Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

PENETAPAN WILAYAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA DITINJAU DARI ASAS KEPASTIAN HUKUM Sri Ayu Astuti; Nur Rachmansyah
Jurnal de Facto Vol 4 No 1 (2017)
Publisher : Pascasarjana Universitas Balikpapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Problematika tumpang tindih dalam perizinan terjadi tanpa ada pejabat administrasi negara yang dapat dimintakan pertanggungjawaban. Artinya, fungsi izin (vergunning) sebagai instrumen tata usaha negara untuk pengendalian menjadi kehilangan fungsinya. Sementara itu, dari sisi kepentingan usaha, perizinan yang demikian membuat proses perizinan tidak hanya menjadi rumit tetapi juga berisiko tinggi, pengambilan keputusan cenderung berbasis legal formil dan membuka ruang diskretif, dan mengahancurkan sendi-sendi kepastian hukum bahkan koruptif. Hal ini pada akhirnya memberikan kesempatan terjadinya pelaksanaan kegiatan usaha yang mengesampingkan proses perizinan yang harus dijalani. Ketidakpastian hukum juga terjadi karena tidak adanya instrumen dalam pengawasan (second line) pemberian izin dari pusat kepada daerah. Hal ini kemudian memberikan celah bagi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara sewenang-wenang. Untuk metode penelitian ini, peneliti menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu metode yang meninjau dan menganalisis objek penelitian dengan menitikberatkan pada aspek-aspek yuridis yang terkait dengan objek penelitian. Bahwa Pemerintah Daerah Penajam Paser Utara dalam melakukan penetapan wilayah perkebunan kelapa sawit tidak mentaati peraturan perundang-undangan. Sehingga menyebabkan berbenturan antara izin wilayah perkebunan kelapa sawit dengan Kawasan Pelestarian Alam Taman Hutan Raya (tahura). Dalam hal pemberian izin Pemerintah Daerah Penajam Paser Utara seharus memperhatikan ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang dapat Dikonversi. Dengan demikian, berkas perizinan perkebunan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Penajam Paser Utara tersebut tidak sah dan melanggar ketentuan Peraturan perundang-undangan.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL DI KOTA SAMARINDA Sri Ayu Astuti; Andi Rustandi
Jurnal de Facto Vol 4 No 2 (2017)
Publisher : Pascasarjana Universitas Balikpapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Facebook merupakan salah satu bentuk dari media sosial yang seharusnya menjadi salah satu tempat untuk mengekspresikan diri namun pada kenyataannya berbelok menjadi pemantik konflik. Mudahnya untuk membuat akun facebook sehingga memunculkan akun-akun palsu yang kemudian menuliskan/meneruskan berita tidak benar yang pada akhirnya merugikan pihak lain. Status facebook yang mengekspresikan keadaan yang sedang dialami atau pun keadaan diri sendiri yang kemudian dikirim di akun pribadi maupun group facebook terbesar kota samarinda dengan konotasi negatif dapat dianggap penghinaan atau pencemaran nama baik apabila ada kaitannya dengan orang lain. Sulitnya untuk membedakan antara kebebasan mengekspresikan diri dengan penghinaan, hal ini dikarenakan tidak adanya tolak ukur untuk sebuah kebebasan, sehingga menyebabkan setiap orang memiliki pandangannya masing-masing. Akibatnya banyak penghinaan “berlindung” didalam kebebasan berekspresi, padahal penghinaan dalam wujud pencemaran nama baik adalah pembunuhan karakter. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis Empiris yaitu penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh data secara langsung dari Kepolisian Resort Kota Samarinda pada unit criminal khusus tentan pencemaran nama baik melalui media sosial. Kebebasan berekspresi/berpendapat di muka umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3) pada Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kebebasan berekspresi/berpendapat dengan menggunakan teknologi diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik menimbulkan dilema hukum yang berkembang di masyarakat.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN BATU BARA BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN DI KALIMANTAN TIMUR Sri Ayu Astuti; Agustinus Simandjuntak
Jurnal de Facto Vol 5 No 2 (2018)
Publisher : Pascasarjana Universitas Balikpapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tidak adanya parameter obyektif mengenai wujud dari pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang tepat, tidak jelasnya bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam menetapkan bentuk dan jenis kegiatan menyangkut pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan sifat dan karakteristik masyarakat serta tidak jelasnya mekanisme pengawasan dari pemerintah dianggap sebagai penyebab tidak efektifnya pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dalam usaha pertambangan. Untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut maka pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana yang khususmengatur konsep pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dalam usaha pertambangan. Peraturan pelaksana itu ialah Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 41 Tahun 2016 tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Masyrakat pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pendekatan masalah yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan yuridis empiris pendekatan masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat harus dilakukan di lapangan dengan menggunakan metode dan teknik penelitian lapangan, mengadakan kunjugan kepada masyarakat dan berkomunikasi dengan para anggota masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan usaha pertambangan batu bara berdasarkan prinsip keadilan di Kalimantan Timur, adalah pada kegiatan usaha pertambangan di Indonesia berakar dari dua konsepsi berbeda yang dikembangkan oleh para pemikir Barat, yang terdiri dari konsep pengembangan masyarakat (Community Development) dan konsep pemberdayaan (Empowerment).
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL DI KOTA SAMARINDA Sri Ayu Astuti; Andi Rustandi
Jurnal de Facto Vol 5 No 1 (2018)
Publisher : Pascasarjana Universitas Balikpapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Facebook merupakan salah satu bentuk dari media sosial yang seharusnya menjadi salah satu tempat untuk mengekspresikan diri namun pada kenyataannya berbelok menjadi pemantik konflik. Mudahnya untuk membuat akun facebook sehingga memunculkan akun-akun palsu yang kemudian menuliskan/meneruskan berita tidak benar yang pada akhirnya merugikan pihak lain. Status facebook yang mengekspresikan keadaan yang sedang dialami atau pun keadaan diri sendiri yang kemudian dikirim di akun pribadi maupun group facebook terbesar kota samarinda dengan konotasi negatif dapat dianggap penghinaan atau pencemaran nama baik apabila ada kaitannya dengan orang lain. Sulitnya untuk membedakan antara kebebasan mengekspresikan diri dengan penghinaan, hal ini dikarenakan tidak adanya tolak ukur untuk sebuah kebebasan, sehingga menyebabkan setiap orang memiliki pandangannya masing-masing. Akibatnya banyak penghinaan “berlindung” didalam kebebasan berekspresi, padahal penghinaan dalam wujud pencemaran nama baik adalah pembunuhan karakter. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis Empiris yaitu penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh data secara langsung dari Kepolisian Resort Kota Samarinda pada unit criminal khusus tentan pencemaran nama baik melalui media sosial. Kebebasan berekspresi/berpendapat di muka umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3) pada Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kebebasan berekspresi/berpendapat dengan menggunakan teknologi diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik menimbulkan dilema hukum yang berkembang di masyarakat.
Evaluating the Performance of Zero-Inflated and Hurdle Poisson Models for Modeling Overdispersion in Count Data Aswi Aswi; Sri Ayu Astuti; Sudarmin Sudarmin
Inferensi Vol 5, No 1 (2022): Inferensi
Publisher : Department of Statistics ITS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/j27213862.v5i1.12422

Abstract

A Poisson regression model is commonly used to model count data. The Poisson model assumes equidispersion, that is, the mean is equal to the variance. This assumption is often violated. In count data, overdispersion (the variance is larger than the mean) occurs frequently due to excessive zeroes in the response variable. Zero-inflated Poisson (ZIP) and Hurdle models are commonly used to fit data with excessive zeros. Although some studies have compared the ZIP and Hurdle models, the results are inconsistent. This paper aims to evaluate the performance of ZIP and Hurdle Poisson models for overdispersion data through both simulation study and real data. Data were simulated with three different sample sizes, six different means, and three different probabilities of zero with 500 replications. Model goodness-of-fit measures were compared by using Akaike Information Criteria (AIC). Overall, the ZIP model performed relatively the same or better than the Hurdle Poisson model under different scenarios, but both ZIP and Hurdle models are better than the standard Poisson model for overdispersion in count data.
ERA DISRUPSI TEKNOLOGI 4.0 DAN ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN DATA HAK PRIBADI sri ayu astuti
Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL) Vol 1, No 1 (2020): Vol 1 No 1 tahun 2020
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (990.695 KB) | DOI: 10.33751/pajoul.v1i1.2035

Abstract

ABSTRACTThe stopping of the Covid Pandemic -19 gives the effect of changes in social interaction in life in the community especially when it is disrupted which has controlled human life sociologically and psychologically in every movement in life, especially since the existence of a pandemic there has been a change in work culture that was originally in the conventional form of switching to online space because of the policy of doing work by way of WFH work from home. Technological advances in the era of the utilization of technology 4.0 have become evident in their use, not even in their total mastery of internet applications, the interaction of everyone in Indonesia, including ethical behavior in communication in the technology space, eventually leading to legal problems that intersect with law enforcement of ITE Law Number 19 of 2016 against function of its use. every person who is in the vortex of using technological advances must be confronted with no maximum legal efforts to do legal protection of personal rights including personal data that is so easily accessed by implementing an internet-based technology system. This is the responsibility of the state, namely the organizer of the Government of the Republic of Indonesia in the jurisdiction of Indonesia, which grants permission to operate as an owner and manager of a technological system that carries out its operations in the sovereignty of a State, which can impose strict sanctions on the legal remedies for protecting every citizen from criminal acts of moving virtual.Keywords: Disruption Era, Technological Uses, Personal data protection ABSTRAK Hentakan adanya Pandemi Covid -19 memberikan pengaruh terjadinya perubahan interaksi sosial dalam kehidupan dalam masyarakat terlebih diera disrupsi yang telah menguasai hidup manusia secara sosiologis dan psykologis disetiap gerak dalam kehidupan, apalagi sejak adanya pandemi terjadi perubahan budaya kerja yang semula dalam bentuk konvensional beralih ke ruang online karena adanya kebijakan melakukan pekerjaan dengan cara WFH work from home. Kemajuan teknologi dalam era kemanfaatan teknologi 4.0 menjadi nyata penggunaannya, bahkan belum secara total  penguasaannya pada aplikasi internet, interaksi setiap orang di Indonesia termasuk perilaku etika dalam komunikasi di ruang teknologi hingga akhirnya menimbulkan permasalahan hukum yang bersinggungan dengan penegakkan hukum UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 terhadap fungsi penggunaannya. setiap orang yang berada dalam pusaran penggunaan kemajuan teknologi harus dihadapkan tidak maksimalnya upaya hukum dilakukannya perlindungan hukum hak pribadi termasuk data-data pribadi yang begitu mudah diakses dengan penerapan sistem teknologi berbasis internet. Hal ini menjadi tanggungjawab negara yakni penyelenggara Pemerintah Republik Indonesia di wilayah hukum Indonesia yang memberikan ijin beroperasinya pemilik sekaligus pengelola sistem teknologi yang melakukan  operasionalnya dalam kedaulatan suatu Negara, yang dapat memberikan sanksi tegas terhadap upaya hukum perlindungan setiap warga negara atas tindak pidana kejahatan yang bergerak secara virtual.Kata Kunci : Era Disrupsi, Kemanfaatan Teknologi, Perlindungan data pribadi
MODEL PENCEGAHAN BERBASIS MASYARAKAT TERHADAP TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING DI WILAYAH PERBATASAN KALIMANTAN UTARA Aris Irawan; Sri Ayu Astuti; mawardi khairi
Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL) Vol 1, No 2 (2020): Volume 1, Nomor 2 Juli-Desember 2020
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.572 KB) | DOI: 10.33751/pajoul.v1i2.2878

Abstract

ABSTRACT Indonesia's forests are a priceless national treasure. As the 34th province in Indonesia, North Kalimantan (Kaltara) has abundant natural resource potential (SDA). In Kaltara there are forest resources located in 2 districts, namely Malinau Regency and Nunukan Regency. This forest is also known as the “Heart of Borneo”. Illegal logging is a form of deviation from the proper use of the forest. The regulatory conditions and criminal law bases of prevention and eradication of illegal logging are not comprehensive enough and can answer the problem. The main problem in this research is First, how is the problem of handling illegal logging in the border area of North Kalimantan, Second, what is the community-based prevention model for action. Illegal Logging in the border area of North Kalimantan.To answer the problem formulation of this research, the research method used is juridical empirical legal research which in other words is a type of normative legal research and can also be called constitutional research.This research will be carried out in North Kalimantan, several problems in handling Illegal Logging Crime in the border area of Indonesia, including organized crime so it is difficult to disclose it, involvement of intellectual actors and including law enforcers, weak public knowledge. Then what is the prevention of community-based Illegal Logging Crime, namely utilizing community participation in order to prevent the occurrence of Illegal Logging Crime in North Kalimantan. Keywords: Prevention, Illegal Logging, Society. ABSTRAK Hutan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang tak ternilai harganya. Sebagai provinsi ke-34 di Indonesia, Kalimantan Utara (Kaltara) memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah.  Di Kaltara terdapat sumber daya hutan yang terletak di 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan. Hutan ini juga dikenal dengan julukan sebagai “Heart of Borneo“. Pembalakan liar adalah bentuk penyimpangan dari pemanfaatan hutan yang seharusnya. Kondisi pengaturan dan dasar hukum pidana dari pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar belum cukup komperehensif dan dapat menjawab persoalan.Yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah Pertama, Bagaimanakah problematika penanganan  Illegal Logging di daerah perbatasan Kalimantan utara, Kedua, Bagaimanakah model pencegahan berbasis masyarakat terhadap Tindak Pidana Illegal Logging di daerah perbatasan Kalimantan Utara.Untuk menjawab rumusan permasalahan dari penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis  empiris yang dengan kata lain adalah jenis penelitian hukum normatif dan dapat disebut pula dengan penelitian Undang-Undang,Penelitian ini akan dilaksanakan di Kalimantan Utara, beberapa problematik penanganan Tindak Pidana Illegal Logging di wilayah perbatasan Indonesia diantaranya termasuk kejahatan terorganisir sehingga sulit pengungkapannya, terlibatnya pelaku intelektual dan termasuk penegak hukum, lemahnya pengetahuan masyarakat. Kemudian apa itu pencegahan Tindak Pidana Illegal Logging berbasis masyarakat yaitu memanfaatkan peran serta masyarakat dalam rangka mencegah terjadinya Tindak Pidana Illegal Logging di Kalimantan Utara. Kata Kunci : Pencegahan, Illegal Logging, Masyarakat. 
PERLINDUNGAN HAK-HAK BURUH YANG MENDAPATKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) OLEH PERUSAHAAN PADA MASA PANDEMI COVID-19 Mawardi Khairi; Aris Irawan; Sri Ayu Astuti
Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL) Vol 2, No 2 (2021): Volume 2, Nomor 2 Juli-Desember2021
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (291.568 KB) | DOI: 10.33751/pajoul.v2i2.4382

Abstract

ABSTRAK Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) per 1 Mei 2020, jumlah pekerja sektor formal yang telah dirumahkan akibat pandemi Covid-19 sebanyak 1.032.960 orang dan pekerja sektor formal yang di-PHK sebanyak 375.165 orang. Sedangkan pekerja sektor informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 314.833 orang. Total pekerja sektor formal dan informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 1.722.958 orang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi buruh yang di PHK akibat pandemic COVID-19 serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tenaga kerja terhadap perusahaan yang merugikannya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan konsep dan pendekatan undang-undang. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah pengusaha wajib memberikan uang pesangon bagi tenaga kerja yang di PHK sesuai dengan Pasal 156 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai bentuk perlindungan hukum. Upaya hukum yang dapat dilakukan tenaga kerja yang merasa dirugikan akibat dirumahkan dan di PHK adalah upaya hukum litigasi dan non litigasi. Kata Kunci: Perlindungan hukum, Buruh, PHK ABSTRACT Based on data from the Ministry of Manpower of the Republic of Indonesia (Kemennaker RI) as of May 1, 2020, the number of formal sector workers who have been laid off due to the Covid-19 pandemic is 1,032,960 people and formal sector workers who have been laid off as many as 375,165 people. Meanwhile, the informal sector workers affected by Covid-19 were 314,833 people. The total number of formal and informal sector workers affected by Covid-19 is 1,722,958 people. The purpose of this study is to find out how legal protection is for workers who have been laid off due to the COVID-19 pandemic as well as legal remedies that can be taken by workers against companies that harm them. This research is a normative legal research with a concept approach and a law approach. The conclusion in this study is that employers are obliged to provide severance pay for workers who have been laid off in accordance with Article 156 of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower as a form of legal protection. Legal remedies that can be taken by workers who feel aggrieved due to being laid off and laid off are litigation and non-litigation legal remedies.Keywords: Legal protection, Labor, layoffs
IMPLEMENTASI KEWENANGAN PEJABAT BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM PROSES PENGUKURAN TANAH HAK MILIK ADAT UNTUK PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH PERTAMA KALI BERDASARKAN ASAS CONTRADICTIORE DELIMITATIE Asep Permana; Sri Ayu Astuti; Mus taqim
Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL) Vol 2, No 1 (2021): Volume 2, Nomor 1 Januari-Juni 2021
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (634.649 KB) | DOI: 10.33751/pajoul.v2i1.3408

Abstract

ABSTRAK Salah satu kewenangan pejabat BPN adalah menerbitkan sertifikat hak atas bidang tanah milik perseorangan atau badan hukum di setiap kabupaten atau kota. Berbagai permasalahan yang muncul dilapangan. Tidak hanya sertifikat tanah pemohon yang belum tuntas, namun juga terdapat kendala dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah pada saat proses pengukuran dimana kurangnya kesadaran pemegang hak untuk menjaga batas bidang tanah, tanda batas yang hilang, Batas yang tumpang tindih seringkali menjadi kendala dalam pengukuran. Belum lagi jika para pihak tidak hadir pada saat penetapan batas (karena kesibukan dan alasannya) sehingga persoalan sengketa waris / budel tanah yang sudah pasti membuat proses musyawarah sangat sulit dilakukan dalam waktu singkat. waktu. Dengan tenggat waktu dan target pendaftaran hak atas tanah yang sangat ketat, menjadi sangat sulit bagi petugas pengukur untuk memperhatikan dan memastikan prosedur penerbitan sertifikat berjalan sesuai dengan prinsip Contradictiore Delimitatie. Berkaitan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1) Apa kewenangan aparat Badan Pertanahan Nasional untuk proses pengukuran yang tidak melibatkan pemilik lahan yang berbatasan dengan pemohon? 2) Indikator dan solusi apa yang perlu diterapkan untuk mencegah penyimpangan dari proses pengukuran yang tidak melibatkan pemilik lahan yang berbatasan dengan pemohon? Untuk menjawab permasalahan diatas maka penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, untuk memperoleh data sekunder melalui wawancara dengan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor, sedangkan untuk data primer penulis melakukan studi pustakawan dengan mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan materi dan hukum agraria. . -Bahan lain yang berhubungan dengan skripsi ini. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai kepastian hukum atas objek persil tanah, kegiatan pengukuran lapangan tidak lepas dari kegiatan pemetaan. Oleh karena itu dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan sering disebut dengan kegiatan Pengukuran dan Pemetaan Kadastral yang bertujuan untuk Membuat Kerangka Pemetaan Dasar, Peta Dasar, Peta Persil Tanah dan Peta Registrasi. Indikator yang dapat diterapkan agar proses pengukuran bidang tanah yang subjek hukumnya tidak diketahui dalam rangka pendaftaran tanah dapat berjalan dengan baik.Kata Kunci: Pelaksanaan Kewenangan, Pendaftaran Hak Atas Tanah.     ABSTRACT One of the authorities of BPN officials is to issue land title certificates to parcels of land owned by individuals or legal entities in each regency or city. Various problems that arise in the field. Not only the non-completion of the land certificate for the applicant, but there were also problems in the issuance of land title certificates during the measurement process where the lack of awareness of rights holders to maintain the boundaries of land parcels, missing boundary marks, overlapping boundaries often became obstacles in measurement. This is not to mention if the parties are not present at the time of the boundary determination (due to their busyness and reasons) so that the issue of inheritance disputes / budel land which is certain makes the consensus process very difficult to do in a short time. With the deadline and the target for registration of land rights which is very tight, it becomes very difficult for measuring officers to pay attention to and ensure that the certificate issuance procedure runs according to the Contradictiore Delimitatie principle. In this regard, the issues that will be discussed in the research are: 1) What is the authority of the National Land Agency officials for the measurement process that does not involve land owners who border the applicant? 2) What indicators and solutions need to be applied to prevent deviations from the measurement process that does not involve land owners who border the applicant? To answer the above problems, the authors conducted research using the normative juridical research method, to obtain secondary data through interviews with the Bogor Regency National Land Agency, while for primary data the authors conducted a librarian study by studying books related to agrarian law and materials. -Other materials related to this thesis. Based on the results of the research, the authors conclude: The results of the researcher show that in order to achieve legal certainty for the object of the land parcel, the field measurement activity cannot be separated from the mapping activity. Therefore, in laws and regulations in the land sector, it is often referred to as Cadastral Measurement and Mapping activities which aim to Create a Basic Mapping Framework, Base Map, Land Parcel Map and Registration Map. Indicators that can be applied so that the measurement process of land parcels whose legal subjects are unknown in the context of land registration can run well. If they find this, the measuring officer in the field must ask for a power of attorney from the owner of the land object to show the boundaries. Keywords: Authority Implementation, Registration of Land Rights.
KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM (JPU) DALAM MELAKUKAN UPAYA HUKUM LUAR BIASA (PENINJAUAN KEMBALI) DITINJAU DARI HUKUM PIDANA (STUDI KASUS DJOKO CHANDRA) Mali Diaan; Sri Ayu Astuti; yeny Nuraeni
Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL) Vol 1, No 2 (2020): Volume 1, Nomor 2 Juli-Desember 2020
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (216.996 KB) | DOI: 10.33751/pajoul.v1i2.2881

Abstract

ABSTRACT One of the debates in criminal procedural law at this time is the issue of judicial review, which until now is considered  to be still causing controversy by various  law  enforcers  and  academics  that  have  not  reflected  legal  certainty  and justice. The research method uses the normative juridical method with an emphasis on literature study. analysis is carried out on legal norms, both law in statutory regulations and law in court decisions). The conclusion of this research is that Re- examination (PK) is an extraordinary legal effort given by law to convicts or their heirs who are victims of injustice from the implementation of the criminal penalty itself, but it is possible for the public prosecutor to file an appeal, if the free decision contains and includes “Nonuridical” considerations in a decision so that the decision is considered “exceeding” the limit of the authority to judge (excess of power), such as considerations of release on political, humanitarian, religious reasons, and so on. Keywords: Reconsideration, Public Prosecutor, Authority ABSTRAK Salah  satu  yang  menjadi  perdebatan  dalam  hukum  acara  pidana  saat  ini adalah mengenai masalah upaya hukum Peninjauan Kembali yang sampai sekarang ini dinilai masih menimbulkan kontroversi oleh berbagai kalangan penegak hukum dan akademisi  yang  belum  mencerminkan  kepastian  dan  keadilan  hukum.  Metode penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan menitik beratkan pada studi kepustakaan. analisis dilakukan terhadap norma hukum, baik hukum dalam aturan perundang-undangan maupun hukum dalam putusan-putusan pengadilan). Adapun kesimpulan dari penlitian ini adalah bahwa Peninjuan Kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa yang diberikan undang-undang kepada terpidana atau ahli warisnya yang  menjadi  korban  ketidakadilan  dari  pelaksanaan  hukuman  pidana  itu  sendiri namun penuntut umum dimungkinkan mengajukan kasasi, apabila putusan bebas mengandung dan memasukkan Pertimbangan “nonyuridis” dalam putusan sehingga putusan dianggap “melampaui” batas kewenangan mengadili (excess of power), seperti pertimbangan pembebasan atas alasan politik, kemanusiaan, agama, dan sebagainya. Kata Kunci : Peninjauan Kembali, Jaksa Penuntut Umum, Kewenangan