Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

ANDI PABBENTENG, RAJA BONE XXXIII: HUBUNGANNYA DENGAN BELANDA (1946-1951) Rismawidiawati, Rismawidiawati
Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 7, No 1 (2016)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36869/wjsb.v7i1.96

Abstract

Proses pembentukan peradaban suatu masyarakat tidak terlepas dari peran atau pengaruh penting seorang tokoh. Dalam skala kerajaan, tokoh yang dimaksud adalah raja. Selama ini, sejarah seolah-olah berpihak pada tokoh atau peristiwa besar saja, sehingga terkadang ada tokoh/peristiwa yang luput dari penulisan. Tokoh Andi Pabbenteng yang diulas pada artikel ini adalah Raja Bone ke-33. Tulisan tentang Andi Pabbenteng masih jarang dijumpai, meskipun beliau adalah seorang raja. Berdasarkan hal tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan sepak terjang Andi Pabbenteng selaku Raja Bone ke 33 dan menjelaskan hubungannya dengan Belanda. Artikel ini menggunakan metode historis dengan menelusuri berbagai sumber pustaka dan melalukan wawancara dengan sejarawan dan pemerhati sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Andi Pabbenteng diangkat menjadi raja Bone pada 1946 berkat kedekatannya dengan pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Andi Pabbenteng, beliau dapat mengendalikan keamanan dengan cara menjinakkan para pejuang. Wibawa sosial yang dimiliki Andi Pabbenteng menjadi modal sosial yang sangat besar. Pada waktu Pasukan Istimewa Baret Merah Westerling melakukan pembantaian di banyak tempat, Andi Pabbenteng berhasil meyakinkan Westerling untuk tidak masuk ke dalam wilayah kekuasaannya. Pada masanya, beliau sangat aktif menghilangkan perjudian, perampokan, dan pencurian, karena ketiga hal itu dapat menganggu keamanan dan ketenteraman dalam negeri.
INTEGRASI ORANG MELAYU DI TAKALAR (XVI-XVII) Rismawidiawati, Rismawidiawati
Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 8, No 2 (2017)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36869/wjsb.v8i2.122

Abstract

Persamaan budaya yang dimiliki oleh orang Melayu dan Bugis-Makassar tak hanya melahirkan potensi perekat, tetapijuga memunculkan potensi yang dapat merenggangkan hubungan keduanya. Oleh karena itu, potensi perekatnya harus segera digali sebagai sesuatu yang tidak lahir begitu saja, melainkan telah melewati dimensi waktu yang menciptakan sejarah tersendiri di antara keduanya. Keduanya saling berinteraksi dan berintegrasi. Untuk itu, tujuan utama tulisan ini adalah mendeskripsikan proses integrasi orang Melayu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, yaitu di daerah Sanrobone, Takalar. Dengan menggunakan metodologi sejarah, tulisan ini membuktikan bahwa perkawinan merupakan cara efektif yang dijalani oleh orang Melayu dalam rangka berintegrasi dan berbaur dengan penduduk lokal. Dari perkawinan tersebut,lahir gelaran baru bagi keturunan mereka yang disebut Incek, perkawinan campuran periode berikutnya disebut tubaji, dan selanjutnya dalam berintegrasi dengan adanya mereka diberi gelar Makassar yang disebut paddaengang.
"Gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis"; Contribution of local knowledge to the expansion of the Banten Sultanate on the Nusantara spice route Rismawidiawati, Rismawidiawati; Handoko, Wuri; Tabroni, Roni; Hamid, Abd. Rahman; Subair, Muh.
Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia Vol. 24, No. 3
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

So far, the trade and spice route historiography has focused on social, political, and economic aspects. This discussion is also fragmentarily or is part of another focus. No studies have discussed the relationship between local knowledge practices, spice routes, power networks, and Islamization. However, the spice trade and Islamization are two intersecting events important for their connection with the local culture. This article assumes that there was a local knowledge used as a strategy by the Banten rulers as a response to trade, Islamization, and power networks in the sixteenth and seventeenth centuries. It finds that Sultan Maulana Yusuf’s policy, known as “gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis”, was a local knowledge that continued to be used by Banten rulers throughout the sixteenth-seventeenth centuries. This local knowledge was transformed from its literal meaning of “building cities and fortresses from bricks and corals” into a metaphor representing development that considered the duality of Banten’s potential. This local knowledge became the foundation stone for the strategies of Banten’s rulers until Sultan Ageng Tirtayasa to respond the challenges posed by the trade, power network, and Islamization. This application of the local knowledge carried the Banten Sultanate to its peak of advancement during the reign of Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). In his sponsorship of this local knowledge, the ruler of the Banten appears as a technocrat, trader, scholar, leader, and ruler who paved the way for the expansion of the Banten Sultanate. This local knowledge was passed down from generation to generation and remains the local knowledge of the Banten people today. This study reconstructs the historiography of the existing spice route by according local knowledge (gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis), the leading role in shaping the expansion of the Banten Sultanate in the century of the spice trade and the extension of the spice route.
Perkampungan Kristen Di Muna (1920 – 1998) Rismawidiawati, Rismawidiawati
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 2 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (640.845 KB) | DOI: 10.52829/pw.144

Abstract

Saat ini, umat Kristen di Kabupaten Muna memang minoritas, namun perkampungan Kristen yang ada di Wale-ale Kabupaten Muna telah ada sejak zaman Hindia Belanda. Ditambah gerakan Kahar Muzakkar, membuat banyak masyarakat muslim yang melarat kehidupannya  memberikan peluang bagi Agama Kristen untuk bertindak sebagai juru selamat bagi mereka yang memerlukan bantuan. Pada masa inilah Agama Kristen mulai dikenal dan mengalami perkembangan kuantitatif. Berdasar latar tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk mengurai proses munculnya perkampungan Kristen di Kabupaten Muna, mengurai proses masuknya agama Kristen di Kabupaten Muna dan menjelaskan faktor pendukung dan penghambat perkembangan Agama Kristen di Kabupaten Muna. Tulisan ini menggunakan metode sejarah, dengan mengikuti empat langkah yaitu: 1) mencari dan mengumpulkan sumber, yakni sumber primer dan sumber sekunder. 2) melakukan kritik terhadap isi dokumen agar mendapatkan fakta sejarah, 3) dilakukan yaitu interpretasi dimana data yang telah di kritik selanjutnya disebut sebagai fakta sejarah dan 4) historiografi yang merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian prosedur kerja metode sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) proses masuknya Agama Kristen di Kabupaten Muna tidak terlepas dari perkembangan pelayaran bangsa-bangsa Barat ke Indonesia yang disertai dengan upaya Kristenisasi, 2) Pada awalnya penduduk Wale-Ale telah memeluk agama Islam. Akan tetapi kedatangan para pastor di Wale-ale mempengaruhi anak-anak penduduk Wale-ale dengan bersikap ramah kepadanya. Penduduk yang tadinya beragama Islam melakukan pindah agama menjadi penganut Kristiani dan 3) Faktor pendukung penyebaran ajaran Kristen di Wale-ale karena adanya kemiskinan dan keterbelakangan penduduk sehingga para pastor dengan mudah mempengaruhi mereka. Faktor penghambat penyebaran ajaran Kristen di Wale-ale adalah bahwa masyarakat Wale-ale sebelumnya telah memeluk agama Islam, juga perubahan politik yang berubah-berubah sehingga berupa pula kebijakan terhadap misionaris.____________________________________________________________At present, Christians in Muna Regency are indeed a minority. But the Christian village in Muna Wale-ale has been existing since the days of the Dutch East Indies. Another side, the Kahar Muzakkar movement, made many Muslim communities destitute of their lives. This situation provides an opportunity for Christianity to act as a savior for those who need help. At this time the Christian Religion began to be known and experienced quantitative development. Based on the background of the study, this study aims to unravel the process of the emergence of Christian villages in Muna Regency, unravel the process of entry of Christianity in Muna Regency and explain the supporting and inhibiting factors of the development of Christianity in Muna Regency. This paper uses the historical method, following the four steps of the research step, namely: 1) finding and collecting resources related to research, namely primary sources and secondary sources. 2) criticizing the contents of the document in order to get historical facts, 3) carried out namely the interpretation where the data that has been criticized is then referred to as historical facts and 4) historiography which is the last stage of the whole series of historical methods work procedures. The results showed that 1) the process of entering Christianity in Muna Regency was inseparable from the development of  Western shipping to Indonesia accompanied by Christianisation efforts. 2) Initially, the population of Wale-Ale had embraced Islam. But the arrival of priests at Wale-ale affected the children of Wale-ale residents by being friendly to him. Residents who were previously Muslims converted to Christianity and 3) Factors supporting the spread of Christianity in Wale-ale because of poverty and backwardness of the population so that priests easily influenced them. The inhibiting factor in the spread of Christian teachings at Wale-ale was that the Wale-ale community had previously embraced Islam, as well as changing political changes in the form of policies towards missionaries.
Sultan La Elangi (1578-1615 M) (Arkeologi Makam Sang Perintis Martabat Tujuh di Kesultanan Buton) Rismawidiawati, Rismawidiawati
PUSAKA Vol 3 No 2 (2015): Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (619.647 KB) | DOI: 10.31969/pusaka.v3i2.143

Abstract

Makam-makam kuno sebagai bukti sejarah di Indonesia banyak yang sudah direnovasi dan menyisakan informasi yang sedikit tentang tokoh yang terkait dengannya, hal ini menyulitkan kajian arkeologi secara mandiri sebagaimana terjadi pada makam Sultan La Elangi yang sudah direnovasi. Metode yang digunakan yaitu metode penelitian deskriptif eksploratif, yaitu penelitian kualitatif yang dilakukan dengan memberikan gambaran tentang data arkeologi makam dan peran Sultan La Elangi. Penelitian menunjukkan bahwa; Bentuk awal makam Sultan La Elangi cukup sederhana dan tidak menunjukkan kesan mewah sebagaimana layaknya seorang raja. Morfologi makam Sultan hanya terdiri dari nisan tanpa jirat permanen. Bentuk nisan menyerupai menhir tanpa ukiran yang terbuat dari endapan tetesan air gua batu, yang disebut stalaktit atau stalakmit. Hal ini dimaksudkan untuk melanggengkan suasana sejuk pada makam. Sementara peran Sultan La Elangi yaitu pada masa pemerintahannya banyak sistem yang dibuat dan ditata guna kelancaran roda pemerintahan. Diantaranya, undang-undang dasar kesultanan yang sarat dengan konsep Martabat tujuh.
Peran Guru Pada Proses Belajar dari Rumah Selama Covid-19 di SMPN 1 Sungguminasa Gowa Sulawesi Selatan Rismawidiawati, Rismawidiawati; Maryam, Andi
PUSAKA Vol 9 No 1 (2021): Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31969/pusaka.v9i1.479

Abstract

Pandemi COVID-19 ini tidak hanya membuat masyarakat Indonesia berada pada krisis kesehatan, tetapi juga krisis ekonomi serta krisis pembelajaran. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Surat Edaran nomor 4 tahun 2020 tentang Belajar dari Rumah (BDR) untuk mengatur pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada masa pandemi ini. Hal ini untuk mendorong dan menciptakan proses belajar dari rumah yang lebih efektif. Seluruh satuan Pendidikan memiliki perannya masing-masing. Tulisan ini fokus pada peran guru pada proses belajar mengajar selama COVID-19 di SMPN 1 Sungguminasa Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru di daerah perkotaan ternyata juga menemukan kesulitan dalam melakukan proses belajar mengajar selama pandemi COVID-19 (Maret – Juli 2020). Peran guru yang tidak dapat berjalan efektif ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu sarana dan prasarana pendukung termasuk jaringan internet, siswa dan orang tua. Faktor internal yaitu kemampuan guru baik penggunaan sarana dan prasana maupun kemampuan membagi waktu karena pengaruh bekerja dari rumah (work from house/WFH). Di tengah keterbatasan pelaksanaan BDR, para guru di SMP 1 Sungguminasa memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk tetap memberikan pengajaran.
Pesan-pesan Toleransi dalam Khotbah Jumat di Parepare Sulawesi Selatan Subair, Muh; Rismawidiawati, Rismawidiawati
PUSAKA Vol 9 No 2 (2021): Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31969/pusaka.v9i2.523

Abstract

Mimbar khutbah Jumat kerap dianggap menjadi salah satu media penyebaran hoax atau informasi yang tidak benar. Khotbah Jumat diasumsikan ada yang berisi pesan-pesan yang tidak sejalan dengan pesan takwa, yaitu pesan-pesan yang bernada mencela, mencaci-maki dan menyalahkan kelompok lain. Berdasarkan kenyataan tersebut, tulisan ini memfokuskan kajiannya terhadap konten khotbah Jumat disertai analisa tingkatan toleransi khatib berdasarkan isi pesannya. Kualitatif konten analisis adalah pendekatan yang dipilih untuk menggambarkan topik-topik yang terkandung dalam khotbah Jumat, dengan menggunakan Teknik kajian teks, wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan khotbah Jumat secara kultural tidak mudah untuk dimanfaatkan sebagai media penyebaran hoax. Bahkan pelaksanaan khubtah Jumat secara prosedural ada yang didukung oleh Lembaga Dakwah, Pengurus Masjid dan Instansi Pemerintah. Dukungan tersebut antara lain berbentuk pengaturan jadwal khatib dan kontrol terhadap tema atau topik kutbah Jumat. Pengaturan khotbah Jumat kadang terkendala karena kurangnya tenaga khatib untuk naib, dan minimnya peran Lembaga Dakwah, dan instansi terkait dalam proses pembinaan khatib, yang kemudian berpengaruh terhadap bentuk penyampaian khotbah Jumat yang mayoritas dilakukan tanpa membaca teks. Penelitian ini menemukan adanya pesan-pesan toleransi dalam dua khutbah dari tujuh khutbah yang menjadi sasaran kajian. Pesan-pesan tersebut adalah pesan kemaslahatan umat, persatuan umat, pentignya memberi rasa aman kepada sesama, dan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama manusia.
Multilingualism, Technology, and Religious Moderation in Indonesian Islamic Boarding Schools Subair, Muh.; Syamsurijal, Syamsurijal; Rismawidiawati, Rismawidiawati; Idham, Idham; Muslim, Abu; Nur, Muhammad
International Journal of Language Education Vol. 8, No. 3, 2024
Publisher : Universitas Negeri Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26858/ijole.v8i3.66498

Abstract

Communities that can speak more than one language as a daily habit are not only happening in the present era but have long existed in the pesantren environment. However, multilingualism in pesantren is often only seen as a capacity enhancement of the santri's knowledge. On the other hand, the multilingual ability of the Santri is an asset in forming an attitude of religious moderation. This article then presents the results of qualitative research using the concept of additive multilingualism which focuses on pesantren students in Indonesia. Through observations, interviews, and literature review, this research can describe the reality of multilingualism in pesantren and its impact on the religious attitudes of its santri. It turns out that the religious moderation attitude of the students is closely related to the multilingual learning process in pesantren that takes place with technological restrictions. The application of additive multilingualism is aligned with the pillars of religious moderation in four ways. First, respect for locality is reflected in the Santri's habit of using local languages. Second, multilingualism is an expression of anti-violence, this is reflected in Santri's acceptance of linguistic and ethnic diversity as a brotherhood base. This is what manifests in the Third pillar by making santri a tolerant community as a result of learning from the reality of ethnic and linguistic diversity in their environment.  Fourth, the introduction of santri to foreign languages is directed to reaffirm their national commitment through the use of foreign languages in flag ceremonies. The limitation of technology in multilingual learning is also intended to keep students from the bad influence of technology and to maintain the discipline of students in maintaining a pesantren culture that is friendly to locality and sensitive to the times