Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

CONTEMPT OF COURT: PENEGAKAN HUKUM DAN MODEL PENGATURAN DI INDONESIA / CONTEMPT OF COURT: LAW ENFORCEMENT AND RULE MODELS IN INDONESIA Afriana, Anita; Artaji, Artaji; Rusmiati, Elis; Fakhriah, Efa Laela; Putri, Sherly
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol 7 No 3 (2018)
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/jhp.7.3.2018.441-458

Abstract

Di Indonesia sesungguhnya banyak kasus yang terjadi berkaitan dengan pelecehan terhadap pengadilan dan aparat penegak hukum. Hal tersebut berpengaruh terhadap integritas dan kewibawaan lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan. Namun, sampai saat ini di Indonesia belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang pranata Contempt of Court. Artikel ini merupakan bagian dari penelitian yang telah selesai dilakukan dengan metode yuridis normatif yang mengedepankan data sekunder dengan dilengkapi data primer berupa penelitian lapangan yang dilakukan pada beberapa pengadilan negeri yang ada di Indonesia. Pembahasan difokuskan pada permasalahan eksistensi pengaturan dan penegakan hukum Contempt of Court serta menentukan model pengaturannya di Indonesia.  Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Contempt of Court secara khusus sampai saat ini masih belum ada. Akan tetapi, pengaturannya telah tersebar dalam  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena itu, dari sekian kasus terkait dengan Contempt of Court baik berupa tindakan  maupun perbuatan yang sesungguhnya mengganggu keselamatan, ketenangan psikis maupun fisik, serta apa pun yang pada prinsipnya merupakan bentuk penghinaan terhadap pengadilan belum diberikan sanksi yang tegas tetapi hanya sekedar dikeluarkan dari ruang persidangan. Contempt of Court dapat terjadi baik di dalam ruang persidangan maupun di luar persidangan baik pada perkara pidana, perdata, maupun hubungan industrial.  Semakin meluaskan berbagai tindakan yang dapat dikategorikan sebagai contempt of court maka  perlu untuk mengatur Contempt of Court dalam bentuk aturan tersendiri.This crisis of public confidence greatly affects the integrity and authority of the judiciary as the last defence for justice. Many things happened related to the harassment of the courts and law enforcement agencies but until now in Indonesia there has been no provision specifically about contempt for the court. This article is a part of research that its used normative judicial method which gave priority to primary data with secondary and primary data. Therefore, field research was conducted by interviewing judge in some  district court in Indonesia. The purpose of this research is to know the existence of regulation and law enforcement of Contempt of Court in Indonesia and to determine the model of Contempt of Court arrangement that is in accordance with the judiciary in Indonesia, and  the summary is the laws and regulations governing the Contempt of Court in particular have so far not existed, but are scattered in the Criminal Code (Criminal Code), therefore in many cases both actions and deeds which in principle interfere with safety, psychic and physical calm which in principle is a form of humiliation to the court has not been given strict sanctions but only just removed from the courtroom. Contempt of Court can take place both within the courtroom and outside the court so that by extending the various actions that can be categorized as contempt of court, it is deemed necessary to regulate the Contempt of Court in the form of a separate rule.
PENYELESAIAN SENGKETA TERKAIT ASET TANAH PEMERINTAH DAERAH YANG DIDUDUKI OLEH MASYARAKAT MELALUI MEDIASI DITINJAU DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERTANAHAN INDONESIA Khaerunnisa, Hasna; Kurniati, Nia; Artaji, Artaji
PALAR (Pakuan Law review) Vol 10, No 4 (2024): Volume 10, Nomor 4 Oktober-Desember 2024
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v10i4.10871

Abstract

ABSTRAK             Tanah-tanah yang tidak didayagunakan seringkali dijumpai diduduki oleh masyarakat secara begitu saja dan dalam jangka waktu lama. Dalam kenyataanya, diatas lahan tersebut terdapat subjek pemegang hak nya yaitu Pemerintah,  masih banyak kasus-kasus dalam bidang pertanahan mengenai penguasaan aset Pemerintah oleh masyarakat dan telah menempati dalam kurun waktu cukup lama dan berpuluh-puluh tahun dan secara fisik sudah dikuasai oleh masyarakat sejak lama tanpa kejelasan status hak nya di atas lahan milik aset Pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalis aset tanah Pemerintah Daerah yang dididuduki oleh masyarakat ditinjau dari persfektif Hukum Pertanahan dan penyelesaian sengketa atas tanah Pemerintah Daerah yang dididuduki oleh masyarakat ditinjau dari persfektif Hukum Pertanahan. Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian normatif yang bersifat deskriptif analitis yaitu mengumpulkan fakta-fakta yang ada dan menganalisis peraturan-peraturan yang berlaku  dikaitkan dengan teori hukum dan praktek mengenai hukum agraria nasional. Tahap penelitian dilakukan melalui Penelitian Kepustakaan dan Penelitian Lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Pertama, aset Pemerintah yang diduduki oleh masyarakat ditinjau dari persfektif Hukum Pertanahan bahwa masyarakat belum mempunyai status hak terhadap tanah aset pemerintah yang diduduki oleh Masyarakat. Maka dalam hal ini, masyarakat tidak dapat menguasai, menggunakan, memanfaatkan tanah di atas aset Pemerintah. Pembiaran terhadap aset oleh Pemerintah disebabkan kurangnya pengawasan dan pengelolaan serta anggaran dan sumber daya manusia yang dapat menghambat kemampuan pemerintah untuk mengelola aset secara efektif. Kedua, Penyelesaian sengketa atas tanah aset Pemerintah yang didiuduki oleh masyarakat melalui mediasi sangat dirasakan manfaatnya dan para pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan secara adil dan saling menguntungkan. BPN sebagai mediator yang netral yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah melalui mediasi kewenangan diserahkan sepenuhnya kepada para pihak berdasarkan kesepakatan.  Kata Kunci: Sengketa Tanah, Aset Pemerintah dan Masyakat ABSTRACT  Regulations regarding unused land are often fulfilled by the community casually and over a long period of time. In fact, on this land the subject holder of the rights is the Government, there are still many cases in the land sector regarding control of Government assets by the community and have been occupied for quite a long period of time and for decades and have been physically controlled by the community for a long time. . without clarity regarding the status of their rights to land belonging to Government assets. This research aims to determine and analyze Regional Government land assets occupied by the community from a Land Law perspective and complete settlement of Regional Government land occupied by the community from a Land Law perspective. The author conducted research using normative research methods which are descriptive analytical in nature, namely collecting existing facts and analyzing applicable regulations related to legal theory and practice regarding national agrarian law. The research stage was carried out through library research and field research. The research results show that, firstly, government assets controlled by the community are viewed from a Land Law perspective, meaning that the community does not yet have rights to government land assets controlled by the community. So in this case, the community cannot control, use or exploit land on Government assets. The government's neglect of assets is caused by a lack of supervision and management as well as budget and human resources which can hamper the government's ability to manage assets effectively. Second, the settlement of government land assets occupied by the community through mediation has been very beneficial and the parties have reached an agreement that ends the dispute in a fair and mutually beneficial manner. BPN as a neutral mediator who does not have the authority to make decisions in resolving land rights through mediation, the authority is completely transferred to the parties based on the agreement.  Keywords: Land Disputes, Government and Community Assets
Tinjauan Hukum tentang Pembatalan Perkawinan Paksa Disbebakan Adanya Hubungan di Luar Nikah Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam Intan Sekarwangi, Bestari Prahastani; Artaji, Artaji; Ayuna Putri, Sherly
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 3 No. 08 (2023): COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v3i08.1089

Abstract

Perkawinan paksa menjadi permasalahan global dikarenakan tidak sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, karena pada dasarnya perkawinan harus dilaksanakan atas kesepakatan kedua belah pihak. Objek kajian dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Agama Boyolali Nomor 1114/Pdt.G/PA.Bi/2018 dan Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor 950/Pdt.G/PA.Pwt/2023. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui keabsahan dan akibat hukum pembatalan paksa disebabkan adanya hubungan di luar nikah ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dalam bentuk studi dokumen dan studi lapangan. Berdasarkan hasil penelitian, pertama bagi pihak yang merasa dirugikan atas perkawinan paksa dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Batalnya suatu perkawinan paksa berlaku sejak putusnya Putusan Pengadilan, sedangkan batalnya suatu perkawinan paksa yang terdapat unsur larangan perkawinan berlaku sejak akad atau awal perkawinan. Kedua, akibat hukum pembatalan perkawinan adalah putusnya kedudukan suami dan istri dan perkawinannya dianggap tidak pernah ada. Jangka waktu pembatalan perkawinan adalah 6 (enam) bulan dan bagi pihak yang merasa tidak puas atas putusan pembatalan perkawinan dapat mengajukan upaya hukum kasasi tanpa upaya hukum banding. Pembatalan perkawinan paksa tidak berlaku surut terhadap kedudukan anak, harta bersama, dan pihak ketiga.
Resolution of Agrarian Conflicts on Plantation Land through Restorative Justice in Indonesia Artaji, Artaji; Sulistiani, Lies; Rajamanicam, Ramalinggam; Fakhriah, Efa Laela
Lex Scientia Law Review Vol. 8 No. 1 (2024): Contemporary Legal Challenges and Solutions in a Global Context
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/lslr.v8i1.14060

Abstract

The agrarian reform in Indonesia has not been effectively implemented, leading to significant challenges, particularly regarding the unresolved status of Right to Use Enterprises (HGU) held by plantation entrepreneurs. As a result, many plantation lands remain abandoned, which farming communities—lacking formal land ownership—subsequently cultivate. The government views this activity as unauthorized land occupation, commonly referred to as reclamation. Conflicts over plantation land arise from differing perspectives: while farming communities seek justice, the government perceives plantation land as state property that necessitates state control and management. This issue is further complicated by plantation entrepreneurs who believe they retain valid HGU rights. To address this multifaceted problem, a solution model is needed that engages victims, perpetrators, and community stakeholders to foster a sense of justice. This research employs socio-legal methodologies, utilizing an interdisciplinary approach that incorporates non-legal disciplines to enhance doctrinal analysis and better understand the legal realities faced by all parties involved. The findings indicate that a restorative justice model for resolving conflicts between farming communities and HGU holders is highly appropriate, as it facilitates a sense of fairness for all stakeholders. By bridging the divergent understandings and paradigms of the farming communities and the government, restorative justice mechanisms can effectively restore the rights of those affected and promote peace in the resolution process.