cover
Contact Name
Galih Puji Mulyono, S.H., M.H.
Contact Email
Galihpujimulyono@unmer.ac.id
Phone
+6285646664788
Journal Mail Official
jurnalcakrawalahukum@unmer.ac.id
Editorial Address
Faculty of Law Building, Terusan Dieng Street 62-64, Malang City, East Java, Indonesia, 65146
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
Jurnal Cakrawala Hukum
ISSN : 23564962     EISSN : 25986538     DOI : https://doi.org/10.26905/idjch
Core Subject : Social,
The Journal of Cakrawala Hukum, is a scientific periodical of the Faculty of Law, University of Merdeka Malang, which includes a variety of research in the field of law, or the analysis of actual case studies, or ideas related to the actual law. A Scientific periodical is intended as a means of scientific communication and a means of fostering, developing and strengthening knowledge in the field of law. Academics, legal practitioners, or anyone interested in the field of law may submit his papers to the editor with the guidelines in writing. Coverage includes, but is not limited to Employment and industrial law, Corporate governance and social responsibility, Intellectual property, Corporate law and finance, Insolvency, Commercial law and consumer protection, Environmental law, Taxation, Competition law, and Regulatory theory. Researchers in all law fields are encouraged to contribute articles based on recent research. Published 3 times a year in April, August and December.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 279 Documents
KEJAHATAN TANPA KORBAN DALAM KEJAHATAN CYBERPORN Eka Nugraha Putra
Jurnal Cakrawala Hukum Vol 6, No 1 (2015): June 2015
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/idjch.v6i1.680

Abstract

Pornography has become one of the complicated problems in law enforcement. It is because of the spread which is so massive, so it is difficult to be overcome. Pornography, along with the existence of the internet, is another challenge for the law holders to eliminate it as a cyberporn crime (Pornography in internet) which gives the massive impact. In the context of a crime, cyberporn can be categorized as one of the cyber crimes. However, the focus on the cyberporn as a cyber crime is only on the spreaders of pornography or someone who provides the pornography link in internet. Actually, there are people who download then spread it. In the chain after the first spreaders or the first link providers, it is interesting to investigate whether they are the agents or the victims. This problem can be analyzed by using crime without victim observation to see if they are really the victims or the agents. This article discusses if the cyberporn can be seen in the observation, and it also discusses who the real victims are in its massive spread. Thus, the policy of cyberporn crime prevention can be formulated.Indonesian Criminal SystemPornografi telah menjadi salah satu masalah yang pelik dalam penegakan hukum. Hal ini dikarenakan penyebarannya yang begitu masif, sehingga sulit dibendung. Pornografi dengan keberadaan internet pun telah menjadi tantangan tersendiri bagi penegak hukum untuk memberantasnya, sebagai sebuah kejahatan cyberporn (pornografi di internet) memberikan dampak yang masif. Dalam konteks kejahatan cyberporn dapat dikategorikan sebagai salah satu cyber crime (kejahatan siber). Namun fokus pada cyberporn sebagai salah satu cyber crime hanyalah pada pelaku penyebar pornografi atau yang menyediakan link pornografi di internet, sementara ada juga sisi pihak yang mengunduh dan kemudian menyebarkannya. Pada rantai setelah penyebar pertama atau penyedia link pertama patut dan menarik untuk dikaji apakah mereka adalah pelaku atau justru korban, masalah ini dapat dianalisis dengan menggunakan tinjauan kejahatan tanpa korban (crime without victim) untuk melihat apakah mereka benar merupakan korban semata atau justru pelaku. Artikel ini akan membahas apakah cyberporn dapat dilihat dalam tinjauan tersebut, juga meninjau siapa sebenarnya korban dalam masifnya penyebaran cyberporn saat ini, sehingga dapat dirumuskan kebijakan penanggulangan kejahatan cyberporn.
PERGESERAN PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH H. M. Erham Amin
Jurnal Cakrawala Hukum Vol 6, No 1 (2015): June 2015
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/idjch.v6i1.681

Abstract

The implementation of direct election toward District Head either in province level or regency level gets a constitutional legitimacy through the second amendment of UUD 1945. It is stated that a governor, regent, and mayor are the heads of province, regency, and city who are elected democratically. The understanding of elected democratically can be interpreted variously. However, UUD 1945 as the constitutional base regulates everything not in detail, only the outline. Thus, there must be a further explanation with the law as the organic regulation. As it is stated in UUD 1945, the stipulations of the articles in the constitution are implemented with the law as the operational base. So, the authority of constitution will explain the stipulations of the articles. Paying close attention to the role of political party in District Head Election (PILKADA), it needs to be paid attention that anybody who wins in Pilkada must have political debt to the parties that have supported him, so the parties will explore and exploit the position of the chosen District Head as the rice barn, and it is worried that the chosen District Head cannot act fairly, wisely, do not pay attention on the peoples interest, but tend to be the instrument of the political parties that have supported him with the reason as the debt of honor. In brief, It is because of the parties then he can get the position as the District Head.Bahwa pelaksanaan Pemilihan secara langsung terhadap Kepala Daerah baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota memperoleh legitimasi konstitusional melalui amandemen UUD 1945 yang kedua. Dinyatakan bahwa bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis. Pemahaman dipilih secara demokratis itu secara tersurat atau interpretasi gramatikal dapat diartikan macam-macam. Namun UUD 1945 sebagai landasan konstitusional hanya mengatur segala sesuatu secara garis besar. Untuk itu harus ada penjabaran lebih lanjut dengan UU sebagai aturan organiknya. Seperti dinyatakan dalam UUD 1945 bahwa ketentuan pasal-pasal dalam UUD itu dilaksanakan dengan Undang Undang sebagai landasan operasionalnya. Dengan demikian kewenangan UU itulah yang menjabarkan ketentuan pasal tersebut. Mencermati peran dari partai politik pada Pilkada, perlu dicermati bahwa siapapun yang akan menang di Pilkada secara langsung tentu akan mempunyai hutang politik kepada partai pendukungnya sehingga partai-partai pendukungnya akan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kedudukan Kepala Daerah terpilih sebagai lumbung padi dan dikhawatirkan, kepala daerah yang terpilih tidak dapat bertindak adil, bijaksana dan memperhatikan kepentingan rakyat dan daerahnya tetapi malah menjadi alat dari partai politik pendukungnya dengan alasan hutang budi karena berkat partai politik yang bersangkutanlah maka dapat duduk menjadi Kepala Daerah.
PERJANJIAN CARTER KAPAL NIAGA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA Hendra Djaja
Jurnal Cakrawala Hukum Vol 6, No 1 (2015): June 2015
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/idjch.v6i1.682

Abstract

Law no 17 year 2008 about voyage applies a sabotage principle. This principle is significantly proven that itincreases the use of ship with Indonesian flag on it in all activities in voyage sector in Indonesian law territory,so it reduces the dependence to the ships with foreign flags. This principle does not influence so much to thedynamics of the commerce transportation company need to rent the ships either foreign ships or Indonesianones through the mechanism of the chartering of vessels or charter party, except if the policy of sea toll isreally implemented. Generally there are three kinds of charter party namely voyage charter, time charter andbareboat charter. The contract content of this vessel charter fully obeys the freedom of parties. However,practically in commerce voyage, there are various kinds of charter contracts forming standard charter party(approved documents) that arrange like essential clauses or additional clause that must be understood well bythe parties. This understanding is important because it has an impact for not only the parties tied to charterparty but also their responsibility on the loss of transportation users.Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menerapkan asas cabotage.Asas ini secara signifikanterbukti meningkatkan penggunaan kapal berbendera Indonesia dalam seluruh aktivitas kegiatan usaha sektorpelayaran di wilayah hukum Indonesia, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap kapal berbenderaasing.Asas tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap dinamika kebutuhan perusahaan angkutan niagauntuk menyewa kapal, baik asing maupun sesama kapal niaga Indonesia melalui mekanisme the chartering ofvessels atau charter party, kecuali apabila kebijakan Tol Laut pemerintah sekarang ini betul-betuldiimplementasikan.Secara umum terdapat tiga jenis charter party yaitu voyage charter, time charter danbareboat charter. Isi perjanjian carter kapal ini sepenuhnya tunduk pada kebebasan para pihak. Namun demikiandi dalam praktek pelayaran niaga, dikenal berbagai jenis perjanjian carter yang berbentuk standard charterparty (approved documents) yang mengatur antara lainklausula-klausula esential atauadditional clause danharus dipahami dengan baik oleh para pihak. Pemahaman ini penting karena berdampak tidak saja bagi parapihak yang terikat charter party, tetapi juga terhadap tanggung jawab mereka atas kerugian pihak penggunajasa angkutan.
TRAFFICKING KEJAHATAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK-ANAK Indrawati Indrawati
Jurnal Cakrawala Hukum Vol 6, No 1 (2015): June 2015
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/idjch.v6i1.683

Abstract

In perspective law (criminal), the victims of trafficking are women and children. This crime is a criminal action that has become an international problem. The criminal action is also against the human rights and lowers womens and childrens dignity. The nation policy by applying law no 21 year 2007 about the criminal action of trafficking proves that the law makes the doer undaunted. The fact is that the criminal actor is not only the person who is unknown by the victim, but the one known by the victim, or even the parents themselves are the doers. The victims of the crime are usually women and children that can be classified as latent victim. Because the impact of the criminal action leaves a continuous trauma, especially to the victims mental, it needs an effort to prevent it done solidly.Dalam perspektif hukum (pidana), perdagangan orang atau trafficking korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Kejahatan ini merupakan tindak pidana yang telah menjadi masalah internasional. Tindak pidana tersebut juga melanggar Hak Asasi Manusia dan merendahkan harkat dan martabat perempuan dan anakanak. Kebijakan negara dengan menerapkan Undang Uundang No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, membuktikan bahwa UU itu tidak membuat pelaku menjadi jera. Pada kenyataannya pelaku tindak pidana tersebut tidak hanya orang yang tidak dikenal korban, namun justru orang yang dikenal korban, bahkan orang tua korban sendiri juga menjadi pelaku. Adapun korban kejahatan tersebut adalah perempuan dan anak-anak yang tergolong latent victim. Mengingat dampak tindak pidana tersebut meninggalkan trauma yang berkepanjangan, terutama terhadap psikis korban, maka perlu adanya peningkatan upaya pencegahan yang dilakukan secara terpadu.
ORIENTASI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN DALAM PELESTARIAN FUNGSI HUTAN H. JONI H. JONI
Jurnal Cakrawala Hukum Vol 6, No 1 (2015): June 2015
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/idjch.v6i1.684

Abstract

Interaction among the people around forest becomes an important part in managing forest with environment as the principle, striving for forest conservation. To support the policy in managing forest in the future, it is needed various policies that are directed to decentralization and deconcentration of resources management (forest) done by seat of government and local government. Another effort is by making effective the friendship in managing forest resources between people and government based on the principles of justice, conservation, democracy, and transparency. It becomes an important part in the framework of forest management having people as a base. The development with environment perspective in forestry sector needs improvement and the urgency strengthens the realization toward surroundings that should have come earlier than the businessmen of HPH as the activity doers, so the government and people can be more effective in building and watching.Interaksi antara masyarakat sekitar hutan menjadi bagian penting dalam pengelolaaan hutan berbasis lingkungan, menuju pelestarian hutan. Guna mendukung kebijakan dalam pengelolaan hutan di masa yang akan datang, diperlukan berbagai kebijakan yang arahnya adalah desentralisasi dan dekonsentrasi pengelolaan sumber daya (hutan) antara pemerintah pusat dan daerah. Demikian juga lebih diefektifkan kerjasama (kemitraan) dalam pengelolaan sumber daya hutan antara rakyat dengan pemerintah yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, kelestarian, demokratis dan transparansi. Hal ini menjadi bagian penting dalam kerangka pengelolaaan hutan berbasis masyarakat. Demi tercapainya pembangunan berwawasan lingkungan di sektor kehutanan, memerlukan pengembangan dan urgensinya memperkuat kesadaran terhadap lingkungan seharusnya datang terlebih dahulu dari para pengusaha HPH sebagai pelaku kegiatan, sehingga pemerintah dan masyarakat dapat lebih efektif melakukan pembinaan dan pengawasan.
PERAN NEGARA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI CALON PASANGAN KAWIN BEDA AGAMA (KBA) DI INDONESIA Kadek W. Indrayanti; Aloysius R. Entah
Jurnal Cakrawala Hukum Vol 6, No 1 (2015): June 2015
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/idjch.v6i1.685

Abstract

Law No. 1 of 1974 on Marriage in Indonesia does not provide protection for couples who intend to perform interfaith marriage. Mean while the data shows interfaith marriage in Indonesia increasing in numbers. Beside to obtain marriage endorsement couples go to abroad. One of the ways that couples to obtain marriage endorsement by request a court warrant. However the goverment should support and facilitate as long as the requirement fullfill by the couple. Moreover difference perception among jugdes also bring consequences that only view couple used this way. Mean while the function of Goverment Office Registrar (DKCS) in interfaith marriage only to record. DKCS will issued marriage certificate as long the couple hand in all requirement by DKCS along with a court warant.Adanya kekosongan hukum dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak mengatur tentang perkawinan beda agama (KBA) sementara data menunjukkan fenomena KBA di Indonesia terus meningkat. Berbagai cara yang dilakukan calon pasangan KBA agar memiliki akte perkawinan antara lain dengan menundukkan diri pada salah satu agama pasangan. Selain kawin ke luar negeri, sebenarnya ada yang dapat dilakukan oleh calon pasangan KBA di Indonesia yaitu dengan mengajukan penetapan perkawinan melalui pengadilan. Hanya saja peran negara seyogyannya memberikan fasilitas asalkan syarat-syarat sudah terpenuhi. Adanya persepsi yang beragam dari hakim menyebabkan sedikit yang mempergunakan upaya ini. Sementara itu peran Dinas Kantor Catatan Sipil (DKCS) fungsinya hanya mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinan jika pemohon sudah membawa penetapan pengadilan. Peraturan selain UU perkawinan ada yang dapat dipakai rujukan oleh hakim antara lain Keputusan Mahkamah Agung No.1400/1986/1989. Selain itu ada lagi peraturan peraturan perundangan yang bersifat nasional dan peraturan peraturan internasional yang memberikan perlindungan bagi calon pasangan KBA.
PERSPEKTIF HISTORIS DAN PERBANDINGAN PENGATURAN MASALAH LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Ketut Meta
Jurnal Cakrawala Hukum Vol 6, No 1 (2015): June 2015
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/idjch.v6i1.686

Abstract

In this life, a human cannot be apart from nature. Thus, since years ago, human beings have arranged their lives with nature. In Indonesia, custom society has treated nature well. In their lives, human beings must always keep the harmony and balance between human and nature. In foreign countries, it had already existed in Hamurabi era, namely a rule about home. In this case, a man building a house must be careful, so if the house came down, it did not punch anyone. Formally, totally, comprehensively, an environment law for the first time was arranged in principal law of living space in 1982; exactly law No 4 year 1982. It was the first formal law source in modern environment law in Indonesia. Then it was known that living space law year 1982 needed to be perfected. Thus, on September 19, 1997 government made law No 23 year 1997. Relating to it, the new law also had the same fate, after it was in effect more or less 12 years. This law was also replaced with another new law, namely law No 32 year 2009 about protection and management of living space. It is put into effect in Indonesia until now.Bahwa di dalam kehidupannya manusia tidak bisa lepas dari alam, oleh karenanya sudah sejak dahulu, manusia mengatur kehidupannya dengan alam. Di Indonesia masyarakat adat telah memperlakukan alam dengan baik, hal ini terbukti, dalam kehidupannya manusia harus selalu memelihara keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara manusia dengan alam, di luar negeri bahkan sudah ada pada zaman Hamurabi, yaitu peraturan tentang rumah. Dalam hal ini, orang membangun rumah harus hati hati, agar kalau roboh tidak menimpa orang lain.Secara formal, utuh, menyeluruh hukum lingkungan untuk pertama kalinya diatur dalam undang undang pokok lingkunganhidup tahun 1982. Dengan dikeluarkannya undang undang pokok pengelolalan lingkungan hidup, yaitu Undang Undang Nomor 4 Tahun 1982. UULH Tahun 1982 merupakan sumber hukum formal yang pertama dalam kontek hukum lingkungan modern di Indonesia. Di dalam perjalanannya, UULH Tahun 1982 perlu disempurnakan. Untuk itu pada tanggal 19 September 1997 Pemerintah mengundangkan UU Nomor 23 Tahun 1997. Sehubungan dengan hal di atas, UU yang baru ini, juga mengalami nasib yang sama, setelah berlaku kurang lebih 12 Tahun UU ini juga digantikan dengan UU yang baru, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sampai sekarang di Indonesia masih berlaku UUPPLH ini.
KAJIAN FILSAFAT HUKUM TENTANG DEMOKRASI DI INDONESIA Riski Febria Nurita
Jurnal Cakrawala Hukum Vol 6, No 1 (2015): June 2015
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/idjch.v6i1.688

Abstract

Democracy is a long process passing through habit, learning, and comprehension. For this goal, social support and democratic surroundings are needed. Democracy success is shown through how far the democracy as the principal and life reference inter citizens is done and obeyed. Democracy is a political and ethic set which develop dynamically. In reality, democracy is a group of people who are able to manage the country. It means the people who hold and manage the country must be those who have statesmen soul. It means they really revere the democracy highly used as the principle in pertaining to form government in Indonesia. Democracy which is really for people is not like the democracy applied in Indonesia today where the state holders and the organizers are busy with their own business. They take a decision by relying on their own interest without any sensitiveness to see the condition of people today. Mobocracy has really happened in Indonesia by appearing the corruptors, the law bribers, the position bribers, so democracy in Indonesia is really dead democracy if there is government that really holds firmly the democracy and is not sensitive to what the people want. Then it is true what Aristoteles says that if the people are stillmobos, do not insist the democracy in that country. Demokrasi merupakan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran dan penghayatan. Untuk tujuan ini dukungan sosial dan lingkungan demokratis itu mutlak dibutuhkan. Keberhasilan demokrasi ditunjukkan oleh sejauh mana demokrasi sebagai prinsip dan acuan hidup bersama antar warga negara dan antar warga negara dengan negara yang dijalankan dan dipatuhi. Demokrasi merupakan perangkat politik dan etika yang berkembang secara dinamis. Pada hakekatnya demokrasi merupakan kumpulan orang yang mampu bernegara artinya pemegang dan pengatur negara haruslah benar-benar orang yang memiliki jiwa negarawan dalam artian yaitu memang menjunjung tinggi demokrasi yang digunakan sebagai dasar dalam ketatanegaraan di Indonesia. Demokrasi yang memang diperuntukkan bagi rakyat, tidak seperti kondisi demokrasi di Indonesia saat ini dimana para pemegang dan pelaksana negara sibuk dengan urusannya sendiri, mereka mengambil kebijakan dengan berpijak pada kepentingannya sendiri tanpa adanya kepekaan melihat kondisi rakyatnya saat ini. Mobokrasi memang telah benar-benar terjadi di Indonesia dengan munculnya para koruptor, para penyuap hukum, para penyuap jabatan, sehingga demokrasi di Indonesia benar-benar demokrasi yang telah mati, apabila tidak ada lagi pemerintah yang memang memegang teguh demokrasi dan peka terhadap apa yang rakyatnya inginkan. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh Aristoteles Bila masyarakat masih mobos jangan memaksakan demokrasi dalam negara itu.
FUNGSI KEJAKSAAN SEBAGAI PENGACARA NEGARA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA Rusdianto Rusdianto
Jurnal Cakrawala Hukum Vol 6, No 1 (2015): June 2015
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/idjch.v6i1.689

Abstract

The purpose of attorney job performance is to fulfill the justice as the human natural character. In this case, human beings have thought and feeling that can be combined to be a wish that can be a motive of an action (realizing justice). Thus, it needs to be clarified in regulation about job performance of attorney, about the obligation in representing government for the sake of public interest toward another domain that includes private business (civil). It can be the strong principal that the attorney position represents state or government in all law aspects. A public prosecutor as the government power should not be involved in representing government, in government affair that is in action, like in taxation, insisting effort in execution, or other actions that are not the attorney authority. It can be more constructive if the function of state lawyer public prosecutor as the government power in the state structure is limited; not all state structure aspects, but limited only the lawsuit solution in a court or arbitration committee that represents attorney as the state or government representative. For that reason, the public prosecutor authority to represent the official needs to be confirmed, especially those which relate to the government decree that the content is the government policy implementation in the limit of government official echelon. It is done to give an assurance to the public prosecutor to be appropriate to his position. Bahwasanya tujuan dari kinerja kejaksaan adalah untuk memenuhi rasa keadilan, maka sesuai dengan kodrat alamiah manusia. Dalam hal ini, manusia mempunyai pikiran, dan perasaan yang bila dikombinasikan akan menjadi kehendak, yang menjadi motif dari sikap tindak (mewujudkan keadilan). Demikian, kiranya perlu dipertegas dalam Undang-Undang tentang kinerja kejaksaan tentang kewajiban mewakili pemerintah demi kepentingan umum dengan ranah lain, yang termasuk urusan privat (perdata). Hal ini akan menjadi dasar yang kuat bahwa posisi kejaksaan mewakili Negara atau peemrintah dalam semua aspek hukum. Jaks sebagai kuasa pemerintah hendaknya tidak dilibatkan di dalam mewakili pemerintah dalam tindakan atau urusan pemerintahan yang bersifat in action, seperti melakukan penarikan pajak, melakukan upaya pemaksaan dalam eksekusi dan lain-lain yang bukan menjadi kewenangan kejaksaan. Akan lebih konstruktif kiranya, manakala fungsi Jaksa Pengacara Negara sebagai kuasa pemerintah dalam tata usaha negara dibatasi, tidak seluruh aspek ketatausahaan akan tetapi hanya sebatas penyelesaian sengketa di pengadilan atau badan abitrase yang merepresentasikan kejaksaan sebagaiw akil pemerintah atau negara. Untuk itu kewenangan jaksa untuk mewakili pejabat kiranya juga diperlukan penegasan, khususnya yang terkait dengan keputusan pemerintah yang isinya merupakan pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam batasan yang bagaimana beserta dengan batasan eselonisasi pejabat pemerintah yang mana. Hal ini untuk memberikan kepastian kepada keterwakilan jaksa sesuai dengan kedudukannya.
PERBANDINGAN HUKUM INDONESIA DAN MALAYSIA TERHADAP KETIDAKSEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN BAKU Sunarjo Sunarjo
Jurnal Cakrawala Hukum Vol 6, No 1 (2015): June 2015
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/idjch.v6i1.690

Abstract

An analysis to the comparison between Indonesian law and Malaysian law toward the imbalance of standard agreement shows that in Indonesia, every agreement or contract must fulfill the requirement of agreement legality as it is arranged in article 1320 KUHP civil. If the requirement is not fulfilled, the agreement law can be cancelled, even the agreement is cancelled for the sake of law. Standard agreement is made unilaterally. The content is more beneficial to the party that makes it (dominant party) and it inflicts a loss upon the party that accepts the agreement (debtor). In Malaysia, agreement and contract are the two different things. Every contract is agreement but not every agreement is as valuable as contract. Contract causes a law implication while agreement does not cause a law implication. Every contract must fulfill a contract character: there is an offer, receipt, reply, intention to realize the legal relation and to be protected by law; ability to make a contract; requirement certainty; and free wish (not being asked or insisted). Standard agreement is arranged in goods selling certificate 1957; it is legally permitted there is a standard article in the standard agreement consisting the limitation of charge guarantee for business doer that inflicts a loss upon the party receiving the contract. Analisis terhadap perbandingan hukum Indonesia dan Malaysia terhadap ketakseimbangan dalam perjanjian baku menunjukkan bahwa di Indonesia setiap perjanjian atau kontrak harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Tidak dipenuhinya syarat tersebut berakibat hukum perjanjian dapat dibatalkan, bahkan perjanjian batal demi hukum. Perjanjian baku dibuat secara sepihak. Isinya lebih menguntungkan pihak yang membuat (pihak yang dominan) dan merugikan bagi pihak yang menerima perjanjian (debitur). Di Malaysia antara perjanjian dengan kontrak merupakan dua hal yang berbeda. Setiap kontrak adalah perjanjian tetapi tidak setiap perjanjian bernilai kontrak. Kontrak menimbulkan implikasi hukum sedangkan perjanjian tidak menimbulkan implikasi hukum. Setiap kontrak harus memenuhi karakter kontrak, yaitu ada tawaran, ada penerimaan, ada balasan, niat mewujudkan hubungan yang sah dan dilindungi hukum; kebolehan membuat perjanjian kontrak; kepastian syarat dan terma kontrak; dan kehendak bebas (bukan disuruh atau dipaksa). Perjanjian baku diatur dalam Akta Jualan Barangan 1957 diperkenankan adanya klausula baku dalam perjanjian baku yang berisi pembatasan tanggung gugat pelaku usaha, yang sangat merugikan bagi pihak yang menerima kontrak.

Page 1 of 28 | Total Record : 279