Pencucian uang merupakan tindak pidana yang signifikan dengan dampak merugikan terhadap stabilitas keuangan dan integritas ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia. Tindak pidana ini dilakukan dengan cara menyamarkan asal-usul dana yang diperoleh secara ilegal agar terlihat sah. Oleh karena itu, penerapan hukum pidana yang efektif sangat penting dalam menangani kasus pencucian uang, khususnya di sektor perbankan yang berfungsi sebagai saluran utama transaksi keuangan. Kerangka hukum yang mengatur pencucian uang di Indonesia ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), yang menekankan prinsip Know Your Customer (KYC) dan mewajibkan lembaga keuangan untuk melaporkan transaksi mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun, berbagai tantangan menghambat efektivitas ketentuan hukum ini, termasuk kurangnya pemahaman di kalangan pegawai bank tentang penerapan KYC, pengawasan yang tidak konsisten oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan koordinasi antar lembaga yang kurang baik. Selain itu, perkembangan teknologi keuangan yang pesat telah membuat pencucian uang semakin kompleks, sehingga memerlukan respons regulasi dan kolaborasi yang lebih baik di antara lembaga terkait. Untuk meningkatkan efektivitas hukum pidana dalam memerangi pencucian uang, diperlukan reformasi strategis, termasuk peningkatan pelatihan bagi pegawai bank, kemampuan teknologi yang lebih baik untuk analisis transaksi, dan sanksi yang lebih ketat bagi pelanggaran. Dengan mengatasi isu-isu ini, Indonesia dapat memperkuat pengawasan keuangan dan mekanisme penegakan hukum untuk secara efektif melawan pencucian uang.