Dian Septiandani
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

AKIBAT HUKUM AHLI WARIS YANG MENOLAK MENANGGUNG HUTANG PEWARIS YANG MELEBIHI HARTA WARISAN: KAJIAN HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM Bagus Prayitno; Dian Septiandani; Dharu Triasih
Semarang Law Review (SLR) Vol. 6 No. 1 (2025): April
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/slr.v6i1.11902

Abstract

There are several types of events or legal events that are essential for humans in their lives, including the legal events of birth, the event of marriage, and the legal event of death. One aspect that arises after death is the obligation of the heirs to the debts of the testator. According to civil law (KUH Perdata), all inherited assets, including the debts of the testator, are the responsibility of the heirs. The heirs have the option to accept the inheritance in full, accept it with conditions (beneficiaire aanvaarding), or reject the inheritance. If the heirs choose to reject the inheritance, they are not responsible for paying the debts of the testator. Meanwhile, in Islamic law, inheritance is calculated after deducting the debts of the testator, the costs of managing the corpse, and the will. The heirs are only responsible for paying debts according to the value of the inheritance received and do not need to bear debts that exceed the value of the inheritance. The main difference between the two legal systems is the protection given to the heirs; civil law tends to be stricter, while Islamic law offers more protection to the heirs from obligations that exceed the value of the inheritance. Chapter 1 of this study discusses the background of the problems that arise due to death, often causing disputes regarding the obligation to pay debts. Chapter 2 explains the concept of inheritance law in the Civil Code and Islamic law, identifying the main elements of inheritance and the responsibilities of heirs in both systems. Chapter 3 outlines the research methodology that uses normative and analytical descriptive approaches for the comparison of legal systems. Chapter 4 presents the results of the research and analysis on the legal implications for heirs who refuse to bear the debts of the testator in the context of both legal systems. This research is expected to provide in-depth insight into the rights and obligations of heirs, as well as assist policy makers in formulating fair regulations.   Abstrak Ada beberapa macam kejadian atau peristiwa hukum yang esensil untuk manusia dalam kehidupannya, meliputi peristiwa hukum kelahiran, kejadian adanya perkawinan, dan peristiwa hukum kematian. Salah satu aspek yang muncul setelah kematian adalah kewajiban ahli waris terhadap hutang pewaris. Menurut hukum perdata (KUH Perdata), seluruh harta peninggalan, termasuk hutang-hutang pewaris, menjadi tanggungan ahli waris. Ahli waris memiliki opsi untuk menerima warisan secara penuh, menerima dengan syarat (beneficiaire aanvaarding), atau menolak warisan. Jika ahli waris memilih untuk menolak warisan, mereka tidak bertanggung jawab atas pembayaran hutang pewaris. Sementara itu, dalam hukum Islam, warisan dihitung setelah mengurangi hutang pewaris, biaya pengurusan jenazah, dan wasiat. Ahli waris hanya bertanggung jawab untuk membayar hutang sesuai dengan nilai warisan yang diterima dan tidak perlu menanggung hutang yang melebihi nilai harta warisan. Perbedaan utama antara kedua sistem hukum ini adalah perlindungan yang diberikan kepada ahli waris; hukum perdata cenderung lebih ketat, sedangkan hukum Islam menawarkan perlindungan lebih terhadap ahli waris dari kewajiban yang melebihi nilai warisan. Bab 1 dari penelitian ini membahas latar belakang masalah yang muncul akibat kematian, seringkali menyebabkan perselisihan terkait kewajiban membayar hutang. Bab 2 menjelaskan konsep hukum waris dalam KUH Perdata dan hukum Islam, mengidentifikasi elemen utama dari pewarisan dan tanggung jawab ahli waris dalam kedua sistem tersebut. Bab 3 menguraikan metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan normatif dan deskriptif analitis untuk perbandingan sistem hukum. Bab 4 menyajikan hasil penelitian dan analisis mengenai implikasi hukum bagi ahli waris yang menolak menanggung hutang pewaris dalam konteks kedua sistem hukum. Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan mendalam mengenai hak dan kewajiban ahli waris, serta membantu pembuat kebijakan dalam merumuskan regulasi yang adil.
Konstruksi Hukum Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Penetapan Wali Adhal Menurut Sistem Peradilan Agama Amar, Saiful; Dian Septiandani; Kukuh Sudarmanto; Zaenal Arifin; Moh Thamsir
Journal Juridisch Vol. 3 No. 1 (2025): MARCH
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jj.v3i1.11379

Abstract

This study aims to examine the authority of the religious court in determining a wali adhal (a guardian who unjustifiably refuses to marry off a woman), with a case study on Decision Number 215/Pdt.P/2023/PA.Kdl. The research is grounded in the reality that, in practice, lineage guardians (wali nasab) are still found to refuse marriage without legitimate grounds under Islamic law, thereby obstructing women’s right to a lawful marriage. The study employs a normative juridical approach, analyzing court decisions alongside Islamic legal doctrines from the four schools of thought (mazhab). The findings reveal that the Kendal Religious Court has the authority to appoint a wali hakim (court-appointed guardian) as a substitute for a wali adhal, thereby ensuring legal protection for women and upholding the principles of justice and equality in marriage. The novelty of this research lies in its comprehensive analysis of judicial reasoning that integrates a normative approach, Islamic doctrinal perspectives, and substantive justice—an area rarely explored in prior studies. The study concludes that religious court rulings in wali adhal cases serve as a crucial instrument in safeguarding women’s constitutional right to marry and establish a legitimate family. It further recommends strengthening the role of religious courts in handling such cases and promoting legal awareness within society regarding the limits of a lineage guardian’s authority.   Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kewenangan pengadilan agama dalam menetapkan wali adhal dengan studi kasus pada Putusan Nomor 215/Pdt.P/2023/PA.Kdl. Latar belakang penelitian ini berangkat dari kenyataan bahwa dalam praktiknya masih ditemukan wali nasab yang menolak menikahkan perempuan tanpa alasan yang sah menurut hukum Islam, sehingga menghambat hak perempuan untuk menikah secara sah. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan analisis terhadap putusan pengadilan dan doktrin hukum Islam dari empat mazhab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengadilan Agama Kendal memiliki kewenangan untuk menetapkan wali hakim sebagai pengganti wali adhal, guna menjamin perlindungan hukum bagi perempuan serta menegakkan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam pernikahan. Kebaruan dalam penelitian ini terletak pada analisis komprehensif terhadap pertimbangan hakim yang memadukan pendekatan normatif, doktrinal Islam, dan keadilan substansial, yang belum banyak dikaji dalam penelitian sebelumnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa putusan pengadilan agama dalam kasus wali adhal menjadi instrumen penting dalam menjaga hak konstitusional perempuan untuk menikah dan membentuk keluarga secara sah. Disarankan agar peran pengadilan agama diperkuat dalam menangani kasus-kasus serupa, serta perlunya sosialisasi hukum kepada masyarakat terkait batasan kewenangan wali nasab.
ANALISIS SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2023 DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA Sthela Maris Belinda Setyo Widiastuti; Dian Septiandani; Efi Yulistyowati
Semarang Law Review (SLR) Vol. 6 No. 2 (2025): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/slr.v6i2.12849

Abstract

The registration of interfaith marriages in Indonesia raises legal issues, prompting the Supreme Court to issue Circular Letter Number 2 of 2023 to ensure legal certainty. Based on this, this study will analyze the Supreme Court Circular Letter Number 2 of 2023 from a Positive Law Perspective in Indonesia and its legal implications in the Indonesian justice system. This type of research is normative juridical with a statutory approach. The research specifications are descriptive analytical. The data used are secondary data, collected through library research and documentation studies. The data are then analyzed using qualitative analysis methods. The results of the study indicate that: The Supreme Court Circular Letter Number 2 of 2023 from a positive law perspective in Indonesia is a commitment that marriage can only be carried out by couples with the same religion and beliefs, thus creating legal certainty, because the court will not grant requests for registration of marriages between people of different religions and beliefs. The legal implications of Supreme Court Circular Letter Number 2 of 2023 in the Indonesian judicial system are to provide guidelines for judges in handling applications for registering interfaith marriages, as well as providing legal clarity for couples of different religions and beliefs.   Abstrak Pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia menimbulkan permasalahan hukum, sehingga mendorong Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 agar ada kepastian hukum. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini akan menganalisis Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia dan implikasi yuridisnya dalam sistem peradilan di Indonesia. Jenis/tipe penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Spesifikasi penelitiannya diskriptif analitis. Data yang dipakai adalah data sekunder, yang diambil dengan cara studi Pustaka dan studi dokumentasi. Data tersebut kemudian dianalisis dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 dalam perspektif hukum positif di Indonesia adalah merupakan komitmen bahwa perkawinan hanya dapat dilaksanakan oleh pasangan dengan agama dan kepercayaan yang sama, sehingga menciptakan kepastian hukum, karena pengadilan tidak akan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Implikasi yuridis dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 dalam sistem peradilan di Indonesia adalah memberikan pedoman bagi hakim untuk menangani permohonan pencatatan perkawinan beda agama dan kepercayaan, serta memberikan kejelasan hukum bagi pasangan yang berbeda agama dan kepercayaan.
Implementasi Prinsip Mempersulit Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan : Studi Kasus di Pengadilan Agama Kota Semarang Asfita Marina Palupi; Dian Septiandani; Efi Yulistyowati
Jurnal Hukum Ekonomi Islam Vol. 5 No. 1 (2021): Jurnal Hukum Ekonomi Islam (JHEI)
Publisher : Asosiasi Pengajar dan Peneliti Hukum Ekonomi Islam Indonesia (APPHEISI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (338.34 KB) | DOI: 10.55577/jhei.v5i1.71

Abstract

Law Number 16 Year 2019 adheres to the principle of “complicate divorce”. Thus, the researcher conducted a research in Religious Court of Semarang City, Central Java, focusing on the implementation of the principle to complicate divorce based on Law Number 16 Year 2019 concerning Marriage, the obstacle faced in implementing the principle to complicate divorce under Law Number 16 of 2019 and how to solve the obstacle. This is a is sociological juridical research as this study will discuss the implementation of the principle to complicate divorce as adhered in Law Number 16 of 2019 on Marriage, the obstacles in implementing the principle and how to overcome the problems. Moreover, the specification of this study is qualitative one conducted by a field research and a library research. The method usedincludes primary dataand supported data secondary. The method of data analysis used in this study is a qualitative one and the approach used is statute approach.The results of the study indicate that has implemented the principle of “complicate divorce” as mandated in the general explanation of Law Number 16 of 2019 on Marriage since a divorce claim to be filed before a Religious court must be based on valid reasons and the reason must able to be proven based on Article 19 Government Regulation Number 9 Year 1975. The obstacles found in the implementation of the principle “complicate divorce” in are a strong willingness from the parties or one of the parties to divorce which makes the judge difficult to strive for peace to the parties, the absence of the divorce defendant on the set trial day makes the mediation efforts cannot be carried out, and a limited time possessed by the panel of judges in resolving and reconciling the divorce litigating parties. The solutions for these problems are the support of the judges and providing a special room for mediation. Keywords: Implementation, Principles of “Complicate Divorce”, Law Number 16 Year 2019, Religious Court of Semarang City. Abstrak Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan menganut prinsip “mempersulit perceraian“. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian di Pengadilan Agama Kota Semarang dalam mengimplementasikan prinsip mempersulit perceraian berdasarkan UU Perkawinan. Tipe/jenis penelitian ini adalah yuridis sosiologis Spesifikasi penelitian adalah penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research). Metode yang digunakan meliputi data primer dan didukung data sekuder. Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah mengimplementasikan prinsip mempersulit perceraian sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan umum UU Perkawinan, karena suatu gugatan perceraian atau talak untuk diajukan di muka sidang pengadilan Agama harus disertai alasan-alasan yang sah dan alasan tersebut harus dapat dibuktikan sesuai dengan Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan prinsip mempersulit terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Semarang adalah kemauan keras dari para pihak atau salah satu pihak untuk tetap bercerai. Upaya mengatasinya adalah adanya dukungan para hakim, dan ada ruangan khusus untuk mediasi. Kata Kunci: Implementasi, Prinsip, Mempersulit Perceraian, UU No. 16 tahun 2019, PA Semarang.