Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PELAKSANAAN GUGATAN SEDERHANA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KREDIT DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A MATARAM Agustawan, Komang Juli; Suarna, I Nyoman; Sujana, I Made Putu
Jurnal Hukum Agama Hindu Widya Kerta Vol 2 No 1 (2019)
Publisher : Prodi Hukum Agama Hindu Jurusan Dharma Sastra STAHN Gde Pudja Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian tentang pelaksanaan gugatan sederhana dalam penyelesaian sengketa kredit di Pengadilan Negeri Kelas 1a Mataram, mengangkat permasalahan mengenai bagaimana pelaksanaan gugatan sederhana; kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan gugatan sederhana; serta upaya hukum yang dapat dilakukan para pihak.Metode penelitian dilakukan secara normatif-empiris dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute aprroach), pendekatan kualitatif dan pendekatan kasus (case approach). Data yang diperoleh melalui metode observasi partisipan, wawancara dan dokumentasi kemudian dianalisis dengan tiga tahapan yaitu: tahap reduksi, display, dan verifikasi data, untuk selanjutnya data tersebut diinterpretasikan dengan memberikan makna sehingga didapatkan suatu kesimpulan.Hasil dari penelitian ini memberikan pembahasan yaitu: (1) pelaksanaan gugatan sederhana mengacu pada ketentuan Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 mulai dari pemeriksaan, tahapan penyelesaian dan batas waktu penyelesaian. Gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan. Tahapan penyelesaian gugatan sederhana meliputi pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan, penetapan hakim dan panitera pengganti, pemeriksaan pendahuluaan, penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak, pemeriksaan sidang dan perdamaian, pembuktian dan putusan; (2) kendala yang dihadapi dalam penyelesaian gugatan sederhana meliputi kurang koperatifnya para pihak dalam persidangan, kekuatan hukum penetapan hakim, masih belum meratanya informasi yang diketahui masyarakat terkait dengan keberadaan peraturan mahkamah agung yang digunakan sebagai pertimbangan hukum, singkatnya waktu penyelesaian dan nominal gugatan; dan (3) upaya hukum yang ditempuh hanya terbatas pada upaya hukum keberatan.
UPAYA HUKUM TERHADAP PENJUALAN OBAT KERAS TANPA RESEP DOKTER (KAJIAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN HUKUM HINDU) Pratama, I Kadek Dwi Deva; Habibi, Habibi; Suarna, I Nyoman
Jurnal Hukum Agama Hindu Widya Kerta Vol 5 No 2 (2022): Vo. 5 No. 2 Nopember 2022
Publisher : Prodi Hukum Agama Hindu Jurusan Dharma Sastra IAHN Gde Pudja Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53977/wk.v5i2.766

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya hukum terhadap penjualan obat keras tanpa resep dokter dalam perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan perspektif hukum Hindu. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal research) dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil analisa bahan hukum dapat dinyatakan bahwa penjualan obat keras tanpa resep dokter merupakan suatu pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 8 Ayat (1) Huruf (d) Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, sehingga bagi konsumen yang dirugikan, sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dapat menggugat ganti rugi baik melalui lembaga pengadilan maupun di luar pengadilan yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Hal ini merupakan bentuk dari perlindungan hukum represif sedangkan perlindungan hukum preventif dapat melalui KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) serta sosialisasi kepada masyarakat. Selanjutnya dalam perspektif hukum Hindu belum ditemukan secara khusus upaya perlindungan hukum represif atas pelanggaran penjualan obat-obatan keras tanpa resep dokter, namun dari aspek perlindungan hukum preventif mengacu kepada ajaran Ayurveda dimana dijelaskan bahwa “seorang balean mempersiapkan obat dalam berbagai bentuk dan bermanfaat bagi banyak penyakit dan dipersiapkan untuk seorang pasien bukan untuk keperluan banyak orang”. Ajaran inilah yang menjadi dasar hukum secara Hindu mengenai perbuatan yang berhubungan dengan bidang penjualan obat-obatan bagi kesehatan.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN CUTI BERSYARAT DAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI ANAK BINAAN Pidade, I Made Jody Wardana; Suarna, I Nyoman; Lukman, Dwi Ratna Kamala Sari
Jurnal Hukum Agama Hindu Widya Kerta Vol 8 No 1 (2025): Volume 8 Nomor 1 Juni 2025
Publisher : Prodi Hukum Agama Hindu Jurusan Dharma Sastra IAHN Gde Pudja Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53977/wk.v8i1.2477

Abstract

Pembebasan bersyarat merupakan salah satu hak bagi setiap anak binaan pemasyarakatan, namun dalam be- berapa kasus pengajuan bebas tersebut sering menemui hambatan bahkan terdapat anak binaan yang gagal memperoleh bebas bersyarat yang menjadi haknya tersebut. Maka kemudian penelitian ini ditujukan guna mendapatkan informasi tentang factor apa saja yang mempengaruhi serta yang menjadi peng- hambat dalam pemberian bebas bersyarat (Cuti Bersyarat dan Pembebasan Bersyarat) bagi anak binaan khususnya yang berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Lombok Tengah. Penelitian ini bersifat normatif empiris. Data dalam penelitian ini peneliti peroleh dengan melalui metode pengamatan (observasi), wawancara, dokumentasi, dan studi kepustakaan. Yang mana kemudian data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan sosiologis yang kemudian disajikan dengan metode deskriptif kualitatif dengan analisis argumentatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa yang menjadi faktor utama dalam bebas bersyarat bagi anak binaan adalah : 1) faktor internal, yaitu kelakuan anak tersebut saat berada didalam LPKA Lombok Tengah, dan 2) faktor eksternal, yaitu kondisi lingkungan masyarakat sekitar lokasi anak binaan berasal. Serta yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan bebas bersyarat ini ada lah hambatan prosedural (faktor teknis) dan hambatan dari keluarga anak binaan yang lamban melengkapi dokumen bebas bersyarat anak binaan yang bersangkutan (faktor nonteknis).