Law No. 8/2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering is a legal framework designed to prevent and eradicate money laundering practices that have far-reaching impacts on economic stability, financial system integrity, and good governance. This law aims to create an integrated system through regulation of law enforcement, financial transaction supervision, and coordination between institutions such as the Financial Services Authority (OJK), the Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK), and other law enforcement agencies. This research analyzes the effectiveness of the implementation of this law by using normative juridical method and qualitative approach. The results show that although Law No. 8/2010 has a strong legal foundation, its implementation still faces a number of challenges. These challenges include the lack of harmonization of regulations between sectors, discrepancies in the application of sanctions, and limited capacity of law enforcement in understanding the complexity of money laundering crimes, especially related to cross-border transactions and the use of modern technology. In addition, suboptimal inter-agency cooperation hampers the effectiveness of supervision and prosecution. This research confirms that to optimize the implementation of this law, efforts are needed to strengthen the capacity of law enforcement through training based on the latest technology, improving the technological infrastructure of financial supervision, and revising regulations to create synergies between agencies. In addition, it is necessary to develop a sophisticated data analysis system to detect suspicious transaction patterns in real-time. Thus, this law can function optimally in suppressing money laundering crimes, strengthening the national financial system, and supporting sustainable economic growth.ABSTRAKUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) merupakan kerangka hukum yang dirancang untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang yang memiliki dampak luas terhadap stabilitas ekonomi, integritas sistem keuangan, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Undang-Undang ini bertujuan menciptakan sistem yang terintegrasi melalui pengaturan penegakan hukum, pengawasan transaksi keuangan, dan koordinasi antar lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta lembaga penegak hukum lainnya. Penelitian ini menganalisis efektivitas implementasi Undang-Undang ini dengan menggunakan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 memiliki landasan hukum yang kuat, pelaksanaannya masih menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan tersebut meliputi kurangnya harmonisasi regulasi antar sektor, ketidaksesuaian dalam penerapan sanksi, dan keterbatasan kapasitas penegak hukum dalam memahami kompleksitas tindak pidana pencucian uang, terutama terkait transaksi lintas negara dan penggunaan teknologi modern. Selain itu, kerja sama antar lembaga yang belum optimal menghambat efektivitas pengawasan dan penindakan. Penelitian ini menegaskan bahwa untuk mengoptimalkan implementasi undang-undang ini, diperlukan upaya penguatan kapasitas penegak hukum melalui pelatihan yang berbasis teknologi terkini, peningkatan infrastruktur teknologi pengawasan keuangan, dan revisi regulasi untuk menciptakan sinergi antar instansi. Selain itu, diperlukan pengembangan sistem analisis data yang canggih untuk mendeteksi pola-pola transaksi mencurigakan secara real-time. dengan demikian, undang-undang ini dapat berfungsi secara optimal dalam menekan tindak pidana pencucian uang, memperkuat sistem keuangan nasional, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.