cover
Contact Name
Saiful Mustofa
Contact Email
sayfulmuztofa@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
sayfulmuztofa@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kab. tulungagung,
Jawa timur
INDONESIA
Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman
ISSN : 19077491     EISSN : 25023705     DOI : -
Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman merupakan jurnal akademik multidisipliner yang diterbitkan oleh Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung. Epistemé terbit dua nomor setiap tahunnya, pada bulan Juni dan Desember. Artikel yang diterbitkan meliputi kajian Islam yang ditinjau dari berbagai perspektif, mulai dari komunikasi, antropologi, pendidikan, ekonomi, sosiologi, filologi, pendidikan, filsafat dan lain sebagainya. Jurnal ini didedikasikan kepada akademisi, dan pemerhati bidang kajian studi Islam. Artikel yang diterbitkan harus berupa karya orisinal dan tidak harus sejalan dengan pandangan redaksi.
Arjuna Subject : -
Articles 342 Documents
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF ABUDDIN NATA M. Ali Hamdan Mabrur
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 2 (2013)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.2.371-392

Abstract

Pendidikan Islam dapat dipahami sebagai proses yang dilakukan oleh manusia membimbing proses pertumbuhan jasmani dan rohani. Hal tersebut dilaksanakan dengan membimbing keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia tersebut melalui latihan-latihan kejiwaan, akal, pikiran, kecerdasan serta panca indra. Hal tersebut dilaksanakan untuk mengubah tingkah laku individu dalam kehidupannya bermasyarakat. Perubahan dan proses pendidikan tersebut berdasarkan nilai-nilai dan ukuran-ukuran dalam ajaran Islam. Menurut Abuddin Nata, pendidikan dalam konteks Islam dan dalam bahasa al-Qur’an, mempunyai beberapa istilah, yaitu al-Ta’lim, al-Tarbiyah, al-Ta’dib, al-Tazkiyah, al-Tadris, al-Tafaqquh, al-Ta’aqqul, al-Tadabbur, al-Tazkirah, dan al-Mauizah. Islamic education can be understood as a process done by human being to guide the physical and spiritual development. It can be done by balancing those development through exercising the spirit, rational, thinking, intelligence, and five senses. Those effort is conducted to change the individual’s behavior in living in the society. The changing and the process are based on the Islamic values and norms. According to Abuddin Nata, Islamic education in The Holy Qur’an is called and defined into some terms:al-Ta’lim, al-Tarbiyah, al-Ta’dib, al-Tazkiyah, al-Tadris, al-Tafaqquh, al-Ta’aqqul, al-Tadabbur, al-Tazkirah, dan al-Mauizah.
TELAAH KEPRIBADIAN MANUSIA DAN KORELASINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM M Mukholiq
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 2 (2013)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.2.393-414

Abstract

Sudah menjadi ketentuan Allah bahwa salah satu pembeda manusia dengan manusia yang lain adalah mengenai kepribadiannya. Kualitas kepribadian manusia dapat diukur dalam bersikap dan bertindak (perbuatan baik dan buruk) yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap perbuatan yang dilakukan manusia akan mencerminkan kepribadian seseorang dalam kehidupannya. Kepribadian dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal sudah dibawa sejak manusia lahir dari rahim ibunya, berwujud benih, bibit, gen atau yang dalam Islam disebut potensi-potensi fitrah. Sedangkan faktor eksternal ialah faktor lingkungan atau geografis atau disebut juga dengan milieu. Kedua faktor tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian manusia. Dari kepribadian itulah yang lambat laun akan membimbing proses pertumbuhan jasmani dan rohani agar mencapai kepribadian sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Human personality is God decision and it is a distinctive characteristic among individual. The quality of human being can be measured in the way how they conduct (good and bad) in their daily life. What is done by individual in his or her life reflects his or her personality. As it is stated in Islamic teaching, human personality can be affected by both internal and external factors. The internal factor is inheritance the so called basic capacity or in Islamic term it is called natural tendency potentials. Meanwhile, the external factor is environmental or geographical factor called as a milieu factor. The two factors give significant influence toward the formation and the development of human personality such as prophet Muhammad Saw.
MANAJEMEN MADRASAH DALAM UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN ISLAM Moh. Arif
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 2 (2013)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.2.415-438

Abstract

Lembaga pendidikan Islam memiliki peranan yang sangat besar dalam pendidikan nasional. Hal ini disebabkan lantaran pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai agama. Nilai-nilai ilahiah telah dijadikan basis dalam pelaksanaan setiap proses pembelajaran di dalam lembaga pendidikan Islam. Lembaga pendidikan Islam selain mendorong siswa dalam aspek keagamaan yang kuat juga membubuhkan pembelajaran dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak kalah bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum sederajat. Hal itu disebabkan oleh pengaruh dari ide-ide pembaruan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan bangsa Indonesia sehingga sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan madrasah, seperti halnya buku pengetahuan yang belaku di sekolah-sekolah umum. Dari hal tersebut, pengelolaan lembaga madrasah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, harus memuat lima hal penting: aspek manajemen, pemanfaatan komputer dan internet dalam pembelajaran, budaya kerja tim (team work), pemanfaatan alat bantu pembelajaran dan keterlibatan guru, siswa, orang tua dan stakeholder. Islamic institution education has important roles in national education. Because, national education cannot be separated from religion values. The values from God are used as basis to do teaching and learning activities in Islamic education. In Islamic education, the students are equipped not only religion knowledge but also science and technology. The development of ideas renewal in Islamic world as it is felt in Indonesia, general science little by little is included in the curriculum of madrasah. The course books of religion are specifically arranged based on the level of the madrasah as it is done for general science books used in non madrasah school. For those, in the effort to improve the quality of education there must be at least five aspects covered, they are management, utility of computer and internet during the process of teaching and learning, team work culture, utility of assisted tools and involvement of teacher, student, parents, and stakeholder.
IMPLEMENTASI PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI TENTANG ETIKA PENDIDIK Nik Haryanti
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 2 (2013)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.2.439-450

Abstract

Etika merupakan salah satu aspek penting dalam dunia pendidikan Islam. Keberadaannya selalu dibutuhkan karena mempunyai peranan penting dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan Islam. Pemikiran KH. Hasyim As’ari tentang etika pendidik dimulai dari dirinya sendiri agar berperilaku baik. Kemudian, diajarkan pada peserta didik saat pembelajaran berlangsung. Menurutnya, tujuan pendidikan pada setiap manusia adalah untuk menjadi insan purna agar semakin dekat dengan Sang Pencipta dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’alim, Hasyim Asy’ari menyebutkan nilai etis moral harus menjadi desain besar orang hidup di dunia. Sehingga seorang pencari ilmu mengejawantahkan ilmunya dalam kehidupan keseharian dengan perilaku hidup tawakkal, wara’, beramal dengan mengharap ridha Allah semata, bersyukur dan sebagainya. Ethic is important aspect in Islamic education. It’s existence is needed because it plays significant role to achieve the Islamic education goals. KH. Hasyim As’ari thinking about ethics educator starting from himself so well behaved. Then, taught the students when learning takes place. According of them, the educational purpose in every human being is to be a full human being in order to get closer to the Creator and get the happiness of the world and the hereafter. In the book Adab al-Alim wa al-Muta’alim, Hasyim Ashari mention moralethical values should be the design of the people living in the world. So that a seeker of knowledge embody knowledge in everyday life with the behavior of resignation, wara’, the charity would please Allah, grateful and so on.
NILAI KEBANGSAAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF SHAYKH AHMAD SURKATI Faizah Nurmaningtyas
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 2 (2013)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.2.451-477

Abstract

Nilai-nilai kebangsaan bersumber, mengakar dan dipersepsikan dari nilai yang telah hidup dalam khazanah budaya. Lalu nilai-nilai itulah yang mengakomodasikan dan menyatukan kemajemukan bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut mengacu pada empat pilar kebangsaan: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. Shaykh Ahmad Surkati membangkitkan kesadaran Muslim Indonesia akibat penjajahan. Ia menggunakan pendidikan sebagai media pemurnian Islam di Indonesia. Surkati yakin bahwa pendidikan merupakan cara paling efektif untuk mengubah masyarakat agar mencapai kemajuan. Menurutnya, menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan dalam pendidikan Islam masih relevan untuk dilakukan saat ini. Dengan demikian, mengamalkan nilai-nilai kebangsaan melalui pendidikan Islam adalah cara yang paling efektif untuk mewujudkan manusia yang berharkat dan martabat dalam arti yang sesungguhnya. The values of nationality are from, takes root and they are taken from values of Indonesia cultures which accommodate and unify the plurality of Indonesia. Those values refer to the consensus of the four pillars of nation: Pancasila, constitution of 1945, The Unitary State Republic of Indonesia, and Bhinneka Tunggal Ika. Shaykh Ahmad Surkati raise awareness of Indonesian Moslems due to colonization. He used the medium of education as purification of Islam in Indonesia. Surkati believe that education is the most effective way to change society in order to achieve progress. According to him, internalize the values of nationalism in Islamic education is relevant to do nowadays. Thus, the practice of national values through Islamic education is the most effective method to realize dignity human in essential meaning.
TAFSIR ‘AQA’IDI: Metode Melacak Ideologi Tafsir Angki Fauzan
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.1-26

Abstract

Satu dari berbagai bentuk penafsiran muncul dalam kesejarahan tafsir adalah penafsiran yang bernuansa teologis (tafsir ‘aqa’idi). Suatu corak penafsiran yang tentunya memberiakan warna dalam khazanah penafsiran umat Islam. Oleh karena itu, perlu dan relevan untuk menelisik kembali penafsiran yang mempunyai corak teologis agar dapat melihat secara jelas dan sadar dalam mengambil nilai positif dan langkah preventif terhadap aspek negatif yang ditimbulkan. Tulisan ini merupakan repesentasi dari beberapa fokus pertanyaan yaitu: bagaimana latar belakang munculnya tafsir ‘aqa’idi? Bagaimana bentuk penafsiran yang bernuansa‘aqa’idi? Dan bagaimana akseptabilitas tafsir ‘aqa ’idi? One of the various interpretations emerged on the history of interpretation is an interpretation having theological nuance (tafsir aqa’idi). It gives particular colour on the discourse of the Moslems’ interpretation. Therefore, it is important to review such an interpretation in order to get clear view and have full consciuosness in taking positive value and preventive steps agains negative aspects which may emerge. This article is a representation of many questions: the background of the emergence of ‘aqa’idi interpretation? And how the form and acceptability of it?
QIRA’AT PADA MASA AWAL ISLAM Ahmat Saepuloh
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.27-44

Abstract

Ragam bacaan (qira’at) al-Qur’an sudah ada sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad di Mekkah. Akan tetapi qira’at ini mulai dipergunakan saat nabi sudah berada di Madinah. Saat menyampaikan wahyu yang telah diterimanya, nabi selalu menggunakan bacaan yang sesuai dengan kemampuan para sahabat yang hadir pada saat itu. Sehingga kemampuan sahabat dalam membaca al-Qur’an juga bervariasi, tergantung berapa macam bacaan (qira’at) yang telah ia dapatkan dari Rasulullah. Akibatnya, ragam qira’at yang berkembang di setiap daerah mengalami perbedaan. Sesudah Rasulullah wafat, para sahabat semakin giat menyebarluaskan al-Qur’an dengan mendirikan madrasah-madrasah di sekitar tempat mereka bermukim. Sehingga, tidak mengherankan apabila setelah generasi sahabat, muncul para ahli qira’at di kalangan tabi’in. Variant reading of the Qur’an (qira’at) has existed since it was revealed to Prophet Muhammad in Mecca. But it’s began to be used when the prophet was live in Medina. When the Prophet Muhammad extend the revelation, he always use appropriate reading ability of the friends who were present at that time. So, they reading ability of Qur’an have also variation, depending on how wide reading (qira’at) which he had got from the prophet. As a consequence, the kinds of qira’at also different in each region. After the prophet died, the prophet followers more actively disseminate the Qur’an by establishing madrasah around where they live. Thus, it is not surprising that after generations of prophet followers, appear qira’ah expert in tabi’in group
PENAFSIRAN AL-QUR’AN BERBASIS ILMU PENGETAHUAN Izzatul Laila
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.45-66

Abstract

Sains modern menjadi tantangan bagi al-Qur’an. Jika al-Qur’an berdimensi absolut dan mutlak maka sebaliknya pengetahuan modern bersifat dinamis dan berubah seiring dengan penemuan-penemuan sains. Lalu bagaimana jika al-Qur’an dipahami dari kacamata sains modern? Artikel ini menjelaskan bahwa salah satu cara memahami al-Qur’an adalah melalui sains modern. Dengan kata lain, tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dan sains. Bahkan, jika umat Islam mau memahami al-Qur’an secara mendalam sudah barang tentu akan menemukan kebenaran dan pembuktian sains di dalamnya. Modern scientific knowledge provides a challenge to the Qur’an. Whereas the Qur’an is immutable and contains unquestioned truth, the former changes in accordance to the invention so that referring to its relativity vis a vis absolute underpinning character of the Qur’an. What if the scientific approach is applied to the Qur’an? In so doing, the Qur’an is situated in the light of modern knowledge or in other words to understand the absolute within the lens of realtive ones. It is aargued that to deeply understand the Qur’an through the lens of modern knowledge is a waay for Muslim to comprehend divine massage of God. The Qur’an is a comprehensive book of knowledge by which believers could learn all form of knowledge including the mutable ones.
PARADIGMA DAN KONSEP ILMU PENGETAHUAN DALAM AL-QUR`AN Khusnul Khotimah
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.67-84

Abstract

Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat dan kelestarian atau keseimbangan alam. Demi kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Sedangkan universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai parokial seperti ras, ideologi atau agama. Sehingga dalam Islam dilarang keras menyembunyikan ilmu, artinya ilmu itu harus disebarkan untuk bisa dimanfaatkan. Melaui iqra` bismi Rabbika, digariskan bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga tujuan akhirnya, haruslah karena Allah. Ilmu harus bernilai Rabbani. Sehingga ilmu yang “bebas nilai”, harus disempurnakan dengan nilai Rabbani. Basically, science should be used and exploited for the benefit and welfare of human beings. In this case, knowledge can be utilized as a means to improve human living standards by taking into account human nature, human dignity, and sustainability or the balance of nature. For the sake of human interests, then the scientific knowledge gained and organized communally and universally used. Communal means that science is knowledge that belongs together, everyone is entitled to make use of science according to his needs. Universal means that science does not have a parochial such as race, ideology or religion. So, strictly prohibited in Islam to hide the science, meaning that science should be shared to be used. Through iqra Bismi rabbika, outlined that the starting point or motivation of pursuits, as well as its final destination, must be for God. Science should be worth Rabbani. So science is “value free”, should be enhanced with the Rabbani.
KAFA’AH IN ISLAM: Towards a Pogressive Interpretation Iffatin Nur
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.85-116

Abstract

Etimologically, the word kafa’ah means egalitarian, equivalent, comparable, orsimilar. In the constellation of the Islamic thought, kafa’ah is meant that a prospective husband is expected to be comparable to the prospective bride in terms of religion, education, social status, profession, descent/ancestry, independence status, physical-spiritual conditions, wealth, position, degree and so on. It is intended to guarantee the relation between a husband and his wife as well as ensuring a harmony oftheir family life in the future. This article describe about kind of Moslem’s thinker perspective, especially about kafa’ah concept. Some of the recommend a strict implementation of kafa’ah from the point of religion to the factor of wealth that the prospective groom must meet all the detailed requirements; but some others do not give much regards to it. The latter grounds their views on a reason that any Moslem, as long as he is not an adulterer, has the right to marry any Moslem’s woman he want. Kafa’ah secara etimologi berarti egaliter; sepadan; sebanding; semisal. Dalam konstalasi pemikiran Islam, kafa’ah dimaksudkan bahwa seorang calon suami diharapkan sebanding dengan calon istri dalam agama, tingkat pendidikan, status sosial, profesi, keturunan, kemerdekaan, kondisi jasmani-rohani, kekayaan, jabatan, derajat dsb. Hal ini dimaksudkan agar terjaminnya keharmonisan pergaulan suami istri dalam berumah tangga di kemudian hari. Artikel ini coba menguraikan beragam pandangan para pemikir Muslim mengenai konsep kafa’ah. Ada yang mensyaratkan secara ketat pelaksanaan kafa’ah, sejak poin agama sampai poin kekayaan; di mana kriteria calon mempelai laki-laki harus memenuhi secara terinci persyaratan di atas. Namun ada juga yang sama sekali tidak melihat kepentingan kafa’ah ini, dengan alasan Muslim mana saja, asal tidak pezina, memiliki hak untuk menikahi Muslimah yang diinginkannya.