Articles
19 Documents
Search results for
, issue
"1996: HARIAN PIKIRAN RAKYAT"
:
19 Documents
clear
HARUSKAH IKIP BANDUNG MENJADI UNIVERSITAS?
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (111.516 KB)
Selama ini banyak orang menyatakan salut kepada IKIP Bandung sebagai kelompok Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang tidak mudah dan pernah tergiur untuk mengubah eksistensinya menjadi universitas. Namun demikian kesalutan ini akhirnya menjadi luntur, bahkan hilang bersamaan dengan munculnya informasi bahwa senat institut keguruan dan ilmu pendidikan ini menyatakan siap untuk mengubah eksistensi lembaga keguruannya menjadi universitas; meski dengan beberapa catatan.      Seperti yang telah kita ketahui bersama pembicaraan mengenai pengubahan status IKIP menjadi universitas akhir-akhir ini menjadi aktual lagi setelah Depdikbud,baik Pak Wardiman Djojonegoro selaku menteri pendidikan maupun Pak Bambang Soehendro selaku direktur jenderal pendidikan tinggi, memberi lampu hijau mengenai hal itu.       Banyak orang menyatakan bahwa pengubahan status IKIP tidak akan menyelesaikan masalah kependidikan; bahkan tidaklah mustahil dilaksanakannya pengubahan status IKIP nanti justru akan menimbulkan berbagai persoalan baru.Itulah sebabnya maka banyak orang yang menyatakan salut dan simpati kepada IKIP Bandung, yang di tengah-tengah gencarnya IKIP lain ingin mengubah eksistensi dan statusnya maka IKIP Bandung tetap bersikukuh untuk bertahan. Dengan cara ini diharapkan IKIP Bandung justru dapat menjadi pioner untuk mengem-balikan kejayaan IKIP dengan peran aktifnya dalam memproduksi tenaga kependidikan yang diperlukan di lapangan.      Rasa salut serta simpati itupun akhirnya sirna bersamaan dengan munculnya informasi bahwa IKIP Bandung akan "ikutan" mengubah eksistensi dan statusnya menjadi universitas. Bahkan kini muncul ber-bagai pertanyaan sekitar dasar, tujuan dan alasan IKIP Bandung harus mengubah diri menjadi universitas.
BP3 BUKAN BADAN PEMERAS PESERTA PENDIDIKAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (114.879 KB)
      Seorang bupati kepala daerah di Jawa baru-baru ini menyatakan himbauannya agar para pengurus BP3 di sekolah-sekolah (negeri) hen-daknya hati-hati dan bersikap arif dalam menentukan sumbangan yang dikenakan pada para orang tua siswa (baru). Sumbangan, maksudnya sumbangan pendidikan atau yang oleh masyarakat kita lebih dikenal dengan istilah "uang BP3", tersebut hendaknya jangan memberatkan orang tua siswa.      Himbauan Pak Bupati tersebut kiranya cukup tepat dan mengena; rupanya beliau mengerti benar tentang keluhan-keluhan yang dihadapi oleh warganya. Seperti kita ketahui sudah menjadi semacam tradisi pada bulan-bulan awal tahun ajaran baru seperti sekarang ini banyak orang tua siswa yang mengeluhkan besarnya sumbangan pendidikan yang ditarik oleh pengurus BP3. Banyak orang tua yang merasa berat untuk membayar sumbangan pendidikan tersebut; sama beratnya kalau dia harus menolak membayar sumbangan yang sudah ditentukan oleh para pengurusnya.      Sumbangan pendidikan (ditarik oleh pengurus BP3) yang besar-nya hampir senantiasa lebih besar daripada uang sekolah (ditarik oleh pengurus sekolah) terkadang menimbulkan persepsi keliru di kalangan orang tua siswa atas keberadaan badan itu sendiri. Badan yang diben-tuk secara legal oleh kepala sekolah ini kemudian dipersepsi sebagai kepanjangan tangan sekolah dalam hal kutip mengutip dana. Badan ini dipersepsi sebagai upaya legitimasi dari pihak sekolah untuk mengutip dan mengeruk dana dari masyarakat, khususnya dari orang tua.      Itulah sebabnya di masyarakat seringkali muncul sinisme tentang eksistensi BP3; misalnya BP3 yang sesungguhnya akronim dari Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan lalu dikepanjangkan secara salah menjadi Biro Penyantun Pelaksanaan Pendidikan, Badan Pembina Pelaksana Pendidikan, Badan Pemeras Peserta Pendidikan, dsb.
SISWA MOGOK BELAJAR GURU MOGOK MENGAJAR
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (120.525 KB)
      Kalau siswa dapat melakukan aksi mogok belajar, mengapa kami yang guru ini tidak dapat melakukan mogok mengajar. Bukankah aksi mogok itu tidak menjadi hak mutlak para siswa; pekerja/buruh, sopir, karyawan dan bahkan penumpang angkutan kota pun dapat dan pernah melakukan aksi mogok, kenapa kami yang guru ini tidak sesekali juga melakukan aksi mogok. Barangkali saja demikianlah pikiran beberapa orang guru di suatu sekolah yang baru-baru ini melakukan aksi mogok mengajar. Mereka tidak datang di sekolah secara bersamaan dan tentu saja tidak melakukan aktivitas mengajar.      Seperti kita ketahui baru-baru ini banyak siswa dari berbagai se-kolah di Jakarta melakukan aksi mogok belajar. Pasalnya banyak, di antaranya menyangkut masalah sumbangan pendidikan yang ditimpakan kepada para siswa atau orang tuanya.       Sebagian siswa menganggap bahwa sumbangan pendidikan yang ditetapkan pihak sekolah atau pengurus BP3 tersebut terlalu tinggi bila dibandingkan dengan pelayanan sekolah. Disisi lain mereka mengang-gap bahwa manajemen keuangan sekolah kurang transparan. Keadaan yang demikian ini menjadi "pasal" bagi siswa untuk melakukan aksi protes, demonstrasi, bahkan sampai aksi mogok belajar.      Apabila beberapa waktu yang lalu Presiden Soeharto melalui Pak Wardiman selaku menteri pendidikan mengingatkan agar pimpinan se-kolah hati-hati dalam menarik sumbangan pendidikan dari orang tua siswa, di samping sumbangan pendidikan tersebut harus dilakukan di atas prinsip kesukarelaan, kiranya hal itu tidak dapat dilepaskan dari munculnya berbagai kasus mogok belajar siswa tersebut di atas. Kalau kita mau jujur sampai sekarang pun masih banyak pimpinan sekolah dan/atau pengurus BP3 yang memasang angka sumbangan pendidikan terlalu tinggi bagi orang tua (baca: Supriyoko, "BP3 Bukan Badan Pemeras Peserta Pendidikan", Pikiran Rakyat: 28/08/96).
SEX SHOP, CONDOM HOUSE DAN DISKOTEK
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (123.128 KB)
      Sekitar tujuh belas tahun yang lalu atau tepatnya pada awal tahun 1979 saya berjalan-jalan di pusat kota Amsterdam, Belanda. Keramai-an kota Amsterdam, meski tak berkesan "crowded", tidaklah menarik bagi saya karena hal semacam ini dapat ditemukan di Jakarta atau kota besar di Indonesia lainnya. Yang justru menarik bagi saya adalah ada-nya suatu toko yang (waktu itu) membuat asing bagi saya; yaitu toko yang menjual segala peralatan untuk memuaskan hasrat seksual sese-orang, dari peralatan kontrasepsi, alat kelamin sintetis, buku-buku dan majalah porno, kaset dan film biru sampai boneka hidup.      Toko yang menjual peralatan seksual, disebut Sex Shop, seperti itu ternyata tidak hanya satu di Amsterdam akan tetapi ada beberapa jumlahnya. Bahkan belakangan saya ketahui bahwa di kota-kota lain pun, seperti Den-Haag dan Rotterdam, juga ada yang membukanya. Bahkan beberapa di antaranya di samping menjual peralatan seksual juga memutar "film biru" dari yang masa putarnya dua menit, lima menit, sepuluh menit sampai satu jam.      Pengunjung di Sex Shop tersebut ternyata biasa-biasa saja; tidak ada perasaan malu atau "risih". Mereka datang ke Sex Shop sebagai-mana datang ke toko swalayan di tengah kota atau ke toko kelontong di pinggir kampung. Ada yang muda, ada yang tua bahkan yang sudah gaek pun jangan dikira tidak berpartisipasi.      Belakangan lagi saya ketahui bahwa keberadaan Sex Shop juga ada di hampir semua kota-kota besar di berbagai negara yang pernah saya kunjungi;bukan saja di negara Barat akan tetapi di Timur pun ada juga bisnis seperti itu. Kalau kita pergi ke Hongkong atau ke Tokyo misalnya, jangan heran kalau kita akan mendapatkan fasilitas seperti itu. Bahkan di kota-kota nonmetropolitan di Jepang seperti Shinjuku, Akihabara, dsb, kita bisa berpartisipasi dalam bisnis yang oleh sementara orang dinyatakan sangat prospektif itu.
MEMBERDAYAKAN PERAN PENDIDIKAN KAUM IBU
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (122.773 KB)
Seorang negarawan dan juga religis dari India, Mahatma Gandhi, pernah menyatakan "woman is the mother of man". Wanita adalah ibunya kaum pria; demikian kira-kira terjemahan bebas atas kalimat tersebut. Apa yang dinyatakan oleh Gandhi ini mengandung makna yang cukup dalam; yaitu sedemikian tingginya penghargaan beliau ter-hadap kaum wanita pada umumnya dan kaum ibu pada khususnya.      Penghormatan kepada wanita, terutama sekali kaum ibu, tentunya merupakan hal yang penting mengingat sampai kini masih ada saja sekelompok masyarakat yang kurang dapat menghargai eksistensi dan peran kaum ibu. Bahkan, akhir-akhir ini muncul fenomena pelecehan wanita yang nota bene termasuk kaum ibu di dalamnya.       Apabila kita sempat menelusuri perjalanan sejarah manusia dari masa ke masa memang sejak semula terdapat kelompok manusia yang sedemikian mengagungkan wanita; di samping ada pula sekelompok lainnya yang tidak menghargai kaum "lemah" ini. Munculnya mitos di Yunani tentang dewa-dewa wanita yang sangat dihormati (misalnya Dewi Fortuna, Dewi Minerva, Dewi Venus, dsb) menandakan sedemikian diagungkannya kaum wanita. Dalam kebudayaan Mesir kuno terdapat Tuhan-Tuhan wanita; di negara lain kita mengenal Dewi Kuan Him; bahkan di Indonesia, khususnya di Jawa, kita mengenal Dewi Sri serta Nyai Roro Kidul. Secara langsung maupun tak langsung hal itu menyiratkan adanya penghormatan terhadap wanita.      Bagaimana dengan kelompok yang tidak menghargai ibu? Tentu ada pula; dalam sejarah kuno bangsa Nomad di Arab, yang dikenal dengan Zaman Jahiliyah, maka eksistensi wanita sangat dilecehkan. Anak wanita dibunuh, gadis-gadis diperkosa, dan ibu-ibu dijadikan pe- muas duniawi saja. Itulah sejarah buram kaum ibu.
PROFIL PENDUDUK LANJUT USIA DI INDONESIA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (130.254 KB)
      Jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia dari waktu ke waktu meningkat dengan pesat seiring meningkatnya kondisi kesejah-teraan masyarakat. Jumlah lansia di Indonesia meningkat dua kali lipat dibanding dengan kenaikan seluruh penduduk. Pernyataan ini dikemu-kakan oleh Kepala Kanwil Departemen Sosial Provinsi Jawa Barat, Djaemi Sulaeman, dalam seminar "Peningkatan Peran Keluarga Lansia" di Bandung baru-baru ini (Pikiran Rakyat, 5/2/1996).     Sesuai dengan proyeksi PBB/ESCAP, maka jumlah penduduk lan-sia yang berusia 60 tahun ke atas diperkirakan naik dari 9,4 juta jiwa menjadi 16,2 juta jiwa (72 persen) untuk periode tahun 1985 s/d 2000. Dalam periode yang sama jumlah penduduk Indonesia hanya mening-kat dari 164,6 juta jiwa menjadi 216 juta jiwa (32 persen). Dari data eksakt ini terlukiskan bahwa peningkatan jumlah lansia memang lebih tajam dibanding dengan peningkatan jumlah penduduk; bahkan angka peningkatannya ternyata lebih dari dua kali lipat.      Lebih lanjut dikemukakan oleh Pak Djaemi bahwa dalam rangka menjamin kesejahteraan lansia lahir dan batin maka mereka itu perlu ditangani faktor ketenagakerjaan formal dan informalnya sedini mung-kin, khususnya bagi lansia potensial. Seperti halnya dengan penduduk usia muda dan dewasa para lansia pun membutuhkan pekerjaan dan penghasilan yang layak tanpa menghambat upaya perluasan kesempat-an kerja bagi kelompok usia yang lebih muda.      Pernyataan tersebut kiranya memang banyak benarnya. Bahwa para lansia kita perlu pekerjaan dan penghasilan yang layak, utamanya lansia yang potensial, kiranya memang benar juga. Hanya saja, salah satu problematika yang dihadapi pemerintah dalam usaha menangani para lansia ini ialah terdapatnya hambatan data; sampai saat ini masih sulit mendata berapa besar lansia potensial dan lansia nonpotensial.
PENTINGNYA TATA KRAMA AKADEMIK DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (125.465 KB)
Baru-baru telah ini meletup suatu isu destruktif yang oleh banyak kalangan dianggap dapat mencoreng wajah perguruan tinggi kita. Isu destruktif ini berkisar kepada masalah jiplak-menjiplak karya ilmiah, khususnya karya penelitian. Yang cukup menarik serta menimbulkan rasa "geregetan" masyarakat adalah kasus tersebut tidak hanya dila-kukan oleh mahasiswa, akan tetapi dilakukan pula oleh dosen.     Mulanya biasa saja! Banyak mahasiswa perguruan tinggi,PTS dan PTN, yang melakukan penelitian di dalam rangka penyusunan skripsi program kesarjanaannya. Dosen pembimbing pun lalu memeriksa dan membimbing, ada yang intensif ada yang ala kadarnya, setelah diang-gap layak maka mahasiswa pun mengurus tanggal ujiannya. Apa yang terjadi? Ternyata ada penguji yang jeli; (sebagian) yang ditulis oleh mahasiswa tersebut adalah "mengadopsi" karya orang lain. Gugurlah mahasiswa tersebut dalam mempertahankan karya ilmiahnya.     Barangkali mahasiswa tersebut termasuk "beruntung" karena pada saat itu pula dia telah dinyatakan gugur! Ada lagi kasus seorang maha-siswa dari suatu PTN ternama di Yogyakarta,mahasiswa S2 lagi, yang mulanya berjalan mulus baik dari penyusunan tesis sampai ujiannya. Yang bersangkutan juga sempat menikmati gelar akademik Magister atas "jerih payahnya" itu;akan tetapi beberapa bulan kemudian setelah ada yang menemukan unsur penjiplakan karya ilmiah tesisnya maka gugurlah kredibilitasnya sebagai ilmuwan.Dan gelar akademiknya pun akhirnya dicabut oleh pihak lembaga (Supriyoko, "Pencabutan Ija-zah di Perguruan Tinggi", Pikiran Rakyat: 05/12/95).      Ilustrasi konkrit tersebut hanya merupakan sebagian dari banyak kasus destruktif yang menimpa perguruan tinggi kita. Kalau kemudian ada seorang profesor yang menyatakan telah terjadi prahara akademik pada perguruan tinggi kita barangkali memang ada benarnya.
MENGKLARIFIKASI VALIDITAS EMPIRIS UMPTN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (146.907 KB)
      Pikiran Rakyat edisi 23 Juli dan 6 Agustus 1996 secara simpatik menurunkan tulisan mengenai prosesi UMPTN sebagai metoda seleksi mahasiswa baru PTN.Tulisan yang merupakan rangkuman wawancara dengan Ketua Tim Pengolah Data UMPTN, Toemin A. Masoem, ter-sebut benar-benar informatif. Tulisan ini bisa dinikmati oleh pembaca baik dari kalangan pendidikan tinggi maupun masyarakat umum.      Tulisan tersebut juga sangat bermanfaat serta terasa mulai dapat membuka ketertutupan "Tim UMPTN" baik di tingkat lokal maupun nasional. Selama ini manajemen UMPTN kita oleh banyak kalangan memang dirasakan sebagai kurang transparan sehingga muncul penilaian, yang mungkin tidak tepat benar, bahwa "Tim UMPTN" bekerja tidak profesional; misalnya saja menyangkut lamanya waktu pengolah-an data untuk mendapatkan hasil akhir.       Ilustrasi riilnya sbb: tahun ini seleksi tertulis UMPTN dilaksanakan 18 dan 19 Juni sedangkan hasilnya baru dapat diumumkan 27 Juli. Itu berarti perlu waktu selama 38 hari untuk memproses data hingga mendapatkan hasil akhir. Kalau saja "Tim UMPTN" sedikit lebih pro-fesional mungkin dengan 21 hari semua pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik hingga peserta UMPTN pun tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahui hasil akhirnya. Bukankah kini semuanya sudah serba computerized dan tersedia jasa telekomunikasi sehingga banyak pekerjaan yang dapat dilakukan secara akurat dan cepat.      Meskipun tulisan mengenai UMPTN tersebut sangat informatif, apalagi dengan nara sumber Pak Toemin yang lama berkecimpung di dunia UMPTN, akan tetapi ada beberapa hal yang kiranya perlu dikla-rifikasi; misalnya menyangkut tingkat kesulitan soal-soal, pemenuhan persyaratan kesahihan atau validitas, dan sebagainya.
PROBLEMATIKA GURU
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (138.113 KB)
      Sampai saat ini masalah pendidikan, utamanya yang menyangkut guru di negara kita tidak pernah habis, bahkan terasa semakin lama semakin kompleks. Ketika ada satu kompleksitas problematika belum tersolusi secara tuntas dan komprehensif maka di sisi yang lain telah muncul problematika baru yang terkadang tidak kalah kompleksnya. Problematika guru di Indonesia sekarang telah berkembang menjadi fenomena yang sangat rumit; dari problematika klasik sampai dengan yang sangat aktual.     Problematika guru (dan keguruan) tersebut diatas selanjutnya ber-kembang dan telah menimbulkan kompleksitas baru yang ternyata tidak kalah rumitnya, yaitu kompleksitas lembaga penghasil guru itu sendiri.      Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai suatu lembaga atau institusi penghasil tenaga profesi guru dan juga tenaga kependidikan lainnya menjadi pusat pembicaraan serta topik diskusi yang ekstra-aktual. Peranan LPTK yang (semula) sangat strategis dan benar-benar sentral dalam rangka penyediaan guru yang berkualitas makin lama dianggap semakin pudar. Terlepas dari sejauh mana kebe-naran atas anggapan tersebut sekarang ini bahkan banyak pertanyaan muncul mengenai relevansi untuk mempertahankan eksistensi LPTK itu sendiri.
PEDULI AIDS MELALUI SEKOLAH
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (116.04 KB)
      Belum lama ini Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro telah menerima pendapat dan usulan tentang kemungkinan AIDS, Acquired Immuno Defficiency Syndrome (AIDS), sebuah penyakit "modern" yang disebabkan oleh Human Immunodefficiency Virus (HIV),untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Dengan dimasukkannya dalam kurikulum maka anak-anak kita yang masih menuntut ilmu di bangku sekolah lebih mudah mengenal AIDS secara ilmiah sehingga nantinya akan menjauhi penyakit yang sangat ditakuti itu.      Dengan tanpa meremehkan pendapat dan usulan tersebut, secara bijaksana Pak Wardiman mengemukakan bahwa tidak mungkin AIDS dimasukkan di dalam paket kurikulum; namun demikian bukan tidak mungkin materi AIDS dapat disampaikan melalui bidang-bidang studi yang relevan, misalnya saja melalui bidang studi Kesehatan.     Memang secara teknis tidaklah mungkin kurikulum yang sekarang ini berlaku di sekolah, SD,SLTP maupun SMU/SMK, disempurnakan dan apalagi diubah hanya karena adanya keinginan untuk memasukkan bidang studi AIDS di dalamnya. Kurikulum 1994 yang sekarang ini diberlakukan di sekolah-sekolah kita masih tergolong baru dan belum ada evaluasi efektivitas pada kurikulum tersebut. Secara metodologis penyempurnaan atau perubahan kurikulum baru dilaksanakan kalau sudah ada evaluasi efektivitas.      Meskipun demikian, usulan tersebut perlu dilihat dari kaca mata yang positif. Setidak-tidaknya terdapat dua hal penting di balik usulan tersebut di atas; yaitu pertama, adanya kekhawatiran yang mendalam terhadap generasi anak dan remaja ("sekolahan") kalau-kalau sampai terjangkiti AIDS yang dapat merusak masa depan diri dan bangsanya, dan kedua, metoda penyampaian informasi dini mengenai AIDS pada generasi penerus kita.