Articles
10 Documents
Search results for
, issue
"2000: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT"
:
10 Documents
clear
MEMBENAHI PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 2000: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (122.009 KB)
      Pada akhir tahun 1998 lalu Haneen Sayed, John Newman dan Peter Morrison dibantu oleh puluhan pakar atas nama Bank Dunia membuat laporan pendidikan tentang Indonesia dengan judul Edu-cation in Indonesia : From Crisis to Recovery. Dari laporan yang terdiri dari tujuh bab tersebut dan saya sempat diminta memberikan komentar sebelum diluncurkan secara resmi hampir tak ada kalimat yang menunjukkan keberhasilan pendidikan di Indonesia. Inti dari laporan itu menyatakan bahwa pelaksanaan dan hasil pendidikan di Indonesia belum atau tidak memuaskan: unsatisfactory.      Krisis ekonomi yang melanda Indonesia semenjak pertengahan tahun 1997 benar-benar berdampak buruk terhadap pendidikan kita yang secara kuantitatif dapat dilihat dari semakin tingginya angka putus sekolah, menurunnya tingkat partisipasi pendidikan, semakin banyaknya mahasiswa yang mengambil cuti kuliah, dan sebagainya.      Beberapa bulan kemudian muncul dua publikasi yang banyak diacu oleh para pakar pendidikan dan pemimpin negara. Yang per-tama, UNDP menerbitkan satu laporan berjudul Human Development Report 1999; dan yang kedua WEF menerbitkan laporan yang bertitel Global Competitiveness Report 1999.       Kedua laporan tersebut memang tidak secara eksplisit menulis mengenai kegagalan pendidikan di Indonesia; akan tetapi secara tidak langsung memang menyatakan hal yang demikian. Dari laporan UNDP diketahui bahwa Indonesia hanya ada di urutan ke-105 dari 174 negara dalam hal pembangunan manusianya; dan kita berada di bawah Singapura (22), Brunei (25), Malaysia (56), dsb. Sementara itu dari laporan WEF diketahui bahwa Indonesia hanya berada pada ranking ke-37 dari 59 negara dalam hal daya saing; dan kita ada di bawah Singapura (1), Malaysia (16), Thailand (30), dsb.
PARADIGMA BARU PENDIDIKAN TINGGI
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 2000: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (100.678 KB)
      Lembaga pendidikan tinggi di Indonesia ke depan hendaknya dikembangkan menjadi lembaga yang memiliki otonomi secara memadai serta mempunyai kredibilitas institusional yang mantab sehingga dapat berperan sebagai kekuatan moral. Demikianlah salah satu ide atau pemikiran yang sempat berkembang dalam Konferensi Nasional Pendidikan Indonesia yang diselenggarakan secara koordinatif oleh Depdiknas, Bappenas dan Bank Dunia baru-baru ini.      Konferensi nasional yang telah dihadiri secara langsung oleh menteri pendidikan, Yahya Muhaimin, serta beberapa pejabat ketiga instansi tersebut juga sempat membahas tentang bagaimana strategi untuk mengembangkan perguruan tinggi di Indonesia yang tengah menghadapi tantangan berat.      Memang, perguruan tinggi di Indonesia sekarang ini sedang menghadapi tantangan yang sangat berat; baik tantangan secara internal maupun eksternal. Secara internal sangat beragamnya mutu perguruan tinggi di Indonesia merupakan tantangan yang menarik; sementara itu secara eksternal relatif rendahnya kualitas perguruan tinggi kita dibanding dengan negara-negara manca merupakan tan-tangan yang menarik pula untuk dijawab.     Realitasnya memang demikian. Dari 1.500-an perguruan tinggi di Indonesia, PTN maupun PTS, ternyata hanya sedikit yang ber-kelas dunia (world class university). Kalau kita mengacu publikasi dari AsiaWeek edisi 2000, dari keseluruhan PTN dan PTS kita ter-nyata hanya lima yang memenuhi standar mutu internasional dengan komparator perguruan tinggi di Asia dan Australia. Selebihnya ma-sih merupakan perguruan tinggi "kelas kampung".
TEORI KONFLIK DALAM POLITIK KERUSUHAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 2000: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (118.038 KB)
Kerusuhan Politik dan Politik Kerusuhan; demikianlah judul tulisan Dr. Muhadjir Darwin untuk mengembangkan debat opini ten-tang situasi sosial politik di Indonesia dewasa ini. Dua terminologi dalam judul itu menjadi semacam "attention catcher" yang dapat me-narik perhatian bagi siapa saja yang membaca; belum lagi materi yang dicoba dipaparkannya.      Meskipun tidak terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia yang baku, istilah kerusuhan politik sudah akrab di telinga kita. Apabila di Jalan K.H.A. Dahlan Yogyakarta pernah terjadi bentrokan an-tarpendukung partai yang berbeda dalam masa kampanye beberapa waktu yang lalu, itulah contoh konkrit dari kerusuhan politik. Be-gitu juga dengan berbagai kasus "coreng moreng" semasa kampanye sampai dengan peristiwa khusus seperti Peristiwa Jalan Diponegoro 27 Juli 1996 yang konon melibatkan aparat pemerintah juga merupakan kerusuhan politik.      Kerusuhan politik jelas berpengaruh terhadap perikehidupan sosial masyarakat; apalagi dalam masyarakat praindustri, meminjam istilah Daniel Bell di dalam "The Coming of Post Industrial Society" (1975), seperti Indonesia. Karena kadar intelektualitas khalayak relatif rendah maka ketahanan sosial masyarakat praindustri sangat mudah digoyah oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar kebia-saannya, apalagi peristiwa politik dan apalagi kerusuhan politik. Masyarakat praindustri cenderung menanggapi peristiwa seperti itu secara emosional daripada rasional.      Demikian pula halnya dengan kerusuhan politik yang terjadi di Indonesia. Banyak orang menanggapi peristiwa ini secara emosio-onal daripada rasional; tidak jarang lebih senang memakai "okol" daripada akalnya. Akibatnya kerusuhan politik tidak cepat mereda; seringkali justru menjalar kemana-mana.
MENGAPRESIASI DANA PENDIDIKAN YANG TRADISIONAL
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 2000: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (118.646 KB)
      Masa depan pendidikan nasional Indonesia nampaknya belum menunjukkan tanda-tanda yang menjanjikan; setidak-tidaknya hal ini dapat dicermati dari besarnya alokasi dana pendidikan nasional yang dianggarkan dalam konstruksi Rancangan Anggaran Pendapat- an dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2000. Sebagaimana dengan tahun-tahun yang sebelumnya ternyata sektor pendidikan kali ini pun masih belum mendapatkan alokasi dana yang memuaskan.      Sebagaimana yang telah sama-sama kita ketahui bahwa baru-baru ini pemerintah RI di depan sidang paripurna DPR mengajukan RAPBN 2000 yang besarnya mencapai 183,067 triliun rupiah. Dari keseluruhan anggaran tersebut ternyata hanya sebesar 4,257 triliun rupiah (2,32 persen) yang dialokasikan kepada sektor pendidikan nasional, tepatnya kepada Departemen Pendidikan Nasional atau Depdiknas (KR, 22 Januari 2000).      Bagi siapa saja yang mengetahui besarnya beaya ideal yang diperlukan untuk dapat menjalankan roda-roda pendidikan nasional kita secara wajar, apalagi secara akseleratif sebagaimana dengan besarnya tuntutan kemajuan, maka dana pendidikan sebesar 4,257 triliun rupiah tersebut tentu relatif sangat kecil nilainya. Artinya dengan hanya mengandalkan dana RAPBN tersebut maka akan men-jadi amat sulit bagi Pak Yahya Muhaimin sebagai menteri pendidikan nasional beserta stafnya untuk mengelola program dan kegiatan pendidikan nasional secara wajar.       Membuat pendidikan dasar yang bermutu, membuat pendidik-an menengah yang profesional, serta menyiapkan pendidikan tinggi yang kompetitif adalah program dan kegiatan pendidikan yang ada dalam ukuran kewajaran. Dan itu semua akan sangat sulit dilaksanakan dengan mengandalkan pada alokasi dana dari RAPBN yang relatif sangat minim jumlahnya.
KEMUNDURAN PARIWISATA DI INDONESIA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 2000: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (123.456 KB)
Debat opini mengenai SDM pariwisata yang digelar di harian ini dari tanggal 6 s/d 10 Maret lalu penting diperhatikan. Berbagai pemikiran yang muncul dari para praktisi pariwisata dan pendidikan pariwisata perlu dicermati; pasalnya kalau bangsa kita ingin keluar dari keterpurukan ekonomi untuk melakukan recovery maka mau tak mau sektor pariwisata perlu mendapat tempat yang memadai. Statistik kita menunjukkan, selama tahun 1997 yang lalu kita berhasil menarik sekitar 5 juta wisatawan manca, padahal sepuluh tahun sebelumnya kita hanya sanggup mendatangkan 1 juta orang dari berbagai negara manca. Tidak bisa dipungkiri kedatangan para tamu dari manca itu telah memasok devisa bukan saja kepada peme-rintah di dalam bentuk pajak, retribusi, dan jasa; tetapi juga telah menebar dolar bagi masyarakat, baik dalam kapasitas personal, ke-luarga, maupun industri. Wajarlah kalau sektor wisata di Indonesia pada masa itu sempat masuk dalam kelompok The Big Five dalam hal tingginya pengumpul devisa negara bersama dengan minyak bumi, gas alam, industri tekstil dan industri kayu. Barangkali karena itu pula maka pemerintah waktu itu berani menargetkan kedatangan di atas 10 juta turis asing per tahun pasca tahun 2005. Ternyata prestasi tersebut sukar dipertahankan; pariwisata Indonesia di dalam dua atau tiga tahun ini justru banyak mengalami kemunduran. Jumlah wisatawan manca negara yang datang ke bumi pertiwi justru menurun. Berita menyebarnya penyakit AIDS dan penyakit menular yang lain serta lepasnya ratusan penghuni rumah tahanan di Bali membuat banyak orang Jepang membatalkan niatnya berkunjung ke Bali. Instabilitas politik dan terjadinya banyak ke-kerasan di negara kita menyebabkan orang-orang Eropa, AS, dan Asia ketakutan datang di Indonesia. Turis manca pun makin sedikit dan devisa kita pun semakin menipis.
PENDIDIKAN SEBAGAI KORBAN POLITIK
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 2000: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (106.768 KB)
Tulisan saya, 'Membenahi Pendidikan Nasional Indonesia', di harian ini akhirnya secara simpatik mendapatkan respon dan debat dari tiga kolega yang sehari-harinya berkecimpung langsung dalam dunia pendidikan; yaitu Prof. Ahmad Syafii Maarif, Prof. Suyanto, dan Prof. I Made Bandem. Bahkan menyusul Dra. Nahiyah J.Faraz. Sekalipun tidak seorang pun yang menyanggah opini saya mengenai kunci pembenahan pendidikan, yaitu faktor anggaran pendidikan dan guru, tetapi banyak penajaman dan informasi lain yang ber-manfaat untuk kita semua dari tanggapan ketiga kolega tersebut. Ketiga kolega tersebut baik secara implisit maupun eksplisit menyatakan bahwa kepentingan politik dalam jangka pendek seringkali telah mengalahkan kepentingan pendidikan sebagai suatu sistem yang dapat menghasilkan SDM berkualitas. Begitu pula kepentingan ekonomi jangka pendek tidak jarang telah menggeser kedudukan pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Secara eksplisit dan gamblang Pak Syafii menyatakan bahwa pendidikan kita selama empat dekade telah menjadi korban petualangan politik dan ekonomi, yang ironisnya semuanya itu dilakukan atas nama Pancasila. Sementara itu Pak Suyanto secara tertulis juga menyatakan bahwa rendahnya anggaran pendidikan sebagai cermin rendahnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan terjadi karena di negara kesatuan ini para pemimpinnya tidak memiliki political will yang kuat untuk memperbaiki pendidikan nasional. Apabila Pak Bandem mengeluh tentang kurang tepatnya pe-merintah meletakkan otonomi di tingkat dua sebenarnya secara tidak langsung beliau juga ingin menyatakan bahwa dunia pendidikan kita memang telah menjadi korban politik. Adapun logikanya sederhana, keluarnya UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah sebenarnya lebih mengakomodasi pertimbangan politik. Kalau UU ini tidak cocok dengan kepentingan pendidikan nasional itu berarti pendidikan kita telah menjadi korban politik.
MENATA ULANG MANAJEMEN PENDIDIKAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 2000: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (92.432 KB)
Beberapa hari lalu terdapat puluhan orang yang mendatangi kantor DPR RI di Jakarta untuk melakukan demonstrasi atau unjuk rasa. Mereka menuntut diperbaikinya manajemen pendidikan nasional yang dirasa makin hari tidak semakin baik akan tetapi justru makin merosot kualitasnya. Hal yang demikian ini dianggap sebagai salah satu penyebab rendahnya kinerja pendidikan nasional Indonesia di dalam percaturan global. Keluhan tentang manajemen pendidikan yang kurang memadai memang sering kita dengar. Banyak praktisi pendidikan mengeluh mengenai manajemen pendidikan yang terlalu birokratis, sentralistik dan tidak kreatif. Pak Yahya Muhaimin sendiri pada waktu diangkat (kembali) menjadi menteri pendidikan juga sempat mengeluh mengenai manajemen pendidikan yang dianggapnya sudah hancur, bahkan hancur banget katanya. Itulah sebabnya Pak Yahya bertekad akan memperbaiki manajemen pendidikan nasional agar kinerja pendidikan nasional kita dapat diangkat kembali. Meskipun sampai hari ini "cita-cita" Pak Yahya tersebut be-lum kesampaian, bahkan tanda-tandanya pun belum nampak, tetapi tekad untuk memperbaiki manajemen pendidikan memang perlu kita dukung bersama. Sekarang ini semakin banyak orang yang mengerti dan sadar bahwa kinerja pendidikan nasional kita memang sangat memprihatinkan, bahkan ada yang menyatakan brengsek. Kinerja pendidikan yang seperti ini merupakan buah atau hasil dari ketidakprofsionalan orang-orang, utamanya pimpinan departemen, dalam mengelola ma-salah pendidikan kita.
MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI ASEAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 2000: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (124.694 KB)
Tanggal 15 s/d 17 Februari 2000 ini para menteri pendidikan negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam forum South East Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) berkum-pul di Denpasar, Bali di dalam konferensi SEAMEO Council. Dalam pertemuan ini diharapkan hadir seluruh menteri pendidikan dari kesepuluh negara ASEAN; masing-masing ialah Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Meskipun konferensi SEAMEO Council tersebut di atas sudah menjadi kegiatan yang rutin akan tetapi konferensi yang diadakan di Indonesia tahun ini dianggap sangat strategis karena merupakan pembuka pintu Milenium Ke-3 bagi menteri-menteri pendidikan di negara-negara ASEAN. Mengapa Milenium Ke-3 menjadi penting? Karena pendidikan di Milenium Ke-3 akan menghadapi kompleksitas baru dan berbagai problematika yang mendesak. Problematika pendidikan yang muncul di Milenium Ke-3 ini tidak saja menuntut penyelesaian yang cepat dan akurat akan tetapi juga menuntut penyelesaian secara bersama antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Di dalam rangka menggalang kebersamaan inilah maka pertemuan antarmenteri pendidikan di negara-negara ASEAN menjadi sangat strategis. Konferensi SEAMEO Council kali ini tidak saja penting bagi para anggota SEAMEO itu sendiri, yaitu negara-negara di ASEAN, tetapi juga sangat penting bagi negara-negara lain pada umumnya. Itulah sebabnya beberapa negara di luar SEAMEO sangat berminat hadir di dalam pertemuan, sekalipun statusnya sekedar "peninjau". Adapun negara-negara yang dimaksud adalah Australia, Selandia Baru, Kanada, Jerman, Perancis, Norwegia dan Belanda.
MASUK SEKOLAH BEBAS NARKOBA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 2000: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (101.603 KB)
Setelah momentum Ebtanas berlalu, sekarang ini konsentrasi masyarakat beralih dan terfokus kepada penerimaan siswa baru di sekolah; SD, SLTP, SMU dan SMK. Momentum akademis yang ber-langsung pada awal bulan Juli tahun 2000 ini cukup membikin repot para calon siswa baru dan orang tuanya. Dari hari per hari, bah-kan dari jam per jam mereka mencari informasi baru sekaligus juga memantau perkembangannya agar supaya strategi yang diterapkan cukup tepat sehingga dapat meraih sekolah yang bermutu baik. Dengan diberlakukannya sistem penerimaan siswa baru ber-dasarkan Nilai Ebtanas Murni (NEM), khususnya di SLTP dan SMU, maka strategi mendaftarkan diri menjadi sangat penting. Maksudnya pada hari apa, jam berapa dan menit ke berapa formulir pendaftaran beserta daftar NEM asli dimasukkan kembali pada pihak panitia penerimaan siswa baru di sekolah akan sangat menentukan diterima atau tidaknya seseorang calon menjadi siswa baru di sekolah yang diinginkan. Sudah barang tentu tinggi dan rendahnya NEM itu sen-diri juga menjadi determinan. Apabila ada seorang calon yang keliru menerapkan strategi, bukan tidak mungkin ia akan mendapatkan sekolah yang kualitasnya biasa-biasa saja atau bahkan berkualitas rendah meskipun NEM-nya tinggi. Pengalaman dalam beberapa tahun terakhir ini membuktikan banyaknya calon siswa yang NEM-nya lebih tinggi justru mendapat sekolah yang mutunya lebih rendah; sebaliknya banyak juga calon siswa yang NEM-nya lebih rendah tetapi justru memperoleh sekolah yang kualitasnya lebih tinggi. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, penerimaan siswa baru sekarang ini disemarakkan dengan isu narkotika dan obat-obat terlarang lainnya (narkoba). Konon, ada sekolah-sekolah tertentu yang sudah mensyaratkan bebas narkoba bagi salon siswa barunya, ada yang belum sama sekali, akan tetapi ada yang posisinya masih menunggu petunjuk dari atas.Trouble Maker
MENGHITUNG KONTRIBUSI DANA PENDIDIKAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 2000: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (106.54 KB)
Bagaimana kinerja pendidikan nasional kita? Menurut laporan UNDP di dalam "Human Development Report 1999", Indonesia hanya menempati peringkat 105 dari 174 negara berdasarkan keberhasilan membangun manusia. Dalam urutan ini Australia menduduki ranking 7, Singapura 22, Brunei Darussalam 25, Malaysia 56, Thailand 67, dan Philippina 77. Untuk tahun ini, UNDP di dalam dokumen yang mutakhir "Human Development Report 2000", menyebutkan bahwa Indonesia mengalami penurunan ke peringkat 109. Pada satu pihak, peringkat ini mengisyaratkan belum memuaskannya pembangunan manusia di negara kita; di lain pihak menganjurkan kita untuk mau mengakui keunggulan negara-negara tetangga. Keadaan yang sama terjadi dalam hal daya kompetisi ekonomi. Menurut WEF dalam "Global Competitiveness Report 2000", Indonesia hanya menempati peringkat 44 dari 53 negara berdasar kemampuan daya saing ekonomi. Tiga tahun lalu (1997) kita berada di peringkat 15. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing ekonomi negara kita menurun secara signifikan dalam tiga tahun terakhir. Di dalam urutan tersebut Singapura menduduki ranking 2, Taiwan 11, Jepang 21, Malaysia 25, Korea Selatan 29, Thailand 31, dan Philippina 37. Hal itu berarti bahwa kita harus mau mengakui keunggulan negara-negara tetangga di dalam hal pembangunan daya saing ekonominya. Badai krisis ekonomi yang menghantam Indonesia semenjak pertengahan tahun 1997 yang lalu nampaknya benar-benar telah meluluhlantakkan fondasi ekonomi kita yang memang kurang kokoh. Ironisnya, para pakar dan praktisi ekonomi nasional kita yang pintar-pintar, dan apalagi yang sok pintar, ternyata sampai kini tidak berhasil mencari solusinya.