Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search
Journal : Seri FilsafatTeologi Widya Sasana

Homo Homini Amicus: Tanggungjawab Kultural Gereja Dalam Zaman Ini Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 30 No. 29 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v30i29.16

Abstract

This article is to promote the values of friendship from the Christianity anthropology perspective in the frame of nation community as a shared-home. Very often, friendship is reduced exclusively on ‘in-group’ and enriched by primordial mentality (religion, culture, race, communities in the society). They who don’t agree with the values lived by the ‘in-group’ regarded as ‘the others’, even, treated as dangerous opponents. Firstly, to build a great cultured society, the concept of ‘friendship’ (Latin: amicitia; Greek: philia) should be re-defined. In the Christianity anthropology, friendship, as the highest form of relationship, has its source in the belief that man is created in ‘God’s image’ (Gen 1:26-28), who has the responsibility to manage the shared-world to live together in harmony. Secondly, the Catholic education institutions, from elementary to university, need to continually self-empowered with the spirituality of friendship which promotes more civilized humanity, ‘with all your heart, and with all your soul, and with all your mind, and with all your strength’ (Mark 12:30)
Imago Dei Dan Masa Depan Kita Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 29 No. 28 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Di dalam komunitas umat beriman Kristiani, kita biasa mengatakan bahwa manusia itu adalah “gambar Allah”. Dengan mengatakan demikian, tidak berarti bahwa semuanya jelas dan final. Sebutan bahwa manusia itu “gambar Allah” (Latin: imago Dei), bagi umat Kristiani sesungguhnya mengungkapkan keluhuran jati diri manusia. Dalam kitab Kejadian (1:26- 27; 5:1; 9:6), dipakai dua pilihan kata untuk tujuan yang sama, yakni gambar (Latin: imago) dan rupa (Latin: similitudo). Pertanyaannya: “Apakah pilihan diksi seperti ini hendak mengungkapkan sebuah realitas ‘demikian adanya’ ataukah suatu imajinasi atau kondisi ideal yang harus dicapai? Apakah ada konsekuensi moral-etis atau sosio-religius dari pernyataan iman ini? Apakah ini sebuah theosis ataukah anthroposis?”
Jelajah Mengatasi Parokialisme Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 27 No. 26 (2017)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ada sebuah cerita. Dua orang sahabat berjalan-jalan di hutan. Tiba- tiba mereka mendengar seekor singa mengaum keras. Salah seorang dari mereka segera memutar otak untuk mencari tempat berlindung bagi mereka berdua. Sedangkan yang lain cepat-cepat mengenakan sepatunya untuk lari. Yang pertama keheranan, lalu bertanya: “Kau buat apa? Apakah kau sangka bahwa kau bisa lari lebih cepat daripada singa?” Jawab sahabatnya dengan enteng: “Bukan itu! Aku tidak perlu lari lebih cepat daripada singa. Aku cuma perlu bisa lari lebih cepat daripada engkau!”
“Murid-Murid Yang Diutus”, Sukacita Gereja Indonesia Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 25 No. 24 (2015)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Judul artikel ini meminjam ungkapan Paus Fransiskus yang menyebut Gereja sebagai ‘murid yang diutus’ (EG, 40) atau ‘murid-murid yang diutus’ (EG, 120). Perutusan yang dimaksudkan di sini adalah tugas evangelisasi. Ungkapan ini memiliki padanannya pada rumusan lain yang dipakai dalam Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi (1975) dari Paus Paulus VI, yakni ‘tugas evangelisasi merupakan perutusan hakiki dari Gereja’ (no. 14). Sedangkan Konsili Vatikan II, dalam Dekrit Ad Gentes menulis bahwa “Ecclesia peregrinans natura sua missionaria est” –Gereja peziarah pada hakikatnya misioner (no. 2). Sebagaimana kita ketahui, Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium (November 2013) ini merupakan hasil langsung dari Sinode Para Uskup (Oktober 2012), yang mengambil tema “Evangelisasi Baru untuk Pewartaan Iman Kristiani”. Saya pikir, dokumen ini tentu juga memiliki keterkaitan langsung dengan Ensiklik Lumen Fidei (Juni 2013) dari ‘Tahun Iman’ (2012- 2013), seperti yang telah dicanangkan oleh Paus Benediktus XVI guna membangun kembali antusiasme dan upaya-upaya evangelisasi. Artinya, tugas perutusan –yang sekarang lebih populer dikenal dengan ungkapan ‘evangelisasi’– merupakan jati diri Gereja. Artikel ini akan mencoba menguraikan (kembali) secara singkat ‘arus utama’ yang mengalir dalam ‘cara berada’ umat Allah ini, yakni evangelisasi. ‘Cara berada’ ini akan diteliti dalam kesadaran dan praksis umat Allah di tanah air, sebagaimana itu tampak dalam sharing para aktivis Gereja, yang ikut dalam pertemuan para ketua KKM Keuskupan dan para Dirdios KKI dengan timnya masing- masing selama tahun 2014-2015. Lalu, di masa yang akan datang, kontribusi apakah yang bisa diberikan Gereja Indonesia kepada Gereja Universal?
Kebahagiaan Dalam Diskursus Lintas Budaya Dan Pesannya Untuk Tugas Pewartaan Gereja Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 24 No. 23 (2014)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kurban Yesus di salib tidak lain daripada puncak dari cara-Nyamenghayati seluruh hidup-Nya. Digerakkan oleh teladan-Nya, kita inginmasuk sepenuhnya ke dalam struktur masyarakat, dengan berbagi dalamhidup semua orang, dengan mendengarkan keprihatinan-keprihatinanmereka, dengan membantu mereka secara material dan spiritual dalamkebutuhan-kebutuhan mereka, dengan bersukacita bersama mereka yangbersukacita, menangis dengan mereka yang menangis; sambil bahumembahu bersama mereka, kita terlibat membangun suatu dunia baru.Akan tetapi, kita melakukan itu bukan karena suatu rasa wajib, bukansebagai suatu beban tugas, melainkan sebagai buah dari keputusanpribadi yang membangkitkan sukacita dan memberi makna kepada hidupkita
Nama, Makna, dan Pesan: Perayaan 400 tahun Propaganda Fide dan misi Gereja di tanah air Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 32 No. 31 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v32i31.179

Abstract

Artikel ini mengajak sidang pembaca untuk melihat perayaan 400 tahun usia Propaganda Fide sebagai kesempatan untuk mengapresiasi prestasinya dalam perjalanan yang panjang itu dan sekaligus melihat ke depan, utamanya langkah-langkah misioner yang bisa diupayakan oleh Gereja-Gereja lokal dalam konteksnya masing-masing. Lebih daripada itu, perayaan ini sejatinya mengingatkan Gereja akan jati diri dan tugasnya untuk menjadi saksi Kristus di seluruh dunia dan kepada segala makhluk dengan kuasa Roh Kudus. Kongregasi Suci ‘de Propaganda Fide’, yang sekarang diberi nama baru ‘Dikasteri untuk Evangelisasi’ dan dipimpin langsung oleh Sri Paus, telah didirikan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan tugas perutusan itu sesuai dengan mandat Kristus yang bangkit (lih. Mrk 16:15; Kis 1:8; Mat 28:20). Koordinasi untuk seluruh Gereja itu, khususnya di wilayah-wilayah dengan sebutan ‘daerah misi’, telah dilaksanakan dengan berbagai cara sesuai dengan dinamika sosio-kultural di berbagai tempat di seluruh dunia dan dalam zaman yang terus berubah. Sejarah memang tidak pernah selesai. Narasi evangelisasi juga terus berlanjut, baik secara kelembagaan oleh Dikasteri untuk Evangelisasi dan Keuskupan-Keuskupan maupun lewat inisiatif putra-putri Gereja di dalam lingkungan hidup dan kerja mereka masing-masing. Menemukan terobosan-terobosan yang cerdas dan arif sebagai ekspresi iman kristiani yang hidup dalam dunia yang berubah demikian cepat dan demi dunia-bersama yang lebih bermartabat (Kerajaan Allah) tetap menjadi tantangan Gereja di tanah air Indonesia tercinta ini.
Gereja: Peran Budaya Dalam Masyarakat Majemuk Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 33 No. 32 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v33i32.195

Abstract

Tanggung jawab budaya merupakan panggilan luhur dari Allah kepada setiap orang beriman. Kesadaran ini menjadikan Gereja lebih hidup, karena setiap anggotanya memiliki keyakinan akan perannya sebagai subjek-subjek yang mendapat mandat untuk turut memajukan budaya yang memanusiakan manusia. Pada kenyataannya, setiap kebudayaan, entah kebudayaan etnis entah kebudayaan nasional, tidak pernah lepas dari godaan untuk menjadi hegemonik dengan konstruksi sosial yang oposisional. Justru dalam konteks itulah mandat budaya dalam iman kristiani menjadi relevan. Artikel ini, dengan merujuk pada antropologi kristiani, ingin mengajak sidang pembaca yang budiman untuk tetap aktif memajukan budaya yang memuliakan manusia di tengah budaya yang tidak toleran dan cenderung diskriminatif
Soteriologi Antropologis: Menanggapi Tantangan Fenomena Bunuh Diri I Made Sudhiarsa, Raymundus
Seri Filsafat Teologi Vol. 34 No. 33 (2024)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v34i33.250

Abstract

Bunuh diri ditengarai sebagai fenomena sosial yang semakin mengkhawatirkan baik secara mondial maupun nasional. Jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Banyak Lembaga, baik sekuler maupun religius, baik akademis maupun praktis, telah berupaya merespon dengan penuh minat. Dengan menggunakan data sekunder, baik dalam format cetak maupun elektronik, tulisan ini ingin menelaah masalah kemanusiaan ini dari perspektif teologi, khususnya soteriologi antropologis. Penulis ingin mengajak pembaca untuk bekerja sama menanggapi fenomena ini dari kacamata iman. Pertama, hidup ini harus disyukuri sebagai anugerah Allah. Itulah yang kita sebut ars vivendi, seni hidup beriman, yang bukan hanya sekedar modus vivendi. Lalu, hidup ini perlu diterima sebagai tanggungjawab sosial, yakni mandat Ilahi untuk membangun masyarakat yang saling menolong dan saling mengasihi. Juga, penulis ingin memberi semangat kepada keluarga-keluarga yang anggotanya pernah melakukan bunuh diri dan para penyintas lainnya untuk menghayati hidup ini dengan penuh syukur. Hidup yang dihayati dengan tanggungjawab iman adalah suatu bentuk perayaan keselamatan itu sendiri. Setiap orang yang menghayati hidupnya dalam ketaatan kepada Tuhan, sebagai ars vivendi, akan selalu siap menyerahkan kembali hidupnya dengan sukacita kepada Tuhan. Itulah ars moriendi, meninggal dengan baik.
Spiritualitas Kaum Muda di Tengah Perkotaan dalam Era Digital Manik, Robert Pius; I Made Sudhiarsa, Raymundus; B. Anggur, Evander; Oinik, Leni M.; Paleng, Marto Pusius
Seri Filsafat Teologi Vol. 35 No. 34 (2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v35i34.286

Abstract

Spiritualitas kaum muda di era digital sangatlah penting. Apalagi di tengah kemajuan teknologi yang mempermudah kaum muda dalam mencari berbagi informasi yang mereka perlukan. Melihat kemudahan seperti ini kaum muda mulai kurang menyadari spiritualitas yang mereka miliki. Hal ini membuat mereka terjebak di era digital dan terlihat dari sikap mereka yang individualis. Sikap seperti ini menjadi sebuah persoalan dalam mewujudkan spiritualitas dalam kehidupan di era digital. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan kajian pustaka. Tujuan dari penulisan ini adalah melihat problem yang dialami oleh kaum muda tentang spiritualitas di era digital ini. Sebab mereka mulai kurang menyadari betapa pentingnya spiritualitas. Dalam penulisan ini penulis juga menemukan bahwa kaum muda masih memiliki sikap individualis. Maka perziarahan spiritualitas ini harus memiliki relasi, kerendahan hati dan kesadaran dari kaum muda di era digital