cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
Medicina
Published by Universitas Udayana
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 234 Documents
PRIMARY PERITONITIS WITH POCKETED ABSCESS INTRAPERITONEAL CAUSED BY UMBILICAL CATHETER INFECTION IN 22 DAYS OLD BABY -, Ariputra; Kardana, I Made; Darmajaya, Made
Medicina Vol 45 No 3 (2014): September 2014
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (234.193 KB)

Abstract

Primary peritonitis defined  as  a microbial  infection  of  the peritoneum  and peritoneal  fluid  in  theabsence of a gastrointestinal or visceral perforation. The source of infection is extra abdominal andmay arise  from  lymphatics  or blood  stream. One  of  the  infection  source  can be  extension  from anomphalitis  or  infected  umbilicus. Omphalitis  can  occur  due  to  complication  of Umbilical VeinCatheterization  (UVC). UVC  are used  to  provide  access  for  resuscitation,  frequent monitoring  ofblood, administration of fluids, blood and parenteral nutrition. We report a case of primary peritonitiswith  pocketed  intraperitoneal  abscess  caused  by umbilical  infection  in  22  days  old  baby. Patientpresent a clinical sign of peritonitis and severe omphalitis with history of using umbilical catheter. X-ray found a free fluid impression in the abdominal cavity. Patient undergo a laparotomy and pocketedintraperitoneal  abscess was  found  around  ligamentum  teres hepatis  area,  suspected  of  infectiouscomplications arising out from the use of umbilical catheter.  [MEDICINA 2014;45:193-198].
VAKSIN DNA SEBAGAI PENDEKATAN BARU DALAM TEKNOLOGI VAKSIN Dewi N.N., Ayu
Medicina Vol 39 No 1 (2008): Januari 2008
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Vaksin DNA mulai berkembang sejalan dengan kemajuan di bidang imunologi dan biologi molekuler. Vaksin DNA merupakan pendekatan baru dalam vaksinasi dengan menggunakan satu atau lebih gen yang menyandi protein dari suatu patogen. Teknik ini memiliki keunggulan dapat menginduksi imunitas seluler atau humoral terhadap antigen tertentu, ataupun keduanya; suatu tujuan yang tidak dapat dipenuhi oleh vaksin-vaksin konvensional yang ada. Saat ini perkembangan vaksin DNA masih dalam tahap penelitian dan uji klinik.
Histiositosis sel langerhans pada seorang anak Luciana, Luciana; Rusyati, Luh Mas
Medicina Vol 47 No 2 (2016): Mei 2016
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (533.956 KB)

Abstract

Histiositosis sel Langerhans (HSL) adalah penyakit akibat proliferasi sel Langerhans yang terjadi di berbagai organ dan jaringan. Penyakit HSL memiliki manifestasi klinis bervariasi dari lesi tunggal hingga multisistem. Manifestasi kulit sering menunjukkan gambaran tidak khas, menyerupai banyak penyakit kulit lain dan sering dianggap sebagai penyakit tidak berbahaya sehingga tidak mendapatkan pengobatan tepat. Seorang anak lelaki 2 tahun 4 bulan dirawat dengan keluhan bintik-bintik merah di seluruh tubuh dan bercak merah gelap pada telapak tangan dan telapak kaki. Kuku tampak kehitaman. Pasien juga menderita penyakit hati kronis, hipertensi portal, tuberkulosis paru, serta malnutrisi marasmus-kwasiorkor. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang biopsi kulit yang sesuai dengan HSL. Pasien diberikan monokemoterapi vinblastin dan hari ke-15 pasien meninggal karena disseminated intravascular coagulation dan kegagalan multiorgan. Langerhans cell histiocytosis (LCH) is a disease caused by the proliferation of Langerhans cell in various organs and tissues. Langerhans cell histiocytosis disease has various clinical manifestation from single lesions to multisystem. Skin manifestations is not pathognomonic, resembling many other skin disease and considered non-threatening, thus delaying access to appropriate treatment. A 2- year and 4 month old boy presented with red spots all over the body and dark red patches on the palms, soles, and blackish nails. The patient was also suffered from chronic liver disease, portal hypertension, pulmonary tuberculosis, as well as marasmic kwasiorkhor. Diagnosis was based on history, physical examination, and skin biopsy. The patient was given vinblastine monochemotherapy, and on day 15, the patient died due to disseminated intravascular coagulation and multiple organ failure.
HUBUNGAN ANTARA KADAR ALBUMIN DAN MORTALITAS PASIEN DI UNIT PERAWATAN INTENSIF ANAK RSUP SANGLAH DENPASAR Indradjaja, Alice; Suparyatha, Ida Bagus; Budi Hartawan, I Nyoman
Medicina Vol 45 No 1 (2014): Januari 2014
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (168.899 KB)

Abstract

Hipoalbuminemia berhubungan dengan luaran yang buruk pada pasien dewasa yang sakit berat namun hubungan ini pada pasien anak hingga saat ini belum jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar albumin serum dengan mortalitas pasien anak yang di rawat di Unit Perawatan Intensif Anak (UPIA) RSUP Sanglah Denpasar. Dengan desain kohort prospektif dilakukan penelitian di divisi Pediatri Gawat Darurat Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah dari periode Mei hingga Juli 2012. Pasien dikelompokan berdasarkan kadar albumin awal menjadi tiga kelompok, kelompok I dengan kadar albumin <2,5g/dl, kelompok II e”2,52,9g/dl dan  kelompok III >3g/dl. Data dianalisis dengan uji Kai-kuadrat dan analisis multivariat (regresi logistik) dengan tingkat kemaknaan á=0,05 (IK 95%). Dari 60 pasien, 20 pasien (33,3%) mengalami hipoalbuminemia dengan kadar albumin < 3 g/dl pada awal perawatan, terdapat 10 pasien(16,7%) pada kelompok I, sepuluh pasien (16,7%) terdapat pada kelompok II, dan kelompok III sebanyak 40 pasien (66,7%).  Mortalitas pada kelompok I dibandingkan kadar albumin normal menunjukkanperbedaan bermakna {RR 12,00 (IK95% 3,96 sampai 36,33), P<0,0001}, begitu juga untuk kelompok II bila dibandingkan dengan kelompok kadar albumin normal {RR 9,33 (IK 95% 2,92 sampai 29,81),P<0,0001}. Disimpulkan bahwa semakin rendah kadar albumin serum semakin tinggi angka mortalitas di UPIA RSUP Sanglah. [MEDICINA.2014;45:13-18].
HUBUNGAN JUMLAH LEUKOSIT SERTA KADAR C-REACTIVE PROTEIN DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PNEUMONIA PADA ANAK Pramana, Kissinger Puguh; Subanada, Ida Bagus
Medicina Vol 46 No 2 (2015): Mei 2015
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (194.187 KB)

Abstract

Pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian terbesar pada bayi dan balita. Sitokin-sitokinproinflamasi akan dilepaskan pada saat infeksi sehingga menyebabkan perubahan sistemik. Penandainflamasi sistemik seperti jumlah leukosit dan kadar C-reactive protein (CRP) dapat membantumenentukan derajat keparahan pada pneumonia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubunganjumlah leukosit serta kadar CRP dengan derajat keparahan pneumonia pada anak. Penelitian analitik,dengan desain potong lintang, melibatkan 28 anak dengan pneumonia berat dan sangat berat.Pemeriksaan laboratorium seperti jumlah leukosit dan kadar CRP dilakukan pada subjek penelitian.Pneumonia sangat berat mempunyai rerata kadar CRP lebih tinggi [42,69 (SB 41,70)] dibandingkandengan pneumonia berat [2,95 (SB 3,03)]. Kadar CRP berbeda bermakna pada pneumonia berat dansangat berat [beda rerata 39,74 (IK95% 16,76 sampai 62,71) mg/L, P=0,003], namun jumlah leukosittidak berbeda bermakna [beda rerata 1,75 (IK95% -8,62 sampai 5,12) x 103 u/L, P=0,605]. Analisismultivariat menunjukkan derajat keparahan pneumonia dipengaruhi oleh kadar CRP [RO 1,46 (IK95%1,02 sampai 2,10), P=0,040], sedangkan jumlah leukosit tidak berhubungan dengan derajat keparahanpneumonia pada anak. Disimpulkan, kadar CRP berhubungan dengan derajat keparahan pneumoniapada anak. [MEDICINA 2015;46:77-81].Pneumonia is the biggest causes of death in infants and children under five years old. At the time ofinfection, proinflammatory cytokines would be released and caused systemic changes. Markers ofsystemic inflammation like leukocyte count and C-reactive protein (CRP) level can help to determinethe degree of severity of pneumonia. The aim of this study was to evaluate the association betweenleukocyte count and CRP level with the degree of severity of pneumonia in children. An analytic crosssectional study was done on 28 children with severe and very severe pneumonia at Sanglah HospitalDenpasar, who fulfilled the inclusion and exclusion criteria. Subjects were conducted laboratoricexamination includes testing the leukocyte count and CRP level. Very severe pneumonia had a highermean CRP level [42.69 (SD 41.70)] compared with severe pneumonia [2.95 (SD 3.03)]. There was asignificant difference between CRP level in severe and very severe pneumonia cases [mean difference39.74 (95%CI 16.76 to 62.71) mg/L, P=0.003], but there was not any significant difference in theleukocyte count [mean difference 1.75 (95%CI -8.62 to 5.12) x 103 u/L, P=0.605]. Multivariate analysisshowed that severity of pneumonia was influenced by CRP level [OR 1.46 (95%CI 1.02 to 2.10), P=0.040],but leukocyte count is not associated with the degree of severity of pneumonia. In conclusion, CRP levelis associated with the degree of severity of pneumonia. [MEDICINA 2015;46:77-81].
CHARACTERISTICS AND THE OUTCOME OF VERY LOW BIRTH WEIGHT INFANT BORN IN SANGLAH HOSPITAL DENPASAR Putra, Yoga; Kardana, Made; Artana, Dharma; Putra, Junara
Medicina Vol 43 No 2 (2012): Mei 2012
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.515 KB)

Abstract

Very low birth weight (VLBW) infants is one of the most important medical problem especially in developing countries. This issue is due to its high morbidity and mortality rate. On the other hand, the long term impact of VLBW infants are poor growth and development including physical, emotional, intelectual (IQ), and disabilities, therefore it could decrease the quality of human resources and become a burden to their family. The objective of this study was to describe the characteristics and outcome among VLBW infants born in the Sanglah Hospital. This was a retrospective study. Data were collected from medical record of all infants with VLBW delivered in Sanglah Hospital from January to Desember 2009. Uncompleted infants and mother medical records were excluded from this study. Of 64 VLBW infants enrolled into the study of which 54.7%  of this subjects was male, median of weight was 1300 g, mean gestational of age was 30.9 (SD 2.28) weeks, and mean lenght of stay was 30.9 (SD 19.7) days. The survival of VLBW infants in this study was 62.5%,  mortality in the early neonatal period was 70,8%. The percentage of VLBW infants who survive was still low and the major causes mortality were HMD (50%) and sepsis (41.6%). The mortality of VLBW happened mostly in early neonatal periode.
Korelasi stadiumacute kidney injurydengankadar fosfat serum Suardana, I Ketut; Kandarini, Yenny; Suwitra, Ketut
Medicina Vol 47 No 3 (2016): September 2016
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (89.254 KB)

Abstract

Hiperfosfatemia telah diketahui terjadi pada penyakit ginjal kronis (PGK). Terdapat hubungan linear antaraperburukan laju filtrasi glomerolus (LFG) dan peningkatan kadar fosfat serum pada PGK. Padaacute kidney injury(AKI) hubungan tersebut belum jelas. Beberapa penelitian pendahuluan melaporkan adanya peningkatan kadar fosfatserum pada pasien AKI. Tujuanpenelitian ini adalah mencari korelasi antara stadium AKI dan kadar fosfat serum.Dilakukanpenelitianpotonglintangdi RSUP Sanglah dari bulanJuni sampai Agustus2015 denganbesarsampel 53orang dipilihsecaraconsecutive sampling. Sampel yang memenuhikriteriadimintakankesediannyaberpartisipasidenganmenandatanganiinformed consent.Stadium AKI menggunakan kriteriadariKidneyDiseaseImprovingGlobalOutcome(KDIGO) tahun 2012, yaitu berdasarkan parameter kreatinin serum dan produksi urin.Kadar fosfat serumdiperiksa dengan metodemolibdate UVdi Laboratorium Prodia Denpasar. Hubungan stadiumAKI dan kadarfosfatserum dianalisis denganmenggunakan uji korelasi Spearman.Dari 53 pasienAKIterdiri dari 33(62,3%)orang pria,rerata umur 42(SB10,8)tahun.Berdasarkan kriteria KDIGO 2012 didapatkan 25 (47,2%) pasien AKI stadium 1, 12(22,6%) pasien AKI stadium 2 serta 16 (30,2%) pasien AKI stadium 3. Rerata kadar fosfat serum sebesar 4,7(SB2,10)mg/dl. Rerata kadar fosfat serum pada AKI tadium 1 sebesar 3,7(SB1,00)mg/dl, pada AKI stadium 2 sebesar4,6(SB1,20)mg/dl serta pada AKI stadium3 sebesar 6,5(SB2,70)mg/dl. Terdapat korelasi yang bermakna antarastadium AKIdankadarfosfat serum(r= 0,52,P<0,001).[MEDICINA.2016;50(3):17-22]. Hyperphosphatemia has been recognized in chronic kidney disease (CKD). There is linear correlation betweendecreased glomerular filtration rate (GFR) and increased serum phosphate level in CKD patients. This correlationisnot clear in acute kidney injury (AKI). Previous studies report that there is increasing of serum phosphate level inpatients with AKI.This study wasaimedto assess the correlation betweenseverity of AKIandserum phosphate level.Across-sectional study was performedat Sanglah Hospital from JunetoAugust 2015. Fiftythree patients wereselected with consecutive sampling technique. Eligiblesamples were requested for participation by signed informedconsent. Severity of AKI was defined byKidneyDiseaseImprovingGlobal Outcome(KDIGO) criteria2012, basedon serum creatinin and urine output. Serum phosphate level was measured usingmolibdate UVat Prodia laboratoryDenpasar.Correlationbetween severity of AKI and serumphosphate levelwas performed using spearman correlation.Thirty tree(62.3%) out of53samplesweremale, themean of age was42(SD10.8) years. Twenty five(47.2%)sampleswere categorized AKI stage I, 12samples(22.6%)stage 2  and16samples(30.2%)stage 3. Meanphosphatelevelwas4.7(SD2.10)mg/dl. Meanphophate levelwas3.7(SD1.00)mg/dlin AKI stage 1,4.6(SD1.20)mg/dlinAKI stage 2 and6.5(SD2.70)mg/dlin AKI stage 3. There wassignificantcorrelation between severity of AKI andserum phosphate levelhad been showed by this study (r = 0.52,P<0.001).[MEDICINA.2016;50(3):17-22].
STABILITAS HEMODINAMIK PADA PEMBERIAN FENTANYL SEBAGAI KOINDUKSI PROPOFOL DIBANDINGKAN DENGAN MIDAZOLAM PADA PEMASANGAN LARYNGEAL MASK AIRWAY Rismantara, I Dewa Gede Tresna; Sinardja, I Ketut; Widnyana, I Made Gede
Medicina Vol 45 No 3 (2014): September 2014
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (217.935 KB)

Abstract

Kestabilan hemodinamik pada pemasangan laryngeal mask airway (LMA) dengan propofol sebagaiagen induksi dapat dioptimalkan dengan penambahan agen koinduksi. Tujuan penelitian ini adalahuntuk mengetahui apakah fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kestabilan hemodinamikdan  kondisi  relaksasi  yang  lebih  baik  dibandingkan  dengan midazolam  pada  pemasangan LMA.Setelah mendapat persetujuan dari bagian etik RSUP Sanglah Denpasar, 42 pasien dengan statusfisik ASA I dan II dilakukan pembiusan umum dengan pemasangan LMA, dipilih secara consecutiverandom sampling. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A diberikan midazolam 0.03 mg/kgbb dan kelompok B diberikan  fentanyl 2 mcg/kgbb.  5 menit  setelah koinduksi pasien diinduksidengan menggunakan target control infusion (TCI) propofol efek target 4 mcg/ml hingga tercapai nilaibispectral index (BIS) 40-60. Kondisi hemodinamik dianggap tidak stabil bila terjadi penurunan nilaitekanan arteri  rerata  (TAR)   postinduksi  lebih dari 20% TAR basal. Total dosis propofol dihitungsejak mulai induksi sampai tercapai nilai BIS 40-60 yang tercatat pada mesin TCI. Kondisi relaksasidinilai  dengan  kriteria Young?s. Data  yang  didapat  akan  diolah  dengan  software  SPSS  17.0.karakteristik  sampel  diuji  normalitas  dengan Shapiro-Wilk  dan  homogenitas  dengan  tes  levene.Perbandingan hemodinamik dan total dosis propofol diuji dengan uji t-2-sampel tidak berpasangandan kondisi  relaksasi  saat pemasangan LMA diuji dengan  chi-square  dengan  tingkat kemaknaanP<0,05 Terdapat perbedaan yang tidak bermakna pada penurunan nilai TAR saat pemasangan LMAdibandingkan nilai basal pada kedua kelompok uji yaitu A 13,08%  (SB 2,88%) dan B 14.11%  (SB2.96%) dengan nilai P = 0.216, total dosis propofol yang digunakan secara signifikan lebih sedikit padakelompok A 118.71 mg (SB 13,24 mg) dibandingkan kelompok B 131,61 mg (SB 12.86 mg) dengan P =0,003,  sedangkan  kondisi  relaksasi  yang  dihasilkan  tidak  berbeda  bermakna  dengan P  =  0,739.Simpulan penelitian  ini bahwa  fentanyl  sebagai koinduksi propofol  tidak  lebih baik dibandingkanmidazolam  dalam hal  stabilitas hemodinamik  dan kondisi  relaksasi  pada  pemasangan LMA,  danmenurunkan  dosis  induksi  propofol  lebih  sedikit  dibandingkan  dengan midazolam.  [MEDICINA2014;45:145-150].
DAYA HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK BUAH JAMBU BIJI, BUNI DAN WORTEL PADA MENCIT YANG DIINDUKSI DENGAN CARBONTETRACHLORIDA N, Arcana; GM, Adioka; DM, Wihandani
Medicina Vol 39 No 1 (2008): Januari 2008
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sel-sel hati rentan terhadap serangan radikal bebas. Pada keadaan adanya beban bahan-bahan oksidatif (oksidative stress) maka pemberian antioksidan-alami seperti vitamin C, derivat flavonoid dan lain-lainnya secara oral mampu melindungi dan mencegah kerusakan sel-sel hati. Buah dari tanaman jambu biji, buni dan wortel diketahui mengandung vit C maupun flavonoid namun belum dimanfaatkan secara optimal sebagai antioksidan oleh karena kurangnya data pendukung dalam bukti manfaat maupun dosisnya. Telah dilakukan penelitian eksperimental dengan rancangan ?pre-post test control group design? di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Farmasi FK UNUD. Mencit sebagai unit penelitian sebanyak 25 ekor di bagi menjadi 1 kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan diberikan ekstrak buah jambu biji, buah buni, umbi wortel dan campuran ketiga ektrak, untuk membuktikan bahwa pemberian ekstrak buah tersebut mampu menurunkan kadar SGPT mencit yang di induksi carbontetrachlorida (CCl4). Hasil uji statistik pada ? = 0,05 menunjukkan bahwa kadar SGPT mencit pada 4 kelompok perlakuan lebih kecil secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Ini menunjukkan bahwa ekstrak dari buah jambu biji, buah buni, umbi wortel dan campuran ketiga ektrak mempunyai khasiat sebagai hepatoprotektor.
ABSES SEPTUM NASI PADA SEORANG ANAK USIA SEMBILAN TAHUN Rikakaya, Putu Vira; Ratnawati, Luh Made; Wulan, Sari
Medicina Vol 46 No 3 (2015): September 2015
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (149.33 KB)

Abstract

Abses septum nasi adalah terdapatnya atau terbentuknya nanah pada daerah di antara tulang rawanatau tulang septum nasi dengan mukoperikondrium atau mukoperiosteum yang melapisinya akibatdari trauma pada hidung. Kasus abses septum nasi ini jarang terjadi.  Jika terlambat ditanganimenyebabkan komplikasi perforasi septum nasi, hidung pelana atau disebut saddle nose, selain itubisa menyebabkan infeksi ke intrakranial. Dilaporkan satu kasus abses septum nasi pada anaklelaki umur 9 tahun dengan riwayat mengorek-ngorek hidung. Didapatkan pembengkakan septumnasi pada ke dua sisi yang berbentuk bulat, merah, dan teraba fluktuasi yang telah dilakukan aspirasiuntuk  pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas kemudian dilanjutkan insisi drainase lalu pemasangandrain dan tampon serta pemberian antibiotik parenteral. Setelah dilakukan insisi drainase absesserta pemberian antibiotik parenteral yang adekuat, septum nasi kembali normal dan tidak didapatkantanda-tanda perforasi septum. [MEDICINA 2015;46:201-4].Nasal septal abscess defined as a collection of pus between the cartilaginous or bony nasal septum andits overlying mucoperichondrium and/ or mucoperiosteum. Nasal septal abscess is an uncommoncondition. If left untreated, there are risks of nasal septal perforation which called by saddle nosedeformity and also intracranial complications. A case of nasal septal abscess on a child, male 9 yearsold with history of nose picking has been reported. On the physical examination there were bilateralnasal septal round swelling, reddish and fluctuation and already done with aspiration for the cultureand sensitivity test examination and then incision drainage, drain and nose packed and also parenteralantibiotic therapy. After incision drainage and an adequate parenteral antibiotic, the nasal septalback to normal condition and  there was no septal perforation. [MEDICINA 2015;46:201-4].

Page 2 of 24 | Total Record : 234