pembatasan ketentuan syarat diversi di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di masa mendatang terkait anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika? Jenis metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa Negara telah menjamin perlindungan bagi Anak yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun aturan tersebut tidak bisa terlaksana sepenuhnya dengan adanya pembatasan syarat dilaksanakannya diversi terhadap pelaku Anak. Diantaranya adalah bagi pelaku Anak tindak pidana narkotika yang tidak diwajibkan terhadapnya untuk dilakukan diversi. Dengan demikian perlu adanya perubahan pada aturan tersebut agar Anak pelaku tindak pidana narkotika dapat diselesaikan melalui diversi yaitu pada frasa “diupayakan” dalam Pasal 7 ayat (1) diubah menjadi “dilakukan”, penghapusan kategori anak yang dapat di diversi, dan penambahan pasal pengenai wajib dilakukan diversi bagi pelaku anak penyalahgunaan narkotika. Kata Kunci: Pembatasan, Syarat Diversi, Pelaku Anak, Tindak Pidana Narkotika, Sistem Peradilan Pidana Anak. ABSTRACT Narcotic cases involving children as the offenders are mounting in numbers, and these cases usually take the formal trial process at courts and the diversion of Article 7 Paragraph (2) of Law Number 11 of 2012 concerning the Judicial System of Juvenile Crime implying that children do not require any diversion if they are sentenced to more than seven-year imprisonment or if they are repeat offenders. If this is the case, the child involved in such a crime cannot receive any diversion. Departing from this issue, this research investigates: (1) Is the scope of the requirements of diversion governed in law Number 11 of 2012 concerning the Judicial System of Juvenile Crime regarding narcotic crime relevant to the provisions of the Convention on the Rights of the Child and the Beijing Rule? (2) how does the concept of this scope of the requirements of the diversion work in Law Number 11 of 2012 concerning the Judicial System of Juvenile Crime in the future regarding a child involved as an offender in a narcotic crime? This research employed normative-juridical methods, statutory, and conceptual approaches. the research concludes that the state guarantees the protection of the child facing legal cases according to the Convention on the Rights of the Child governed in Article 7 of Law Number 11 of 2012. However, this regulation is not implemented with the application of diversion. The case with the child as the offender does not require any diversion to give. Thus, the phrase “diupayakan” (effort given) as in Article 7 Paragraph (1) needs to be changed into “dilakukan” (taking action). Other considerations may involve the abolishment of the categories of children that can receive diversion and the addition of an article concerning the obligation of a diversion for the child involved in a narcotic crime. Keywords: limitation, requirements of diversion, a child as an offender, narcotic crime, judicial system of juvenile crime
IMPLEMENTATION OF ARTICLE 30 PARAGRAPH (2) OF GOVERNMENT REGULATION NUMBER 30 OF 2019 CONCERNING ASSESSMENT OF CIVIL SERVANT PERFORMANCE (A STUDY IN EDUCATION CIVIL SERVICE AND REGIONAL TRAINING AGENCY OF KEDIRI CITY) Sherine Alsadila Millenia
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan mengenai Pasal 30 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil yang memuat mengenai pembinaan kinerja. Pasal tersebut belum dilaksanakan oleh Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kota Kediri selaku Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) yang memiliki tugas untuk melaksanakan pembinaan kepegawaian di Kota Kediri. Padahal pembinaan kinerja terhadap PNS perlu dilakukan agar target kinerja bisa dicapai. Penulisan skripsi ini menggunakan metode sosio legal dengan metode pendekatan yuridis sosiologis. Data primer dan sekunder yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian dengan metode di atas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa Pasal 30 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil belum dilaksanakan di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kota Kediri, dikarenakan terdapat faktor-faktor penghambat seperti faktor penegak hukum, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan. Sedangkan solusi yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kota Kediri adalah dengan segera menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP), bersikap tegas dalam melaksanakan pembinaan, dan mengusahakan menyesuaikan diri dengan adanya pandemi COVID-19. Kata kunci: Pembinaan Kinerja, Kinerja, PNS ABSTRACT This research studies the issue regarding the enforcement of Article 30 Paragraph (2) of Government Regulation Number 30 of 2019 concerning the Assessment of Civil Servant Performance in Education Civil Service and Regional Training Agency (henceforth referred to as BKPPD) in Kediri City. This research employed socio-legal methods and socio-juridical approaches. Primary and secondary data were analyzed using descriptive qualitative analysis techniques. This research results reveal that the Government Regulation mentioned above has not been appropriately implemented due to several impeding factors such as law, society, and culture. The solution given by the BKPPD of Kediri City is to immediately draft the Standard Operational Procedures (SOP), perform stricter standards for civil service training, and adjust to the conditions amidst Covid-19. Keywords: Performance Development, Performance, Civil Servants

Page 1 of 10 | Total Record : 99


Filter by Year

2022 2022


Filter By Issues
All Issue Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2023 Sarjana Ilmu Hukum, April 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2023 Sarjana Ilmu Hukum, September 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2023 Sarjana Ilmu Hukum, September 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2022 Sarjana Ilmu Hukum, November 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2022 Sarjana ilmu Hukum, Januari 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2022 Sarjana Ilmu Hukum, April 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2022 Sarjana Ilmu Hukum, April 2021 Sarjana ilmu Hukum, Desember 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2021 Sarjana ilmu Hukum, Oktober 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2021 Sarjana ilmu Hukum, November 2021 Sarjana ilmu Hukum, September 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2020 Sarjana Ilmu Hukum, April 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2020 Sarjana Ilmu Hukum, September 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2020 Sarjana Ilmu Hukum, November 2020 Sarjana Ilmu Hukum, November 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2019 Sarjana Ilmu Hukum, September 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2019 Sarjana Ilmu Hukum, April 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2018 Sarjana Ilmu Hukum, September 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2018 Sarjana Ilmu Hukum, November 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2018 Sarjana Ilmu Hukum, April 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2018 MAGISTER ILMU HUKUM DAN KENOTARIATAN, 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2017 Sarjana Ilmu Hukum, September 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2017 Sarjana Ilmu Hukum, November 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2017 Sarjana Ilmu Hukum, April 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2016 Sarjana Ilmu Hukum, April 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2016 Periode II Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2016 Periode I Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2016 MAGISTER ILMU HUKUM DAN KENOTARIATAN, 2016 Sarjana Ilmu Hukum,September 2016 Sarjana Ilmu Hukum, November 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2015 Sarjana Ilmu Hukum, November 2015 Sarjana Ilmu Hukum, April 2015 MAGISTER ILMU HUKUM DAN KENOTARIATAN, 2015 Sarjana Ilmu Hukum, September 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2015 MAGISTER ILMU HUKUM DAN KENOTARIATAN, 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2014 Sarjana Ilmu Hukum, September 2014 Magister Ilmu Hukum dan Kenotariatan, 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2014 Sarjana Ilmu Hukum, November 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2014 Magister Ilmu Hukum dan Kenotariatan, 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2014 Sarjana Ilmu Hukum, April 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2013 Magister Ilmu Hukum dan Kenotariatan 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2013 Doktor Ilmu Hukum 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2013 Magister Ilmu Hukum dan Kenotariatan 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2013 Doktor Ilmu Hukum 2013 Sarjana Ilmu Hukum, April 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2013 Sarjana Ilmu Hukum, September 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2012 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2012 Sarjana Ilmu Hukum, September 2012 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2012 Sarjana Ilmu Hukum, November 2012 More Issue