Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

Doing Theology And Our Theological Education: An Indonesian Perspective Raymundus I Made Sudhiarsa
International Journal of Indonesian Philosophy & Theology Vol 1, No 2 (2020): December
Publisher : Asosiasi Ahli Filsafat Keilahian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47043/ijipth.v1i2.10

Abstract

The article argues that the doing theology in multi-cultural and multi-religious society expects a close collaboration of multi-disciplines. Such interdisciplinary approach makes theology possible to look at the problems of the people in a comprehensive way. The church in Indonesia has been struggling quite a lot in this theological endeavour. The International Joint Conference held in Yogyakarta, Indonesia (March 2019), was an important event of this kind. And responding the discussions at the conference, this article attempts to deal with the importance of doing theology in context and its impacts on theological educations in the country. The article then suggests everyone to revisit our traditional theological programmes and to make necessary revisions needed in responding the contemporary world. In this way the church could claim the relevance of its existence and its public theology for the goodness of the country and the betterment of the society at large.
Homo Homini Amicus: Tanggungjawab Kultural Gereja Dalam Zaman Ini Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 30 No. 29 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v30i29.16

Abstract

This article is to promote the values of friendship from the Christianity anthropology perspective in the frame of nation community as a shared-home. Very often, friendship is reduced exclusively on ‘in-group’ and enriched by primordial mentality (religion, culture, race, communities in the society). They who don’t agree with the values lived by the ‘in-group’ regarded as ‘the others’, even, treated as dangerous opponents. Firstly, to build a great cultured society, the concept of ‘friendship’ (Latin: amicitia; Greek: philia) should be re-defined. In the Christianity anthropology, friendship, as the highest form of relationship, has its source in the belief that man is created in ‘God’s image’ (Gen 1:26-28), who has the responsibility to manage the shared-world to live together in harmony. Secondly, the Catholic education institutions, from elementary to university, need to continually self-empowered with the spirituality of friendship which promotes more civilized humanity, ‘with all your heart, and with all your soul, and with all your mind, and with all your strength’ (Mark 12:30)
Imago Dei Dan Masa Depan Kita Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 29 No. 28 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Di dalam komunitas umat beriman Kristiani, kita biasa mengatakan bahwa manusia itu adalah “gambar Allah”. Dengan mengatakan demikian, tidak berarti bahwa semuanya jelas dan final. Sebutan bahwa manusia itu “gambar Allah” (Latin: imago Dei), bagi umat Kristiani sesungguhnya mengungkapkan keluhuran jati diri manusia. Dalam kitab Kejadian (1:26- 27; 5:1; 9:6), dipakai dua pilihan kata untuk tujuan yang sama, yakni gambar (Latin: imago) dan rupa (Latin: similitudo). Pertanyaannya: “Apakah pilihan diksi seperti ini hendak mengungkapkan sebuah realitas ‘demikian adanya’ ataukah suatu imajinasi atau kondisi ideal yang harus dicapai? Apakah ada konsekuensi moral-etis atau sosio-religius dari pernyataan iman ini? Apakah ini sebuah theosis ataukah anthroposis?”
Jelajah Mengatasi Parokialisme Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 27 No. 26 (2017)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ada sebuah cerita. Dua orang sahabat berjalan-jalan di hutan. Tiba- tiba mereka mendengar seekor singa mengaum keras. Salah seorang dari mereka segera memutar otak untuk mencari tempat berlindung bagi mereka berdua. Sedangkan yang lain cepat-cepat mengenakan sepatunya untuk lari. Yang pertama keheranan, lalu bertanya: “Kau buat apa? Apakah kau sangka bahwa kau bisa lari lebih cepat daripada singa?” Jawab sahabatnya dengan enteng: “Bukan itu! Aku tidak perlu lari lebih cepat daripada singa. Aku cuma perlu bisa lari lebih cepat daripada engkau!”
“Murid-Murid Yang Diutus”, Sukacita Gereja Indonesia Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 25 No. 24 (2015)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Judul artikel ini meminjam ungkapan Paus Fransiskus yang menyebut Gereja sebagai ‘murid yang diutus’ (EG, 40) atau ‘murid-murid yang diutus’ (EG, 120). Perutusan yang dimaksudkan di sini adalah tugas evangelisasi. Ungkapan ini memiliki padanannya pada rumusan lain yang dipakai dalam Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi (1975) dari Paus Paulus VI, yakni ‘tugas evangelisasi merupakan perutusan hakiki dari Gereja’ (no. 14). Sedangkan Konsili Vatikan II, dalam Dekrit Ad Gentes menulis bahwa “Ecclesia peregrinans natura sua missionaria est” –Gereja peziarah pada hakikatnya misioner (no. 2). Sebagaimana kita ketahui, Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium (November 2013) ini merupakan hasil langsung dari Sinode Para Uskup (Oktober 2012), yang mengambil tema “Evangelisasi Baru untuk Pewartaan Iman Kristiani”. Saya pikir, dokumen ini tentu juga memiliki keterkaitan langsung dengan Ensiklik Lumen Fidei (Juni 2013) dari ‘Tahun Iman’ (2012- 2013), seperti yang telah dicanangkan oleh Paus Benediktus XVI guna membangun kembali antusiasme dan upaya-upaya evangelisasi. Artinya, tugas perutusan –yang sekarang lebih populer dikenal dengan ungkapan ‘evangelisasi’– merupakan jati diri Gereja. Artikel ini akan mencoba menguraikan (kembali) secara singkat ‘arus utama’ yang mengalir dalam ‘cara berada’ umat Allah ini, yakni evangelisasi. ‘Cara berada’ ini akan diteliti dalam kesadaran dan praksis umat Allah di tanah air, sebagaimana itu tampak dalam sharing para aktivis Gereja, yang ikut dalam pertemuan para ketua KKM Keuskupan dan para Dirdios KKI dengan timnya masing- masing selama tahun 2014-2015. Lalu, di masa yang akan datang, kontribusi apakah yang bisa diberikan Gereja Indonesia kepada Gereja Universal?
Kebahagiaan Dalam Diskursus Lintas Budaya Dan Pesannya Untuk Tugas Pewartaan Gereja Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 24 No. 23 (2014)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kurban Yesus di salib tidak lain daripada puncak dari cara-Nyamenghayati seluruh hidup-Nya. Digerakkan oleh teladan-Nya, kita inginmasuk sepenuhnya ke dalam struktur masyarakat, dengan berbagi dalamhidup semua orang, dengan mendengarkan keprihatinan-keprihatinanmereka, dengan membantu mereka secara material dan spiritual dalamkebutuhan-kebutuhan mereka, dengan bersukacita bersama mereka yangbersukacita, menangis dengan mereka yang menangis; sambil bahumembahu bersama mereka, kita terlibat membangun suatu dunia baru.Akan tetapi, kita melakukan itu bukan karena suatu rasa wajib, bukansebagai suatu beban tugas, melainkan sebagai buah dari keputusanpribadi yang membangkitkan sukacita dan memberi makna kepada hidupkita
Mata Golo, the Ke'o Rado Ritual, and The Death of Jesus Christ on The Cross in the Perspective of the Ngada People in Central Flores Indonesia Paskalis Lina; Raymundus I Made Sudhiarsa
Journal of Asian Orientation in Theology Vol 4, No 1 (2022): Journal of Asian Orientation in Theology
Publisher : P3TK, Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/jaot.v4i1.4483

Abstract

Most traditional societies have different conceptions of death and dying. The people of Ngada in Central Flores have a conception of death and dying called ‘mata golo.’ Mata golo is a bad death or a bloody death. This kind of death is caused by, for instance, a natural disaster, being killed by others, being killed in a traffic accident, etc. This article presents a theological inculturation view of the death of Christ on the Cross as a sign of reconciliation and peace in the perspective of mata golo among the Ngada people and in that of the ke’o rado ritual that follows it. This ritual is meant to bring about reconciliation and establish peace between the members of the clan on the one hand and the dead and the ancestors on the other hand. By using the inculturation method, we first listen to the culture. For this, the qualitative research method is used by conducting field research observations, in-depth interviews with key informants, and literature studies of previous studies on mata golo. The result is then compared with the teachings and views of the Catholic Church on the death of Christ. These two themes are then synthesized to build a distinctive theological concept, which could be a contribution to future pastoral services.
Traditional Cultural Expressions and Intellectual Property Rights in Indonesia Diah Imaningrum Susanti; Rini Susrijani; Raymundus I Made Sudhiarsa
Yuridika Vol. 35 No. 2 (2020): Volume 35 No 2 May 2020
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.274 KB) | DOI: 10.20473/ydk.v35i2.15745

Abstract

Protection of traditional culture and knowledge has been a concern in Indonesia. Efforts that have been made to legally protect Indonesian traditional expressions and knowledge usually involve intellectual property (IP) laws. However, the protection provided by IP laws may be inadequate for Indonesian traditional communities that care more about the survival and maintenance of their culture and knowledge than the legal exclusivity of their works. This study uses a normative legal approach with the perspective of hermeneutic circle to look at various studies and legal documents to find reasons why IP laws may not be entirely suitable for the Indonesian context and how an IP-based law can be designed to suit the actual needs of Indonesian traditional expression holders. The results obtained affirm that Indonesian traditional cultural expressions cannot be contained by laws that exclusively limit the usage of those expressions and thus a ‘sui generis’ law is needed to give a more appropriate protection.
Pemaknaan Baru Konektivitas dalam Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus melalui Misa Live Streaming Thomas Onggo Sumaryanto; Raymundus I Made Sudhiarsa; Robert Pius Manik; Sermada Kelen Donatus; Febri Putra Dewa
Studia Philosophica et Theologica Vol 22 No 2 (2022)
Publisher : Litbang STFT Widya Sasana Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/spet.v22i2.439

Abstract

Artikel ini merupakan penelitian untuk merefleksikan fenomena misa live streaming yang terjadi di masa pandemi Covid-19. Fenomena ini bisa menjadi bahan untuk merefleksikan eklesiologi digital yaitu bagaimana model Tubuh Mistik Kristus hidup di dalam cyberspace. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan interpretif-hermeneutis. Peneliti membatasi variabel penelitian ini yaitu Paroki Katedral St. Perawan Maria Gunung Karmel Malang. Pengambilan data akan dilakukan dengan kuesioner, wawancara, dan dokumen-dokumen penting. Tujuan penelitian adalah bagaimana merefleksikan model Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus dalam konteks cyberspace dan pandemi. Hasil penelitian menunjukkan kehidupan paroki Ijen mau tidak mau harus berada dan hidup di dalam jaringan internet. Fenomena ini menghantar Gereja untuk melihat pemaknaan baru konektivitas dalam relasi interpersonal antara Kristus Kepala Tubuh dan anggota-anggota Tubuh-Nya. Konektivitas yang ditekankan yaitu ikatan mistik dalam Kristus Yesus. Ikatan ini berusaha dikuatkan dengan koneksi internet. Dalam dunia digital, kunci relasi interpersonal adalah koneksi. Paroki berusaha menjangkau ikatan spiritual dengan setiap keluarga melalui misa live streaming dan setiap keluarga selalu berusaha untuk terkoneksi dengan parokinya. Penelitian eklesiologi digital ini hanya ingin membuktikan bahwa banyak cara dan jalan untuk tetap menjadi Tubuh Mistik Kristus. Gereja tetap dapat mempertahankan identitasnya di tengah situasi apa pun.
Nama, Makna, dan Pesan: Perayaan 400 tahun Propaganda Fide dan misi Gereja di tanah air Raymundus I Made Sudhiarsa
Seri Filsafat Teologi Vol. 32 No. 31 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v32i31.179

Abstract

Artikel ini mengajak sidang pembaca untuk melihat perayaan 400 tahun usia Propaganda Fide sebagai kesempatan untuk mengapresiasi prestasinya dalam perjalanan yang panjang itu dan sekaligus melihat ke depan, utamanya langkah-langkah misioner yang bisa diupayakan oleh Gereja-Gereja lokal dalam konteksnya masing-masing. Lebih daripada itu, perayaan ini sejatinya mengingatkan Gereja akan jati diri dan tugasnya untuk menjadi saksi Kristus di seluruh dunia dan kepada segala makhluk dengan kuasa Roh Kudus. Kongregasi Suci ‘de Propaganda Fide’, yang sekarang diberi nama baru ‘Dikasteri untuk Evangelisasi’ dan dipimpin langsung oleh Sri Paus, telah didirikan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan tugas perutusan itu sesuai dengan mandat Kristus yang bangkit (lih. Mrk 16:15; Kis 1:8; Mat 28:20). Koordinasi untuk seluruh Gereja itu, khususnya di wilayah-wilayah dengan sebutan ‘daerah misi’, telah dilaksanakan dengan berbagai cara sesuai dengan dinamika sosio-kultural di berbagai tempat di seluruh dunia dan dalam zaman yang terus berubah. Sejarah memang tidak pernah selesai. Narasi evangelisasi juga terus berlanjut, baik secara kelembagaan oleh Dikasteri untuk Evangelisasi dan Keuskupan-Keuskupan maupun lewat inisiatif putra-putri Gereja di dalam lingkungan hidup dan kerja mereka masing-masing. Menemukan terobosan-terobosan yang cerdas dan arif sebagai ekspresi iman kristiani yang hidup dalam dunia yang berubah demikian cepat dan demi dunia-bersama yang lebih bermartabat (Kerajaan Allah) tetap menjadi tantangan Gereja di tanah air Indonesia tercinta ini.