Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Pendidikan Perdamaian Antar Agama sebagai Paket Wisata di Desa Wisata Kreatif Perdamaian Srumbung Gunung Supratikno, Agus; Hudiono, Rini Kartika; Maria , Evi; S, Suharyadi
Jurnal Kepariwisataan: Destinasi, Hospitalitas dan Perjalanan Vol. 6 No. 2 (2022)
Publisher : Politeknik Pariwisata NHI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34013/jk.v6i2.842

Abstract

Artikel ini membahas tentang pendidikan perdamaian lintas agama sebagai paket wisata di desa wisata kreatif perdamaian Srumbung Gunung, dan dampaknya bagi pesertanya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi kasus. Penelitian ini menemukan bahwa peserta yang mengikuti paket pendidikan perdamaian di desa wisata kreatif perdamaian Srumbung Gunung memiliki sikap lebih terbuka untuk menerima dan menghargai perbedaan agama, serta menjadi pembawa damai bagi komunitasnya. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan perdamaian sebagai paket wisata di desa wisata kreatif perdamaian Srumbung Gunung efektif untuk menjadi media membangun perdamaian antar pemeluk agama dan kepercayaan. Selanjutnya, pengembangan destinasi desa wisata perdamaian Srumbung Gunung dapat menjadi kontribusi lokal untuk menciptakan perdamaian antar pemeluk agama dan kepercayaan di Indonesia.
Ketika Semua yang Hidup adalah Saudara: Gagasan Spiritualitas Ekologi Transformatif pada Masyarakat Adat Samin-Sedulur Sikep dalam menghadapi Krisis Lingkungan di Pegunungan Kendeng Filipus, Johan Kristian; Ludji, Irene; Supratikno, Agus
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 10, No 1 (2024): KENOSIS: JURNAL TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v10i1.909

Abstract

Alam adalah rumah bersama bagi seluruh makhluk hidup, karena itu maka kelestariannya harus dijaga agar memberikan kualitas  hidup yang baik bagi seluruh makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Untuk mewujudkan keharmonisan antar makhluk hidup sebagai penghuni alam, maka gagasan etika lingkungan dapat menjadi alat untuk mempromosikan kelestarian ekosistem lingkungan hidup di planet Bumi. Artikel ini memiliki tujuan untuk mengeksplorasi gagasan spiritualitas ekologi transformatif pada masyarakat adat samin-sedulur sikep, dan menganalisa keterhubungan masyarakat adat samin-sedulur sikep sebagai human dengan alam yang menempatkan entitas diluar manusia sebagai sedulur (saudara). Dalam mendiskusikan spiritualitas ekologi yang transformatif, artikel ini menggunakan pendekatan ekofeminis dan paradigma masyarakat adat. Telaah ini menunjukan bahwa masyarakat adat samin-sedulur sikep menempatkan alam dalam relasi inter-subjektif, sehingga memiliki peluang untuk dikonstruksi dalam sebuah diskursus etika lingkungan yang transformatif agar dapat menciptakan perdamaian ekologis demi keutuhan ciptaan. Dengan demikian, gagasan paradigmatik pada epistemologis modern yang menempatkan manusia sebagai antroposentris dan alam sebagai objek, dapat digeser dengan paradigma epistemologi pengetahuan lokal masyarakat adat.
Srumbung Gunung Peace Creative Tourism Village: An Effort to Build Interfaith Peace Through Tourism Supratikno, Agus; Kartika Hudiono, Rini; Maria, Evi; Suharyadi
Aptisi Transactions On Technopreneurship (ATT) Vol 4 No 3 (2022): November
Publisher : Pandawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34306/att.v4i3.271

Abstract

 This article discusses the Peace Creative Tourism Village as a peaceful tourism destination to build peace between religions and beliefs in Indonesia. This study is motivated by the rise of identity politics after the collapse of the New Order in 1998. The rise of identity politics has triggered several inter-ethnic and religious conflicts in several regions in Indonesia. Conflicts between the Dayak tribes and Madurese migrants occurred in Kalimantan in early February 2001, Christian and Muslim conflicts in Posso in 1998, and Ambon in 1999. The state has made various efforts to maintain peace between ethnic and religions in Indonesia, but intolerance, even inter-ethnic and religious conflicts, still occur in plural Indonesia. This study discusses an alternative effort to build peace between religions and beliefs through tourist destinations. This research uses a case study qualitative method. This study found that the Peace Creative Tourism Village of Srumbung Mountain, with its tour packages: peace education, live-in, and traditional culinary and cultural festivals, can be a local contribution to building peace between religions and beliefs in Indonesia.
Agama Dan Etika Politik: Peran Gereja dalam Diskursus Etika Politik Era Reformasi Malino, Yan; Supratikno, Agus; Ludji, Irene
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 9, No 2 (2025): April 2025
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30648/dun.v9i2.1472

Abstract

Abstract. The argument of this research is that the church has a moral and ethical responsibility to conduct political education through discourse on political ethics in public spaces. This is based on historical facts that the Cristianity since the independence movement until now has had potential power and significant influence in politics in Indonesia. This research used the hermeneutic phenomenology method in the context of socio-political history. The result of the research showed that the church is quite proactive in responding to national and state issues in the Reformation Era, but it is still not optimal to conduct discourse on political ethics in public spaces. The political role of the church in general is still limited to carrying out liturgical ritual activities, praying together, and issuing formal shepherding calls at every election event.Abstrak. Argumentasi penelitian ini adalah gereja memiliki tanggung jawab moral dan etis melakukan pendidikan politik melalui diskursus etika politik di ruang-ruang publik. Hal ini didasarkan atas fakta sejarah bahwa agama sejak masa pergerakan perjuangan kemerdekaan sampai dengan masa kini memiliki kekuatan potensial dan pengaruh signifikan dalam perpolitikan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi hermeneutik dalam konteks sejarah sosio-politik. Hasil peneliteian menunjukkan bahwa gereja cukup pro aktif menyikapi persoalan bangsa dan negara di Era Reformasi, namun masih kurang maksimal memanfaatkan ruang publik untuk melakukan diskursus etika politik. Peran politik gereja secara umum masih sebatas melakukan kegiatan ritual liturgis, doa bersama, dan mengeluarkan seruan formal penggembalaan pada setiap perhelatan pemilu.
Tarian Huda-huda/toping-toping sebagai Pendampingan Kedukaan bagi Masyarakat Simalungun Saragih, Riahta; Tampake, Tony; Supratikno, Agus
Maharsi: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Sosiologi Vol. 7 No. 1 (2025): Maharsi : Jurnal Pendidikan Sejarah dan Sosiologi
Publisher : UNIVERSITAS INSAN BUDI UTOMO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33503/maharsi.v7i1.1195

Abstract

Masyarakat Simalungun memiliki praktik budaya yang beragam dalam setiap tahapan kehidupan, mulai dari upacara adat kelahiran sampai kematian. Ada beberapa jenis kematian di Simalungun dan artikel ini berfokus pada kematian “sayur matua” (meninggalnya seseorang setelah menikah, mempunyai anak, cucu, dan cicit). Sayur Matua ialah kematian ideal bagi masyarakat Simalungun dan dipestakan secara besar-besaran. Meskipun demikian rasa sedih dan kehilangan akan tetap ada pada keluarga yang berduka. Biasanya pendampingan yang diberikan oleh gereja berfokus kepada keluarga inti dari yang berduka, sementara perlu dilakukan pendampingan kepada setiap orang yang merasa kehilangan pada kematian sayur matua. Pada upacara sayur matua biasanya menampilkan tarian huda-huda/toping-toping untuk menghibur keluarga yang berduka. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk mendeskripsikan tarian ini dan melestarikan budaya Simalungun. Tulisan ini menggunakan studi kepustakaan untuk mempelajari budaya Simalungun mengenai kematian yang di dapat melalui jurnal, buku dan wawancara dari informan penari setempat Melalui tulisan ini akan terlihat bahwa tari huda-huda/toping-toping tidak hanya untuk menghibur tetapi juga mengedepankan nilai-nilai seperti saling mendukung, persahabatan, berbagi rasa, penerimaan, persaudaraan, dan solidaritas yang dapat dijadikan sebagai bentuk pendampingan bagi masyarakat Simalungun dengan menggunakan teori Pendampingan Keindonesia dari Jacob Daan Engel. Tujuan penulisan ini untuk menghidupkan Kembali budaya Simalungun terkhusus pada tarian ini yang sudah jarang sekali dilakukan baik di pedesaan maupun di perkotaan. Tarian ini dapat menjadi bantuan kepada gereja melalui nilai-nilai pendampingan Keindonesiaan.
Spiritual Capital as a Driver of Entrepreneurial Spirit Permanent Community, Gambirsari, Salatiga Nugroho, Wisnu Sapto; Loekmono, J.T. Lobby; Adi, Suwarto; Supratikno, Agus; Tsitsigkos, Spyridon
Jurnal Mamangan Vol 14, No 2 (2025): Jurnal Ilmu Sosial Mamangan Accredited 2 (SK Dirjen Ristek Dikti No. 0173/C3/DT
Publisher : LPPM Universitas PGRI Sumatera Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22202/mamangan.v14i2.10137

Abstract

This paper proves that spiritual capital is the driving force of entrepreneurial spirit. Spirituality comes from religious values, traditions, and the environment. It can be seen in the community of Tetep, Dukuh Gambirsari Kelurahan Randuacir, Salatiga, Central Java. The entrepreneurial spirit in this community develops due to the impacts of spirituality that manifest in daily practice. The approach of this paper is autoethnography, which is a narrative study based on the experiences of individuals and communities in society. The research utilizes the theories of capital developed by Karl Marx, Weber, and Pierre Bourdieu. Marx emphasized that humans are beings who work, and material possessions serve as the driving force behind work. Weber argues that economic development is closely intertwined with non-economic factors. Bourdieu conceptualizes capital across various dimensions-economic, cultural, social, and symbolic – which are interconnected with habitus and field. The spiritual capital that grows through the practice of life shows that people have the ability to manifest the appreciation of spirituality into the power to survive and thrive amid changing times. In its development, it was also found that some members of the community did not view their businesses solely as a means of survival, but rather as a source of livelihood that created jobs for many people. This spiritual capital is developed in concrete actions through the creations of self-employment in the form of trade and service business. The development of an entrepreneurial society with all its implementations can be used in this approach. Spiritual capital gives rise to fortitude, perseverance, courage to take risks, learners, gratitude, fruitfulness, and honesty. This spirit became the driving force of capitalism for marginalized communities, known as marginal capitalism or village capitalism. They proved the values, culture, and norms of society.